betty

deera
9 min readAug 11, 2024

--

The worst thing that I ever did was what I did to you. Would you trust me if I told you it was just a summer thing? I slept next to him but I dreamt of you all summer long.

Wakatoshi memandang malas ke area rumahnya yang dihiasi dekorasi perayaan ulang tahun. Ulang tahunnya yang jatuh di tanggal tiga belas Agustus, tolong digaris bawahi, lebih dari dua minggu lalu, mendapatkan pesta saat September sudah bertengger di kalender. Konyol dan sama sekali tidak penting, tapi Ibunya memaksa (“Toshi, kita itu harus merayakan setiap tambah umur! Bagus malah September ‘kan orang-orang udah pulang dari liburan jadi bisa datang!”).

Beberapa tamu mulai hadir; teman-teman satu timnya, juga segelintir teman sekelas yang jarang berinteraksi dengannya di luar sapaan basa-basi. Mereka menghampirinya, mengucapkan selamat ulang tahun yang dibalas Wakatoshi dengan senyuman sebagai formalitas, lalu menyebar untuk menikmati makanan yang tersaji juga musik yang berdentum memuakkan.

Wakatoshi tidak ingin melihat teman-temannya, tidak ingin bertemu dengan siapa pun, tidak ingin bertemu dengan Kiyoomi yang kini berdiri di teras rumahnya dengan raut penyesalan juga mata yang berkaca-kaca.

Kiyoomi mencengkram kemudi mobilnya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih, roda terus bergulir menyusuri area perumahan Wakatoshi, sementara pikirannya berkecamuk antara ingin bersimpuh memohon maaf di hadapan Wakatoshi atau menghajar Tendou Satori hingga babak belur. Giginya bergemeletuk menahan amarah begitu bayangan laki-laki dengan rambut merah juga pembawaan yang menyebalkan itu muncul di kepalanya. Tendou dengan mulut besarnya, bertingkah layaknya paparazzi dan menyebabkan hubungannya dengan Wakatoshi di ambang kehancuran.

Serentetan kalimat makian mengalir deras dari bibirnya, sementara matanya memanas membayangkan sebuah kemungkinan pahit, pulang malam ini dengan status ‘Kekasih Ushijima Wakatoshi’ yang tercerabut akibat kebodohannya sendiri.

Mobilnya menepi di depan kediaman Wakatoshi dan dengan tergopoh-gopoh ia berlari memasuki area rumah yang dipenuhi tamu undangan. Beberapa wajah familiar lalu-lalang di sekitarnya dan dentuman musik terdengar hingga ke teras rumah. Napasnya tercekat dan jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik ketika pandangannya menangkap Wakatoshi yang berdiri di ambang pintu masuk dengan gurat amarah di wajahnya. Kiyoomi menggigit bibir bawahnya dengan cemas, telapaknya terkepal hingga kukunya menancap di sana membentuk sabit, sementara langkahnya dengan ragu-ragu menghampiri Wakatoshi.

“Aku udah bilang gak usah datang.” Wakatoshi berkata dengan dingin, intonasinya datar dan ketus, pandangan matanya menghunuskan belati yang menancap di hati Kiyoomi, meneteskan darah di atas lantai kayu tempatnya berpijak. “Kenapa datang, Kiyo? Omongan aku yang soal kita gak usah ketemu dulu, mana yang gak kamu ngerti?”

Kiyoomi menundukkan kepalanya, bahunya merosot, dan punggungnya seketika kaku. “We need to talk, Toshi. Gak bisa lewat chat doang, kamu ditelepon juga gak diangkat.”

Terdengar helaan napas dari Wakatoshi dan tubuh Kiyoomi seketika membeku. Bukan helaan napas kasar yang sarat akan amarah, namun, sesuatu seperti rasa lelah, menyerah, pamit. “Toshi, please …”

“Kamu mau ngomong apa?”

Can we talk somewhere private? In my car?”

Lagi-lagi, Wakatoshi menghela napas lelah. Tangannya melayang mengacak rambutnya sendiri sebelum mengangguk. “Oke, Kiyo.”

Kesunyian yang mengambil peran di antara keduanya terasa menyesakkan, udara di mobil dengan berat menghimpit paru-parunya, membuat Kiyoomi bergerak dengan gelisah di belakang kemudi. Di sampingnya, Wakatoshi duduk diam seribu bahasa, laki-laki itu bahkan enggan untuk sekedar melirik ke arah Kiyoomi. Tangan Wakatoshi yang biasanya menggenggam milik Kiyoomi kini di pangku di atas pahanya sendiri, menghindar, menolak untuk bersentuhan dan rasanya Kiyoomi ingin sekali menangis meraung-raung.

