July 25th
“Tsumu! Kenapa, sih? Kalau mau ngeluh jangan depan Mama, deh.”
Atsumu yang tengah berguling-guling di atas tatami sontak menengok ke arah Ibunya yang sedang sibuk melipat baju sambil menonton saluran berita di televisi. Mendengar omelan Ibunya, ia tambah merengek dan mengerang, menenggelamkan dirinya dalam kesedihan. “Ma, jahat banget sama anaknya sendiri.” gerutunya, bibirnya mencebik sementara jari-jemarinya memilin ujung baju Ibunya, menarik beberapa benang hingga lepas sebelum ditepis oleh wanita paruh baya itu. “Rusak nanti baju Mama, astaga. Kamu kayak anak kecil aja.”
“Maaaa,”
Tidak ada respons dari Ibunya, ia lebih memilih untuk pura-pura tuli ketika rengekkan anaknya itu kembali mengambil peran di antara keduanya. Kesedihan Atsumu sebenarnya memiliki alasan kuat dan sudah seharusnya Ibunya itu memberikan sedikit empati. Saudara kembarnya, Osamu, yang kini berada di Paris karena mendapatkan beasiswa penuh untuk menghadiri sekolah kuliner ternama dunia, Le Cordon Bleu, tidak bisa pulang seperti biasanya karena satu dan dua hal. Atsumu tentu saja merasa kecewa dan sedih saat mendengarnya, rumah mereka yang biasanya ramai saat musim panas terasa kosong dan memuakkan. Atsumu rindu sekali dengan Osamu tapi dia tidak mau mengakuinya di hadapan laki-laki itu.
“Maaa, Samu suruh pulang.”
“Suruh pulang gimana, Nak? Dia di sana sekolah, lho. Doain aja biar cepat selesai terus pulang ke sini, bangun restoran sendiri atau jadi chef di hotel bintang lima.”
Atsumu tambah cemberut. Ia kembali berguling-guling di atas tatami dengan menyedihkan, berharap permukaannya yang keras dapat menelannya dan mengirimkannya ke tempat di mana Osamu berada. Selama sembilan belas tahun hidupnya, Atsumu tidak pernah menghabiskan waktu musim panas tanpa Osamu, ia selalu menempel di sisi kembarannya itu karena ia menolak membuang-buang waktunya berkumpul dengan orang lain (“Itu mah elu emang gak punya teman aja, loser.” Suara Osamu yang menyebalkan terdengar di dalam kepalanya).
Atsumu larut dalam pikirannya sendiri sampai ia merasakan sesuatu jatuh menimpa wajahnya. “Apaan sih, Ma?” Ia berkata dengan sebal seraya mengambil sebuah amplop dan brosur yang Ibunya lemparkan, mendarat tepat di atas wajahnya. Dahinya mengernyit dengan heran begitu melihat ‘Kamakura’ dan ‘resort’ yang tertulis di lembaran brosur. “Kamakura?”
“Mama ikut undian di tempat kerja terus menang. Dapat hadiah liburan ke Kamakura, udah termasuk akomodasi sama penginapan.” kata wanita itu, masih dengan mata yang terpaku pada layar televisi. “Mama malas ke sana, ada kerjaan juga jadi gak bisa. Mending buat kamu aja daripada di rumah.”
Atsumu lantas bangkit dari posisinya, “Mama ceritanya ngusir aku?” Ia berkedip, berharap gurat-gurat kekesalan yang mampir di wajahnya dapat menghilang bersamaan dengan kedipan matanya.
Terdengar helaan napas dari sisi Ibunya, sebelumnya pertanyaannya dihadiahi tepukan di belakang kepalanya, Atsumu meringis sambil mencebikkan bibirnya. “Gak gitu! Dasar. Sana kamu liburan ke Kamakura, cari teman, cari kegiatan.” Ibunya berkata, kali ini matanya tak lagi berada di layar televisi, netra kecokelatannya yang serupa dengan milik Atsumu menatap lamat-lamat ke arah anak laki-lakinya yang masih memasang wajah masam. Ketika pandangan mereka bersirobok, Atsumu menangkap beberapa macam emosi yang terpantul dari iris Ibunya – kesepian dan rindu karena Osamu tidak pulang, juga kasihan melihat kesendirian Atsumu.
Atsumu mendengus lalu mengalihkan pandangannya, “Ini liburannya berapa lama?”
“Sepanjang musim panas, sampai Agustus.”
July 27th
Atsumu tidak seharusnya menuruti perkataan Ibunya. Mencari teman berada di bagian paling bawah daftar keahliannya, teman sebayanya seringkali bergosip di belakang punggungnya (Osamu yang memberitahunya) karena mereka berpendapat bahwa Atsumu memiliki kepribadian yang tidak begitu menyenangkan, cenderung menyebalkan dan arogan. Atsumu tidak pernah peduli akan hal tersebut karena selama ini ia selalu memiliki Osamu di sampingnya, tapi kenyataan bagai menghatam tubuhnya ketika saudaranya itu absen dari kehidupannya. Atsumu itu sendirian, selalu sendirian. Cari teman dan cari kegiatan, dia tidak tahu caranya.
Dengan wajah merengut dan peluh yang membanjiri tubuhnya akibat udara musim panas, ia berjalan meninggalkan area stasiun kereta ditemani koper dan ransel yang berisi barang bawaannya. Matahari menggantung dengan tinggi di langit biru Kamakura, memancarkan sinar yang menyilaukan mata, membawa hawa panas yang menyebabkan baju yang dikenakan Atsumu menempel di tubuhnya seperti kulit kedua. Langkah kakinya menghentak-hentak ketika ia berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi beberapa turis, dan mulutnya sesekali melontarkan kalimat makian tiap kali roda kopernya tersangkut di permukaan jalan yang tidak rata.
