“Kou, kamu tidur duluan aja, ya.” Issei berkata tanpa menoleh sedikit pun ke arah Koutaro yang berdiri tak jauh darinya. Pandangannya tetap terpaku pada buku yang ia baca, kacamata bertengger di hidungnya, dan rambut ikalnya yang setengah basah terlihat berantakan hingga mencuat ke segala arah. “Kou?” Pada akhirnya, ia pun mengangkat pandangannya begitu tak mendengar balasan dari Koutaro. Manik gelapnya pun bersirobok dengan milik Koutaro yang membulat lucu.
“Kamu tadi panggil aku apa?” Wanita itu memajukan bibirnya hingga mengerucut, wajahnya tertekuk, dan sorot matanya berubah sendu.
Mendengar pertanyaan Koutaro, Issei sontak keheranan. Ia membetulkan posisi kacamatanya yang melorot sebelum berkata,“aku panggil … Kou?” Ia menjawab sekaligus balik bertanya dengan ragu-ragu. Keningnya berkerut dan dan pandangannya menelisik. Koutaro masih berdiri di tempat yang sama, di ambang pintu ruang kerjanya sambil mengenakan kaus Issei yang ia pinjam tanpa izin. Pahanya terhampar tanpa selembar kain untuk menutupi, sementara kaus yang ia kenakan berhenti tepat di pangkalnya, membuat tato yang melingkari pahanya terlihat begitu jelas—sebuah kumpulan garis-garis yang membentuk pola berkesan futuristik—seolah meminta untuk dilihat, dipandang, dan dikagumi.
“Am I not ‘darling’ anymore? Kenapa panggil aku begitu? My name is ‘darling’ to you.” Suaranya keluar dengan nada merengek. “Do you hate me?” Bibirnya semakin melengkung ke bawah dan sesuatu di dalam diri Issei seolah diremas karena gemas. Koutaro mengalihkan pandangannya dan hendak berbalik pergi ketika tak mendapatkan jawaban apa pun dari Issei, namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar pria itu menutup bukunya.
“Oh, hahaha.” Issei terkekeh pelan sambil memijat pelipisnya, ia menggeleng tanda tidak percaya, kakinya yang sebelumnya bersilang ia buka lebar untuk memberi ruang bagi Koutaro. “Sini, darling.” katanya seraya menepuk-nepuk pahanya, sebuah isyarat agar wanita itu duduk di atas pangkuannya. Matanya yang sayu terus mengikuti pergerakan Koutaro yang melangkah menghampirinya.
Telapak tangan Issei yang besar dan kasar menyapa lekuk pinggang Koutaro ketika perempuan itu menjatuhkan tubuhnya di atas pangkuannya. Jemarinya menyelinap memasuki kaus yang Koutaro kenakan, menyingkapnya ke atas guna menelusuri paha, pinggul, dan perut telanjangnya. Sesuai dengan tebakan Issei, wanita itu tidak mengenakan apa pun kecuali sepotong celana dalam dengan aksen renda di tiap sisinya. Ia mendongakkan kepalanya, menemui tatapan Koutaro yang sama sayunya, sementara jarinya menari-nari di atas karet pinggang celana dalam wanita itu. Menariknya tanpa berniat melepaskannya.
“Why aren’t you wearing anything underneath, baby?” tanya Issei, suaranya keluar dengan sopan, berbanding terbalik dengan pergerakan tangannya yang menelusup masuk ke dalam panties yang Koutaro kenakan. Pria itu menangkup kedua pipi bokonv Koutaro dari balik kain tipis berwarna putih tersebut, membuat kontak langsung dengan kulit telanjangnya, dan mengirimkan gelenyar geli ke tempat di antara kaki Koutaro.
Alih-alih menjawab, perempuan itu justru memejamkan matanya, menikmati sentuhan Issei yang menari-nari di atas bokongnya. Ia melenguh pelan, samar dan nyaris tak terdengar. Kepalanya terkulai di salah satu perpotongan lehernya, dan rona merah naik di pipinya. Melihat reaksi Koutaro, Issei terkekeh pelan. Ia memajukan wajahnya guna membubuhi sepanjang leher Koutaro yang terpampang di hadapannya dengan ciuman-ciuman seringan kapas, di sisi lain, tangannya masih bersarang di bagian belakang wanita itu.
