beyond perspective

deera
27 min readOct 23, 2024

--

BACA SAMPAI BAWAH (SCROLL TERUS SETELAH ‘THE END’)

Siang itu, Rin duduk di ruangan terapi, maniknya menatap jam dinding seolah-olah dia bisa memperlambat waktu dengan kekuatan pikirannya. Ia sudah datang ke sini selama lebih dari setahun, tapi hari ini rasanya berbeda. Bukan kecemasan yang biasanya menguasainya selama sesi terapi melainkan hari ini dia merasa hampa. Seolah-olah beban pikirannya sudah terlalu berat untuk dipikul sendirian, tapi alih-alih runtuh, dia justru menjadi kebas. Rin mencoba menyingkirkan perasaan itu, memusatkan perhatian pada wanita di depannya, yang penanya bergerak dengan ritme konstan di atas buku catatannya.

“Aku coba buat menjalin hubungan lagi,” Rin memulai, suaranya pelan membelah kesunyian, seakan dia berbicara dari tempat yang terkubur jauh di dalam dirinya. “Aku pikir aku siap. Aku mau siap. Tapi … gak berjalan lancar, dan aku gak tahu kenapa.”

Terapisnya, seorang wanita berusia empat puluhan dengan mata lembut tapi tajam, menatap dari balik kacamatanya. Ia berpakaian formal seperti biasanya— tenang, terkendali, sebuah konstanta dalam kekacauan yang sering menguasai pikiran Rin. “Apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyanya, suaranya stabil tapi penuh perhatian.

Rin ragu sejenak, menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. “Dia baik banget sama aku—terlalu baik, malah. Dia sabar, perhatian, dan dia gak manipulatif … kayak yang dulu.” Dia berhenti, pikirannya melayang sejenak ke masa lalunya. “Tapi setiap kali dia nunjukkin kebaikan, aku malah menjauh. Aku jadi kesal, kayak … itu tuh berlebihan. Kadang aku jadi dingin, dan di lain waktu … aku malah marah-marah tanpa alasan.”

Pena terapisnya terhenti, melayang di atas halaman saat dia memberi Rin tatapan menelisik. “Menurutmu kenapa kamu bisa merasa begitu?”

Rin menggosok-gosok tangannya, merasakan frustrasi yang familiar kembali merayap di dalam dirinya. “Aku gak tahu. Aku merasa dia terlalu memahami, terlalu baik. Dan itu bikin aku jengkel. Aku tahu aku gak seharusnya merasa kayak gini—dia gak pantas diperlakukan kayak gitu. Tapi aku gak bisa nahan rasa kesalku.” Dia menghela napas, beban tindakannya menekan dirinya. “Dan yang paling parah? Aku tahu dia sudah mulai capek sama aku. Aku bisa tahu dari caranya dia ngelihatin aku, kadang-kadang, kayak dia siap pergi. Tapi setiap kali dia nunjukkin tanda-tanda itu, aku langsung berubah. Aku bersikap baik, aku janji akan berubah, dan itu berhasil. Dia gak putusin aku. Tapi … semuanya terulang lagi. Aku gak bisa stop siklus ini.”

Terapisnya meletakkan buku catatan di atas meja kemudian melipat tangannya di atas pangkuan. “Rin, kamu sadar gak apa yang kamu lakuin ke pacarmu?”

“Apa maksudnya?” Suara Rin gemetar, ketidakpastian berdenyut di dadanya.

“Kamu memanipulasi dia.”

Kata-kata itu menghantam Rin seperti tamparan di wajah. Jantungnya berdegup kencang saat dia duduk lebih tegak, menggelengkan kepalanya dalam penyangkalan. “Itu gak benar. Aku tahu rasanya dimanipulasi. Aku pernah dimanipulasi, dan aku gak akan pernah lakuin itu ke orang lain.”

“Tapi kamu lakuin itu, Rin.” kata wanita itu dengan tegas. “Kamu nyakitin dia dengan kata-kata dan tindakanmu. Kamu jauhin dia, dorong dia buat menjauh, dan saat kamu merasa dia sudah capek dan mau mengakhiri hubungan kalian, kamu narik dia kembali agar tetap tinggal. It’s a pattern, Rin. You haven’t healed from what happened to you, and because of that, you’re bleeding all over someone who had nothing to do with your pain.”

Rin mengepalkan tangan di pangkuannya, kemarahan dan rasa malu berputar dalam dirinya. “Gak, gak mungkin. Itu bukan aku. Aku gak kayak dia—aku gak kayak mantan pacarku.”

Pandangan terapisnya melembut, tapi kata-katanya tetap tajam, menembus semua pertahanan Rin. “Kamu pernah dengar, ‘The abused becomes the abuser when the abused does not heal’? Itu gak selalu disengaja, Rin, tapi bisa terjadi. Kamu pernah terluka begitu dalam, dan bekas luka yang kamu bawa itu … belum sembuh. Dan sekarang, kamu tanpa sadar mengulang siklus tersebut.”

Untuk pertama kalinya, Rin merasakan rasa takut yang amat menyesakkan, mengetahui bahwa mungkin, dia telah menjadi hal yang paling dia benci.

“Kamu kosong ‘kan hari Jumat? Aku mau ajak kamu pergi.” Suara pacarnya memecah keheningan di antara keduanya.

Rin menoleh untuk memperhatikan pacarnya yang dengan canggung memotong sayuran di atas talenan. Keningnya berkerut menahan kesal ketika melihat sayuran yang dipotong tidak rata dan tersebar berantakan di atas meja dapur. Kekacauan di hadapannya membuat kepalanya sakit. Osamu gak akan berantakin dapur kayak gini, suara lain dalam diri Rin muncul di pikirannya. Osamu bisa motong sayuran dengan rapi, rata, dan gak berantakan. Rin menggeleng pelan, berusaha mendorong suara itu ke belakang kepalanya.

“Rin?” Suara pacarnya kembali terdengar, dan Rin berkedip seolah baru tersadar.

“Ya? Maaf, tadi kamu bilang apa?”

“Aku tanya, kamu kosong ‘kan hari Jumat? Aku mau ajak kamu ke tempat yang spesial buat hari istimewa kita.” Pacarnya tersenyum penuh harap, sementara tangannya terus memotong sayuran dengan sembarangan.

Rin melirik ke arah panci sup yang mendidih di atas kompor, berpura-pura fokus pada masakan alih-alih rasa gelisah yang tiba-tiba menjalar di perutnya. “Hari istimewa? Hari istimewa apa?” tanyanya, nada suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Senyum pacarnya perlahan memudar saat dia mendekat, menyerahkan mangkuk berisi sayuran yang dipotong asal-asalan. Rin mengambilnya, meringis saat ia menuangkannya ke dalam panci, menyaksikan potongan-potongan yang tidak rata itu mengambang di permukaan sup seperti sebuah lelucon. Ia pun kembali mengaduk panci dengan gerakan otomatis, tapi pikirannya melayang, mencari-cari tanggal dan momen yang mungkin terlewatkan. Bukan ulang tahunnya, dia yakin itu. Kapan ulang tahun pacarnya itu? September? Oktober? Ulang tahun Osamu di bulan Oktober. Suara itu kembali.

