517 km

deera
27 min readJul 28, 2024

--

Suatu malam, Atsumu menghilang tanpa jejak. Bertekad untuk menemukannya, Osamu dan Sunarin mengemudi dari Hyogo ke Tokyo. Dalam perjalanan panjang sejauh 517 kilometer, di antara jalan yang sunyi dan waktu yang merenung, mereka mengurai perasaan sambil mencari petunjuk yang mungkin dapat membawa mereka kepada Atsumu yang hilang seperti ditelan angin.

0 km.

Do we really have to do this?” tanya Sunarin seraya memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi mobil. Ia berkata di antara rokok yang terjepit di bibirnya, asap mengepul ke udara panas Hyogo saat pertanyaan tersebut keluar.

“Aku bisa sendiri, Rin. Kamu gak usah ikut juga gak apa-apa.” jawab Osamu. Ia bersandar di pintu mobil dengan kepala yang tertunduk, matanya sibuk melihat ke arah layar ponsel, memeriksa rute melalui google maps.

“Gak mungkin aku tinggalin kamu sendiri, Samu.”

“Dan gak mungkin juga aku tinggalin Atsumu sendiri.”

Sunarin menghela napasnya, menyerah berdebat dengan Osamu. Sahabatnya itu bisa sangat keras kepala kalau sudah menginginkan sesuatu. “You worried too much, Sam.” Tangannya masih sibuk menata barang-barang mereka di dalam bagasi ketika Osamu menendang tungkainya. “Aw, kenapa, sih?” Sunarin meringis pelan, melempar pandangan tajam ke arah Osamu.

It is Atsumu. I will always worry about him.” Suaranya keluar dengan pelan dan lirih. Ia memandang ke depan dengan nanar, seolah berharap Atsumu dapat muncul di hadapannya. “Aku gak bisa hubungin dia, di-chat gak dibalas, ditelepon juga gak diangkat. What do you expect me to do, Rin? Diam aja gitu pas tahu dia hilang?”

“Iya, Samu. Kita cari dia, ya? Kamu tahu kita harus kemana?”

“Tokyo. Tempatnya Kiyoomi.”

Lagi-lagi Sunarin menghela napas. Ia menutup bagasi mobil dengan keras sebelum kembali memandang Osamu, “Oke, Sam, ayo kalau gitu. Aku yang nyetir, kamu arahin lewat maps.”

2 km.

Suara musik yang melantun melalui speaker mobil mengisi keheningan di antara keduanya. Sesekali, Sunarin mengetuk jari-jemarinya di kemudi seirama dengan musik, senandung lirik lagu yang tak koheren keluar meluncur dari bibirnya dan Osamu terkekeh dibuatnya. “Kamu gak tahu liriknya tapi tetap dinyanyiin.” ejek Osamu, ia menolehkan kepalanya ke arah Sunarin. Senyuman miringnya yang sarat akan ledekan mengangkat kedua pipinya dan mencapai matanya yang berkilat dengan usil.

Sunarin melirik sekilas ke arah Osamu kemudian mendengus. “Biar gak sepi, kamu diam aja dari tadi.” Osamu bisa mendengar senyuman di suaranya, dan sesuatu dalam dirinya berdesir dengan geli. “I can hear your thoughts, Sam. Kenapa kamu sibuk sendiri di dalam kepala kamu padahal ada aku di sini? Kamu yang ajak aku, at least use me a bit.” katanya, perkataan dengan intonasi monoton dan ogah-ogahan khasnya melantun di antara bunyi lagu alternative rock kegemaran pria dengan netra hijau itu.

But, I do use you. As a driver.” balas Osamu sekenanya, sengaja agar membuat Sunarin merasa kesal. Entah kenapa, melihat pria itu merengut dan bermuka masam menimbulkan suatu kepuasan tersendiri bagi Osamu. Wajah yang biasanya tanpa ekspresi itu seketika berubah menjadi sebuah mozaik perasaan – walau didominasi oleh kekesalan, tapi Osamu suka melihatnya. Ada sesuatu yang menggetarkan baginya ketika melihat alis yang berkerut, bibir yang mengerucut, dan mata yang menyipit penuh emosi. Bagi Osamu, setiap perubahan ekspresi itu seperti menyaksikan sebuah karya seni yang hidup, penuh dinamika dan warna. Kekesalan pada wajah Sunarin adalah sentuhan kuas terakhir yang melengkapi lukisan perasaan yang jarang terlihat. Seolah-olah ia bisa menyentuh dan merasakan emosi yang tersembunyi di balik ketenangan yang biasanya terpancar.

Sunarin menggeram, dia melemparkan kepalanya ke belakang dengan muak (Osamu, dengan tanpa rasa malu, memandangi bagaimana leher jenjang milik Sunarin terhampar di hadapannya, dan kepalanya seketika membayangkan bagaimana bila leher itu diwarnai dengan warna merah dan biru yang nantinya berubah menjadi kuning?) sementara itu bola matanya berputar malas. “Bukan gitu, Osamu. Talk to me. Astaga.”

I’m not a talker, Rin.”

“Ngaco. You ARE a talker, cuma males aja ngomong sama aku. Iya, ‘kan?” Perkataannya layaknya sebuah tuduhan yang dilayangkan kepada Osamu. Seperti tertangkap basah, Osamu merentangkan kedua tangannya ke atas kepalanya, memilih untuk menerima tuduhan tersebut. “Separuh benar, separuh salah.” ucapnya.

Sunarin mengeratkan pegangannya di kemudi, “Lagi apa, sih, kamu di dalam kepalamu sendiri? Boleh gak aku ke sana?” Sinar matahari menyelip masuk melalui kaca jendela mobil, menyinari Sunarin hingga ia berubah menjadi sebuah siluet, cahayanya yang menyilaukan mata mengelilingi kepala Sunarin dan membentuk sebuah halo layaknya malaikat.

Osamu menggigit bibirnya, menimang balasan yang menggantung di sana dengan berat. Sunarin jelas-jelas sedang menggodanya, haruskah ia membalasnya dengan rayuan? Permainan ini, saling rayu dan menggoda dengan sentuhan-sentuhan kecil saat tak ada mata memandang, sudah mereka mainkan semenjak duduk di bangku SMA. Keduanya selalu mencelupkan satu kaki – terkadang dua – ke kolam romansa yang mereka gali sendiri tanpa mau tenggelam sepenuhnya di antara cairan komitmen yang memenuhi kolam. Mereka menari-nari di atas garis tipis antara pertemanan dan hubungan kekasih tanpa mau meninggalkan salah satunya. Terkadang, Sunarin akan menariknya ke sisi lain, namun, tungkai Osamu dibelenggu oleh akar-akar pertemanan. Terkadang, Osamu akan menariknya untuk berdansa di sisi lain, namun, Sunarin pergi menghilang berdansa dengan orang lain.

Tapi, Osamu pikir, mereka akan menghabiskan waktu bersama selama beberapa jam ke depan. Hanya berdua, terperangkap di dalam kotak besi yang beroda, menyusuri jalanan yang panjang. Ah, fuck it.

