blueberry got devoured by two starving men

deera
18 min readDec 28, 2024

--

Everything happened in this story is just a ‘WHAT IF’ which means does not happen at all in the main universe.

Tags : Cunnilingus, squirting, overstimulation, cuckolding, masturbating while watching your girlfriend got railed, blowjob, vaginal fingering, loss of virginity, threesome, spit-roasted

“Kalau kamu takut, kita bisa pulang aja lagi, Bi.”

Tobio meremas tali tas selempang yang ia kenakan dengan gugup. Manik gelapnya yang bulat dan besar layaknya buah beri menatap Hajime dari balik bulu matanya, dan pria 27 tahun itu harus mati-matian menahan rasa gemas yang membuncah di dadanya. Alih-alih mendorong Tobio ke dinding elevator, menghimpitnya di sana, dan membawanya dalam sebuah sesi ciuman panas, Hajime hanya mengangkat telapaknya untuk mengusak lembut surai kelam milik gadis itu. “Gimana, sayang?”

“Aku gak mau pulang … cuma gugup aja, kok.” Ia berkata dengan mantap, namun, masih ada getaran yang kentara di suaranya. “Nanti Kakak bakalan ada di sana dan temenin aku terus, ‘kan?”

“Iya, dong. Tenang aja.”

Ding.

Pintu elevator terbuka diiringi suara dentingan, tanda bahwa keduanya telah sampai di lantai yang dituju. Hajime melirik sekilas ke arah Tobio, lalu tanpa ragu meraih tangan gadis itu dalam genggamannya. Hangat dan meyakinkan, jemarinya menguatkan genggamannya sebelum perlahan menuntun Tobio keluar dari elevator untuk menyusuri lorong hotel yang dibungkus sunyi. Cahaya lampu yang redup dan kekuningan memantulkan bayang-bayang mereka di atas lantai marmer yang dingin, dan suara langkahnya keduanya bergema memecah keheningan.

Mereka pun berhenti tepat di sebuah pintu dengan plakat keemasan yang menunjukkan nomor 139. Hajime berhenti sejenak, menarik napas pelan, kemudian mengetuk pintu kayu jati itu dengan ketukan yang konstan. Ketukan pertama berlalu tanpa jawaban, begitu pula ketukan kedua. Namun, pada ketukan ketiga, pintu tersebut akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok seorang pria yang berdiri santai di baliknya.

Pria itu hanya mengenakan jubah mandi berwarna putih yang sedikit basah, memperlihatkan kulit dadanya yang masih setengah kering. Air menetes turun dari rambut ikalnya yang menutupi setengah dahinya, jatuh melintasi wajahnya yang dihiasi sebuah seringai kecil, sebelum menghilang di sepanjang rahangnya. Hawa dingin dari kamar di belakangnya otomatis merembes keluar, menembus udara hangat di lorong, dan membuat napas Tobio tercekat di tenggorokannya. Gadis itu hanya mampu berdiri diam layaknya patung maneken, setengah bersembunyi di balik tubuh Hajime, seolah pria itu adalah benteng terakhirnya.

“Wa,” Pria itu menyapa, singkat dan nyaris acuh, disertai anggukan kecil yang ditujukan pada Hajime sebelum mengalihkan pandangannya pada Tobio. “Halo, cantik.” sapanya dengan nada kelewat santai. Suaranya hangat, namun, ada godaan yang tersembunyi di baliknya—sesuatu yang membuat jantung Tobio berdebar lebih cepat dari seharusnya. “You two come on in.”

Sebelum keduanya melangkah memasuki kamar hotel, Hajime menoleh ke arah kekasihnya, lalu menguatkan genggaman tangannya pada Tobio seraya mengirimkan sebuah anggukkan, memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tobio duduk dengan kikuk di tepi ranjang, kedua tangannya berada di pangkuannya yang hanya dibalut dengan rok pendek berwarna biru muda yang bahkan tak menutupi setengah pahanya. Pandangannya tak pernah lepas dari dua pria di depannya, mengikuti gerak-gerik keduanya yang masih sibuk bertukar obrolan seperti sedang membahas sesuatu yang biasa dan ringan, meski situasi yang melingkupi mereka jauh dari kata biasa.

Tepat di sebrang tempat tidur, Hajime duduk dengan santai di atas sofa, bersandar malas sambil bersidekap, namun, matanya memancarkan kewaspadaan yang tak terucap. Sementara itu, Issei berdiri tidak jauh dari Tobio, satu tangannya berkacak pinggang dan yang satunya lagi menggenggam gelas berisi wiski yang sudah setengah diteguk. Sesekali, pria itu menyesapnya pelan, membiarkan cairan keemasan itu membasahi tenggorokannya.