“Kamu mau ngomong apa, Kiyo?” tanya Wakatoshi, memecahkan gelembung diam di antara keduanya. Sontak Kiyoomi mengangkat kepalanya, menggigit bibir bawahnya yang gemetar. Tenggorokannya terasa kering, seolah kata-kata yang harus ia ucapkan terperangkap di sana, menolak keluar. “Aku … aku nggak tahu harus mulai dari mana.” Suaranya terdengar rapuh, hampir seperti bisikan. Kiyoomi mencuri pandang ke arah Wakatoshi, berharap menemukan sedikit kelembutan di wajahnya, tetapi yang ia temui hanyalah dinding dingin yang membuat hatinya semakin menciut.

Wakatoshi tetap memandang lurus ke depan, matanya penuh dengan emosi yang tidak bisa Kiyoomi baca. “Mulai dari awal.” gumamnya pelan, namun tegas, mengisyaratkan bahwa ia ingin mendengar semuanya, meskipun mungkin itu adalah hal terakhir yang ingin ia dengar malam ini.

Jantung Kiyoomi berdetak kencang, semakin cepat dengan setiap detik yang berlalu, seperti bom waktu yang siap meledak. “Aku,” Kiyoomi menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Aku ketemu sama dia waktu itu di Kamakura. Dia menginap di resort yang sama kayak aku. Kami … aku … aku nggak bisa jelasin, tapi aku –”

Wakatoshi memotong, suaranya rendah namun penuh ketegasan, “You cheated on me with him?”

Kiyoomi terdiam, tak ada lagi yang bisa ia katakan. Hanya anggukan kecil yang bisa ia berikan sebagai jawaban, dan dengan itu, tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah. Air mata mengalir deras di pipinya, memenuhi ruangan yang semula dipenuhi kesunyian. “Aku minta maaf.” isaknya, suara patah-patah seperti ranting kering yang dipatahkan. “I was dumb, I was caught up in the moment. I didn’t know what I was doing, please, don’t leave me.”

Tapi Wakatoshi tetap diam, membiarkan kata-kata itu tenggelam dalam keheningan malam yang semakin pekat.

Wakatoshi masih terpaku, tatapannya tetap memandang ke depan, seolah berusaha mencari jawaban di balik kegelapan malam di luar jendela juga pancaran lampu mobil yang berkedip menyedihkan. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat dan menyiksa bagi Kiyoomi, yang kini sudah tak mampu lagi menahan sesak yang menumpuk di dadanya. Ia merasa hancur, rapuh, seolah-olah seluruh dunianya telah runtuh di hadapan laki-laki yang ia cintai dengan segenap hati.

Setelah apa yang terasa seperti keabadian, Wakatoshi menghela napas panjang, dalam, dan berat. “Kenapa, Kiyo?” suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya, tetapi masih ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. “Why did you do that? Emangnya aku kurang apa? Kita kurang apa?”

Kiyoomi segera menggelengkan kepalanya, bahkan sebelum Wakatoshi selesai bicara. “Bukan, bukan begitu. Kamu nggak kurang, kita nggak kurang. It’s my fault.” Kiyoomi berkata dengan putus asa, seolah kata-kata itu tak pernah cukup untuk menjelaskan perasaan yang menghimpit dadanya. Wakatoshi akhirnya memalingkan wajahnya, menatap Kiyoomi dengan mata yang lebih lembut namun tetap diliputi oleh kekecewaan mendalam. Ia memandang Kiyoomi dalam diam, bibirnya terkatup rapat.

Did you … did you kiss him?”

No, Toshi.”

Lie.

Did you have sex with him?”

Of course not!”

Another lie.

Did you ever think about me when you were with him?”

I may be with him all summer, but you were the one who always in my mind.”

Just keep on lying.

Kiyoomi mencoba menelan kegelisahan yang menggelayuti hatinya, tapi rasa takut akan kehilangan Wakatoshi begitu nyata, seolah-olah bisa merasuki setiap inci tubuhnya. Setiap tarikan napas terasa berat, hampir menyakitkan, ketika ia mencoba memahami apa yang mungkin sedang dipikirkan oleh lelaki yang duduk di sebelahnya.

Dalam keheningan yang memekakkan telinga itu, Kiyoomi tak bisa menahan diri untuk terus mengamati Wakatoshi. Matanya mengikuti setiap garis di wajah kekasihnya – rahang yang tegas, mata yang biasanya tenang namun kini tampak gelap dan penuh pertimbangan, dan bibir yang biasanya hangat namun sekarang tertutup rapat seakan menahan ribuan kata yang tak terucapkan.