“Use your words, darling. I asked you, why aren’t you wearing anything underneath?” Jari-jemarinya pun meremas permukaan pipi bokong Koutaro hingga empunya memekik pelan. “Hm? Kenapa gak pakai bawahan? Pajama pants? You don’t even wear a bra.” Issei menggerakan tangannya naik menelusuri kulit perut Koutaro yang meremang guna menangkup salah satu payudara wanita itu yang menggantung berat di balik kausnya.
Koutaro membuka kelopak matanya yang semula terpejam, pupilnya yang membesar berusaha fokus menangkap bayangan sosok Issei di hadapannya. “’K–kan mau tidur. For comfy, Issei.” jawabnya dengan susah payah karena kini kuku tumpul milik pria itu bermain-main dengan putingnya hingga mengeras. “Issei, stop it, geli.” Koutaro berkata setengah merengek, mendengarnya Issei pun lagi-lagi terkekeh pelan, menahan gemas, menahan nafsu.
Tangannya pun berhenti menjamahi tubuh Koutaro, kini beralih mendekap wanita itu erat-erat dalam pelukannya. Issei melingkarkan lengannya di pinggang Koutaro, menguncinya di sana, menawannya di dalam penjara pelukannya. “Fuck, I’m hard.” Issei menggeram rendah, lalu ia mendorong pinggulnya ke atas, mempertemukan kejantanannya yang mengeras dengan lembah kenikmatan milik Koutaro yang terasa lembab. “Seksi banget kamu, sayang. Kenapa kamu seksi banget, hm?” Pria itu mengunci pandangannya pada belah bibir Koutaro sebelum meraupnya dalam sebuah pagutan panas.
Yang dicium tak mengatakan apa pun, namun, mengalungkan lengannya di leher Issei dan menarik pria itu untuk mendekat. Bibir mereka saling menghisap satu sama lain, lidah menari-nari, dan gigi menggigit mesra hingga beberapa tetes air liur lolos keluar. Issei melepaskan cumbuan mereka ketika dirasa pasokan udaranya menipis, napasnya tersengal, tapi wajahnya berseri.
“Issei, come to the bed with me.” Koutaro menangkup pipi Issei di tangannya, ia mengelus lembut wajah tampan sahabatnya itu sebelum mendekat untuk kembali mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya yang memerah dan terbuka. “I’m so wet, cmon.” Ia berkata setengah memaksa. Pinggulnya bergerak memutar di atas penis Issei yang membentuk tenda di balik celana tidurnya.
“Nanti, sayang. Aku mau baca dulu.” Pria itu mencengkeram pinggang Koutaro, membuat pergerakan wanita itu terhenti. “Makanya aku suruh kamu buat tidur duluan. Aku mau baca dulu, masih ada beberapa chapter, sayangku.” Bola matanya bergulir ke samping, ke arah sebuah buku fiksi yang tergeletak di atas meja kecil di sisi sofa.
Koutaro lantas mencebikkan bibirnya. Ia tidak menyangka kalau Issei akan menolak bercumbu dengan kewanitaannya yang sudah basah dan berkedut pelan hanya untuk sebuah buku fiksi yang kini sampulnya seolah melotot dengan meledek ke arahnya. Ia memandang Issei dengan memelas, namun, sepertinya pria itu sedang benar-benar ingin membaca karena pertahanan dirinya tak goyah sama sekali.
“Tidur, ya, darling. Nanti aku nyusul.” ucapnya dengab lembut. “Kamu juga pasti capek banget. Bela-belain temenin aku ke pulang ke Bali buat urus problem cabang di sini padahal sebelumnya kamu habis finishing project kamu. I know you’re sleepy, baby.”
Mendengar perkataan Issei, tubuhnya seolah kembali diingatkan akan betapa lelah ia merasa. Sendinya pegal dan matanya berat digantungi kantuk. Secara refleks, ia menguap, yang mana langsung direspons dengan gumam pelan “Tuh, ‘kan.” dari Issei.
“Okay, aku tidur duluan, ya.” Koutaro pun melepaskan tubuhnya dari jeratan lengan Issei, kemudian bangkit meninggalkan pangkuan pria itu. Sebelum berbalik pergi ke kamar tidur, ia menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Issei, matanya mengerling kenes dan bibirnya membentuk sebuah senyuman nakal. “You’re free to do anything while I sleep.” bisiknya, tahu jelas bagaimana efek perkataannya pada tubuh Issei yang seketika menegang.