“Pokoknya lu diem aja nanti,” ujar Issei, masih dengan nada santai yang tiap suku katanya seolah diseret dengan seduktif. “Watch and learn. Tenang, cewek lo gak bakalan gue apa-apain. She’s in good hands.” Ada senyuman tipis yang terukir di wajahnya, hampir seperti seringai penuh goda, tapi lebih condong pada sesuatu yang tak bisa diterjemahkan. Tatapannya sempat melirik ke arah Tobio lewat ekor matanya, membuat gadis itu meneguk liur dengan gugup dan salah tingkah, tidak tahu harus bagaimana menyikapi tatapan yang dilayangkan padanya.

Hajime yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara, suaranya datar tapi tegas, seperti garis yang tidak boleh dilanggar. “Tsun, kalau Bio udah bilang safe word-nya dia, lu langsung berhenti. Inget, ya.” Kalimatnya pendek, tapi penuh tekanan, sebuah peringatan tak tertulis yang menggantung di udara. Matanya memicing tajam ke arah sahabatnya, mempertegas bahwa perkataannya itu bukan sekadar basa-basi.

Issei, seperti biasa, hanya menanggapinya dengan tawa kecil yang terdengar lebih seperti dengusan rendah. Ia menganggukkan kepalanya pelan, paham betul akan kekhawatiran Hajime. “Of course.” jawabnya singkat. Kemudian, pandangannya kembali beralih ke arah Tobio. Matanya yang sayu menatap gadis itu yang kini menunduk, menghindari tatapan dua pria dewasa yang seolah menelanjanginya, berharap bahwa ia dapat menyembunyikan dirinya dari intensitas yang melingkupi ruangan hingga terasa sesak. “So, what’s your safe word, pretty?”

Tobio tersentak mendengar pertanyaan yang secara tiba-tiba dilemparkan kepadanya, sadar bahwa kini ia ditarik masuk ke dalam obrolan yang sepertinya lebih besar dari dirinya. Napasnya sedikit tercekat, tapi akhirnya ia menjawab dengan suara yang terdengar lebih kecil dari seharusnya, lebih menyerupai sebuah cicitan tikus kecil. “Berry, Kak.” Matanya menatap Issei penuh kehati-hatian, lalu beralih ke arah Hajime yang mengirimkan senyuman lembut ke arahnya.

Well,” katanya, nadanya seperti seseorang yang baru saja memutuskan untuk memulai permainan. “Shall we start then?”

Pria itu menoleh sejenak ke arah Hajime, yang masih duduk diam di sofa dengan ekspresi yang sulit diterka. “Hajime, lu duduk di situ aja. Watch and learn. Do not come to the bed unless I say so, you can touch yourself while watching us.

Kata-katanya meluncur begitu saja, seolah-olah ia sedang mengatur bidak catur di atas papan permainan, sementara Tobio dan Hajime hanyalah dua pion yang harus bergerak sesuai perintah. Setelahnya, pandangan Issei kembali tertuju pada Tobio, kali ini lebih tajam, seperti seorang pemanah yang membidik sasaran. “Tobio, pretty,” ia menambahkan, senyumnya semakin melebar. “Take all your clothes off nowor should I do that for you?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menyisakan sunyi yang terasa lebih berat daripada sebelumnya. Tobio menatap Issei, lalu Hajime, seolah mencari jawaban di antara wajah-wajah itu. Tapi, tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang memecah keheningan, membiarkan kata-kata Issei menggema di dalam pikirannya yang kacau balau. Dengan perlahan, ia pun berdiri dari posisinya. Jemarinya gemetar ketika ia melepas kait kancing cardigan yang ia kenakan, meloloskan lengannya hingga kain berwarna biru itu jatuh menuruni bahunya, menyisakan tubuhnya yang hanya dibalut dengan tank top dan rok mini.

Setelah Tobio melepas cardigan-nya perlahan, ia pun meletakkannya dengan hati-hati di sisi ranjang, seolah-olah menunda apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya. Walaupun jemarinya bergetar, ia tetap melepas satu per satu lapisan pakaian yang melekat di tubuhnya. Waktu terasa bergulir begitu lambat, menit menyeret dirinya layaknya jam yang tak berkesudahan. Kamar yang menaunginya dipenuhi oleh kesunyian yang menyesakkan, seakan udara di dalamnya menipis dalam tiap tarikan napas. Satu-satunya suara yang mampu ia dengar selain angin yang berhembus keluar dari pendingin ruangan hanyalah deru napasnya yang tak teratur, diiringi detak jantungnya yang bertalu dengan keras hingga menimbulkan dengungan samar di telinganya.