Rin mengutuk pelan di bawah napasnya, kesal pada dirinya sendiri, pada perbandingan yang terus menghantuinya. Hari istimewa apa? Jawaban itu menghantamnya sesaat kemudian, seperti beban berat yang jatuh di dadanya.

“Ugh, anniversary pertama kita.”

Pikiran Rin tiba-tiba kosong. Tangannya berhenti bergerak, menggenggam sendok kayu hingga buku-buku jarinya memutih. Suara sup yang mendidih memenuhi keheningan yang kikuk. Rin pun kembali berbalik menghadap pacarnya, yang kini menatapnya dengan ekspresi terluka.

“Rin, jangan bilang kamu lupa.” Pria itu berkata dengan nada suaranya terdengar tidak percaya.

“Gak, aku gak lupa.” jawab Rin dengan cepat, terlalu cepat, terlalu defensif. Alis pacarnya terangkat tinggi hingga hampir menyentuh garis rambutnya.

“Ini anniversary pertama kita, lho, babe. Aku bakalan sedih banget kalau kamu lupa.”

“Aku gak lupa,” kata Rin tegas. “Tanggal 3 September, ‘kan? Aku gak akan lupa hal sebesar itu.”

“Tanggal 2 September.” Pacarnya mengoreksi, lalu pria itu menghembuskan napasnya lelah.

Wajah Rin memanas, tapi dia menolak mundur. “Kita rayain hari Jumat, kok. Jumat itu tanggal 3 September.”

Anniversary kita tanggal 2,” Pria itu kembali mengingatkannya dengan suara lelah. “Kita pergi hari Jumat karena kamu ada latihan di hari Kamis, atau kamu lupa juga soal itu?”

Rin menghela napas, mengusap rambutnya dengan frustasi. “Maaf, oke? Aku cuma lagi banyak pikiran.”

“Kamu selalu bilang lagi banyak pikiran.” katanya, suaranya meredup, kesedihan di nadanya tak bisa disembunyikan. Pria itu beralih ke rice cooker, mengambil piring dari lemari tanpa melihat ke arah Rin.

Rin menahan diri untuk tidak kembali menghela napas, tapi rasa kesalnya semakin memuncak. Dia tahu dia mengecewakan pacarnya, tapi dia tidak bisa menghentikan kata-kata yang keluar dari mulutnya, kata-kata yang dimaksudkan untuk menjaga pacarnya agar tetap di sisinya meskipun dia merasa seperti seorang bajingan. “Ya, aku memang banyak pikiran,” kata Rin dengan tajam. “Makanya aku pergi terapi. Kamu tahu, aku gak stabil. Aku gak mau begini, tapi aku gak bisa. I’m still in treatment. Tolong, Eita, ngertiin aku.”

Eita akhirnya menoleh, matanya melunak melihat Rin yang memohon. “Maaf Rin.” katanya dengan lirih. “I know you’re struggling. Maaf aku malah nambah beban pikiranmu.” Suaranya terdengar parau, tapi dia berusaha tersenyum. “Kamu tahu aku sayang kamu, ‘kan?”

Rin mengangguk, tapi dia hampir tidak mendengar kata lanjutannya. Matanya kembali ke panci, memperhatikan sayuran yang mengambang tak beraturan. Eita kembali berbalik ke arah rice cooker, membuka tutupnya sebelum menggerutu. “Aw, man, kayaknya aku kebanyakan ngasih air. Nasinya jadi lembek.”

Osamu gak akan bikin kesalahan kayak gitu. Suara di pikirannya yang amat menyebalkan itu muncul kembali. Osamu pasti masak nasi dengan sempurna. Kali ini, Rin tidak berusaha melawan pikirannya sendiri. Dia membiarkannya tinggal, membiarkannya memenuhi kepalanya hingga riuh. Dia tak mengatakan apa-apa saat Eita mengumpat pelan, sepenuhnya fokus pada sup yang sedang ia aduk di panci, pada sayuran berbentuk jelek yang mengapung dan semakin membuatnya jengkel.

Rin duduk di kursi yang biasa dia tempati setiap sesi terapi dengan tangannya yang terlipat longgar di dada. Matanya menatap keluar jendela, memperhatikan dedaunan yang bergoyang lembut tertiup angin. Meski pemandangannya tenang, pikirannya jauh dari damai. Terapisnya, yang duduk di seberang dengan catatan dan pena di tangan, memperhatikannya sejenak dalam diam sebelum memulai pembicaraan. Suaranya selalu tenang, selalu terukur.

“Halo, Rin, gimana kabarnya? How do you feel today?” tanyanya, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan seperti tamu yang tak diundang.

Rin menoleh sebentar, menatapnya dengan pandangan kosong, sebelum kembali memandang keluar. Dia berkedip pelan, membiarkan pertanyaan itu bergulir sejenak di dalam kepalanya. Apa yang dia rasakan? Pertanyaan yang selalu dilontarkan, namun, ia tidak pernah bisa memberikan jawaban yang pasti. Setelah jeda yang cukup panjang, Rin mengangkat bahunya acuh lalu menjawab. “Sedih. Tapi, aku memang selalu sedih.” jawabnya singkat.

Terapisnya mengangguk pelan, menuliskan sesuatu di buku catatannya. Wanita itu tidak langsung menekannya dengan pertanyaan lanjutan, memberi ruang bagi Rin untuk sekedar bernapas maupun merangkai kata-kata baru. Rin menghargai itu—dia tidak pernah memaksa terlalu keras, tapi cukup untuk membuatnya berpikir.

“Bagaimana hubunganmu sama pacarmu?” lanjutnya setelah beberapa saat.

Mata Rin kembali menatapnya, dan dia merasakan sedikit sesak di dadanya—mungkin rasa bersalah, atau mungkin sesuatu yang lain. Pikirannya terlempar pada Eita, pacarnya yang mungkin saat ini sedang menunggunya di rumah, mencoba memahami dirinya seperti biasa. Jari-jemari Rin sedikit bergerak, seakan ingin meraih ponsel untuk mengirimi Eita pesan, tapi dia menahan diri.

“Hubungan kami baik-baik aja,” Rin menjawab setelah terdiam sesaat. Dia duduk sedikit lebih tegak, seolah-olah dengan cara itu dia bisa membuat ucapannya terdengar lebih meyakinkan. “Minggu lalu anniversary kami yang pertama. We had dinner at this really nice restaurant. Fine dining, you know, candles, fancy wine, all that. Then we exchanged gifts.”

Dia berhenti sejenak. Dia bisa hampir merasakan kembali senyum Eita yang cerah saat membuka hadiah yang telah Rin pilihkan dengan hati-hati. Ia ingat bagaimana hangatnya genggaman tangan Eita di tangannya, bagaimana matanya bersinar penuh kebahagiaan yang tulus. Malam itu terasa … menyenangkan. Namun, ada kekosongan yang tak bisa ia singkirkan sepenuhnya.

“Itu bagus, Rin,” kata terapisnya, suaranya lembut dan senyuman terdengar di tiap suku katanya. “Sounds like things are going well.”