Issei menaikkan sebelah alisnya, merasa tertantang dengan ucapan Koutaro yang secara instan menyulut kembali api nafsu di dalam dirinya. “Oh? Is this an invitation?”
“Iya, Wi.” jawabnya dengan penekanan di akhir kalimatnya. Kata panggilan wi meluncur dari bibirnya dan membuat Issei menyunggingkan sebuah seringai tipis.
“Go to sleep, Koutaro. Don’t make me repeat myself.”
Wanita dengan surai keabuan itu pun memutar tumitnya lalu melangkah pergi dari ruang kerja Issei, meninggalkan pria itu yang kembali berkutat dengan bacaannya, meski kini kejantanannya mengeras dan pikirannya berlarian ke sebuah skenario kotor di mana ia menggagahi Koutaro yang sedang terlelap.
Issei menutup bukunya ketika halaman terakhir telah ia baca secara keseluruhan. Pria itu pun menaruh buku berjudul A Certain Hunger tersebut kembali ke rak buku sebelum melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya pelan menyusuri rumahnya yang sepi, bunyi derap langkah kakinya menemani nyanyian jangkrik di luar dan gemerisik daun yang saling bergesekan karena angin malam. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya ia tenteng di tangan sembari berjalan menuju dapur, lalu berakhir di dalam tempat cuci piring.
Ia memastikan seluruh pintu terkunci rapat dan lampu telah padam sebelum melangkah menuju kamar tidurnya. Dengan hati-hati, ia menarik turun knob pintu, kemudian mendorong benda berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu jati tersebut dengan hati-hati, berusaha meminimalisir suara yang mungkin saja dapat mengusik seseorang yang kini tengah berbaring di atas ranjangnya. Pandangannya yang masih dilapisi kacamata berpendar ke seisi kamar sebelum tertuju pada seseorang—sahabatnya, wanitanya, seseorang yang membuat jantungnya seringkali berpacu lebih cepat dari semestinya—yang tampak jatuh dalam lelapnya.
Rambut abu-abu terangnya yang memiliki aksen hitam di bagian ujung tampak tergerai di atas bantal, membentuk sebuah halo layaknya malaikat. Dengkuran halus sesekali terdengar dari tiap tarikan napasnya, bibir kemerahannya terbuka sedikit, dan bulu matanya yang panjang jatuh di atas pipinya, meninggalkan bayangan yang menambah jelita di parasnya. Tangannya memeluk selimut yang menutupi tubuhnya bak kepompong, namun, salah satu kakinya mencuat keluar dan terbentang di ranjang.
Melihat posisi tidur Koutaro yang konyol sontak membuat Issei tertawa kecil. Tanpa membuat suara sedikit pun ia melangkah menghampiri sisi tempat tidur di mana Koutaro berbaring, kemudian memposisikan tubuhnya di atas wanita itu. Dengan penuh kehati-hatian, ia melepas jeratan selimut yang membelenggu tubuh Koutaro, hingga wanita itu berbaring telentang seperti bintang laut.
Tangan Issei pun turun menyapa paha Koutaro, kemudian membukanya hingga ia mengangkang layaknya ayam potong yang siap santap. Ia menjilat bibirnya begitu pandangannya menangkap daerah kewanitaan Koutaro yang masih dibalut celana dalam, sementara kaus yang ia kenakan naik sepenuhnya hingga sebatas perut. Jemarinya membuat jalur di sekitar perpotongan antara pangkal paha dan selangkangan Koutaro sebelum menyentuh titik sensitif gadis itu yang mencuat dari balik celana dalam.
Tubuh Koutaro yang masih jatuh dalam lelap lantas terlonjak kecil ketika klitorisnya ditekan dengan gerakan memutar oleh jemari lihai Issei. “Ssshh, baby, go back to sleep. It’s just a dream.” Issei berkata, membisikan kalimat penenang yang membuat Koutaro seketika kembali rileks. Ibu jarinya terus memutari klitoris milik gadis itu hingga biji sebesar kacang polong itu mengeras di bawah sentuhannya.