Tempatnya menginap tidak berada jauh dari stasiun, sebuah bangunan yang berdiri menjulang menghadap hamparan pantai dengan arsitektur gaya tradisional Jepang. Hotel itu dipenuhi oleh turis lokal dan mancanegara yang berlalu-lalang, sementara bunyi serangga cicadas mengisi udara, memberikan nuansa musik alami.
“Woah,” Atsumu melongo, matanya terpaku pada hotel mewah nan megah yang entah bagaimana berhasil dimenangkan ibunya lewat undian di kantor. Kesan pertama hotel itu membuatnya terkesima, perlahan mengikis rasa penyesalannya karena menuruti titah Ibunya. Perasaan optimis mulai mengalir dalam dirinya, menggantikan keraguannya. Ia mulai yakin bahwa liburan musim panas ini akan menjadi waktu yang menyenangkan, semoga – pikirnya, harapannya memuncak seiring langkah kakinya menuju pintu masuk hotel.
“Ck, kenapa, sih?”
Langkahnya terhenti. Kepalanya menoleh ke arah mesin minuman otomatis yang berada di ambang pintu masuk hotel. Manik karamelnya memperhatikan seorang laki-laki sebayanya yang berdiri di hadapan mesin tersebut sambil menggerutu, jemarinya menekan beberapa tombol dengan serampangan, dan wajahnya yang masam ditutupi masker berwarna hitam. Di dalam hatinya, Atsumu mencibir, karena orang aneh mana yang pakai masker saat musim panas? Saat suhu hampir menyentuh 38 derajat?
Atsumu terkadang bertindak berdasarkan insting, tubuhnya bergerak tanpa sejalan dengan otaknya, karena sekarang, ia malah berjalan mendekati orang asing itu, meskipun isi kepalanya menyuruhnya untuk bersikap acuh. “Kenapa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya. Tidak ada jawaban, tidak ada respons, tapi Atsumu tahu kalau minuman pilihan pria itu tersangkut di dalam mesin. Atsumu mendecak, kemudian menendang mesin minuman dengan keras, menyebabkan beberapa kepala menoleh ke arah mereka, juga sebuah pekikan kecil yang terdengar dari laki-laki di sampingnya.
Sebuah minuman bersoda menggelinding keluar dari dalam mesin. Bunyi kaleng yang berbenturan dengan permukaan mesin mengisi kesunyian di antara mereka. “Minumannya itu nyangkut di dalam, next time tendang aja nanti juga keluar.” kata Atsumu, ia pun menunduk untuk mengambil kaleng berwarna merah itu dan menyodorkannya ke arah laki-laki di sampingnya. Tangan kanannya menerima minuman, sementara yang kiri menurunkan masker yang ia kenakan untuk menggumamkan kata terima kasih dengan pelan.
Atsumu terdiam, mematung seperti orang dungu, merekam wajah paling rupawan yang pernah ia lihat ke dalam otaknya. Laki-laki itu berdiri beberapa inci lebih tinggi darinya, wajahnya kecil (Atsumu merasa ia bisa menangkup keseluruhan wajah pria itu di dalam telapaknya) dengan tulang pipi yang tinggi juga rahang yang tegas, hidungnya mancung dan menukik seperti perosotan di taman bermain, dan matanya gelap layaknya tinta. Ekspresinya yang datar dibingkai oleh surai ikal sewarna arang yang biasa terlihat di dalam lukisan Sandro Botticeli, jatuh menuruni dahinya yang dilapisi peluh. Laki-laki itu sedikit membungkuk ke arahnya, sebuah ucapan terima kasih dalam diam, kemudian pergi menghilang dari hadapan Atsumu secepat ia datang.
Hari itu, seseorang dengan helaian ikal gelap muncul di dalam mimpi tidur siang Atsumu tanpa bilang permisi.
July 27th
Atsumu kembali bertemu dengannya ketika sore hari. Saat langit berubah warna menjadi jingga, ombak kecil menggulung membasahi pasir, dan matahari tenggelam dimakan hamparan lautan. Pria itu duduk di salah satu kursi santai sambil memeluk kakinya sendiri ditemani semangkuk es serut yang kosong setengah. Wajahnya terbenam di antara lututnya dan rambutnya (“Fuck, his hair, I want to bury my fingers in them.” Atsumu berteriak di dalam batinnya) diterpa angin pantai hingga berubah berantakan.
“Hai.” Atsumu tidak pandai berteman, dia tidak peduli dengan orang di sekitarnya, tapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk berkenalan dengan pria itu. Yang diajak bicara berjengit kaget, ia mengangkat kepalanya dan memandangi Atsumu dengan heran. Tanda tanya imajinatif seperti muncul di atas kepalanya yang miring ke samping dan Atsumu berusaha keras mengulum senyumannya. “Hai.” Lagi-lagi ia berkata, berusaha memancing respons dari lawan bicaranya.
“Hai … juga?”
Atsumu menjerit di dalam hati. Jantungnya berdegup dengan kencang hingga telinganya berdengung, warna merah mulai merambat naik ke pipinya. Suara pria itu masuk dengan sopan menyapa pendengarannya, walaupun intonasinya datar dan terkesan ketus sebab tidak ingin diajak bicara. “Sendirian aja?” Atsumu ingin sekali memukuli dirinya sendiri karena sekarang ia terdengar seperti orang genit yang menggoda gadis sekolahan di gang sempit dan gelap.
Laki-laki itu mengangguk, rambutnya melompat seirama dengan gerakan kepalanya. “Iya.”
Singkat, padat, jelas, stop ajak aku bicara.
Atsumu tersenyum lebar dengan binar mata yang memancarkan keramahanan. “Liburan sendirian?” Sebenarnya, Atsumu bisa melihat kalau laki-laki itu tidak ingin diajak bicara bila dinilai dari bahasa tubuhnya yang tampak tidak nyaman. Namun, Atsumu itu keras kepala, jadi ia mengabaikan semua sinyal-sinyal yang ada.
Orang asing itu menghela napasnya, kemudian meluruskan kakinya dan menjawab pertanyaan Atsumu, “Gak. Sama keluargaku.” Ia menatap ke arah Atsumu dengan mata bulat nan gelap layaknya bulan yang mulai mengintip menggantikan matahari.