There’s no need, Rin. You’re already there. In my head, I meant. Always have been.” Setelah kalimat itu keluar, Osamu mengutuk dirinya sendiri. Ia bisa merasakan bagaimana rasa malu mulai menjalar dari tengkuk hingga naik ke pipinya dan membuatnya bersemu.

Mendengar perkataan Osamu, Sunarin mengulum senyumnya. “Rent free, lagi. Keren gak tuh aku?”

Shut up, Rin. Nyetir aja, deh, gak usah banyak omong.”

Sunarin tergelak, tawanya besar dan menular.

23 km.

Osamu tengah melayang di alam mimpi ketika bahunya diguncang pelan oleh seseorang. Ia mengerang, menolak untuk membuka mata, berusaha kembali terbang ke dunia mimpi dengan sayapnya yang rusak karena diganggu seseorang. Kali ini, bukan hanya guncangannya yang bertambah keras, ditemani juga dengan suara yang familiar. Osamu yang hampir kembali menapakkan kakinya di alam mimpi, di mana dia menjadi seorang koki terkenal menyaingi Gordon Ramsay, kembali jatuh ke bawah dan memasuki realita. Sayap mimpinya patah dan kesadarannya perlahan terkumpul.

Ia menepis tangan Sunarin yang bersarang di bahunya, dalam diam mengutuk bagaimana pria itu menariknya dari tidur. Masih dengan mata yang tertutup, dia bergumam, “Ugh, Rin … ganggu. Aku ngantuk.”

“Dan aku lapar.”

Nyebelin. Super nyebelin. “Yaudah, Rin, tinggal makan.” katanya dengan suara serak, ia bisa merasakan bagaimana dinding dan langit mulutnya terasa kering dan kasar, seperti sedang dijejali setumpuk pasir. Osamu perlahan membuka kedua matanya, ia menggosoknya untuk mengusir rasa kantuk yang masih mengganjal di pelupuk matanya. “Aku udah buat bekal, tinggal dimakan.”

“Gak bisa, Sam. Aku lagi nyetir. Lihat?” Laki-laki itu menunjuk ke arah kemudi, seolah Osamu orang dungu yang tidak bisa melihat. “Samu, suapin aku.”

“Dih? Ogah. Makan aja sendiri.”

“Yaudah.” Dengan sembrono, ia melepaskan kendalinya dari kemudi kemudian meraih kotak bekal yang ditaruh di atas dashboard mobil. Sontak, Osamu terhenyak kaget, kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa kantuknya hilang entah kemana digantikan dengan panik. Tubuhnya condong ke arah Sunarin ketika ia mengambil alih kemudi, “Rin! Gila, ya?! Kalau kita nabrak gimana?!”

Yang kena omel mengangkat bahunya dengan acuh. “Aku lapar terus disuruh makan sendiri. Yaudah.” Sunarin pun kembali meletakan tangannya di atas kemudi dengan kotak bekal di atas pahanya dalam keadaan setengah terbuka. Aroma nasi yang disirami kuah kari seketika memenuhi seisi mobil.

Osamu menggeram dengan kesal. “Yaudah! Aku suapin. Repot banget, anak kecil apa kamu?”

Romance me a bit, Sam.”

Tanpa banyak kata, Osamu pun meraih kotak bekalnya. Selagi Osamu mempersiapkan alat makan untuk keduanya, Sunarin memandanginya dari sudut matanya. Merasakan bagaimana rasa hangat yang berpusat di dadanya menjalar hingga ke keseluruhan tubuhnya, dibawa melalui aliran darahnya, membuat jari-jari kakinya bergulung di dalam sepatunya, dan naik ke wajahnya hingga warna merah terpoles di sana. “Kamu mau ayam katsu atau ebi tempura?” Suara Osamu menariknya dari lamunan.

“Dua-duanya.”

“Rakus! Bagi dua sama aku!”

Sunarin tertawa hingga bahunya berguncang. “Yaudah, aku ebi tempura aja.”

Osamu pun menyendokkan sesuap nasi kari dan ebi tempura yang sudah dipotong ke arah Sunarin. Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, Sunarin membuka mulutnya, membiarkan makanan buatan Osamu menyapa indra pengecapnya dan menyembuhkan rasa laparnya. Dari ekor matanya, ia menangkap Osamu juga menyuapkan nasi kari dengan ayam katsu untuk dirinya sendiri tanpa mengganti sendoknya. Perut Sunarin seakan penuh oleh sesuatu, yang pasti bukan makanan, namun, kupu-kupu kecil yang berterbangan. Sementara hatinya terasa berat, ingin sekali bertukar tempat dengan sendok besi yang digenggam Osamu.

47 km.

Melalui ekor matanya, Osamu bisa melihat bagaimana sesekali kepala milik sahabatnya terkantuk-kantuk dan berbenturan dengan kemudi. “Rin, gantian nyetirnya sama aku.” ujar Osamu seraya mengguncang pelan bahu pria di sampingnya.

“Bentar, Sam. Tanggung. Nanti deh kalau udah pecah telor 50 km.” Sunarin terjaga dengan mata setengah terpejam, terlihat lelah namun berusaha tetap fokus.

“Apa, sih? Ganti sekarang, aku gak mau kita nabrak terus mati muda.”

Mendengar kata-katanya, Sunarin menatapnya dengan pandangan yang sulit dimaknai. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, namun sorot matanya yang dalam mencerminkan perasaan yang tidak bisa Osamu tebak dengan pasti. “Oke, tukar kalau gitu.”

Mereka pun menepi, Sunarin keluar melalui pintu pengemudi dan menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang, sementara Osamu menggeser posisinya menjadi di belakang stir. Sambil mengerang nikmat, Sunarin meregangkan tubuhnya yang kaku, kepalanya tersandar di kaca jendela, dan tangannya naik ke atas – ia bisa merasakan bagaimana sendi-sendinya bernyanyi dengan riang setelah beberapa jam dipaksa untuk terus bercumbu dengan stir mobil.

Melihatnya, Osamu terkekeh pelan. “Astaga, capek banget apa? Sini sini, do you need head pats? Belly rubs?” Lagi-lagi, suaranya keluar dengan nada meledek. Sunarin mengernyitkan dahinya kemudian menepis tangan Osamu yang mengusak rambutnya hingga berantakan. “Brengsek, diam gak? Makan tuh head pats sama belly rubs.” Ia mendengus kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil, memperhatikan bagaimana pepohonan menari hingga berubah buram seiring dengan bertambahnya kecepatan mobil.

“Nawarin aja, sih. What do you need? Udah nyetirin aku, at least you deserve a reward.

Suck my dick, Sam.”

Gladly.”

Sunarin mengerang, dia membawa telapak tangannya untuk menutupi wajahnya yang seketika berubah merah layaknya kepiting rebus. Matanya terpejam, ia bisa merasakan bagaimana seluruh tubuhnya meremang dan panas seakan berada di sauna. “Careful there, Sam. Nanti aku tagih.”