Matanya terus mengamati wajah Koutaro dari balik kacamatanya yang kini sedikit jatuh melorot di hidungnya. Ia memperhatikan tiap kerutan di kening sampai napasnya yang berubah berat ketika Issei menekan klitorisnya lebih keras dari sebelumnya. Merasa bahwa Koutaro benar-benar tertidur nyenyak, ia pun makin berani menjamah tubuh sekal dan berisi milik wanita itu. Tangannya yang menganggur menyibak kaus yang Koutaro kenakan, membuat bagian atasnya sepenuhnya telanjang, dan payudaranya yang bulat terpampang nyata di hadapannya—seperti sebuah hidangan siap saji yang menggugah selera.
Issei pun menundukkan kepalanya lalu meraup puting Koutaro yang mencuat di udara, di sisi lain, jemari pria itu meremas payudara Koutaro yang tidak terjamah oleh bibirnya. Ia terus menghisap, menjilat, dan memutari puting Koutaro dengan lidahnya, selagi tangan kirinya meremas yang lain, dan tangan kanannya masih sibuk menjamah vagina Koutaro yang mulai melembab. “Nggh.” Lenguhan kecil yang amat pelan lolos dari belah bibir Koutaro, lantas membuat Issei menatap ke arahnya, memastikan apakah ia membangunkan Koutaro atau tidak. Namun, wanita itu masih terlelap.
Bibirnya pun melepaskan cumbuannya di puting Koutaro yang kini tampak memerah dan keras, permukaannya mengkilap karena liur yang juga turun membasahi areolanya. “Sayangku, cintaku, kamu cantik banget.” ujar Issei disertai hela napas pelan, matanya berbinar menjelajahi tubuh Koutaro yang teramat seksi. “I wish you could see yourself in my perspective, I wish you could see how beautiful you are, darling.” Ia sangat menyayangi perempuan di bawahnya ini, entah sebagai seorang sahabat, atau sesuatu yang lebih.
Tangan Issei pun akhirnya menarik turun celana dalam yang dikenakan Koutaro, kemudian ia membawa kain berwarna putih yang agak basah itu ke wajahnya, bola matanya berputar ke belakang kepalanya begitu ia menghirup wangi deterjen, sabun mandi, dan aroma khas kewanitaan yang menyeruak dari kain. Penisnya yang keras berdenyut nikmat, membuatnya refleks meremas gundukan tersebut dari luar celana tidurnya. “Fuck, you smells so fucking good, baby.” Ia terus bergumam dan berbicara dengan angin, tiap celotehan kotornya dibalas oleh sunyi karena Koutaro masih sibuk berkelana di alam mimpi.
Issei pun menarik turun karet celana tidur sekaligus briefs yang ia pakai guna membebaskan penisnya yang terbelenggu. Batang keras dan tegak itu pun langsung mencuat menantang di udara, kepalanya yang basah akan cairan pra-ejakulasi menampar perutnya yang masih ditutupi piyama. Dengan celana dalam Koutaro di wajahnya, juga pandangannya yang melahap habis pemandangan tubuh telanjang gadis itu, ia mulai mengurut kejantanannya.
Sudah hampir sebulan ia tidak terlibat kegiatan seksual dengan siapa pun akibat kesibukannya. Di sisi lain, Koutaro juga sibuk berkutat dengan proyek dari kliennya di mana gadis itu akan mengunci diri di dalam studio dari pagi hingga pagi lagi. Ia bahkan tidak sempat untuk masturbasi, yang mana hampir membuatnya gila.
Tangannya terus mengocok penisnya sendiri, pinggulnya bergerak selaras dengan gerakan tangannya. Di satu sisi, ia masih terus mengendus panties milik Koutaro hingga membuat napasnya berubah berat dan kacamatanya berembun. Issei memejamkan matanya ketika ia merasakan frustrasi seksualnya yang bertumpuk selama berminggu-minggu mengambil alih kewarasannya. “Aaahh, fuck. Shit, nghh.” Suara lenguhannya teredam kain celana dalam Koutaro yang masih ia tekan di wajahnya.