“Oh, ya? Terus sekarang mereka kemana?”
“You won’t leave me alone, aren’t you?”
Pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lainnya yang menghunus telak ke jantungnya. Ouch. Atsumu meringis dan menggaruk tengkuknya dengan kikuk, ia menunduk guna menghindari tatapan menelisik laki-laki itu. “Sorry, just trying to make a conversation and … offering a friendship?” Suaranya keluar dengan ragu-ragu dan berubah pelan di akhir, kini ia merasa bersalah karena sudah mengganggu waktu seseorang yang jelas tidak ingin diganggu. Atsumu pun membungkuk sebagai simbol permintaan maaf, “Sorry, I’ll leave you alone then.”
“Friendship? We don’t even know each other’s names.”
Tungkainya yang hendak berjalan memutar untuk pergi meninggalkan pria itu lantas terhenti, “Makanya! Aku mau ajak kenalan.” Stop, Atsumu, leave him alone, suara di kepalanya menyuruhnya untuk pergi namun kakinya masih terpaku di hadapan pria itu.
“Buat apa?”
“Um, buat berteman?”
Laki-laki tanpa nama itu mendengus, ia menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan perkataan yang Atsumu lontarkan. Ia bangkit dari duduknya, menoleh ke arah Atsumu dengan senyuman tipis yang mampir di wajahnya. “Mungkin lain kali.”
Atsumu terdiam, memandangi punggung pria itu yang berjalan menjauh. Suaranya berdering di dalam kepala Atsumu sepanjang malam dan mengambil peran dalam bunga tidurnya.
July 28th
Paginya, ketika matahari kembali menduduki tahta di langit, Atsumu bertukar pesan dengan Osamu.
Atsumu [06.02]
Do you believe in love at the first sight?
Osamu [06.16]
Please, don’t embarrass yourself.
Atsumu membenamkan wajahnya di atas bantal, menjerit di sana hingga paru-parunya terasa sesak, berusaha mengusir bayangan orang asing yang tidak seharusnya menetap di pikirannya.
July 28th
“Hai, kita ketemu lagi.”
Semesta seolah menyodorkan pria tanpa nama itu ke wajahnya, memunculkan sosoknya di setiap tikungan area hotel yang luas, menampilkan figurnya di jarak pandang Atsumu tanpa ia minta. “Sekarang udah boleh kenalan?” Ia bertanya, menggantungkan harapannya di bayang-bayang lampu yang menghiasi lorong hotel.
Lagi-lagi gelengan yang ia dapatkan.
Waktu terus bergulir, menit berubah menjadi jam yang lambat laun berganti hari. Tiap kali mereka berpapasan, Atsumu selalu melontarkan pertanyaan yang sama, “Udah boleh kenalan?” yang selalu direspons dengan gelengan kepala.
“Udah boleh kenalan?”
“Mungkin lain kali.”
Lain kali. Orang itu keras kepala, tapi Atsumu jauh lebih keras kepala.
July 30th
Lain kali jatuh di hari Rabu pagi ketika ia berdiri di aula makan hotel dengan piring di tangan. Atsumu melihat laki-laki itu berdiri di depan salah satu meja yang menghidangkan makanan manis, tampak bingung memilah makanan penutup mana yang akan ia taruh di piringnya. Dengan hati-hati, Atsumu berjalan mendekati pria itu, berdiri di sampingnya dengan senyuman lebar yang terpatri di wajahnya. “Hai, pagi.”
“It’s seven in the morning and you’re already bothering me?”
Mendengarnya, Atsumu lantas terkekeh pelan. “Sekarang udah boleh kenalan?”
Seperti yang sudah-sudah, pertanyaan Atsumu dibiarkan menggantung di udara tanpa ditemani jawaban. Atsumu tidak mengharapkan apapun, ia pun mengambil kue cokelat dan hendak meninggalkan pria itu sendiri ketika sebuah nama asing menyapa telinganya hingga sukses menghentikan langkahnya.
“Sakusa Kiyoomi.”
Atsumu menganga, ia mencengkram pinggiran piringnya hingga buku-buku jarinya memutih. “Kiyoomi … oh, halo? Hai, um … salam kenal? Hai? Aku Atsumu. Miya. Miya Atsumu.” Ucapannya keluar seperti racauan orang dungu. Kiyoomi melirik sekilas ke arahnya, suara tawanya ia samarkan menjadi dengusan, “Halo, Miya.”
Malamnya, ia kembali memimpikan orang asing dengan rambut hitam legam seperti malam-malam sebelumnya, namun, kali ini Atsumu bisa mengaitkan nama pada sosoknya.
Sakusa Kiyoomi hadir di pikirannya, menyelinap masuk ke hatinya yang pintunya ia biarkan tidak terkunci untuk laki-laki itu, juga menetap di daftar kontaknya dengan nomor yang setiap malam selalu Atsumu lihat lamat-lamat hingga keberaniannya muncul di tengah malam saat alkohol mengalir di aliran darahnya.
Atsumu [01.04]
Halo, ini Miya Atsumuuuuu :D
Kiyoomi [01.23]
I know.
Atsumu menjerit di bantalnya dengan kaki yang bergoyang di udara layaknya gadis sekolahan.
August 3rd
“Hai, Omi.”
Kiyoomi mengernyitkan dahinya begitu nama panggilan itu terlontar keluar dari seorang pemuda dengan surai keemasan yang menyilaukan mata. Ia berdiri di hadapan Kiyoomi dengan bibir yang menukik ke atas membentuk sebuah senyuman, matanya berkilat dengan jenaka, dan langit senja di belakangnya berperan sebagai latar – sinar matahari menyirami tubuh pria itu dan mengubahnya menjadi sebuah siluet. Sore itu, Kiyoomi memutuskan untuk berjalan menyusuri pantai dan entah kenapa Miya selalu saja muncul di hadapannya.
“Miya. Are you following me?”