Osamu tertawa hingga matanya menyipit. Surai gelapnya yang membingkai wajah manisnya melompat seirama dengan suara tawanya. “Atur aja.” balasnya dengan enteng. Walaupun kalimat yang keluar dari dua belah bibirnya merupakan godaan, walaupun ia berlagak dengan percaya diri, Sunarin bisa melihat bagaimana wajah sahabatnya itu sama merahnya dengannya.

“Udah, Sam. Diam.”

“Gak usah salting gitu, deh.”

Woah, who am I talking to right now? Osamu or Atsumu? You sure are turning into him.”

Perkataan Sunarin dibalas dengan kekehan kecil, senyuman lebar Osamu tergantikan dengan senyum sendu dan keheningan kembali mengambil peran di antara keduanya ketika nama Atsumu disebut.

104 km.

Osamu memandang rak yang penuh dengan barang ditemani keranjang di tangannya. Keduanya kini sedang berhenti untuk mengisi bahan bakar, Sunarin berada di tempat pengisian bensin sementara Osamu menyibukkan dirinya di dalam toko kecil dengan penerangan remang-remang. Jari-jemarinya menari di atas beberapa produk yang ditata di rak, memilah camilan apa yang harus ia bawa ke kasir. Pilihannya jatuh kepada keripik kentang, wafer, daifuku, puding cokelat, dan seplastik permen masam.

Di belakang kasir duduk seorang wanita dengan rambut yang disasak tinggi, wajahnya yang dipenuhi kerutan tampak tidak ramah namun tangannya amat lihai ketika mengambil barang belanjaan Osamu untuk di-scan. Bunyi beep ketika satu per satu belanjaannya bergesekkan dengan mesin scan memenuhi suasana toko yang sunyi senyap. “Gak sekalian?” Wanita itu tiba-tiba bertanya, membuat Osamu terhenyak dari lamunannya. Ketika bola matanya ikut bergulir kemana wanita itu menunjuk, wajah Osamu langsung memerah. Wanita itu menunjuk ke arah sekotak alat kontrasepsi, kondom, pengaman, apapun itu namanya.

“H-huh?”

Wanita itu mengedikkan bahunya, namun, kini pandangannya jatuh ke luar jendela toko, mengarah kepada Sunarin yang tengah bersandar di pintu mobil dengan rokok yang mengepul. Osamu berdeham, berharap rasa malunya dapat ia tutupi dan hilang diterpa hembusan napasnya. Tanpa banyak kata, Osamu mengambil plastik belanjaannya, dengan sekotak pengaman di saku jaketnya.

“Kenapa? Kok merah gitu wajahmu?” Sunarin bertanya keheranan ketika mendapati Osamu berdiri di hadapannya dengan wajah bersemu. Bukannya menjawab pertanyaan yang dilayangkan sahabatnya itu, ia malah merogoh bungkus rokok dari saku celana Sunarin, mengambil satu batang dan menjempitnya di antara kedua belah bibirnya. “Korek, Rin.”

Alih-alih menyerahkan korek yang ada di genggamannya, Sunarin malah menangkup kedua pipi Osamu dengan jari-jari kurusnya. Dia menarik kepala Osamu mendekat, memposisikan puntung rokoknya yang menyala untuk menyentuh rokok Osamu. Osamu terkejut, matanya membelalak, fokus pada Sunarin dan api dari rokok milik pria itu yang mulai menjalar ke batang rokoknya sendiri. “This is better than using a lighter.” ucap Sunarin sambil melemparkan senyuman miring ke arahnya.

Osamu mendengus, ia pun ikut bersandar di sebelah Sunarin, menikmati bagaimana angin menerpa wajahnya dan asap memenuhi rongga paru-parunya. “Harus banget, ya, nyalain rokoknya begitu?”

Tak ada balasan dari Sunarin, hanya lengan yang tiba-tiba melingkar di pinggang Osamu, menariknya untuk mendekat, perlakuan yang membuat otaknya seketika konslet. Lengan Sunarin terus singgah di pinggangnya, menetap di sana, menyalurkan rasa hangat yang membuat jantungnya berdetak kencang hingga telinganya berdengung dan celananya mengetat. Osamu menduduk malu, sementara tangannya yang ia jejalkan di kantung jaketnya meremas kotak pengaman hingga buku-buku jarinya memutih.

145 km.

“Kalau mau minta bilang dulu, dong!” Osamu menyalak, ia berjalan menghampiri Atsumu yang tengah duduk di hadapan televisi dengan langkah yang menghentak-hentak. Manik keemasannya yang tadinya terfokus pada film yang diputar kini berpindah ke arah Osamu, menemukan bagaimana kembarannya itu melemparkan tatapan tajam, wajahnya memerah dan berantakan, sama seperti keadaan seragam kerjanya.

“Apa, sih, Sam?”

“Pudingku! Yang di kulkas, kamu yang makan, ‘kan?!”

“Yaudah, sih, biasanya juga aku minta.” Atsumu berkata dengan santai, mengabaikan bagaimana asap mulai mengepul keluar dari kepala Osamu. “Gak usah lebay gitu, deh.”

Osamu rasanya mau meledak. Setelah menghabiskan waktunya selama sembilan jam dibabukan dan dimaki oleh head chef di restoran tempatnya bekerja, Osamu hanya ingin beristirahat dan memakan puding kesukaannya. Begitu mendapati bagaimana kemasan puding cokelatnya sudah berakhir di tempat sampah, rasanya dia mau menangis, kepalanya berdenyut nyeri, dan Atsumu malah menyiramkan bensin ke api amarahnya. “Bisa gak jangan begitu?! Aku sisain itu buat aku makan!” Suaranya naik beberapa oktaf, ia berdiri di hadapan Atsumu, menghalangi layar televisi.

“Astaga, Sam, santai. Yaudah nanti aku beliin lagi. Kenapa, sih, kamu?”

“Aku capek! Di rumah malah makin capek!”

Atsumu pun bangkit dari posisinya, “Kamu kalau stress dan capek di tempat kerja jangan dibawa ke rumah, dong!” Jari telunjuknya mengacung ke arah Osamu, sementara iris karamelnya menyala akan emosi. “Tsumu! Kamu yang ikut-ikutan buat kesal, tahu, gak?!” Tak mau kalah, Osamu pun memangkas jarak di antara mereka dan mencengkram kerah baju Atsumu. “Kalau mau makan makanan punya orang lain itu bilang! Udah gede, gak tahu adab!”

“Apaan, sih?! Kamu kenapa jadi ngajak berantem?!”

“Aku sengaja sisain itu puding buat dimakan!”

“Yaudah, Samu, ‘kan aku bilang nanti aku ganti!” Atsumu ikut berteriak. “Gak usah berlebihan gitu!”

“Brengsek, lah! Gak nyenengin banget punya saudara!”

Osamu tersentak dari mimpinya. Matanya seketika terbuka dan Atsumu hilang dari hadapannya. Ia bisa merasakan bagaimana tangannya bergetar dan bulir-bulir keringat mulai jatuh menuruni pelipisnya.