“Toshi?” Kiyoomi akhirnya berbisik, hampir tanpa suara, seolah-olah panggilan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri daripada kepada Wakatoshi, seolah-olah memastikan bahwa Wakatoshi masih berada di sampingnya, tidak terlepas dari genggamannya. “Please, say something?”

Wakatoshi tetap diam, tapi Kiyoomi bisa merasakan ketegangan yang merambat di antara mereka, menyelimuti seluruh ruang dalam mobil, perlahan menghilang, diikuti oleh kegelisahan yang surut di wajah kekasihnya. Ia ingin sekali meraih tangan Wakatoshi, ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa mereka masih punya kesempatan, masih bisa memperbaiki semua ini. Namun ketakutan akan penolakan membuat tangannya tetap terkunci di pangkuannya sendiri.

Kiyoomi menundukkan kepalanya semakin dalam, menyadari betapa jauhnya jarak yang kini terbentang di antara mereka, meskipun mereka duduk begitu dekat. “Toshi …” Kiyoomi memecah kesunyian lagi, kali ini suaranya terdengar lebih putus asa. “Aku nggak tahu harus bilang apa lagi selain maaf. I’m still very much in love with you, with all of my being.”

“Aku tahu, Kiyo,” Wakatoshi akhirnya berkata, suaranya serak namun penuh ketulusan. “Aku tahu kamu cinta aku, but I don’t know if love is enough to fix all of this.”

Kiyoomi bisa merasakan rasa panas yang kembali membakar matanya, mengancam air mata untuk kembali turun menuruni pipinya. “Toshi, please, don’t do this to me.”

You did this to yourself.”

I know, but –”

“Kiyo.” Wakatoshi memotong ucapannya. Tangan Wakatoshi, yang sebelumnya menghindar dari sentuhan, perlahan-lahan meraih tangan Kiyoomi, mengunci jemari mereka dan menyalurkan kehangatan yang sebelumnya absen di antara mereka. “People might call me dumb for this, but, I love you too much to let you go. Kiyo, aku maafin kamu, tapi tolong, jangan kayak gini lagi, oke?”

Mendengarnya, lantas Kiyoomi menarik Wakatoshi ke dalam pelukannya. Ia menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher kekasihnya, mendekapnya dengan erat dengan figurnya yang gemetar, juga isakan pelan yang lolos keluar dari belah bibirnya begitu menyadari Wakatoshi membalas pelukannya. Pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Kiyoomi, menariknya mendekat, membisikan kalimat penenang, mengelus punggungnya dengan sayang.

Di dalam mobil yang kini terasa lebih hangat, di bawah cahaya lampu jalan yang menerangi malam, mereka tahu bahwa mereka telah menemukan kembali jalan menuju satu sama lain.

“Bisa gak, gak usah ikut campur urusan gue sama Wakatoshi?”

Kiyoomi berdiri di hadapan Tendou dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya, juga mata tajam yang menghunus belati ke arah laki-laki berambut merah itu. Tendou yang tengah sibuk menyantap makan siangnya sontak mengangkat kepalanya dan mendengus begitu melihat Kiyoomi, ia memutar bola matanya malas. “Gak ada halo atau apa kabar? Langsung ngomel?”

Ia menyentakkan sendok ke atas piring, kemudian mengalihkan seluruh perhatiannya ke arah Kiyoomi. “Kiyoomi, kenapa marah ke gue? Gue ‘kan cuma ngasih tahu apa yang gue lihat, Wakatoshi is my friend, he deserved to know what his boyfriend did behind his back.” Ia berkata dengan nada menyebalkan dan kepala Kiyoomi langsung terasa pening karena emosi yang mencapai ubun-ubunnya.

“Lagian,” Tendou kembali melanjutkan ucapannya. “Kalian ‘kan udah baikan, masih perlu marah-marah ke gue?”

“Iya, dan gue harap abis ini lu gak usah ikut campur lagi perihal urusan hubungan gue sama Wakatoshi.”

Tendou mengangkat kedua tangannya ke atas, menyerah berdebat dengan Kiyoomi yang masih diliputi amarah. “You do you. Wakatoshi is so dumb for taking your cheating ass back, knowing he was all alone in Sendai all summer, looking pathetic.”

Segala kalimat serapah yang siap terlontar sontak tertahan di tenggorokannya, api amarah yang terpancar di matanya berganfi dengan kebingungan. “Sendirian? Dia ‘kan temani neneknya di sana. What the fuck you’re talking about, Tendou?” Kiyoomi maju selangkah, berdiri menghimpit Tendou di antara tubuhnya juga meja kantin yang berkarat.

Tendou tertegun, tanda tanya imajinatif seolah muncul di atas kepalanya ketika ia memiringkannya dengan raut heran yang terlukiskan di wajahnya. “Hah? Neneknya udah meninggal dari tiga tahun lalu.”