Laki-laki itu terbelalak kemudian menggeleng kuat-kuat, tangannya bergerak ke sana ke mari ketika menyanggah tuduhan Kiyoomi. “Gak! Sumpah!” Ia berkata dengan panik dan suara kekehan pelan keluar dari bibir Kiyoomi tanpa sempat ia tahan. “Aku gak ikutin, sumpah. Suer.”
Kiyoomi memilih untuk mengabaikan laki-laki itu dan melanjutkan langkahnya. Telapak kakinya yang telanjang menginjak hamparan pasir lembut, meninggalkan jejak-jejak sementara yang segera dihapus oleh sapuan lembut ombak. Dia memejamkan mata, membiarkan angin pantai membelai wajahnya, dan saat ia membuka mata kembali, Kiyoomi melihat sepasang kaki lain di sampingnya. Miya berjalan di sisinya dengan bibir yang terkatup rapat, langkahnya yang ragu-ragu menyusul jejak Kiyoomi, seperti bayangan yang tak ingin tertinggal.
“Omi – eh, boleh ‘kan panggil Omi?”
Seharusnya Kiyoomi tahu kalau laki-laki itu tidak bisa diam membisu barang satu menit saja.
“No.”
Miya mengerang dan Kiyoomi bisa merasakan laki-laki itu mencebikkan bibirnya dari suaranya. “Kiyoomi kepanjangan, gak enak manggilnya. Sakusa juga, formal banget? Omi is good, it’s nice, it’s cute.”
Kiyoomi memutar bola matanya, “Terserah kamu. Kalau aku larang kamu bakalan tetap panggil aku begitu, ‘kan?” Ia berkata, tanpa disadari memelankan langkahnya agar Miya bisa menyamai pergerakan tungkainya. Miya tergelak, suaranya besar dan menular, memaksa bibir Kiyoomi untuk ikut tertarik ke atas. “Betul, Omi. Omi-omi.”
“Shut up, Miya.”
Suara Miya yang kental akan dialek daerah bergema di dalam kepalanya, panggilan ‘Omi’ yang terkesan lancang mengikuti langkahnya hingga ke kamar hotel, dan terus berputar di alam bawah sadarnya bahkan ketika matanya terpejam digelantungi kantuk.
August 5th
Bulan Agustus perlahan merangkak di kalender, melengserkan Juli yang berubah menjadi lampau. Di minggu ketiganya menikmati hari-hari di Kamakura, Atsumu menemukan dirinya semakin akrab dengan Kiyoomi. Laki-laki itu masih merespons singkat kepada setiap perkataannya, membalas dengan pasif tiap interaksi yang ditawarkan Atsumu, namun, pandangan tajam dan bahasa tubuh tidak nyaman tidak lagi hadir di sosoknya. Kiyoomi membiarkan Atsumu berjalan di sampingnya, menyusuri pantai dan lorong hotel, menemaninya ke toko buah tangan, duduk berseberangan menyantap es krim, dan terlelap di kursi santai, menikmati angin malam pantai yang dingin. Kiyoomi masih seringkali bungkam seribu bahasa, tapi kini ia menerima keberadaan Atsumu yang terus mengoceh dan berperan seperti bayangan kedua miliknya.
“Have you ever shut up, Miya?”
“No, because I know you like hearing my voice.”
Kiyoomi mendengus sebagai respons dan mengalihkan pandangannya dari Atsumu. Absennya kalimat bantahan maupun makian, Atsumu anggap sebagai sebuah persetujuan.
August 13th
Miya selalu berputar di porosnya, mengikutinya kemana pun ia pergi, mengelilinginya seperti bulan kepada bumi, dan entah kenapa Kiyoomi tidak sampai hati untuk mengusir pria itu. Ketika manik karamel milik Miya menguncinya dalam pandangan, Kiyoomi seolah bisa melihat sisi lain dari pria itu yang biasanya ia tutupi dengan senyuman lebar juga lelucon tidak lucu. Miya berbaur di antara kerumunan sambil berharap orang lain datang untuk menghapus kesendiriannya. Matanya yang selalu menawarkan kehangatan berubah sendu ketika Kiyoomi berpura-pura mengalihkan perhatiannya. Miya Atsumu adalah orang asing dengan mata paling hangat yang pernah Kiyoomi lihat, kehangatan yang dihiasi kesedihan yang berenang di antara kolam karamel.
Hamparan langit musim panas yang berwarna biru cerah menaungi keduanya ketika Kiyoomi mengunci jari-jemari Miya dengan miliknya sendiri. Laki-laki itu terlonjak kaget, kedua matanya membola dan bibirnya menganga. Suara gemuruh ombak yang menggulung menemani diam di antara keduanya, dan Kiyoomi bisa merasakan bagaimana jemari Miya sedikit bergetar di dalam genggamannya. Dengan tangan yang saling bertautan, Kiyoomi membiarkan perasaan asing namun familiar di saat yang bersamaan memasuki rongga dadanya yang sudah diisi oleh orang lain.
Tanpa ia sadari, Kiyoomi selalu mencari sosoknya di antara lautan manusia yang lalu-lalang. Miya membuatnya menyelinap keluar dari kamar hotel ketika kakaknya telah terlelap, bertemu dengannya di parkiran sesuai dengan kesepakatan yang terucap di ruang obrolan, dan berjalan beriringan di kegelapan malam dengan tangan yang saling bertaut.
Malam itu, Kiyoomi menarik Atsumu ke dalam dekapannya ketika angka tiga belas bertengger di Agustus, dilingkari oleh tinta merah dengan catatan ‘ulang tahun Wakatoshi’ yang terlupakan di belakang pikirannya.