Di sisi lain ruangan, Hajime dan Issei duduk dalam diam, membiarkan pandangan mereka terpaku pada tubuh Tobio yang kini hanya tersisa pakaian dalam. Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata pun, dan keheningan yang tercipta terasa seperti beban tak kasat mata, menekan Tobio hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Gadis itu menyilangkan lengannya di depan dada, mencoba menutupi dirinya, meski usahanya hanya menambah ketegangan yang merayap di udara.

Dengan ragu, ia mengalihkan pandangannya kepada Hajime, mencari perlindungan dalam tatapan pria itu, berharap ada sedikit empati yang bisa ia pegang. “Kakak—” Suaranya nyaris tenggelam di antara gugup, kecil dan bergetar. Namun, respons yang ia dapatkan justru kebalikannya. Alih-alih menawarkan sebuah bantuan yang Tobio harapkan, Hajime justru mengangkat sebelah alisnya dengan kejam. “Ngapain? Kok berhenti? Nurut apa kata Mattsun. Buka semuanya, paham, gak?”

Ucapan Hajime menusuk seperti belati, membuat Tobio terkesiap dan nyaris melangkah mundur. Bibirnya maju sedikit, mencebik seperti anak kecil yang ingin mengajukan protes, tetapi tak mampu menemukan kekuatan untuk melakukannya. Dengan napas yang terputus-putus, ia pun menuruti perintah itu. Jemarinya yang bergetar pelan-pelan meraih pengait bra di punggungnya, lalu dengan sekali tarikan, ia melepaskannya, membiarkan kain itu jatuh di kakinya.

Hening masih memenuhi ruangan, tetapi keheningan itu tak lagi terasa kosong, ia bisa merasakan nafsu yang merambat naik ke udara. Tobio pun meraih pinggiran celana dalamnya, kemudian menariknya turun dengan perlahan, hingga akhirnya kain itu pun bergabung dengan bra-nya di atas lantai yang dingin. Kini, tubuhnya terekspos sepenuhnya, kulitnya yang seputih porselen memantulkan cahaya lampu yang menaungi kepalanya. Udara dingin kamar menerpa permukaan tubuh polosnya tanpa ampun, membuatnya menggigil kecil, tetapi bukan hanya dingin yang merasuki dirinya—rasa malu, takut, dan ketidakberdayaan menyatu menjadi satu, menekan dadanya hingga sulit bernapas. Akan tetapi, ada api nafsu yang dipantik kecil jauh di dalam dirinya.

Tobio mengangkat pandangannya, matanya mengerjap dengan menggemaskan, dan suara kecil yang nyaris tak terdengar keluar dari bibirnya. “Kak?” panggilnya, entah ditujukan kepada siapa.

Jawaban yang ia terima datang dari suara berat Issei. “On the bed, pretty. titahnya dengan nada bicara yang absolut, sama sekali tidak menyisakan ruangan bagi Tobio untuk membantah.

Kain sprei yang halus membelai kulit telanjang Tobio dengan lembut, memberikan sedikit rasa tenang ketika kegugupan merajai dirinya. Gadis itu kini sedang terbaring tepat di tengah ranjang, tubuhnya tampak kecil di antara luasnya diameter ranjang berukuran king size. Kedua lengannya menyilangi dadanya, berusaha untuk menutupi dirinya, sementara pahanya tertutup rapat, seperti benteng terakhir yang ia pertahankan. Pandangannya sesekali melirik ke arah Hajime yang masih duduk di tempat yang sama, sofa yang berada tepat di ujung ranjang, posisi pria itu memberinya sudut pandang sempurna ke arah tubuh bagian bawah Tobio, membuat gadis itu merasa semakin telanjang, bahkan meski tanpa sentuhan kekasihnya.

Di sisi lain, Issei sudah berpindah ke ranjang. Pria itu duduk di dekat kaki Tobio, posturnya yang tinggi menjulang seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Wajahnya tenang, nyaris lembut, namun, kehadirannya membuat Tobio semakin sulit bernapas. Jarak di antara mereka begitu dekat, dan gadis itu hanya bisa semakin merapatkan dirinya, mencengkram sisa-sisa kewarasannya.