Kiyoomi merasakan kepalanya berdenyut, pikirannya berputar. “He went to Sendai for three whole summer, Tendou.” Ia memejamkan matanya dan membawa jemarinya untuk mengurut pelipisnya yang seketika sakit. Tendou menatap Kiyoomi dengan ekspresi campur aduk antara kebingungan dan sedikit kesal. “Lu ngomong apa, sih? Kalian ini pacaran tapi gak pernah nanya-nanya atau … ngobrol gitu?”

Pertanyaan Tendou ia biarkan menggantung tanpa jawaban, namun rasa bingung dan kegelisahan yang menghimpit dadanya mengikuti langkahnya yang berbalik meninggalkan kantin.

“Aku mandi dulu, ya.” Perkataan Wakatoshi menarik Kiyoomi dari pikirannya sendiri. Pria itu menyampirkan handuk di bahunya kemudian berjalan menghampiri Kiyoomi dan membubuhkan kecupan ringan di keningnya. Kiyoomi memejamkan matanya, menikmati kehangatan tubuh kekasihnya, menghirup aroma samar parfum Wakatoshi yang perlahan hilang digantikan keringat juga bau khas lantai kayu di gimnasium tempatnya biasa latihan voli.

You didn’t shower right after practice?”

“Ini mau mandi.”

Kiyoomi mengernyitkan wajahnya, “Gross.”

Suara tawa Wakatoshi memenuhi kamar asramanya, sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi dan digantikan dengan suara kucuran air yang jatuh menghantam lantai. Kiyoomi termangu di tempatnya, jarinya memilin bantal di pangkuannya, sementara pandangannya terpaku ke arah ponsel milik kekasihnya yang tergeletak di atas ranjang.

Perkataan Tendou memenuhi kepalanya, soal Wakatoshi yang berbohong mengenai neneknya, dan sekeras apapun Kiyoomi berpikir, dia tidak bisa menemukan alasan masuk akal di balik kebohongan pria itu. Sambil menggerutu, Kiyoomi meraih ponsel Wakatoshi yang tidak pernah dipasangkan passcode – salah satu alasan kuat mengapa Kiyoomi tidak pernah menaruh secuil rasa curiga kepada kekasihnya karena ia bertindak seperti tidak memiliki apapun di balik punggungnya. Jemarinya dengan lihai berselancar di atas layar ponsel Wakatoshi, membuka satu per satu aplikasi demi mencari jawaban yang mungkin dapat mengangkat kegelisahan yang menghimpit dadanya hingga sesak.

Kontak yang bertengger di aplikasi pesan dengan nama ‘Nenek’ mencuri perhatiannya. Kiyoomi mengambil napasnya dalam-dalam sebelum ia membuka ruang percakapan antara Wakatoshi dan neneknya yang menurut Tendou sudah berpulang tiga tahun lalu. Tiap bubble chat yang terpampang dengan jelas di layar ponsel membuat jantungnya jatuh merosot hingga ke lutut, kepalanya pening, dan napasnya tercekat dengan menyakitkan. Tidak ada satu pun kata nenek, namun, kata ‘Tooru’ dan ‘sayang’ dan ‘I love you’ tertulis jelas di sana.

Wakatoshi [13.01]

Tooru, kamu udah makan? Jangan lupa makan. Aku masih latihan voli.

Nenek [13.05]

Udah. Can I call you? I miss you

Wakatoshi [13.06]

Can’t, sayang. I’m with my boyfriend. I’ll call you later at night, okay? I miss you as well.

Nenek [13.08]

Ugh, okay. Nanti aja kalau gitu

Kiyoomi terus menggeser ruang percakapan mereka hingga ke atas, ketika matahari musim panas masih bertengger di langit, ketika Wakatoshi masih berada di Sendai.

Wakatoshi [08.14]

Tooru, kamu gak apa-apa ‘kan?

Nenek [08.17]

Besides that I’m actually limping I’m fine

Wakatoshi [08.17]

I’m sorry for being too rough last night.

Nenek [08.18]

Do you also fuck your boyfriend like this?

Wakatoshi [08.20]

Not as hard as when I’m doing it with you.

Kiyoomi rasanya mau muntah. Makan siangnya naik ke atas dan mengancam untuk keluar, gumpalan menghimpit tenggorokannya hingga kesulitan bernapas. Matanya yang membola dan memanas terus membaca tiap percakapan yang ada, terus naik hingga ke tahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu. Suara air yang mengucur di kamar mandi menemani diamnya yang menyesakkan. Nama Tooru terus tertulis di tiap gelembung obrolan ditemani ‘sayang’ dan ‘I love you’.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

No responses yet