Rin mengangguk, meski perasaan tidak nyaman itu tetap ada, menghantui pikirannya, menghimpit rongga dadanya. Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan oleh terapisnya sama sekali tidak mengejutkan, tapi tetap saja terasa seperti pukulan kecil di dada.

Do you love him yet?”

Tubuh Rin menegang sedikit. Dia tahu pertanyaan itu akan datang, tapi tetap saja rasanya seperti tuduhan yang halus. Dia bergeser di kursinya, jari-jarinya kini mencengkeram pegangan kursi dengan erat. Pikirannya berlari, memutar ulang momen-momen bersama Eita, yang baik, yang buruk, dan yang ada di antaranya. Eita begitu baik, sabar—lebih sabar dari siapa pun yang pernah Rin kenal. Eita memperlakukannya dengan kasih sayang yang hampir terasa mencekik pada beberapa kesempatan.

I’m still trying.” Rin mengakui, suaranya kini lebih pelan, lebih ragu. “I meanI like him. I like him a lot. And I want to love him like he loves me, but—”

Kalimatnya terhenti di ujung lidah. Apa yang menahannya? Apa yang membuatnya tidak bisa merasakan seperti yang seharusnya? Terapisnya menunggu, tatapannya tak pernah lepas dari Rin. Dia tidak mendesak, hanya memberikan ruang bagi Rin untuk memproses pikirannya.

“Rasanya susah.” lanjut Rin akhirnya, suaranya terdengar lebih tegang. “Dia … dia segalanya yang bisa aku minta. Dia baik, dia pengertian. Dia sabar banget, bahkan pas aku ngerasa gak pantas mendapatkannya. But every time I think I’m getting close to … to feel something real, something deeper, it’s like … there’s a wall. I just can’t get past through it.

Terapisnya menuliskan beberapa catatan lagi, tapi tetap membiarkan Rin berbicara.

“Aku mau cinta sama dia. Aku benar-benar mau.” bisik Rin, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Tapi kadang rasanya aku cuma … ngejalanin ini setengah hati.”

Suara Rin retak sedikit di akhir kalimatnya, dan dia menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangannya. Dia benci merasa seperti ini—begitu putus asa, begitu menyedihkan. Dia tahu Eita pantas mendapatkan yang lebih baik, tapi Rin tidak yakin apakah dia bisa memberikannya. Tidak sekarang. Mungkin tidak pernah.

“Kamu pikir ada sesuatu yang menahanmu?” tanya terapisnya dengan lembut, penanya kini berhenti bergerak.

Rin tidak langsung menjawab. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mungkin itu adalah beban dari masa lalunya, luka yang belum sepenuhnya sembuh dari hubungan sebelumnya. Mungkin ada sesuatu yang rusak di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki meskipun dia berusaha sekuat tenaga. Atau mungkin, jauh di lubuk hatinya, dia takut akan apa yang dapat terjadi jika dia benar-benar peduli.

“Aku gak tahu,” jawab Rin akhirnya, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan. “Aku benar-benar gak tahu.”

Rin terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya, seakan ada palu yang terus memukul tempurung kepalanya tanpa henti. Di antara rasa pusing dan kantuk yang masih berat menggantung di pelupuk matanya, ponselnya berbunyi nyaring, memekakkan telinga di malam yang sepi. Matanya menyipit saat mencari ponsel yang terjebak di bawah selimut, dan ketika akhirnya menemukannya, nama Eita terpampang jelas di layar. Rin mendengus kesal ketika ia melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Baru kali ini dia bisa tertidur lebih awal, setelah berbulan-bulan disergap insomnia. Efek obat yang ia minum akhirnya bekerja, dan kini momen langka itu dirusak oleh panggilan telepon. Rasa frustrasi membara di dadanya saat dia menjawab panggilan tersebut, suaranya terdengar tajam, hampir memaki.

“Apa?” Rin menjawab singkat, dengan nada penuh iritasi. Di seberang sana, suara musik dan orang-orang yang bercakap-cakap terdengar samar, membuat suasana semakin tidak menyenangkan. “Mau apa, sih?”

“Rin, sayang, kamu di mana? Acaranya sudah mau mulai.” suara Eita, meski tenggelam di antara kebisingan, masih terdengar penuh harap. Seakan dia masih menunggu Rin muncul kapan saja.

Rin mengerutkan kening, kebingungan merayap di benaknya yang masih kabur digantungi kantuk. “Mulai apa? Ini sudah jam sembilan malam, Eita. Aku baru aja tidur, akhirnya obat aku mempan dan kamu malah bangunin. This better be important.”

Keheningan di ujung panggilan terasa berat, sebelum akhirnya Eita kembali bersuara, lembut tapi penuh kekecewaan. “Aku manggung malam ini, Rin. Sama band aku. Kamu bilang bakal datang.”

Seluruh tubuh Rin membeku, seperti ada air es yang tiba-tiba disiramkan ke kulitnya. Rasa bersalah menjalar perlahan, tetapi dia berusaha menekannya, membunuhnya sebelum sempat muncul ke permukaan. Dia menghela napas panjang, mencoba menahan frustrasi yang mulai kembali muncul. “Aku kira dua hari lagi?”

“Gak, sayang.” suara Eita bergetar, musik dan keramaian di sekitarnya membuat percakapan semakin sulit didengar, tapi rasa kecewa di tiap kata yang terucap tak bisa disembunyikan. “Acaranya malam ini. You said you would be here.”

Rasa bersalah itu kini menekan dada Rin, tapi dia menolaknya mentah-mentah, menelannya dengan rasa kesal yang lebih besar. “Maaf, benar-benar kelewatan dari pikiranku. Aku lupa. Good luck, ya, kirimin foto aja nanti—”

“Tunggu!” Suara Eita memotong, terdengar begitu putus asa, seakan mencoba menahan Rin sebelum dia benar-benar mengakhiri percakapan. “Kamu gak bakal datang?”

Rin merasakan denyutan di kepalanya yang semakin parah, tapi kali ini dia memilih untuk mengabaikannya. “Aku sudah di tempat tidur, Eita. Kamu mau aku ngapain? Lari ke sana? Udah malam, dan aku capek habis latihan.”

“Tapi … kamu ‘kan janji.” Suara Eita terdengar semakin pelan, seolah kata-kata itu menyakiti dirinya sendiri. “Kamu bilang bakalan datang. Ini penting buat aku.”

Rin mendengus, memutar mata meski tak ada yang bisa melihat. “Ya, dan aku lupa. Hal biasa kan. Semua orang juga lupa.” Nadanya semakin dingin, sinis, seperti dia sudah tak lagi ingin ada di percakapan itu. “Aku bakal datang ke gig kamu yang berikutnya, oke? Kamu pasti keren kok malam ini.”

Keheningan yang menyusul terasa begitu menekan. Rin bisa merasakan kekecewaan Eita di ujung sana, begitu nyata seakan menembus telepon dan menekan dada Rin. Dia tahu kata-katanya kejam, tapi dia terlalu lelah, terlalu jenuh untuk menariknya kembali.