“Jangan ditutupin gitu, dong.” Suara Issei akhirnya memecah keheningan, nadanya lembut, hampir seperti bisikan, seolah ia berbicara pada sesuatu yang rapuh. Namun, kelembutan itu justru membuat Tobio semakin gelisah. Ia merasa suaranya seperti lilin yang menyala dalam kegelapan, menerangi namun juga mengintimidasi. “Buka tangan sama kakinya, ya?” lanjutnya, kali ini disertai gerakan. “Gak usah malu, nanti ‘kan Kakak enakin.”

Telapak besar Issei, kasar tapi mengantarkan kehangatan, menyentuh lutut Tobio dengan lembut. Sentuhannya mengalir seperti tetesan air yang menyusuri tubuhnya, dan dengan gerakan perlahan, pria itu mulai membuka kedua kakinya, sedikit demi sedikit hingga ia dalam posisi mengangkang. Udara dingin di kamar segera menyergap kulit Tobio, terutama di bagian yang kini benar-benar terbuka tanpa perlindungan apa pun. Secara refleks, ia mengetatkan dinding vaginanya, membuatnya tampak berkedut, dan napas tercekat Hajime tak luput dari pendengarannya.

Tobio menggigit bibir bawahnya, menahan desakan kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Kata “berry” hampir saja meluncur keluar, hampir saja ia menghentikan segalanya, menarik dirinya kembali dari agenda gila yang diusulkan kekasihnya. Namun, ia menelan kembali seluruh ketakutan dan keraguannya, memaksakan dirinya untuk bertahan. Pandangannya mengabur oleh rasa malu dan kebingungan, tetapi ia tak bergerak mundur, tak mengucap sepatah kata pun.

Hajime masih duduk diam di tempatnya, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sepasang mata yang tajam mengawasi. Tidak ada kata dorongan atau perlindungan yang keluar dari mulutnya, hanya kesunyian yang terasa semakin menekan. Tobio merasa terjebak di antara dua dunia—kehadiran Issei yang mendominasi dan gerak-gerik Hajime yang sulit diterka.

Issei tersenyum kecil, puas dengan kepasrahan yang akhirnya ia peroleh. Udara di kamar terasa semakin berat, dan di tengah semua itu, Tobio hanya bisa memejamkan matanya.

“Takut?” tanya Issei, seolah tahu isi pikirannya. Sentuhan pria itu menyusuri paha dalamnya, membelai lembut kulitnya yang sensitif, naik ke pinggulnya, lalu turun kembali untuk mengelus perpotongan antara paha dan selangkangannya, jemari pria itu hanya berjarak beberapa senti dari bibir vaginanya. Ia terus mengelus paha dalam Tobio dengan satu tangannya, sementara yang lainnya menopang tubuhnya, bertumpu di ranjang tepat di samping kepala gadis itu. “Gak usah takut, I won’t hurt you, baby.” Bibirnya mengukir sebuah senyuman miring yang membuat perut Tobio sontak bergejolak.

Issei menjilat bibir bawahnya, ia bisa merasakan nafsu mulai merambat ke tubuhnya hingga kejantanannya berubah setengah keras. Matanya terus memindai tubuh polos Tobio yang terbaring di bawahnya. Seluruh tubuh gadis itu meneriakkan kata ramping, sama sekali tidak berisi, bak seorang model peragaan busana yang hanya makan salad disertai protein. Payudaranya tidak terlalu besar, namun, cukup untuk ditangkup dalam genggamannya. Putingnya mencuat naik menantang di udara, seakan memohon untuk dijilat, dihisap, maupun sekedar dipelintir dengan jari. Areolanya berwarna merah muda, selaras dengan tiap jengkal kulitnya yang sewarna porselen.

“Wa, udah boleh gue pegang, nih?”

“Dari tadi juga udah lo pegang.”

“Ya, maksud gue bukan itu. I meant her fucking cunt.

Tobio mengerjap, memperhatikan percakapan antara Hajime dan Issei, keduanya berbicara seolah dirinya tidak hadir di sana, atau ia hanyalah seonggok barang tanpa harga diri, dan hal tersebut membangkitkan sesuatu dalam diri Tobio.

“Pegang aja, bro. Kasih unjuk gua gimana cara ngenakin cewek.”

Sentuhan pertama Issei pada bibir vaginanya membuat pahanya berjengit kecil. Kemudian, sentuhan seringan kapas dan sehalus sutra tersebut berubah menjadi lebih panas dan bernafsu. Jari-jari tebal dan panjang milik pria itu memutari klitorisnya, menjentikkan ujung jarinya pada titik sensitif sebesar kacang polong tersebut. Tobio melempar kepalanya ke belakang, desahan terus meluncur keluar dari bibirnya yang memerah karena digigit. “Aaah, Kak—Kak Issei, hnghh.”