“Sam? Kenapa?”

Suara Sunarin seolah air dingin yang menyirami sekujur tubuhnya yang berkeringat, detak jantungnya perlahan berubah normal, dan sosok Atsumu menghilang dari kepalanya. “Aku … mimpi.”

“Mimpi apa?”

Osamu menghela napasnya, ia menyenderkan kepalanya ke jendela mobil sambil memeluk dirinya sendiri. “Terakhir kali aku ketemu Atsumu, kita berantem.”

Pegangan Sunarin di kemudi mengerat, dengan hati-hati ia melirik ke arah Osamu. “Soal apa?”

“Sepele, puding. Gak tahu kenapa aku semarah itu. Padahal, bukan masalah besar.” jawab Osamu, Sunarin bisa menangkap nada penyesalan di antara kata-kata yang terucap. “Rin … aku kangen sama Tsumu. Dia lagi apa, ya? Dia kemana?” Suaranya keluar dengan bergetar. “Aku tadi beli puding cokelat, nanti kalau ketemu Tsumu mau aku kasih.”

Tidak ada balasan dari Sunarin, namun, tangannya meraih milik Osamu. Menggenggamnya dengan erat dan mengecupi setiap buku-buku jarinya dengan sayang.

287 km.

“Sam, let’s play 20 questions.”

Sunarin berkata. Kali ini ia duduk di kursi penumpang sambil menopang dagunya di tepian jendela mobil. Osamu yang sedang fokus menyetir sontak mengangkat salah satu alisnya tanda keheranan, “20 questions buat orang yang baru kenal. Kita ‘kan udah kenal bertahun-tahun, mau nanya apa lagi?”

“Yaa, apa aja. Daripada bosan.”

“Nyalain musik aja.”

Suna menggeram kesal, “Gak mau. Bosan.”

Memilih untuk mengalah, Osamu pun berkata, “Shoot. Kamu duluan.”

Sunarin tampak menimang pertanyaan, alisnya sedikit berkerut dan bibirnya mengerut tipis. Matanya menatap ke depan, seolah mencari jawaban di antara mobil yang lalu lalang. Tangannya secara perlahan menggosok-gosok dagunya, sebuah gerakan refleks ketika dia sedang berpikir keras. Pandangannya sesekali beralih ke arah Osamu, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat sebelum akhirnya ia bicara. “Who’s your first kiss?”

Seriously, Rin? What are you, twelve?”

Sunarin tergelak. “Jawab aja, sih.”

Osamu mengehela napasnya, ia tahu jawabannya nanti pasti akan membuat ego Sunarin melambung tinggi hingga ke angkasa. Ia berpikir untuk memanipulasi jawabannya, tapi ia urungkan. “Kamu. Pas kita masih kelas satu SMA, ingat gak?”

“H-hah? That was your first kiss?!” Sunarin memekik, Osamu bisa melihat bagaimana matanya yang berbentuk seperti mata kucing membulat lucu.

“Ugh … iya. Well, I’m sorry if I didn’t go around kissing random people. In fact, YOU were that random people who kissed me.” Osamu merengut, merasa malu karena mengingat bagaimana Sunarin menarik dirinya untuk mendekat dan menempelkan bibirnya di atas milik Osamu, di gimnasium tempat mereka biasanya latihan voli. Di antara bola-bola voli yang berserakan di lantai kayu gimnasium, net yang tergulung di kakinya, juga huru-hara teman tim mereka yang berada di luar bersiap untuk pulang – sama sekali tidak menyadari keduanya. Osamu juga masih ingat bagaimana telapak tangan Sunarin yang kasar dan jemarinya yang dibalut perban menangkup rahangnya, juga gigi mereka yang berbenturan dengan kikuk.

Suna tergelak, suara tawanya ringan dan wajahnya berseri. Melalui spion mobil, Osamu bisa menangkap bagaimana laki-laki itu memerah. “Astaga, Sam, kamu gak pernah bilang ke aku. Sorry, I couldn’t resist you back then.”

“Terus sekarang gimana? Udah bisa resist aku?”

Nope. Masih sama. I still am can’t resist you.

Osamu menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. “Giliran aku. Kenapa waktu itu kamu cium Atsumu pas pesta kenaikan kelas dua?” tanyanya. “I thought you said you couldn’t resist me. Does my brother also on your list of ‘random people that I can’t resist’?”

Sunarin mengerang dengan frustrasi. “Samu, argh, waktu itu gelap banget aku gak bisa lihat jelas terus aku kira Atsumu itu kamu!”

“Rambut kita beda, Rin. Masa kamu gak bisa lihat rambut Atsumu yang nyala terang begitu.”

“Sam, sumpah, aku kira itu kamu. Pas sadar tahunya itu Atsumu aku langsung malu sendiri, mana dianya malah ketawa lagi!”

“Lagian!” Osamu ikut tertawa dibuatnya. Dulu, saat ia melihat Sunarin berada di pojokan ruangan gelap dengan wajah kembarannya di dalam genggamannya, Osamu merasa sangat cemburu. Dia marah, dia pikir apa yang terjadi di antara Sunarin dan dirinya adalah sesuatu yang spesial. Namun, seiring berjalannya waktu, Osamu akhirnya sadar kalau dulu Sunarin bertindak bodoh, ditambah dengan penglihatannya yang kacau. “Lucu banget kalau diingat-ingat.”

“Udah! Sekarang giliran aku. Hmm, kamu pikir Kiyoomi orangnya kayak gimana?”

Mendengar nama kekasih dari kembarannya keluar dari mulut Sunarin, Osamu sontak terdiam memikirkan jawabannya. “Awalnya, aku ragu dia sama Tsumu. Soalnya mereka bertolak belakang banget. Tapi, ternyata, emang cuma dia yang bisa kontrol Tsumu biar gak kayak hewan liar. He always looks so happy when being around Tsumu, and I think that’s enough for me.”

You’re right. What a strange guy, but actually a very nice and gentle soul. He’s just shy and stupid at socializing.” Ucapan Sunarin dibalas dengan anggukan oleh Osamu. “Oke, sekarang giliran kamu lagi, Sam.”

Osamu terdiam, menelan kuat-kuat air liurnya dan menghembuskan napasnya dengan kasar. “Kita ini ngapain, Rin?”

“Huh?”

“Kita ini apa? Kita ini ngapain dari SMA? Mau sampai kapan?”

Pertanyaan Osamu dibiarkan menggantung di udara tanpa ditemani satu jawaban pun. Setelah beberapa menit keheningan yang menyesakkan, Sunarin berkata; “Stop the car.”

291 km.

Osamu bisa merasakan tubuhnya terhimpit di kursi belakang mobil, napasnya berderu, dan matanya terpejam. Sunarin berada di atasnya, napas panas pria itu menerpa wajahnya layaknya mesin uap, sementara mulutnya sibuk menjelajahi leher Osamu dengan lidahnya yang basah dan hangat. Osamu melenguh panjang, kakinya mengenjang saat Sunarin menarik pinggulnya agar tubuh mereka semakin mendekat, lengket dan menempel seperti perangko. Osamu pun mengalungkan kakinya di sekeliling pinggang Sunarin, menyebabkan ereksi mereka saling berbenturan.