August 17th
Atsumu terkesiap ketika lengannya ditarik oleh Kiyoomi. Setengah kakinya terendam dalam dinginnya lautan, tubuhnya yang hanya dibalut celana pendek bergetar oleh sentuhan angin malam yang menusuk hingga ke tulang. Kiyoomi terus menarik Atsumu, langkah demi langkah semakin dalam memasuki air yang gelap dan dingin. “Ayo, Miya. Kamu takut air?” tanya Kiyoomi dengan senyuman samar. Atsumu menatap Kiyoomi dengan mata penuh keraguan, pasir di bawah kakinya berubah licin oleh ombak yang datang, meninggalkan jejak yang segera dihapuskan oleh gulungan air.
Keduanya terus bergerak maju hingga air menyentuh paha dan angin malam yang dingin seakan menyelubungi mereka dalam pelukan beku, namun kehangatan dari genggaman tangan Kiyoomi membuat rasa ragu Atsumu perlahan terkikis dibawa ombak.
Atsumu merengut ketika mendengarnya. “Omi, aku udah bilang kalau gak bisa berenang tapi kamu tetap paksa aku buat berenang di laut? Kalau aku tenggelam gimana?” Ia berkata di antara giginya yang bergemeletuk karena kedinginan. Tangannya mencengkram erat pergelangan milik Kiyoomi, bertumpu sepenuhnya pada laki-laki itu ketika pijakannya digoyahkan oleh ombak yang bergerak di antara kakinya.
“Gak mungkin tenggelam, Miya.”
“Mungkin!”
“Then I’ll catch you. No need to worry.”
Atsumu diam mematung, ia menggigit pipi bagian dalamnya guna menahan perkataan yang menggantung berat di bibirnya, but, Omi, will you catch me when I fell deep into sea of ink that is your eyes?
Lamunanannya seketika buyar ketika tubuhnya secara tiba-tiba diterpa oleh ombak hingga terhuyung jatuh ke depan menabrak Kiyoomi. Atsumu tidak bisa menemukan pijakannya ketika panik menyerbu, tangannya lepas dari tubuh Kiyoomi, dan ia jatuh ke dalam air dengan teriakan yang tertahan di paru-parunya. Air dingin menyergapnya, menelan seluruh tubuhnya. Namun, kepanikannya pergi secepat ia datang ketika Atsumu merasakan sepasang lengan menariknya keluar dari dalam air, mengangkatnya kembali ke permukaan. Sesaat kemudian, ia merasakan kehangatan yang familiar menyelimutinya, merengkuhnya dengan erat.
“Omi! Tuh, ‘kan! I almost died! Omi, died! Fuck, udahan, aku mau balik ke kamar!” teriaknya, rasa kesal terdengar kental di suaranya yang bergetar karena menggigil. Atsumu menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tapi juga karena kelegaan yang menyelusup di setiap pori-porinya. Ia bergeliat di dalam pelukan Kiyoomi, berusaha melepaskan diri untuk kabur menjauhi lautan.
Namun, pergerakannya terhenti begitu ia mendengar Kiyoomi tertawa. Bukan tawa kecil yang seringkali ia samarkan menjadi dengusan, tetapi, tawa besar yang menular hingga bahunya bergetar dan pipinya naik ke atas membentuk bulan sabit di kedua matanya. Atsumu terdiam, melongo memandangi Kiyoomi seperti orang dungu. “O-omi?”
“You’re so dramatic it’s actually adorable.” Kiyoomi berkata di sela tawanya yang mulai mereda. Laki-laki itu kini mengunci Atsumu dalam tatapannya, telapaknya yang besar dan hangat bergerak menuruni lengannya dan bertengger di pinggang Atsumu, menariknya mendekat. Napas Atsumu tercekat di tenggorokan, jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat hingga otaknya malfungsi, memompa darah yang menjalar naik ke wajahnya, memoleskan warna merah padam di sana.
Di bawah hamparan langit malam yang bintang-bintangnya berkelip layaknya berlian, Kiyoomi dengan perlahan mendekatkan wajahnya ke Atsumu. Kemudian menempelkan bibirnya pada milik Atsumu yang bergetar dan membeku. Dingin dan asin seperti air laut. Atsumu tenggelam, jatuh, paru-parunya terasa tercekik dan menyerah karena dipenuhi air, meskipun tubuhnya berada di permukaan.
“Miya, kamu gak apa-apa?” tanya Kiyoomi begitu tautan bibir mereka terlepas. “Mau lanjut berenang?”
Atsumu menelan sesak yang memenuhi tenggorokannya, memandang tepat ke arah lautan tinta sewarna arang di hadapannya. “Gak, Omi.” jawabnya. “Aku gak berani, aku takut, aku gak siap. It’s too deep.”
It’s too deep and I don’t know if you’ll catch me.
August 17th
Ketika kembali ke kamar, Atsumu terbaring di atas ranjang dengan kantuk yang menyergap raganya, juga sensasi menggelitik di bibirnya. Sakusa Kiyoomi memahat namanya di dinding hati Atsumu dan menetap di pikirannya tanpa bilang permisi.
August 22nd
Tiap kali mereka bertemu, Kiyoomi selalu menarik Atsumu dalam dekapannya, menyanderanya di sana dengan sentuhan yang menghantui tiap jengkal kulit Atsumu. Sentuhan seringan kapas yang menghimpit jantungnya hingga sesak dan hatinya terasa penuh. Belah bibirnya menyapu milik Atsumu dengan lembut dan ragu-ragu, napas pria itu berderu di atas tengkuknya yang sensitif, helaian ikalnya menggelitik leher Atsumu ketika pria itu membenamkan wajahnya di ceruk lehernya hingga tubuhnya meremang.
Atsumu menerima setiap afeksi pura-pura yang Kiyoomi berikan tanpa label apapun di antara keduanya. Atsumu menyodorkan hatinya tiap kali ia bertatapan dengan Kiyoomi, berharap laki-laki itu bersedia menerimanya dan mendekapnya seperti ia mendekap raganya. Tapi hatinya selalu menggantung di udara, di atas telapak Kiyoomi yang enggan menangkapnya, tapi juga enggan untuk menolaknya.
Atsumu jatuh sejatuh-jatuhnya di sepanjang Agustus yang bergerak lambat di kalender.