Kemudian, beberapa menit berselang, kulitnya meremang dan jemari kakinya melengkung, pertanda pelepasannya sudah di depan mata. Issei pun mengarahkan penisnya ke wajah Koutaro yang damai diselimuti lelap. Tangannya semakin cepat mengocok batang penisnya, sesekali meremas kepalanya yang bulat seperti jamur. Napasnya berubah putus-putus, desahan terus lolos keluar dari bibirnya yang terbuka. “Aahh! F-fuck, Kou, baby!” Tubuhnya sontak menegang begitu klimaksnya hadir dan menyemprotkan maninya di wajah Koutaro. Cairan putih kental tersebut melukisi paras jelita Si Cantik yang masih terlelap, beberapa bahkan hinggap di rambutnya.
“Aaaahh.” Issei melenguh panjang begitu sensasi seusai orgasme merajai tubuhnya. Ia mendongak memandang langit-langit kamarnya, lalu melempar celana dalam Koutaro hingga jatuh dengan mengenaskan di atas lantai. Setelah mengatur napas serta menata kembali kewarasannya, pria itu menunduk dan menemukan penisnya masih mengacung tegak walaupun ia baru saja mencapai putihnya. Nafsu masih bersarang di kepalanya, dan tubuh Koutaro yang terbaring di hadapannya seolah memohon untuk dijamah.
Tanpa repot-repot membersihkan wajah Koutaro yang masih dikotori oleh air mani, Issei pun kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda—bermain-main dengan vagina Koutaro yang tembam dan basah. Pria itu meraih sekotak rokok dan korek di atas meja nakas, lalu menghidupkan satu batang yang terjepit di antara bibirnya. Ia menghirup asap rokok sebelum menghembuskannya keluar dalam bentuk lingkaran-lingkaran kecil.
“Cigarette and sex with the most beautiful girl I’ve ever seen.” Ia berkata dengan seringai yang terpoles di wajahnya. Rokok masih terjepit di bibirnya dan kacamata bertengger di hidungnya. “What is this? Heaven?”
Issei menarik asap yang keluar hingga memenuhi paru-parunya sebelum menundukkan wajahnya dan menghembuskan asap tersebut tepat di hadapan bibir vagina Koutaro yang terbuka. Ia menjepit rokoknya di antara jari telunjuk dan tengahnya, kemudian meraup keseluruhan lembah kenikmatan Koutaro yang berkedut di bawah atensinya.
“Hhhh.” Lenguhan samar terdengar dari bibir Si Cantik, namun, tubuhnya masih tak sadarkan diri.
Issei menjilati tiap permukaan vagina Koutaro dengan lidahnya, menghisap bibirnya yang gemuk dan tembam, menjentikkan lidahnya di lubangnya yang menganga hingga terus mengucurkan cairan cinta, dan menggesekkan giginya di permukaan klitorisnya yang sensitif. “Fucking hell, Kou. You taste so good, I would go to a war for this fat cunt.”
Tanpa aba-aba, ia mendorong masuk dua jarinya ke dalam lubang vagina Koutaro yang hangat dan berkedut. Jemarinya tidak menemui penolakan sedikit pun, bahkan dalam tidurnya Koutaro menerima tiap sentuhan Issei like a good fucking girl that she is. Pria itu pun menyetubuhi Koutaro dengan jemarinya, ia menggaruk dinding vagina gadis itu dengan kukunya yang tumpul, lalu menekan g-spot-nya yang membuat tubuh Koutaro menggeliat dalam tidurnya. Tangannya yang menganggur kembali membawa rokok ke bibirnya untuk dihisap, keringat yang jatuh menuruni pelipisnya bertemu dengan napasnya yang tersengal, menciptakan embun di kacamatanya yang sedikit merosot.
Rokok kembali ia kesampingkan, dan ia melanjutkan mencumbu vagina Koutaro menggunakan bibirnya. Kali ini, ia juga menekan perut bagian bawah gadis itu dengan tangannya yang masib menggenggam rokok, alhasil beberapa keping abu jatuh menuruni perut gadis itu, tapi Issei berhati-hati agar kulit wanitanya tidak tersulut api yang masih membara.
“Fuck, baby. Aku udah gak tahan. Aku ewe kamu sekarang.” Ia menarik keluar jemarinya dari lubang Koutaro, kemudian menggantikannya dengan penisnya yang keras dan tegak layaknya tiang. Kepalanya memerah, bahkan hampir ungu, akibat nafsu yang ditahan.