“Rin …”

“Hmm?”

“Kita di tengah jalan …”

“Sepi, kok.” Sunarin menjawab dengan wajah yang terbenam di ceruk leher Osamu. Suaranya serak dan kental akan nafsu, tangannya menyusuri tubuh laki-laki berambut cokelat gelap itu dengan sentuhan seringan bulu kemoceng. Kulit Osamu meremang dibuatnya, apalagi saat telapak besar milik Sunarin menyelip masuk melalui baju yang ia kenakan, membuat kontak langsung dengan perutnya yang telanjang. “Aahh … Rin.”

Why did you ask me such question? Tanya kita ini apa? Bukannya perlakuan aku ke kamu selama ini udah ngejawab semuanya?” Sunarin bertanya sambil mengabsen setiap tanda lahir yang ada di tubuh Osamu dengan gigitan-gigitan kecil. Menggigit, menyesap, dan menghisap setiap inci tubuh laki-laki itu hingga memunculkan tanda merah. Saat ini, Sunarin berlagak layaknya seorang pelukis handal sementara tubuh Osamu adalah kanvas kosong yang terhampar di hadapannya.

Osamu mengerang, “Angh … I want label, Rin. Komitmen, bukan apa yang kita punya sekarang.” Osamu berkata di antara napasnya yang makin tersengal. “Aku mau yang eksklusif, bukan yang kayak gini.”

Such a demanding man you are, baby.” Suna tertawa kecil, kembali melanjutkan menjelajahi tubuh Osamu dengan mulutnya. Jari-jemari miliknya menarik baju yang Osamu kenakan hingga batas lehernya, kemudian menurunkan kepalanya dan menghisap di sekitaran aerola Osamu. Mendapat perlakuan seperti itu, Osamu sontak mendesah keras, kata-katanya berubah menjadi racauan tak berarti, dan otaknya lumer hingga berubah bentuk menjadi bulir-bulir peluh yang menjatuhi pelipisnya. “You want to be my lover, is that so?”

Osamu mengangguk heboh. Ia mencengkram helaian cokelat milik Sunarin di antara jemarinya bergetar. Sunarin mengangkat kepalanya, meninggalkan area dada Osamu yang membengkak dan memerah, kemudian bergerak untuk kembali mencumbu bibirnya yang terbuka. Kali ini, ciuman mereka dihadiri oleh benturan gigi dan lidah yang saling berdansa. Osamu melenguh, Sunarin menggeram. Saat merasakan oksigen mulai menipis dan paru-parunya terasa terbakar, Sunarin memutuskan cumbuan mereka, meninggalkan benang air liur tipis di antara keduanya.

“Aku kira kamu gak pernah mau buat ngasih label di hubungan kita, Sam.”

“Kenapa … kenapa kamu pikir begitu?”

I don’t know. It’s just sometimes you feel so close, and then when I could finally reach you, you’re gone. So close, yet so far away.” jawab Sunarin, masih sambil menatap Osamu dengan sayang. Osamu, yang terbaring di bawahnya, menggigit bibir bawahnya yang bergetar. “Aku takut, Rin.”

“Kenapa?”

Relationship never ends well, at least from what I’ve seen. Orang tuaku contohnya. Kalau kita pacaran, terus putus, bukan cuma aku kehilangan pacar tapi juga sahabat. Aku takut … banget. Maaf, Rin,” Ada jeda di suaranya. Osamu menarik napas dalam-dalam, “Aku gak mau kehilangan kamu. Tapi aku sadar, kalau kamu gak jadi milikku sepenuhnya, aku juga bisa kehilangan kamu karena orang lain.” Osamu mengelus pipi pria mengurung tubuhnya itu dengan lembut, matanya berkaca-kaca dan Sunarin bisa melihat bayangannya sendiri manik gelap milik Osamu.

“Oh, Sam, I will never leave. Never.”

Mendengarnya, Osamu bisa merasakan bagaimana matanya mulai memanas dan napasnya tercekat di tenggorokan. “Rin, would you make love to me?”

Of course, but not here. I don’t want our first time – your first time – to be in a car.” Sunarin pun menarik Osamu ke dalam dekapannya, menyanderanya di sana, dan mengukung tubuhnya yang bergetar di dalam kehangatan. Langit di luar terlihat mulai menggelap, namun, matahari dalam diri Osamu baru mulai terbit setelah sebelumnya mengalami malam yang panjang.

306 km.

Mereka tidak melakukannya. Sekotak pengaman yang dibeli Osamu tergeletak dengan menyedihkan di atas dashboard mobil, keberadaannya seolah mengejek Osamu. Ketika kepalanya tidak lagi ditutupi kabut nafsu dan kewarasannya telah kembali sepenuhnya, Osamu menyesali semua perkataannya beberapa menit lalu. Potret mengenai dirinya berucap dengan begitu vulgarnya dan merintih keenakan tidak bisa ia hapus dari pikirannya, Osamu rasanya ingin membenturkan kepalanya ke jendela mobil hingga lupa ingatan.

Di sebelahnya, Sunarin kembali duduk di belakang kemudi, wajahnya tampak netral seolah dia tidak baru saja membuat Osamu nyaris kehilangan kewarasannya. Seakan tubuhnya bergerak sendiri, Osamu membawa jarinya untuk menelusuri lehernya, mengabsen setiap tanda yang diberikan oleh Sunarin. Matanya melirik ke arah spion mobil dan membelalak saat menangkap bagaimana lehernya dipenuhi oleh warna merah gelap yang kini juga mulai menjalar ke pipinya yang panas. Lagi-lagi, kepalanya memutar kejadian di mana Sunarin menghimpit tubuhnya di kursi belakang layaknya sebuah kaset rusak. Osamu berteriak dalam batinnya.

“Kenapa, Sam? You look troubled.” Suara Sunarin membuyarkan lamunannya, menariknya dari kepalanya sendiri. Osamu melirik sekilas ke arah pria di sampingnya dan sesuatu yang mengganjal di rongga dadanya terasa semakin berat, mendorong diagframanya dan membuatnya seketika sesak, sebuah afeksi yang berubah menjadi asfiksia. Setelah bagaimana Osamu mencurahkan seluruh isi hatinya, mengatakan bagaimana ia menginginkan komitmen dan label di antara keduanya, Sunarin masih juga tidak memberikannya.

300 kilometer telah dilalui, menit bergulir menjadi jam, dan matahari turun dari tahtanya digantikan purnama, Osamu dan Sunarin masih sepasang sahabat dengan bibir bertautan dan hati yang tarik ulur.

“Gak ada, Rin.”

But then again, Osamu didn’t want to blame him for the messed-up situation between them. Then again, those three words were never spoken. Then again, everything always ended up in a heated scene with lips, teeth, tongue, and the absence of the words “I love you.”

327 km.