August 25th
Atsumu mengalungkan lengannya di leher Kiyoomi dan tertawa pelan ketika tubuhnya didorong jatuh ke atas ranjang. Laki-laki itu merangkak naik di atas tubuhnya, mengukungnya di antara lengannya sambil memberikan ciuman-ciuman kecil di wajah Atsumu.
“Omi … geli.” Ia menangkap wajah Kiyoomi di telapaknya, mendorongnya sedikit agar pria itu berhenti menyerangnya dengan kecupan main-main yang menggelitik kulitnya. Kiyoomi terkekeh di atasnya, suara tawanya ringan mengudara dan tatapannya lembut menghantam manik karamel milik Atsumu.
Atsumu tersenyum getir, berusaha menaruh pikiran buruknya di bagian belakang kepalanya dan menelan sesak yang menggumpal di tenggorokannya. “Mau ngapain, Omi?”
“I want to kiss you. Can I?”
“And then?”
“I want to touch you.”
“Where?”
Kiyoomi memindahkan bibirnya ke telinga Atsumu, mengulum cupingnya, “Everywhere.” bisiknya. Atsumu bergidik dan lenguhan lolos dari bibirnya tanpa sempat ia tahan. Atsumu berkedip padanya, tawanya yang keluar untuk menutupi gugup, perlahan mereda di bibirnya. “Why asked for permission? You never did before.”
Kiyoomi merasakan sebersit rasa bersalah dan berusaha membuat suaranya lebih lembut. “Tonight, I want to make it right.” ucapnya, kemudian membawa bibir Atsumu dalam kuluman lembut yang membuat pikiran dan tubuh Atsumu melayang tinggi di angkasa. Ia mengubur jemarinya di antara rambut ikal milik Kiyoomi, sesuatu yang selalu ingin ia lakukan semenjak pertama kali keduanya saling bertatapan di depan mesin minuman otomatis, menarik tiap helainya ketika lidah Kiyoomi merangsek masuk menyapu rongga mulutnya.
Seperti sebuah kebiasaan, kedua tangan Atsumu menarik pundak Kiyoomi agar tubuh mereka menempel layaknya perangko. Atsumu membangun rumah di antara dekapan Kiyoomi, pahanya kokoh memeluk pinggang Kiyoomi yang masih sibuk menjelajahi rongga mulutnya. Atsumu menggoyangkan pinggulnya ke atas – berusaha mengejar friksi nikmat yang meledakkan bintang di balik pelupuk matanya yang terpejam. Kelaminnya setengah ereksi, bibirnya basah dan terbuka, napasnya berubah menjadi putus-putus, paru-parunya memohon untuk oksigen, sementara hatinya bersimpuh agar Kiyoomi terus menyentuhnya tanpa jeda.
Mereka larut dalam cumbuan masih dengan pakaian lengkap yang membalut keduanya. Atsumu mengerang kepanasan saat kain katun yang ia kenakan menempel di tubuhnya yang berkeringat dan menggesek kulitnya yang sensitif. Kiyoomi melepaskan cumbuan mereka guna mengisi ulang pasokan oksigen di antara keduanya yang menipis, napasnya yang tersengal menerpa wajah Atsumu yang merah seperti tomat. Ia mendesah pelan ketika pandangannya jatuh ke bawah, ke arah tenda yang terbentuk di balik celana piyama Kiyoomi, menahan tangannya yang gatal, ingin sekali menarik turun karet celana pria itu.
He’s hard, he wants me. He wants me. Atsumu berteriak di dalam pikirannya, rasa senang memenuhi dadanya.
“Miya.”
Atsumu mencebikkan bibirnya sebal, ia menangkup pipi Kiyoomi dengan sayang, “Jangan panggil gitu, dong.” Ia merajuk dan menatap Kiyoomi dari balik bulu matanya.
“Atsumu, Atsumu …” Kiyoomi berucap sambil menguburkan wajahnya di helai keemasan Atsumu, menghirup aroma shampo pria itu yang wangi lavender, membiarkan paru-parunya dipenuhi olehnya. Atsumu mengerang begitu namanya terucap dari bibir Kiyoomi, “Omi – “ Sisa kalimatnya terhenti di tenggorokan saat Kiyoomi menurunkan pinggulnya, menyebabkan ereksi keduanya saling bersinggungan, bergerak serampangan mengejar kenikmatan.
Atsumu melemparkan kepalanya ke belakang, bibir bawahnya ia gigit keras-keras, dan kuku-kukunya menancap di leher Kiyoomi hingga membentuk sabit di kulit pria itu. “Omi, please, take it off.” Atsumu memohon, merengek, mendesah, dan Kiyoomi rasanya mau meledak.
Ia menarik turun celana yang membelenggu kaki Atsumu, wajah keduanya merah, dahi mereka bersandar satu sama lain saat menghirup udara panas yang sama. Mata Kiyoomi setengah terpejam, pipinya memerah, dan bibirnya yang berkilau karena liur bersinar di bawah cahaya – melihatnya seperti itu membuat kemaluan Atsumu berdenyut nyeri. “Lepas semuanya, Omi. Kamu juga, masa aku doang?”
Kiyoomi mendengus, “You always talk so much in every situation, huh?”
Pakaiannya keduanya berakhir mengenaskan di atas lantai. Ketika menyadari tubuh keduanya tidak ditutupi oleh apapun, rasa malu dan gugup kembali menyerbu Atsumu, membuatnya bergulung di atas ranjang dengan kepala yang ia benamkan di bantal. Atsumu menyatukan kedua kakinya, menghindari pandangan Kiyoomi yang menelisik. “Don’t hide from me now, Miya.”
“Atsumu.”
“Iya, Atsumu.”
Erangan protes keluar dari bibirnya ketika Kiyoomi menarik lututnya untuk mengangkang, pria itu bersimpuh di antara paha Atsumu, dan ia rasanya hampir pingsan melihat pemandangan di hadapannya. Pergerakan Kiyoomi terhenti, pria itu mematung dan Atsumu seolah bisa melihat roda-roda mesin bergerak di dalam kepalanya. “Atsumu, I don’t have lube nor condom.”