Pria itu melesakkan penisnya dalam sekali hentakan. Ia membetulkan posisi lututnya bak sebuah ancang-ancang, rokok kembali ia bawa di antara bibirnya, dan tangannya mencengkeram lutut Koutaro sebelum pinggulnya ia gerakan maju-mundur menghentak tubuh gadis itu. “Nghh, darling.” Ia bergumam di antara rokok yang masih menggantung di bibir. Desahannya memantul di dinding kamar, mengisi kesunyian di ruangan temaram tersebut.
Vagina Koutaro yang teramat basah membuat pergerakan lelaki itu berubah serampangan. Sesekali ia menghisap rokoknya dan membuang residu abunya ke dalam asbak yang terletak tak jauh darinya. Tangannya yang menganggur meremas gundukan kembar Koutaro yang bergerak seiring dengan hentakan pinggul Issei, tak lupa memainkan klitorisnya yang mencuat dari balik bibir tembam vaginanya.
“AAHH! Aahh, baby. Enak banget, sayang. I miss this. I miss you.” desahnya di antara napasnya yang tersengal. Penisnya yang seakan dipijat di dalam lubang Koutaro membuat otaknya seketika malfungsi, lumer hingga berganti bentuk menjadi peluh sebesar biji jagung yang kini membanjiri pelipisnya.
Koutaro mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha mengembalikan nyawanya yang tercerai-berai. Ia mengalami mimpi yang aneh, mimpi yang nikmat, mimpi yang membuatnya hampir orgasme, dan ia rasanya ingin kembali tidur agar bisa melanjutkan mimpinya. Namun, pergerakan seseorang di antara kakinya membuatnya terjaga, dan rasa penuh di lubangnya seketika mengembalikan kesadarannya secara sepenuhnya.
“A-aah! Issei!” Ia menjerit begitu merasakan g-spot-nya terus menerus dihantam oleh kepala penis pria itu. Kepalanya yang masih diselubungu kantuk seolah berputar karena stimulasi nikmat yang tiba-tiba. Tubuhnya bergerak dengan grogi di bawah genjotan Issei yang serampangan. “Ngghh! B-babe … slower, please.”
“Udah bangun, sayang?”
Koutaro mengerjap sebelum benar-benar menatap Issei. Pria itu mengukungnya di antara lengannya, penisnya keluar-masuk dengan ritme brutal, dan kalung dengan liontin emas yang melingkari lehernya menggantung di atas wajah Koutaro. Wajah pria itu basah akan peluh, kacamata bertengger di hidungnya yang mancung, dan rokok terjepit di bibirnya. Melihat pemandangan di hadapannya, Koutaro lantas mendesah kencang. Ganteng banget anjing, gadis itu mengumpat di dalam hati.
“Instead of a true love kiss, it appears that my sleeping beauty only wakes up with a good fuck. With a cock in her fat greedy cunt.” kata Issei sembari menyisir rambut ikalnya yang basah dengan jemarinya.
“S-shut up!” Dengan susah payah, Koutaro membalas perkataan Issei. Gadis itu mengernyit begitu menyadari rasa lengket di wajahnya, “Issei, ka-kamu crot di mukaku?”
“Yeah, baby.” jawabnya dengan enteng seraya menarik rokoknya dari bibirnya, kemudian menghembuskan asapnya tepat di atas wajah Koutaro. “Kenapa? Maunya aku keluar di memekmu? You want to be a mommy, Kou?” Issei mengarahkan batang rokok di jemarinya ke bibir Koutaro, isyarat agar wanita gantian menghisapnya.
“Mmhh, I-Issei … I wanna come.” ujar Koutaro begitu is merasakan perutnya berkontraksi dan dinding vaginanya seakan meremas milik Issei yang masih terbenam di dalamnya.
“Keluarin aja, sayangku, cintaku.”
Wanita itu melempar kepalanya ke belakang, kelopaknya terpejam erat, dan bintang-bintang meledak di balik matanya ketika klimaksnya menghantamnya bagai deburan ombak yang tak kenal ampun. Orgasmenya terus menggulung tanpa henti, sementara Issei, dengan kejamnya, masih terus menggerakan pinggulnya tanpa sama sekali berniat memberi jeda bagi Koutaro. “AAAAH! F-FUCK! Issei! Ngghh!”