“I wish you were never born.”

Osamu terpaku di tempatnya berdiri dengan bibir yang terkatup rapat. Kalimat tersebut meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa dipikir terlebih dahulu. Wajahnya yang memerah karena amarah langsung berubah pucat, tubuhnya seketika dingin dan diliputi penyesalan. Jari-jemarinya menusuk telapak tangannya hingga memerah dan Atsumu berdiri di hadapannya dengan sorot mata terluka. “Tsumu –” Osamu ingin sekali menarik kata-katanya kembali, menjelaskan bagaimana ia tidak bermaksud demikian, ingin sekali bersimpuh di hadapan Atsumu dengan permohonan maaf yang menggantung berat di bibirnya.

“Kenapa ngomong gitu, Sam?” Suaranya keluar dengan bergetar dan hati Osamu rasanya seperti diremas hingga berdarah.

“Aku gak –”

“Cuma karena puding … sampai kayak gitu, Sam?”

Osamu mengalihkan pandangannya, menolak melihat bagaimana Atsumu tampak tersakiti. Ia mengacak rambutnya frustrasi. “Gak gitu, Tsumu. Maaf, aku emosi.” Ia berkata dengan lirih, punggungnya yang merosot masih menghadap ke arah kembarannya, sementara matanya tertuju pada tempat sampah berisi kemasan puding cokelat yang menatapnya seolah mengejek.

Sunyi mengambil peran di antara keduanya, sebelum Atsumu berkata dengan dingin, “Aku tahu kamu stress di tempat kerjamu, jadi, kita ngomong besok lagi, ya? Aku mau tidur. Besok aku ganti pudingmu.”

Setelahnya Atsumu menghilang dari ruang keluarga menuju ke kamarnya sendiri. Setelahnya, Osamu tidak pernah lagi melihat sosoknya, karena kita fajar menyingsing, laki-laki itu hilang entah kemana bersamaan dengan absennya mobil Ibu mereka dari garasi. Meninggalkan sebungkus puding cokelat di atas meja makan dan selembar kertas bertuliskan ‘maaf’.

Ketika Osamu kembali membuka matanya, ia merasakan jejak air mata di pipinya yang mulai mengering. Ia melenguh, berusaha mengusir kantuk dari pelupuk matanya dan wajah tersakiti Atsumu dari pikirannya. “Maaf, aku ketiduran.” ucapnya. “Mau gantian nyetir, Rin?”

Alih-alih menjawab, Sunarin malah memandangnya dengan senyuman sendu yang terukir di wajahnya. Pria itu mengulurkan tangannya, menyeka bekas air mata di wajah Osamu dengan jarinya yang dingin. “Kenapa, Sam? Atsumu lagi?”

I said terrible things to him before he went away.” Osamu tersenyum masam. Ia masih bisa merasakan bagaimana rasa penyesalan bersarang di dadanya dan menggerogotinya dari dalam. “Aku cuma mau minta maaf.”

“Bukan salahmu, Sam. I’m sure he forgives you already.

Osamu berhadap demikian.

377 km.

Keduanya menepi di salah satu rumah makan ramen di tepi jalan. Cahaya neon yang menyilaukan mata berpendar menyebalkan, menemani Osamu dan Sunarin yang sibuk mengunyah pesanan masing-masing. Di hadapan mereka, foto Atsumu yang menyengir lebar dengan semangkuk ramen di tangan terpajang di sebuah papan dengan tulisan ‘Winners of the Spice Challenge’.

“Masih ada aja fotonya.” kata Sunarin sambil terkekeh pelan. Mendengarnya, tawa ikut keluar dari dua belah bibir Osamu. Rumah makan ini merupakan langganan mereka kalau sedang melakukan road trip, berada di tepi jalan dengan plang nama yang dihiasi lampu neon.

Beberapa tahun lalu Atsumu melakukan sebuah tantangan untuk menyantap semangkuk ramen dengan tingkat kepedasan paling tinggi. Dengan iming-iming hadiah uang tunai dan foto yang dipajang di dinding resto, laki-laki bersurai pirang itu berhasil menyelesaikan tantangannya walaupun setelahnya harus berakhir mengenaskan di rumah sakit karena pencernaan yang bermasalah.

“Dia suka banget ke sini, Rin. Aku kira bakal ketemu dia di sini.” Osamu berucap dengan nanar. Ramen di hadapannya tidak lagi terasa nikmat, rasa kuah yang gurih berubah pahit, perutnya bergejolak dengan tidak nyaman dan mendorong perasaan mual untuk naik ke tenggorokannya.

Ia bisa mendengar bagaimana Sunarin menghela napas di sebelahnya. “Jangan terlalu dipikirin, Sam.”

“Aku mau ke toilet.” pamit Osamu. Ia bangkit dari posisinya dengan terburu-buru dan melangkah menjauhi booth menuju toilet yang terletak di bagian belakang resto.

Sesampainya di sana, Osamu terdiam di depan wastafel dengan wajah yang basah karena dibasuh air. Ia melihat bagaimana refleksinya di cermin terlihat berantakan dan menyedihkan, matanya masuk ke dalam dan kosong, bahunya merosot, dan jantungnya berdenyut nyeri ketika melihat Atsumu dalam refleksinya sendiri. Ia kembali membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bahwa kesedihannya akan hilang tersapu tetesan air. Ketika Osamu mengangkat kepalanya, ia menangkap sekelebat bayangan dengan rambut sewarna jerami melewatinya begitu saja. Osamu tersentak, tanpa ia sadari kakinya melangkah dengan terburu-buru mengekori sosok tersebut.

Osamu terus berlari hingga ke parkiran, napasnya tersengal, dan jantungnya berdegup dengan kencang karena antisipasi. Maniknya bergerak dengan liar mengobservasi sekitarnya, berusaha mencari sosok yang menyerupai kembarannya di antara beberapa kendaraan yang terparkir. Ia terdiam di sana seperti orang dungu, angin malam yang dingin terasa menusuk hingga ke tulang, dan Atsumu tidak ada di sana. Ia sendirian, memeluk dirinya sendiri.

“Sam? Ngapain?” Ia bisa mendengar bagaimana Sunarin muncul di belakangnya. Suaranya terdengar panik dan keheranan. “Aku lihat kamu tiba-tiba lari ke parkiran.”

“Tadi aku lihat Tsumu … tapi tiba-tiba hilang.”

Atsumu had started disappearing before Osamu even knew it, as if he was never existed before.

392 km.

Nada sambung telepon yang konstan terus terdengar dari speaker ponselnya. Nama Kiyoomi yang tertera di layar ponsel terus berkedip tanpa jawaban. Osamu menggeram kesal ketika lagi-lagi panggilannya dialihkan ke kotak suara. Ia melemparkan ponselnya ke dashboard dengan frustrasi, menarik perhatian Sunarin di sebelahnya.

“Aku telepon Kiyoomi gak diangkat terus.”

Of course.”

What do you mean of course?”