“Tapi, Rin … ini gig besar pertamaku. Di klub besar, ada ratusan orang. This is important, at least for me.”

Ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul di dada Rin, seperti ada yang mencubit hatinya, tapi dia terus menolak merasakannya. “Kamu udah punya ratusan orang yang nonton kamu, ‘kan?” Rin menjawab dengan datar. “Kamu gak butuh aku di sana.”

Keheningan di telepon kali ini begitu mencekam. Rin bisa merasakan kesedihan yang mengalir dari suara Eita, begitu kuat sampai-sampai membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat. Dia tahu dia telah mengatakan hal yang salah, tapi dia terlalu lelah untuk memperbaikinya.

“Tapi, Rin—”

“Oh, God, Eita,” Rin memotongnya dengan suara tajam, akhirnya kesabarannya habis. “Don’t be such a child.”

Oh, Rin, don’t be such a child.

Kata-kata itu keluar begitu saja sebelum dia sempat berpikir. Dan begitu keluar, tubuh Rin seketika merinding. Bukan hanya karena kata-katanya, melainkan juga karena suaranya sendiri, atau lebih tepatnya suara yang familiar. Osamu. Wajah dan suara mantan pacarnya itu tiba-tiba muncul dalam benaknya, lengkap dengan kalimat yang sama, dilontarkan padanya di masa lalu.

Seluruh tubuh Rin gemetar, dadanya terasa sesak. Nafasnya menjadi tidak beraturan, dan tangannya bergetar sedikit saat memegang ponsel.

Suara Eita, parau dan patah, terdengar untuk terakhir kali di telepon. “Maaf, Rin. Maaf udah ngebangunin kamu. I’ll send you pictures, just go back to sleep. I love you.

Panggilan telepon pun mati, dan Rin berharap dirinya juga demikian.

Rin melangkah memasuki ruangan terapi, aroma antiseptik dan jejak samar wangi melati mengisi udara. Suara jam yang berdetak pelan menggema memantul di dinding, menandai setiap detik yang membuat kegelisahannya semakin menumpuk. Terapisnya duduk di seberang, seperti biasa, wajahnya tenang, pena siap di atas buku catatan. Dinding ruangan dicat dengan warna netral, membosankan tapi entah bagaimana malah terasa menyesakkan. Rin sudah terlalu sering ke sini, sampai dia hafal setiap sudut, setiap retakan di cat, setiap kerutan di kain sofa. Dan seperti yang sudah diduganya, sesi ini dimulai dengan pertanyaan yang selalu sama. “Gimana perasaanmu hari ini, Rin?”

Rin menelan air liurnya, tenggorokannya terasa kering. Jemarinya mencengkeram sofa dengan kuat, buku-buku jarinya memutih di bawah tekanan yang ada. Kecemasan di dadanya seolah menyebar ke seluruh tubuh, otot-ototnya terasa kaku, seperti pegas yang hampir patah.

“Takut.” dia mengakui, suaranya kental dengan keputusasaan. “Gelisah.”

Terapisnya mengangguk, pena di tangannya sudah mulai bergerak dengan cepat di atas kertas. Mata Rin mengikuti gerakan itu, merasakan setiap kata yang dia ucapkan seolah-olah terukir di atas batu. Dia takut dengan apa yang sedang ditulis, takut dengan apa arti dari kata-katanya.

“Kenapa kamu merasa begitu?” tanya terapis itu, nada suaranya lembut, terlalu lembut, seolah Rin bisa pecah jika dia berbicara terlalu keras.

Rin menghembuskan napas yang tanpa disadari ia tahan. “Aku bilang sesuatu yang jahat ke pacarku,” dia berkata, suaranya nyaris seperti bisikan. Rin menundukkan pandangannya ke tangannya sendiri, memperhatikan betapa kerasnya jemarinya mencengkeram bantalan sofa. Jari-jarinya sudah mati rasa, tapi dia seolah tidak bisa melepaskan cengkeramannya. “Aku tahu itu nyakitin dia, karena dulu, seseorang pernah bilang hal yang sama ke aku, dan rasanya sakit banget.”

Terapisnya berhenti menulis lalu memandangnya. “Apa yang sebenarnya kamu takuti, Rin?”

Udara di ruangan terasa tebal, berat dengan beban pikirannya. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab, dan ketika ia berbicara, suaranya bergetar.

“Diriku sendiri.” katanya, napasnya seakan terhenti ketika dia memaksa kata-kata itu keluar. Pengakuannya menggantung di udara di antara mereka, mentah dan rapuh.

“Kenapa?” Pertanyaan wanita itu itu sederhana, tapi terasa seperti pukulan telak di perutnya.

Pikiran Rin berputar. Ia melihat kilasan masa lalu—wajah-wajah, suara-suara, kata-kata tajam yang masih terasa menyengat. Kenangan itu selalu ada, mengintai di balik permukaan, menunggu saat-saat terburuk untuk muncul ke permukaan. “Aku takut berubah kayak orang yang jadi sebab kenapa aku duduk di ruangan ini.”

Pena milik terapisnya kembali bergerak menggores lembaran buku catatan. Dalam pikirannya, Rin berharap ujung pena yang tajam itu menggores kulitnya hingga darah menetes di atas lantai, mungkin dengan begitu riuh di pikirannya bisa berubah menjadi sunyi.

“Masih ingat gak waktu pertama kali kita ketemu?” Suara Eita memecah heningnya malam, menyatu dengan bisingnya lalu lintas yang konstan di bawah apartemen mereka. Waktu menunjukkan hampir tengah malam, dan mereka berdua berdiri di balkon, menikmati lampu kota yang berkelip-kelip dari lantai 23 layaknya bintang di kejauhan. Angin malam yang dingin menerpa wajah Rin, membuat rambutnya sedikit berantakan, sementara Eita berada di sampingnya sambil menyesap teh yang masih mengepulkan asap.

Rin menoleh ke arah Eita, melemparkan senyum tipis. “Iya, dong. Di stasiun kereta.” Rin berhenti sejenak, mengingat dengan jelas malam itu. “Kamu duduk di sebelahku sambil bawa gitar, terus matamu merah karena habis nangis.”

Eita tertawa kecil, terdengar agak malu. “Kamu selalu ingat bagian nangisnya.”

Rin ikut tertawa, suara yang akhir-akhir ini jarang keluar darinya. Kenangan malam ketika keduanya pertama kali berjumpa terasa seperti gema yang jauh.

That was after one of my many failed gigs,” Eita melanjutkan, suaranya bercampur antara nostalgia dan frustrasi yang samar. Matanya sedikit mengabur, tenggelam dalam ingatan. “Aku hampir menyerah waktu itu. Rasanya, mungkin band ini bukan buatku. Mungkin semuanya gak sepadan dengan perjuangannya.”

Rin diam, membiarkan angin malam membawa kata-kata Eita.

“Tapi,” Eita menatapnya, matanya melembut, “malam itu di kereta, ada orang asing yang bilang ke aku bahwa aku gak boleh nyerah. Dia bilang aku harus terus berjuang, walaupun semuanya terasa gak mungkin.”

Rin menggeser tubuhnya mendekat.