Issei mengernyitkan keningnya karena sensasi dinding vagina Koutaro yang memijat batangnya dengan begitu nikmat. “Sayang, darling, enak banget.”
“Hhhh, Issei … please. Please.”
“Please what? Please stop? Please harder?”
Sebenarnya ia memohon untuk apa? Apa yang ia inginkan? Koutaro bahkan tidak tahu. Tubuhnya berubah bagai jeli di bawah pria itu, dan vaginanya yang terlalu sensitif terus mengucurkan cairan cinta hingga membasahi sprei di bawah mereka. “G-gak tahu. Ughh, gak tahu!” Air mata berkumpul di pelupuk mata Koutaro sebelum turun membasahi pipinya yang semerah delima.
Nafsu semakin menyelubungi Issei begitu melihat Koutaro terisak akibat nikmat yang menyergap. Entah apa yang merasukinya, Issei menarik tubuh Koutaro agar menempel kepadanya, kemudian melangkah menuruni ranjang dengan wanita itu dalam gendongannya. Koutaro sontak memekik begitu tubuhnya melayang di udara, ia mencengkeram leher Issei dengan erat, “Issei! Mau ngapain?!”
“I wanna fuck you outside so people will know how much of a bitch you are for my cock.” jawab lelaki itu selagi membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon kamar. Sebelum Koutaro dapat melemparkan sebuah argumen, tubuhnya sudah dibalikan hingga menghadap pekarangan rumah Issei, sementara yang punya berdiri di belakangnya dengan penis yang masih tenggelam di dalam vagina Koutaro.
“B-babe.” Koutaro mencengkeram teralis balkon hingga buku-buku jarinya memutih. “A-aku—AAHH!” Kalimat protesannya terpotong digantikan desahan yang dipukul keluar dari rongga dadanya akibat Issei yang kembali menyetubuhinya dengan serampangan. Tak hanya itu, jemari pria itu menyelinap di bagian bawah tubuh Koutaro untuk memainkan klitorisnya.
Punggung Koutaro melengkung layaknya kucing ketika semua titik sensitifnya dijamah oleh Issei. Sebelah kakinya dinaikkan ke atas teralis, menyebabkan siapa pun yang melewati rumah pria itu dapat melihat vaginanya yang terpampang jelas mengarah ke arah pekarangan dan jalan. “AAAHH!”
“F-fuck! Aaahh, Kou baby, you feel so fucking good. I wanna live forever inside your cunt.”
“Aaahh! Issei, your cock—nghh, your cock. Give me more. Give me more!”
Desahan keduanya saling bersautan membelah kesunyian malam. Menggema di kejauhan dan mengusik lelap. Issei terus menyetubuhi Koutaro dengan kasar dan brutal demi mengejar puncaknya yang berada dalam raihan tangannya. “Baby, baby, aku keluar di dalam, ya? Hm?”
Koutaro hanya mampu mengangguk. Otaknya berhenti bekerja dan tak lagi bisa membentuk kalimat koheren.
Lalu, ia merasakan bagian dalamnya dibanjiri cairan hangat, diiringi desahan kencang Issei juga tubuh pria itu yang bergetar karena nikmat. Orgasme kedua Koutaro pun menyusul ketika ibu jemari Issei menekan klitorisnya tanpa ampun, membuatnya menyemprotkan cairan cintanya yang mengucur deras ke teralis balkon dan menetes membasahi lantai.
“Fuck.” Koutaro menenggelamkan wajahnya di perpotongan lengannya yang bertumpu di teralis. “Do you think we woke up your little assistant, babe?”
Hitoka terdiam sambil memeluk lututnya. Airpods miliknya tergeletak dengan mengenaskan di sisinya. Benda itu bahkan tidak bisa menghalau suara desahan, jeritan, dan geraman dari kamar sebelah. Gadis berperawakan mungil itu menatap ke arah jendelanya dengan horor begitu melihat siluet bosnya dan ‘kekasihnya’ di balkon. Wajahnya penuh dengan teror begitu menyadari tubuh keduanya tidak ditutupi sehelai benang pun.
Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 2 pagi, lalu memutuskan untuk meraih ponselnya. Di ponselnya, Hitoka membuka aplikasi LinkedIn, karena mungkin saja ini lah pertanda bahwa sudah seharusnya ia mencari pekerjaan lain.