Sunarin menghembuskan napasnya dengan kasar, “Ya, kamu tahu gimana Kiyoomi.” Perkataannya yang ambigu menggantung di udara tanpa penjelasan lanjutan. Osamu kembali termangu di tempatnya, berharap kursi penumpang yang ia duduki dapat menelan figurnya bulat-bulat hingga menghilang dan membawanya ke tempat di mana Atsumu berada. Entah di mana.

418 km.

Osamu menyenderkan kepalanya di bahu Sunarin dengan lunglai, berat tubuhnya sepenuhnya bertumpu pada laki-laki itu. Mereka duduk di kursi belakang mobil dengan jendela mobil yang terbuka, angin malam menghembuskan udara dingin yang sedikit mengusik. Mobil mereka menepi setelah berkunjung ke sebuah tempat pengisian bahan bakar, dan sekarang berhenti di area peristirahatan. Asap rokok yang mereka hisap melayang-layang di udara, menciptakan pola-pola abstrak yang segera lenyap tertiup angin. Osamu menarik napas dalam-dalam, merasakan asap memenuhi rongga paru-parunya dan kehangatan yang dipancarkan dari tubuh Sunarin.

Relationship also never ends well in my perspective.” Sunarin tiba-tiba berkata, memecahkan kesunyian di antara keduanya. Osamu mendongakkan kepalanya, mengamati wajah rupawan Sunarin yang tampak sendu dalam cahaya redup. Garis-garis kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya, dan mata Sunarin yang biasanya tenang kini menyiratkan kegundahan yang mendalam. Angin malam membawa suara dedaunan yang bergesekan, namun fokus Osamu sepenuhnya tertuju pada Sunarin, menunggu kata-kata berikutnya yang mungkin bisa mengungkapkan rahasia di balik pikiran pria itu. “Orang tuaku emang masih sama-sama, tapi mereka tengkar terus dari aku kecil sampai sekarang. Maksud aku, Sam, if you fight a lot why wouldn’t you get a divorce and spare your children from misery?”

Perkataannya keluar dengan nanar, dan Osamu pun mengalungkan lengannya di pinggang laki-laki itu, menariknya untuk mendekat. Seperti sebuah kebiasaan, Sunarin melingkarkan lengannya di leher Osamu, menempatkan dagunya di atas surai gelap laki-laki dalam dekapannya, dan membiarkan kepala Osamu jatuh bersandar di dadanya. Sunarin menghela napas panjang, sementara Osamu mendengarkan detak jantungnya yang stabil, seolah mencari ketenangan di tengah badai yang berkecamuk di pikiran mereka. Angin malam menyapu lembut, membawa aroma tembakau yang melayang di udara.

“Apa itu salah satu alasan juga kamu takut buat berkomitmen?” Osamu bertanya dengan pelan.

Ia bisa merasakan bagaimana Sunari mengangguk di atas kepalanya. “Iya, Sam. Bagaimana kalau kasih sayang berubah jadi kebencian dan janji-janji kosong? Bagaimana kalau kita jadi saling nyakitin? What if love is not enough?” Sunarin berkata dengan parau.

Love is never enough, Rin.”

I know. Sucks. Like, why does it even exist if it’s never enough?”

Osamu menggigit pipinya dari dalam, menimang kata-kata yang memenuhi kepalanya dan terasa berat di ujung lidahnya, berusaha mendobrak rongga mulutnya agar terbuka dan mengatakan apa yang ingin selalu ia katakan. “It’s never enough because it has to co-exist with something else. Commitment, trust, communication, endless tries, effort, or whatever. Cinta itu emang gak bisa berdiri sendiri, Rin. Walaupun lingkunganku hubungan percintaannya gak ada yang benar, aku percaya, sih, cinta itu beneran ada dan bakalan tetap ada kalau diperjuangin.”

Mendengarnya, Sunarin tergelak pelan. “You’re so naive. What makes you say things like that, huh?”

Because … because I exist and I’m full of love. Because you exist and you’re full of the love I always give you. Because I love you, Rin.”

Osamu memejamkan matanya, menolak untuk melihat reaksi Sunarin terhadap kata-katanya yang keluar begitu saja. Lengannya yang melingkar di pinggang Sunarin semakin menguat, ia meremas jaket yang pria itu kenakan karena rasa cemas mulai menelan dirinya dengan perlahan. Tidak ada balasan darinya dan jantung Osamu rasanya merosot hingga jatuh ke lutut.

Osamu sudah siap untuk menarik dirinya dari pelukan Sunarin, kemudian menggali lubang dan mengubur dirinya sendiri di dalam sana ditemani dengan rasa malu dan kesedihan. Namun, tiba-tiba, Osamu merasakan bagaimana dagunya ditarik ke atas untuk mendongak. Ketika ia membuka mata, Osamu menangkap senyuman lembut di wajah Sunarin yang memandanginya dengan penuh sayang. Sunarin mendekatkan wajahnya, dan sebelum Osamu sempat menyadarinya, bibir mereka bersentuhan.

“Osamu, look at you, comforting others with the words you always wanted to hear.” Sunarin memutuskan tautan mereka, memberi jeda dalam perkataannya. “I love you too, Sam. It took us this long to say it, huh?” Kemudian ia kembali menarik Osamu ke dalam ciuman.

458 km.

“Halo, boyfriend.”

Osamu menenggelamkan wajahnya di antara tangannya yang bertumpu di kemudi saat mendengar bagaimana Sunarin memanggilnya. Senyuman terdengar dari suaranya dan perut Osamu rasanya bergejolak dengan geli. Saat manik gelapnya bergulir ke arah Sunarin, ia menangkap bagaimana wajah laki-laki berseri, senyumannya lebar hingga ke telinga, pipinya terangkat dan matanya menyipit jenaka. “Apa kabar, boyfriend?” Sunarin melanjutkan dengan nada bercanda, tangannya meraih bahu Osamu dan menggoyangkannya pelan.

Osamu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya masih merah padam. “Jangan panggil aku begitu,” gumamnya dengan malu-malu, tapi senyuman kecil tetap terukir di bibirnya. Ia mendorong Sunarin dengan main-main, bermaksud menghentikan bagaimana laki-laki itu terus menggodanya.

Melihat reaksi Osamu, ia tergelak pelan dan berusaha menyembunyikan tawanya di balik tangannya. “You were so confident back then, what happened now?”

Shut up, Rin. I’m driving.”

Hubungan keduanya layaknya sebuah permainan tarik tambang yang berlangsung selama bertahun-tahun, sejak masa SMA di mana mereka terus-menerus menarik dan mengendurkan tali yang menghubungkan keduanya, seakan-akan tidak ada akhirnya. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mengorbankan pertemanan untuk percintaan. Namun, pada akhirnya, tali itu putus dan memangkas jarak di antara mereka. Digantikan dengan sesuatu yang baru, sebuah benang merah yang diikat di kelingking masing-masing, menghubungkan kedua hati mereka yang saling bertaut. Osamu dan Sunarin tidak lagi berdiri di sisi yang saling berlawanan, kini keduanya berjalan beriringan.