“I have. Ambil aja di koperku.”
Kiyoomi mengernyitkan dahinya, “Ngapain kamu bawa?” tanyanya kemudian bangkit dari ranjang dan melangkah menghampiri koper milik Atsumu yang tersandar di dekat lemari. Atsumu mendengus lalu mengalihkan pandangannya, “I’ve come prepared, just in case.”
Kiyoomi pun kembali mengukungnya, botol pelumas dan sekotak kondom terlempar dan mendarat di samping kepala Atsumu. “Come prepared, he said.” Suaranya keluar dengan nada mencemooh dan Atsumu cemberut mendengarnya.
“Omi, can I suck you off?”
“No.”
Atsumu tambah memajukan bibirnya.
“May I?” Kiyoomi bertanya, kepalanya bersandar di salah satu lutut Atsumu yang tersampir di bahunya. Atsumu mengulum bibirnya kemudian mengangguk. Sesuatu yang dingin dan basah menyapa titik sensitif di antara pipi bokongnya. Kenikmatan yang tiba-tiba membuatnya melihat putih sejenak, dan sebelum Atsumu tahu apa yang terjadi, penglihatannya mulai bergeser ke bawah memandangi tiap pergerakan Kiyoomi, telapak tangannya meremas sprei di bawahnya dengan erat. Jari-jari kurus Kiyoomi merangsek memasuki tubuhnya, satu demi satu, memukul keluar desahan dan lenguhan panjang dari dada Atsumu yang bergerak naik turun dengan cepat.
“Nghh … Omi.”
“Shush.”
Atsumu terus merintih dengan ketiga jari Kiyoomi yang keluar masuk di antara pipi bokongnya, gerakannya berantakan dan tanpa ritme, menggaruk dindingnya yang sensitif, menekan prostatnya dengan telak. Bola matanya berputar ke belakang, bintang-bintang meledak di balik pelupuk matanya, dan kedua kakinya yang masih bertengger di pundak Kiyoomi mengenjang. “Ugh … Omi. Slow down, please?”
Permohonannya jatuh ke telinga yang tuli. Kiyoomi menyiksa tubuhnya dengan kenikmatan hingga pelepasannya berada tepat di depan matanya. Tangan Kiyoomi yang menganggur dan dilapisi cairan lubrikasi meraih ereksi milik Atsumu, mengurut di sepanjang batangnya, memutar jarinya di kepalanya dan Atsumu menjerit dibuatnya. “O-omi, ugh. Omi … ‘M close. Omiii,” Atsumu tersengal, napasnya putus-putus dan pandangannya berubah buram. “Omi, close.”
“I know, just let it go.”
Pelepasannya ditarik keluar secara paksa, membasahi perutnya yang telanjang, dan membuat tubuhnya yang menggeliat di atas ranjang bergetar. Kiyoomi menarik keluar jarinya, mengelus dan menciumi paha Atsumu, “On your hands and knees.” titahnya mutlak. Atsumu menggeram, di dalam kepalanya ia berteriak dan memaki Kiyoomi, dia baru saja mencapai puncaknya dan pria itu sama sekali tidak memberikannya waktu untuk sekedar menarik napas. Walaupun menggerutu, Atsumu berbalik dan bertumpu pada lututnya, menuruti perintah Kiyoomi.
Kiyoomi menarik tubuh Atsumu mendekat agar pinggul keduanya semakin menempel setelah sebelumnya membalut ereksinya sendiri dengan pengaman. Atsumu terengah-engah, matanya yang kabur menoleh ke belakang, menatap Kiyoomi dengan sayu, tepat sebelum Kiyoomi mulai menekan ke dalam. Atsumu berubah menjadi kaku, wajahnya membeku dengan mulut menganga, alisnya berkerut saat semua udara dipaksa keluar dari tubuhnya seiring dengan ereksi Kiyoomi yang memasuki tubuhnya dengan perlahan. Kiyoomi mengerang, mencengkram pinggul Atsumu dengan kuat guna menahan tubuhnya agar tidak segera masuk sepenuhnya, meninggalkan cetakan berbentuk sabit yang serupa dengan kukunya.
Kiyoomi berusaha mengatur napasnya, bulir-bulir peluh menuruni pelipisnya, dan nafsu memenuhi isi kepalanya begitu ia melihat kemaluannya tenggelam inci demi inci di antara pipi bokong Atsumu. Atsumu mencengkeramnya dengan erat, dindingnya panas dan basah dengan semua pelumas yang digunakan. Ia mendorong masuk lagi beberapa inci hingga Atsumu melepaskan jeritan binatang, kencang dan parau. Jeritan dan upaya seraknya menyebutkan nama Kiyoomi membuat laki-laki berambut ikal itu pening seketika.
“Alright, I’m in.”
“Please, give me a second.”
Kiyoomi menuruti permohonan Atsumu. Ia menunduk untuk membubuhi leher jenjang Atsumu dengan hisapan yang menimbulkan tanda, tangannya menelusup masuk ke bawah, memelintir inti dada Atsumu di antara jemarinya. Atsumu melenguh, jeritannya tertahan di bantal, “Omi, aku gak apa-apa. Nghh, bergerak, please.”
Kiyoomi pun bergerak, awalnya dengan perlahan, menikmati kehangatan yang membalut kejantanannya, kemudian ia menaikkan kecepatannya, menumbuk titik sensitif Atsumu tanpa ampun. Tubuh Atsumu terlonjak ke depan menghantam kepala tempat tidur yang berbenturan dengan dinding kamar. Kiyoomi bernapas dengan kasar di telinga Atsumu, membuatnya merasakan setiap titik di mana tubuh mereka saling bertautan.