Then,” Eita berdeham, “I sang him a song. He said it was the most beautiful thing that had ever happened to him.”

Rin tersenyum lebar, walaupun senyumannya tidak mencapai matanya. “Wah, siapa tuh?”

Eita terkekeh pelan, ia menjepit pipi Rin di antara ibu jari dan telunjuknya dengan main-main. “Aku gak tahu,” jawabnya dengan nada menggoda, “coba tebak.”

Thank you, Rin, for believing in me. It means more than you’ll ever know. And now, the band’s doing well. I mean, I still can’t quit my day job to pursue music full-time, but … we’re making progress.”

Rin merasakan tenggorokannya tercekat, sulit berkata-kata. Dia tahu Eita sungguh-sungguh dengan setiap kata yang diucapkannya, tapi yang Rin rasakan hanyalah rasa ketidaklayakan, seolah-olah dia tidak pantas menerima pujian itu, seakan dia hanya berpura-pura menjadi pasangan yang mendukung.

“Aku tahu kamu bisa,” Rin berbisik, memaksakan kata-katanya keluar. Lalu, tanpa berpikir—tanpa benar-benar memahami kenapa—tiga kata itu terlepas dari mulutnya, seolah-olah mereka sudah menunggu momen yang tepat untuk diucapkan.

I love you, Ta.”

Waktu seakan berhenti sejenak, kesunyian menggantung di antara keduanya. Mata Eita membesar, dan Rin bisa melihat keterkejutan yang menyelinap di wajahnya.

Y-You do? I – I love you, too. I always have.”

Suara Eita sedikit pecah, penuh kelegaan, tapi Rin merasa hampa. Dia tersenyum kembali, tapi pikirannya sudah melayang, mempertanyakan apakah dia sungguh-sungguh mengatakannya atau yang barusan terjadi hanya efek obat yang membius pikirannya, membuat perasaannya bingung. Dia tidak tahu lagi apa yang nyata—apakah itu cinta yang seharusnya dia rasakan atau hanya kepuasan diri untuk menjadi seseorang yang bisa terus Eita andalkan.

Angin kembali menerpa kulitnya, dingin dan tak kenal ampun, sementara Rin berdiri di sana, bertanya-tanya apakah dia baru saja mengucapkan kebohongan, atau yang lebih buruk, apakah dia telah menjadi seseorang yang tak lagi bisa membedakan antara kebenaran dan trauma masa lalu yang perlahan mengambil alih tubuhnya.

“Gimana perasaan kamu hari ini?” tanya terapisnya. Rin kembali duduk di kursi yang sudah begitu familiar, tapi tetap saja terasa mencekik. Ruang terapi itu—dengan dindingnya yang berwarna krem lembut—terasa seperti memojokkannya, tanpa memberi kenyamanan meskipun warnanya bermaksud menenangkan.

“Bahagia,” jawab Rin sambil tersenyum tipis. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, jari-jarinya tanpa sadar mengelus tepian sandaran kursi, kebiasaan kecil yang ia kembangkan selama setahun lebih menjalani sesi seperti terapi.

Terapisnya menatap Rin, matanya menyipit sedikit, mungkin karena jawaban itu tidak seperti yang biasanya ia dengar. Akan tetapi, ia cepat-cepat menyembunyikan reaksinya, menggenggam pena di tangannya lebih erat, lalu berkata, “Senang mendengarnya, Rin. Kenapa bisa?”

“Aku bilang ‘I love you’ ke pacarku,” ujar Rin, nada bicaranya santai, hampir tanpa perasaan. Kata-kata itu keluar begitu saja, seolah-olah dia sedang mengucapkan sesuatu yang sudah dia hafal, bukan sesuatu yang dia rasakan. Rin tertawa kecil, hampir seperti bisikan, seolah tak yakin apakah ini lelucon atau kenyataan yang lucu. “Rasanya … ya, baik-baik saja. Setelah aku ngomong gitu, dia ngelihat aku kayak aku adalah satu-satunya hal yang penting buat dia. Kayaknya, dia makin cinta sama aku sekarang. Rasanya … ya, melegakan?”

Terapisnya menatapnya sebentar, ekspresinya tetap tenang, tapi Rin bisa merasakan beratnya pertanyaan yang akan muncul berikutnya. Seperti ada sesuatu yang akan menghantamnya, tapi ia sudah pasrah.

“Kamu beneran tulus ngomong gitu, Rin?” tanyanya pelan, suaranya selembut belaian kapas di atas kulit. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seakan menunggu jawaban yang sebenarnya. “Apa pernyataan cintamu itu tulus?”

Rin tertawa lagi, lebih keras kali ini, tapi suaranya terdengar dipaksakan, menggema di ruangan kecil yang tiba-tiba terasa lebih sempit. Ia mengusap rambutnya, tidak repot-repot menyembunyikan rasa frustrasi yang mendidih di dalam dirinya. Matanya berpaling sejenak ke arah jendela—meski tidak ada banyak yang bisa dilihat di balik tirai yang setengah tertutup itu. Cahaya matahari masuk dengan lembut, menyorot lantai dalam garis-garis pucat, membentuk bayangan tipis yang tampak acak. Rin fokus pada bayangan-bayangan itu sejenak, seakan di sana ada jawaban yang dia cari tapi tak pernah bisa dia pahami.

“Apa itu penting?” akhirnya dia menjawab, suaranya terdengar main-main, penuh dengan nada sinis yang menggelitik. Tatapannya beradu dengan mata terapisnya, dan senyum tipis tersungging di bibirnya, meski matanya tetap kosong.

Terapisnya terdiam sejenak, pena di tangannya berhenti bergerak. Hening. Ruang itu terasa lebih sepi dari biasanya, dengan udara yang semakin tebal dan berat. Tatapan terapisnya melembut, dan Rin membencinya. Pandangan penuh simpati, seolah-olah ia mengerti sesuatu yang Rin tidak pahami, atau lebih buruk lagi, seolah-olah ia merasa sesuatu yang Rin tidak bisa rasakan untuk dirinya sendiri. Simpati itu menggerogoti dirinya, pelan-pelan tapi pasti.

Senyum kecil mengembang di wajah terapisnya, tapi itu senyum yang lemah, seakan dipaksakan. Bukan senyum yang hangat atau menenangkan – lebih seperti senyum yang diberikan seseorang ketika mereka tidak tahu harus berkata apa. Rin mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak melihatnya. Lebih mudah seperti itu.

Suara jam di dinding terdengar lebih keras, setiap detik terasa lambat dan menyiksa. Rin menggeliat di kursinya, tiba-tiba merasa gelisah. Tarikan napasnya panjang, seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang semakin kabur.

Apakah itu penting? Apakah benar-benar penting jika kata-kata itu tulus, selama kata-kata itu bisa membuat pacarnya tetap tinggal? Bukankah itu yang paling penting? Membuat seseorang tetap ada di sisimu, mengikat mereka dengan tiga kata yang sederhana itu. Kata-kata itu tidak perlu berarti apa-apa, asal mereka berhasil. Iya, ‘kan?