“Samu, jawab! How are you feeling right now, boyfriend?”

Osamu menghela napasnya, memilih mengalah dan mengikuti permainan laki-laki itu. “Never been happier,” Ia berkata, kemudian menolehkan pandangannya ke arah Sunarin, memandangnya dengan sayang. “Boyfriend.”

486 km.

Suara sambungan telepon terdengar konstan, kontras dengan detak jantungnya yang berdegup kencang dan tak beraturan, seakan seseorang sedang memalu di dalam rongga dadanya. Osamu berjalan mengitari ruang keluarga dengan ponsel yang ia genggam erat-erat. Langkahnya tak beraturan dan menghentak, sementara harapannya ia gantungkan di setiap dering telepon yang bergema di telinganya.

“…..”

“Tsumu! Kamu di mana?” Osamu bisa merasakan bagaimana rasa lega mulai membanjiri dirinya ketika panggilannya di angkat. Terdengar suara kendaraan yang lalu-lalang di seberang, juga suara Atsumu yang samar-samar. “Tsumu?”

“….. Sam, …. sebentar. Nanti … Sam, … pulang. Tokyo …. Kiyoomi.”

“Tsumu? Apa? Aku gak dengar.”

Suara kendaraan semakin terdengar kencang menelan perkataan Atsumu hingga semuanya berubah sunyi dan Osamu terbangun dari tidurnya.

Ketika Osamu membuka mata dan kembali kepada realita, ia mendapati Sunarin duduk di belakang kemudi, tangannya yang bergetar berada dalam genggamannya, dan kenyataan pahit menghantamnya layaknya sebuah truk tronton. Osamu forgot how Atsumu’s voice usually rang in his head.

507 km.

This is Atsumu, call me back after beep! Or don’t, because I’m busy. Call my brother instead, that if you have his number.

Beep.

This is Atsumu, call me back after beep! Or don’t, because I’m busy. Call my brother instead, that if you have his number.”

Beep.

This is Atsumu, call me back after beep! Or don’t, because I’m busy. Call my brother instead, that if you have his number.

Beep.

Sunarin meremas stir mobil hingga kuku-kukunya menancap di sana. Di sampingnya, Osamu terus menekan tombol panggilan yang menghubungkannya dengan nomor Atsumu dan setiap panggilannya dialihkan ke kotak suara. Suara Atsumu mengisi keheningan di antara keduanya, Sunarin mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mengalihkan pandangannya, menolak melihat bagaimana Osamu menangis dalam diam.

“Rin … I forget his voice.” Osamu berkata dengan suara yang bergetar dan Sunarin rasanya ingin melempar ponsel milik pria itu ke luar jendela.

This is Atsumu, call me back after beep! Or don’t, because I’m busy. Call my brother instead, that if you have his number.

Beep.

516 km.

Sunarin menginjak rem dengan tiba-tiba, membuat tubuh Osamu yang duduk di kursi penumpang terlonjak ke depan dan menghantam dashboard. Ia memekik, sontak melayangkan tatapan tajam ke arah Sunarin. “Rin, kenapa, sih?! Kenapa berhenti tiba-tiba?!”

“Sam, udah ya. Kita pulang.” katanya dengan keras, tidak meninggalkan ruang bagi Osamu untuk membantah. Kepalanya berdenyut nyeri dan hatinya rasanya seperti diremas hingga berdarah lalu dijatuhkan ke lantai sampai pecah berkeping-keping. “Udah, Sam. Stop. We have to go back home. This is ridiculous.

“Kenapa? Kita udah mau sampai! Tsumu pasti ada di tempat Kiyoomi, kenapa pulang?!” Osamu berkata dengan tidak terima. Lengannya menahan milik Sunarin yang hendak memutar kemudi untuk berbalik. Sunarin mengacak rambutnya frustrasi, “Udah, Sam. Stop.”

“Rin! Kita udah jauh-jauh masa mau pulang gitu aja?!”

“Sam –”

“Aku mau kasih puding cokelatnya ke Tsumu.”

“Sam –”

“Aku mau minta maaf … jangan pulang. Kamu gila, ya?”

Suara Osamu terus berdering dengan memuakkan di telinganya, memenuhi kepalanya yang berkecamuk, dan memantik api amarahnya.

“Kamu yang gila! Atsumu is dead! He’s dead, Sam! Stop this madness! He’s dead!” Perkataannya keluar begitu saja tanpa dipikir. Sesuatu yang mengganjal dalam dadanya semenjak keduanya meninggalkan Hyogo seolah lepas dan membuat Sunarin kembali bisa bernapas dengan normal. “Dia udah gak ada, Sam. Udah dua tahun. Makanya kamu mulai lupa suaranya … Sam, let him go. Kamu gak bisa terus-terusan anggap dia masih hidup.” lirihnya, berusaha untuk memukulkan akal sehat ke dalam kepala kekasihnya.

Osamu menangis, kali ini dengan suara yang keras dan penuh rasa sakit. Kepalanya tenggelam di antara telapak tangannya, air mata membasahi wajahnya, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya gemetar. Melihat hal itu, Sunarin segera melepaskan seatbelt yang dikenakannya dan menarik Osamu ke dalam pelukannya, berusaha memberikan kehangatan kepada tubuhnya yang dingin. “Rin …” Ia terus terisak, perkataannya berubah menjadi tidak koheren karena ditelan air mata, kata ‘maaf’ dan ‘Tsumu’ dan ‘kangen’ terus meluncur dari belah bibirnya yang ia gigit keras-keras.

“Sam, none of this is your fault.”

“Dia pergi dari rumah karena kita berantem, dia mau ngasih aku ruang biar aku gak tambah marah. He crashed his car because I called him, Rin, gimana bukan salah aku?”

Dua tahun lalu, mobil yang dikendarai Atsumu menabrak pembatas jalan hingga terpental. Setelah pertengkarannya dengan Osamu, ia memilih untuk pergi mengunjungi kekasihnya di Tokyo, beralasan untuk memberikan Osamu sedikit ruang agar pertengkaran mereka tidak berlarut-larut. Setiap peringatan hari kematiannya, Osamu dan Sunarin selalu mengemudi dari Hyogo ke Tokyo, berusaha memungut setiap keping kenangan yang ditinggalkan Atsumu, bermain peran seolah pemuda itu masih hidup, berpura-pura untuk mencarinya dan pulang dengan tangan kosong. Osamu terus menyahlahkan dirinya sendiri dan Sunarin tidak sampai hati untuk tidak ikut berperan dalam panggung sandiwara yang pria itu dirikan.

Lampu mobil berkedip dengan menyedihkan, menerangi jalan yang gelap ditelan langit malam. Osamu masih menangis dalam pelukan Sunarin dan kalimat penenang terus terlontar dari bibirnya.

On Atsumu’s death anniversary, Osamu always used the road trip as an excuse to find Atsumu, but in reality, it was a getaway from the reality that he had died in a car crash. His brother had already died in the accident. Osamu was riding, crying, dying, and ultimately saying goodbye in the getaway car.

END.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

No responses yet