“Ahh … Atsumu.” Suaranya desahan Kiyoomi keluar mengalir seperti cairan panas yang menyebar hangat di pangkal tulang belakang Atsumu. Genggaman Atsumu pada seprai ranjangnya semakin menguat. Telapaknya terus menahan kepala Atsumu agar terkubur di bantal, seolah tidak ingin melihat wajahnya, seolah ingin melupakan fakta bahwa ia melakukannya dengan Atsumu. Perasaan menyakitkan yang didominasi kegelisahan juga kesedihan duduk menghimpit perutnya, namun segera ia tepis keras-keras.
Kiyoomi terus bergerak dengan ritme cepat, mengejar pelepasannya, menenggelamkan diri dalam kenikmatan sesaat, juga mengabaikan ponselnya yang bergetar dengan nama ‘Wakatoshi’ di layarnya. Ia meledak di dalam tubuh Atsumu seiring dengan panggilan masuk Wakatoshi yang dialihkan ke kotak suara.
August 26th
“Omi, boleh gak aku telepon pas kamu udah pulang nanti?” Atsumu bertanya ketika keduanya duduk menikmati es krim di suatu kedai dekat penginapan.
Tak ada jawaban, Kiyoomi sibuk menyendokkan es krim rasa pisang kesukannya. Mengabaikan Atsumu, menggantungkan pria itu.
Angka-angka di kalender terus bergerak menghampiri akhir dari Agustus dan Atsumu bersimpuh di atas lututnya agar waktu bisa berhenti.
August 28th
Kiyoomi menatap ponselnya dengan nanar, panik menyergap dadanya, dan tubuhnya seketika dibanjiri keringat dingin. Seseorang memberitahu Wakatoshi mengenai dirinya dan Atsumu, entah siapa, namun rasanya Kiyoomi ingin menghajar habis-habisan oknum yang menempatkan hubungannya dengan Wakatoshi di ambang kehancuran. Kekasihnya itu menghubunginya, suaranya dingin dan sarat akan amarah, sambungan telepon mereka diwarnai teriakan dan adu mulut.
“Wakatoshi itu siapa?”
Kiyoomi berbalik, menemukan Atsumu dengan handuk yang tersampir di bahunya juga rambut yang basah. Shit, I forgot he’s in the shower, Kiyoomi memaki dirinya sendiri di dalam batinnya.
“Omi … you have a boyfriend? All this time … you’re somebody’s boyfriend?” tanya Atsumu dengan suaranya yang bergetar. Manik karamelnya seketika berkilau dipoles air mata, wajahnya berubah pucat, dan bibirnya bergetar. Kiyoomi diam mematung di tempatnya, mengalihkan pandangannya, menolak melihat ke arah pria di hadapannya.
Atsumu menahan jeritan, tangisan, dan makian yang menyumpal tenggorokannya. Ia melemparkan handuknya ke arah Kiyoomi dengan kencang, mendarat dengan kasar di wajah pria itu. Atsumu melangkah maju dan mencengkram kerah baju Kiyoomi, matanya menyalang marah. “You sick fuck! You’re cheating on him with me?! You lied to me! You never tell me you have a boyfriend!” Ia berteriak di hadapan Kiyoomi. Matanya panas karena air mata dan dadanya sesak dipenuhi amarah.
“You never asked.”
“What the fuck, Kiyoomi?”
Kiyoomi mendorong tubuh Atsumu menjauh. “Kamu gak pernah tanya kalau aku udah punya pacar atau belum. You just throw yourself at me like a wh –” Kiyoomi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kalimatnya menggantung dan mati di ujung lidahnya, ia menunduk menatap lantai, menahan nyeri yang memenuhi dadanya.
“Like what, Omi? Like a whore? Say it.” Atsumu bisa merasakan bagaimana air mata mulai jatuh menuruni pipinya. “Say it! Kenapa kamu lakuin ini ke aku?!”
“Apa, sih?! Kita baru kenal sebulan lebih, kamu harapin apa? Kamu harusnya sadar posisi kamu, Miya!” teriaknya. Kiyoomi berjalan mengitar kamar hotel Atsumu, memungut ponsel dan dompetnya yang tergeletak di atas nakas, juga berusaha keras mengalihkan pandangannya dari bekas kondom dan sprei yang berantakan.
“Kamu yang gak pernah kasih tahu posisiku jelasnya di mana!”
Kiyoomi meraih knob pintu, punggungnya yang dingin dan kaku menghadap ke arah Atsumu. “Aku pulang besok. Jangan hubungin aku lagi.”
Pintu dibanting tertutup dan Atsumu jatuh di atas lantai, berusaha memungut tiap serpihan hatinya yang dihancurkan oleh Kiyoomi.
August 28th
Atsumu [02.31]
Omi, I know I’m not your only but at least I can be one of yours. I heard a little love is better than none. So, please, Omi … don’t go.
Bubble chat-nya berubah hijau, Kiyoomi memblokir nomornya.
August 31th
Atsumu duduk di kereta dengan kepala tertunduk. Nada sambung telepon berdering dengan konstan di telinganya, menunggu kembarannya untuk menjawab panggilannya.
“Kenapa, Tsumu? Tahu gak sekarang jam berapa di Paris?” Osamu menjawab teleponnya. Laki-laki itu berkata dengan suara serak yang kental akan kantuk. Atsumu menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang kembali mengancam untuk keluar.
“Sam, he was never mine.”
“Siapa? Kamu ngomongin siapa?”
“He was never mine …” Ada jeda dalam kalimatnya ketika Atsumu menyadari betapa bodoh dan naif dirinya karena telah percaya sepenuhnya kepada Kiyoomi, orang asing yang jelas-jelas tidak pernah memberikan penjelasan di antara hubungan keduanya. “Nevermind, Sam. Go back to sleep.” Sebelum Osamu kembali bertanya lebih lanjut, Atsumu memutuskan panggilan secara sepihak.
Kereta berjalan meninggalkan Kamakura, membawanya kembali pulang ke Hyogo. September mengintip malu-malu di kalender, dan Kiyoomi terlepas dari genggamannya seperti Agustus yang juga ikut pamit.