Malam itu adalah perayaan hari jadi tahun kedua mereka, dan cahaya lilin yang lembut memantul di atas meja restoran yang berkilauan. Aroma bumbu masakan yang dipanggang tercium samar di udara, bercampur dengan percakapan pelan dari para tamu, juga suara gelas-gelas anggur yang berdenting. Rin duduk di seberang Eita, senyuman tipis menghiasi wajahnya, menyembunyikan perasaan tak nyaman yang mulai menggulung dalam dadanya.

Di sisi lain, Eita tampak tak menyadari kegelisahan Rin. Matanya berkilauan dengan rasa sayang, sepenuhnya tenggelam dalam atmosfer romantis yang tercipta di restoran. Bagi Eita, malam ini sempurna—sebuah perayaan cinta yang telah berlangsung selama dua tahun.

Eita merogoh saku jaketnya, dan tanpa peringatan, mengeluarkan kotak beludru kecil. Rin tertegun, tubuhnya langsung kaku. Detak jantungnya tiba-tiba kacau.

Ketika tutup kotak itu dibuka, menampilkan cincin sederhana tapi elegan, pikiran Rin langsung kosong. Tubuhnya menegang, setiap otot seolah terkunci di tempatnya. Ia bisa mendengar suara darah berdesir di telinganya, menenggelamkan suara-suara para tamu di sekitar.

“Rin,” Suara Eita mengalun lembut, dipenuhi harapan dan kegugupan. Dia mencondongkan tubuh ke depan, senyum di wajahnya hangat, seolah-olah dia sudah membayangkan momen ini ribuan kali dalam benaknya. “Will you marry me?”

Waktu seolah berhenti. Mata Rin melebar, napasnya tertahan di tenggorokan saat kata-kata itu bergema di pikirannya, hampir seperti vonis mati. Menikah? Dunia seakan berhenti berputar. Kulitnya pucat, dan tangannya terasa dingin saat dia perlahan melepaskan genggaman tangan Eita. Pikirannya berusaha keras untuk mendapatkan kembali kendali, tetapi yang dia rasakan hanyalah ketakutan yang semakin lama semakin berat menghimpit dadanya.

“Eita, aku …” Kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia tidak bisa mengatakannya. Dia tidak bisa mengatakan tidak. Tapi, dia juga tidak bisa terus berada di sini. Restoran di sekitarnya mulai terasa sempit, dinding-dindingnya seperti menekan tubuhnya. Jantungnya berdetak semakin kencang, berdetak begitu keras hingga terasa menyakitkan.

Tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak sendiri. Rin mendorong kursinya, decitan kaki kursi yang menggores lantai nyaring terdengar di ruangan, dan berlari keluar, meninggalkan Eita yang terpaku dalam keheningan. Dia berlari, kakinya membawa tubuhnya menjauh dari restoran, menjauh dari cincin itu, dan menjauh dari kehidupan yang Eita bayangkan bersama dengannya.

Rin terus berlari sampai paru-parunya terasa terbakar. Akhirnya, dia berhenti di sebuah bangku di pinggir jalan, napasnya terengah-engah. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, dan kepalanya berdenyut hebat. Teleponnya bergetar di saku—nama Eita muncul di layar. Jarinya gemetar saat dia menjawab, suaranya pelan dan serak ketika dia akhirnya berbicara. “Aku gak bisa … aku gak bisa nikah sama kamu.”

Ada jeda di ujung telepon, panjang dan berat, saat Eita mencoba mencerna kata-kata Rin.

“Rin, kamu di mana? Kita bisa bica—”

“Gak,” Rin memotongnya, suaranya tegas meskipun terdengar retak di bawah beban kata-kata yang akan dia ucapkan. “I can’t do this anymore. I don’t… I don’t love you like that. Not enough to marry you. Not now, not ever.

Keheningan. Rin menutup matanya, menggenggam telepon begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia bisa mendengar napas Eita, bisa merasakan kesedihan di sisi lain telepon. Luka yang dia sebabkan, tapi tak ada pilihan lain.

“Aku minta maaf,” bisiknya, kata-katanya nyaris tak terdengar. “Tolong, ambil barang-barangmu besok.”

Sebelum Eita bisa merespons, Rin menutup telepon, tangannya gemetar saat dia menjatuhkan ponselnya ke pangkuan. Dadanya terasa hampa, seperti ada sesuatu yang tercabut dari dalam dirinya, tapi di saat yang sama, ada rasa lega yang aneh. Kekosongan itu meresap hingga ke tulang, menutupi sisa-sisa rasa bersalah. Dia menatap jalanan yang sepi, cahaya lampu jalan yang remang memanjang menjadi bayangan-bayangan panjang di atas trotoar.

Dadanya terasa nyeri, tapi ini yang terbaik, ‘kan? Itu yang terus-menerus dia katakan pada dirinya sendiri, meskipun ada bagian kecil dalam dirinya yang bertanya-tanya apakah dia baru saja melepaskan satu-satunya orang yang benar-benar mencintainya—yang melihat semua retak dan cacatnya. Tapi, itu tidak penting. Cincin, lamaran, janji-janji—semuanya terlalu berat. Terlalu berat untuk seseorang seperti dia.

Rin kembali berada di ruangan yang begitu familiar. Ia duduk di kursi berhadapan dengan terapisnya, jarinya tanpa sadar menelusuri jahitan celana yang ia kenakan. Suara jarum jam di dinding memenuhi keheningan, sementara terapisnya mencatat sesuatu di buku catatannya sebelum menatapnya dengan lembut.

“Gimana perasaanmu hari ini, Rin?”

Suara terapisnya lembut, kontras dengan kekacauan yang berputar di pikirannya. Rin terdiam sejenak, pandangannya kosong, pertanyaan itu tenggelam perlahan di hatinya yang berat.

“Hampa.” bisiknya akhirnya, nyaris tak terdengar.

Kekhawatiran samar melintas di wajah terapisnya, tapi dia tidak memaksa. Dia menunggu, memberi Rin ruang untuk mengumpulkan potongan-potongan kecil pikirannya yang tercecer. Rin mengepalkan tangan di pangkuannya.

“Kenapa kamu merasa hampa?” tanya terapisnya lagi, suaranya lembut, seperti takut memecahkannya dengan pertanyaan yang terlalu tajam.

“Aku gak tahu.” Rin menggigit bibir bagian dalamnya, merasakan sedikit rasa logam di lidahnya. Pandangannya mengarah ke jendela, hujan rintik-rintik membasahi kaca, setiap tetesnya meluncur pelan, meninggalkan jejak yang berliku di permukaan.

Terapisnya mengangguk, mencatat sesuatu lagi. Suara pena yang menggores kertas biasanya mengganggunya, tapi hari ini, Rin hampir tidak memperhatikannya. Dunia di sekitarnya terasa jauh, seperti tertutup lapisan tebal yang mengaburkan segalanya.

“Terus, gimana hubunganmu sama pacarmu?” tanya terapisnya setelah beberapa saat, mencondongkan sedikit tubuhnya. “Kami putus.” Rin menjawab dengan suara yang datar nyaris tanpa emosi. Matanya tetap tertuju pada lantai, seolah kata-kata itu tidak berarti apa-apa. Seolah-olah bukan dia yang mengucapkannya.

Wanita itu menurunkan bukunya, menyatukan tangan di pangkuannya, matanya tak lepas dari Rin. “Kamu sedih gak, setelah putus?”

Rin menelan air liurnya, tenggorokannya terasa kering. Pertanyaannya tersebut menggantung di udara, berat dan membingungkan. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengorek sedikit perasaannya yang tersisa, tapi tidak ada yang bisa diraih.

“Aku gak tahu.” jawabnya lagi. Keheningan kali ini terasa lebih panjang. Jarum jam terus berdetak, menghitung detik yang berlalu di antara mereka. Terapisnya bergeser sedikit di kursinya, wajahnya tetap tenang, meskipun matanya menunjukkan bahwa dia sedang menunggu, berharap Rin akan berkata lebih.

“Kamu nyesel gak?” tanya terapis itu pelan, suaranya hati-hati.

Rin mengerjapkan mata, perih terasa di pelupuknya, tapi tidak ada air mata yang keluar. Pikirannya melayang kembali ke malam itu—Eita yang duduk di hadapannya dengan cincin di tangannya, wajahnya yang penuh harap berubah terluka saat Rin pergi. Dia ingat panggilan telepon itu, bagaimana suara Eita bergetar, dan betapa pasti suaranya sendiri ketika mengakhiri semuanya.

“Aku gak tahu.” ulang Rin. Terapisnya tetap diam, memberikan ruang untuk Rin, tapi matanya tak pernah berpaling. Dia melihat lebih dalam, menyadari ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tersembunyi di bawah permukaan.

Rin menarik napas dalam-dalam, tapi tak banyak yang berubah. Kehampaan itu terasa semakin nyata, semakin berat. Dia tidak bisa merasa sedih. Dia tidak bisa merasa bersalah. Dia tidak bisa merasakan apa pun.

“Yang aku tahu,” bisiknya pelan, suaranya nyaris lenyap ditelan ruang, “All I feel is numbness. Everything.”

Terapisnya mengangguk pelan, tatapannya melembut. Dia tidak langsung berbicara, tidak menawarkan kata-kata penghiburan yang kosong atau nasihat yang tergesa-gesa. Sebaliknya, dia duduk bersamanya dalam keheningan, memberikan ruang bagi Rin untuk tenggelam dalam keputusasaannya yang sunyi.

Di luar, hujan masih turun, ritmenya yang lembut bertentangan dengan badai yang terus bergejolak di dalam diri Rin. Pandangannya tertuju pada jendela, tetes-tetes air hujan yang mengalir seperti air mata yang tak bisa ditumpahkannya. Dunia di luar terasa jauh, tak terjangkau, seperti dia sedang melihatnya melalui kaca yang berkabut, tak mampu menyentuh apa pun yang nyata.

Rin tidak tahu ke mana kakinya membawanya. Dia terus berjalan tanpa tujuan, tas gym tersampir di bahunya, dan kelelahan karena latihan terasa nyeri di persendiannya. Namun, dia tak ingin pulang. Dia terus berjalan, membiarkan pikirannya kosong, hingga akhirnya sebuah tanda yang familiar muncul di hadapannya.

Tanpa berpikir panjang, Rin mengikuti aroma nasi hangat yang tercium dari pintu yang terbuka. Restoran itu ramai, dipenuhi suara obrolan dan denting piring yang saling beradu. Tempat ini begitu akrab, sebuah sudut yang pernah jadi bagian dari kehidupannya, meski sudah lama tak ia kunjungi. Setiap sudutnya masih melekat di ingatannya. Para pekerja tersenyum saat melihatnya, tapi Rin hampir tidak menyadarinya. Pandangannya hanya tertuju pada satu sosok di balik konter, yang sibuk membentuk nasi menjadi segitiga.

Hatinya berdebar keras ketika matanya memandang pria itu. Kehampaan yang selama ini menyelimuti tubuhnya setelah putus dari Eita seolah menghilang begitu saja. Sebagai gantinya, berbagai macam perasaan menghantam dirinya dalam satu waktu. Dia tidak yakin apakah itu ketakutan, kerinduan, atau sesuatu yang lebih gelap, tapi yang jelas, hal itu membuat napasnya terhenti.

Osamu.

Dia ada di sana, begitu dekat, begitu nyata. Pria yang pernah menghancurkannya, meninggalkan bekas luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Mata abu-abu Osamu yang familiar mengarah padanya, dan untuk sesaat, Rin merasakan semuanya sekaligus. Jantungnya berdebar cepat, keras, begitu keras sampai dia bisa mendengarnya di telinganya. Darahnya mengalir cepat, panas di bawah kulitnya, seperti api yang membakar dari dalam. Dia tidak tahu apakah dia takut atau rindu. Mungkin keduanya.

“Rin?” Suara Osamu memecah kebisingan restoran, rendah dan penuh keraguan. Ada ketidakpercayaan di sana, nada kebingungan, seolah Rin adalah hantu dari masa lalu yang sudah lama terkubur. Osamu terlihat lelah, wajahnya pucat, pipinya sedikit cekung. Lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara, menggantung berat seakan sudah lama tak mendapatkan tidur yang layak.

He looked older. He looked wearier. He looked like the love of his life.

“Rin, ini beneran kamu?” Osamu bertanya lagi, suaranya sedikit lebih tegas sekarang, meski matanya masih membulat penuh keterkejutan.

Rin tak bisa berbicara. Tenggorokannya terasa menutup, kata-kata tertahan di belakang lidahnya. Apa yang dia lakukan di sini? Seharusnya dia tidak datang. Tapi dia tak bisa pergi. Dia tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Osamu, wajah yang selalu menghantui mimpinya. Hidupnya.

“Rin?” Alis Osamu berkerut, kebingungannya semakin dalam seiring hening yang terus memanjang di antara mereka. Rin menelan air liurnya, berusaha menenangkan suaranya. Saat akhirnya dia berbicara, suaranya keluar dengan serak, hampir seperti bisikan. “Osamu, would you break my heart again if I asked you to?”

Ekspresi Osamu membeku, keterkejutan terpancar di matanya. Rin bahkan tak yakin kenapa dia mengatakan hal itu. Namun, yang pasti, Osamu bisa menghancurkannya lagi, memecahkannya menjadi kepingan-kepingan, dan Rin akan membiarkannya. Karena hatinya tak pernah benar-benar sembuh. Dan bahkan dalam keadaan hancur, hatinya hanya berdetak untuk Osamu.

Osamu menatapnya lama, rasa penyesalan dari masa lalu tergambar jelas di wajahnya. Keheningan di antara mereka terasa menyesakkan, semakin lama semakin berat, seolah waktu sendiri berhenti di sekitar keduanya. Meski begitu, Rin tetap berdiri di sana, menunggu jawaban yang mungkin tidak benar-benar ia inginkan.

Osamu membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi, seolah mencari kata-kata yang tepat, namun tak menemukan satu pun. Suasana restoran tampak memudar, suara-suara dan orang-orang di sekitar mereka perlahan menghilang, seperti dunia hanya menyisakan mereka berdua.

Tangan Rin gemetar di sisi tubuhnya. Dia merasa terbuka, rapuh dengan cara yang membuatnya ketakutan. Tapi dia harus tahu. Dia harus mendengarnya.

“Rin,” Osamu berbisik akhirnya, suaranya pecah di bawah beban perasaan yang mereka tahan begitu lama. Begitu banyak yang tak terucap di antara mereka, begitu banyak sejarah yang menggantung di udara seperti awan hitam yang tak pernah benar-benar pergi.

Napas Rin tersendat. Dia ingin tertawa, ingin berteriak, ingin hancur di sana, di tengah restoran yang penuh sesak ini. Tapi, yang bisa dia lakukan hanyalah menatap Osamu, menunggu apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Would you?” Rin mengulangi, suaranya hampir tidak lebih dari bisikan.

Wajah Osamu melembut, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang Rin rasakan. “I never wanted to hurt you.”

But you did, Rin berpikir. You broke me, and somehow, I’m still here, wanting you to do it all over again.

Rin tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya berdiri di sana, terperangkap dalam kesunyian, dengan jantung yang masih berdetak hanya untuk Osamu.

THE END

.

.

.

.

Rintarou menutup laptopnya dengan sedikit terlalu keras saat pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Adiknya berdiri di ambang pintu, matanya tampak bosan. “Makan malam sudah siap. Mama bilang kamu harus makan di meja makan, bukan di kamar terus.” ucapnya dengan nada malas, pandangannya tertuju pada laptop yang tergeletak di meja Rintarou. “Ugh, kamu masih nulis fanfiksi buat atlet voli yang kamu suka itu?” Nada suaranya terdengar mencemooh saat matanya melirik beberapa poster di dinding kamar. Seorang pria dengan rambut hitam pendek mengenakan jersey bertuliskan Miya dan angka 11, menatap kembali dari poster itu.

Get out of my room!” gumam Rintarou, nada suaranya penuh dengan rasa kesal. “Aku bakal turun sebentar lagi.”

Kay,” Adiknya menyeringai kecil, jarinya mengetuk ringan di kusen pintu sebelum ia berbalik hendak keluar. “Mama bilang kamu harus belajar buat ujian masuk perguruan tinggi, bukan buang-buang waktu berkhayal soal atlet yang bahkan gak tahu kamu ada. Dan parahnya lagi, dia udah punya pacar.” Ucapannya dilengkapi dengan senyum mengejek.

“Diam deh!” Rintarou berdecak kesal. Ia memutar bola matanya malas.

You’re such a loser.” ejek Adiknya, menutup pintu pelan di belakangnya, sebelum kembali melongokkan kepalanya ke dalam kamar. “Dia lebih tua delapan tahun, by the way. Kamu gak bakal nikah sama dia. Kamu cuma fans.” Kemudian, sosoknya benar-benar pergi dari kamar Rintarou.

Rintarou menggeram kesal, kata-kata adiknya menempel di pikirannya seperti duri yang tak bisa dia cabut. Jari-jarinya tanpa sadar meraih ponsel, dan tanpa berpikir lebih jauh, ia membuka Twitter.

Timeline-nya penuh dengan cacian yang sudah tak asing lagi.

@osamulvr: “Hei, @snrwrites, kenapa gak kamu berhenti aja nulis soal Osamu? Your fanfictions suckass.”

@belovedmiya: “Ada yang merasa aneh gak sih kalau @snrwrites selalu bikin cerita OsaAka sad ending gitu? Orang ini bitter banget, selalu bikin Keiji jadi karakter jahat padahal aslinya gak gitu.”

@myasam243: “I hate you @snrwrites!!! Osamu would never cheat!!!”

Rintarou memutar bola matanya, melanjutkan scrolling melewati cuitan penuh kebencian yang ditujukan padanya, masing-masing dengan sengatan yang lebih tajam dari sebelumnya. Tapi jari-jarinya terus bergerak.

@whiteasnsow: “Dia tuh jelas banget cemburu. Kenapa lagi dia selalu bikin Keiji jadi tokoh jahat? Pathetic.”

@osaakalvrr: “Kenapa @snrwrites selalu gambarin Keiji kayak orang murahan yang manipulatif? Dia nggak gitu!!! Get a grip, dude.”

@samusamu13: “Siapa sih karakter ‘Rin’ di cerita dia? Kayaknya sih ini self-insert, cringe banget.”

Rahangnya mengeras. Rintarou bisa merasakan panas menjalar di wajahnya, jari-jarinya bergetar karena frustrasi saat ia menutup Twitter dan membuka Instagram sebagai pelarian. Profil Osamu Miya muncul di layar, dan ia merasakan napasnya tertahan sejenak.

Osamu Miya. Wing spiker dari MSBY Black Jackals. Rintarou sudah mengidolakan dia sejak SMP. Bagi Rintarou, Osamu adalah segalanya—keren, berbakat, tampan, dan selalu baik pada penggemarnya. Dan kebaikan itu adalah sesuatu yang dipegang erat oleh Rintarou, berharap suatu hari, Osamu akan tersenyum hanya untuknya.

Tapi, Osamu punya pacar, dan pacarnya itu selalu hadir di setiap pertandingan Osamu, mengenakan jersey nomor 11 dengan bangga di tribun. Namanya Keiji, dan Rintarou membencinya dalam-dalam. Dia membenci betapa average dia terlihat, dan tetap saja dia memiliki Osamu.

Rintarou melanjutkan scrolling di profil Osamu, pipinya memanas setiap kali foto pria itu muncul di layar. Setiap kali wajah Osamu memenuhi layar, dadanya berdebar dengan perasaan yang tak pernah ia akui kepada siapa pun. Jarinya berhenti di sebuah foto di mana Osamu tersenyum, lengannya menggantung santai di bahu Keiji, dan perut Rintarou berputar tak nyaman.

Dunianya terasa kecil di saat-saat seperti ini. Terlalu kecil. Seperti menghimpit dirinya sendiri, membuatnya sulit bernapas dalam kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Dia menciptakan dunia lain di dalam tulisannya—dunia di mana Osamu tidak bersama Keiji, tapi bersama seseorang yang lebih baik. Seseorang seperti Rin. Rin adalah karakter buatannya. Dan di ceritanya, Keiji selalu menjadi penghalang, selalu membuat hidup Osamu sulit.

Fantasi yang ia buat adalah satu-satunya tempat di mana Rintarou bisa memahami rasa sakit di dadanya, tempat di mana dia bisa mengendalikan narasi.

Suara Ibunya dari ruang makan membuyarkan pikirannya. “RINTAROU! MAKAN MALAM!”

Dia menghela napas, memasukkan ponselnya ke dalam saku, bahunya melorot dengan beban yang tak pernah ia ungkapkan. Ketegangan di tubuhnya terasa semakin mengencang, tapi dia mengabaikannya, memaksa dirinya untuk berdiri.

Saat ia melangkah menuju pintu, matanya memandang ke arah kalian. “Hey,” bisiknya, “how does it feel to sympathize with the wrong person?”

Sometimes, in a story, you should look beyond the perspective given in the narrative.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

No responses yet