“Enak, sayang?”

Pria itu tahu jelas apa jawabannya. Tangan kanan Issei terus memainkan klitorisnya, sementara yang satunya lagi naik menyusuri perut telanjang Tobio, lalu berhenti di gundukan payudaranya. Jemari lihai milik pria itu menjepit salah satu puting Tobio di antara telunjuk dan ibu jarinya, kemudian memelintirnya tanpa ampun, membuat tubuh gadis itu menggelinjang penuh nikmat. “Kak Issei, nggh, enak.” desahnya, nama Issei melayang keluar dari bibirnya dengan fasih. Bukan Mattsun, melainkan Issei. Pria itu terkekeh pelan, sebelum kembali membawa jarinya menuruni vagina Tobio, meninggalkan klitorisnya untuk menyapa lubangnya yang mulai basah akan cairan lubrikasi.

“Wa, lo pernah jilmekin dia, gak?” tanya Issei pada Hajime yang kini merubah posisi duduknya. Pria itu bersandar sepenuhnya di sofa, pahanya terbuka lebar, dan sebuah gundukan menyerupai tenda terbentuk di balik celana denim yang dikenakannya.

Hajime mengangkat sebelah alisnya, seolah kaget Issei tiba-tiba mengajaknya berbicara. “Sering, suka banget dia. Lo kalau mau ngejilmek, silahkan aja. Enak memeknya, sensitif banget, gampang basah lagi.” Ia berkata disertai seringaian yang terpatri di wajah tampannya. Ucapan vulgar Hajime mengirimkan sensasi menggelitik pada tubuh Tobio, menyebabkan vaginanya makin terasa lembab karena nafsu.

Mendengar jawaban sahabatnya, Issei makin tersenyum lebar. “That’s exactly what I’m gonna do. Watch and learn.”

Lalu, tanpa peringatan, Issei pun mencondongkan tubuhnya ke selangkangan Tobio. Pria itu menundukkan kepalanya hingga kepalanya berhadapan langsung dengan keintiman gadis itu yang basah dan merekah. Issei menjilat bibirnya yang mendadak kering, sementara matanya memperhatikan kemaluan Tobio yang berwarna merah muda dengan cokelat di beberapa sisinya. Lidahnya pun terjulur keluar, permukaannya yang basah dan hangat menyapa klitoris Tobio yang mencuat dan amat sensitif. “A—AAH! NGHH!”

Aliran listrik seolah merambat di tubuh Tobio, membuat kakinya sontak mengejang dan pinggulnya naik untuk menghindar. Namun, Issei dengan lihai dan cekatan menahan perut Tobio dengan lengannya yang kekar, mengunci tubuh gadis itu di atas ranjang. Issei terus memainkan lindahnya di gumpalan saraf sensitif milik Tobio, sementara jarinya menyusup masuk membelai permukaan luar lubangnya yang berkedut. Pria itu sekolah tengah bercumbu dengan vaginanya, lidahnya menjilati tiap jengkal labianya, menggores pelan klitorisnya menggunakan gigi, kemudian membawanya dalam sebuah hisapan nikmat yang membuat kepala Tobio seketika pening.

Cairan lubrikasi terus meluncur keluar dari lubangnya yang berkedut hebat, seolah memohon untuk diisi oleh sesuatu. “AAAH … ahh, nghh.” Gadis itu terus meracau, lenguhan bukti dari kenikmatan yang ia rasakan memantul di dinding dan bergema di kamar yang temaram, ditemani bunyi kecipak basah yang dihasilkan dari cumbuan bibir Issei pada vaginanya. “Ka—nghh, Kak, keluar … aaah, mau keluar!” Ia menepuk-nepuk pundak Issei sebagai peringatan, napasnya berubah pendek, dan putihnya terasa semakin dekat dalam jangkauannya.

Already?”

Tidak mengidahkan perkataan Tobio, Issei justru semakin semangat menjilati vaginanya. Kali ini, ujung lidahnya merangsek masuk ke dalam lubangnya. Jerita dipukul keluar dari rongga Tobio ketika klimaksnya datang tanpa permisi. Sepanjang orgasmenya yang terus menggulung tiada henti, Issei terus menyiksa lewat jilatan pada klitorisnya yang berubah merah karena rangsangan berlebih.

“AAAAH, hhuuhh!”

Tobio meraup udara sebanyak yang ia bisa begitu Issei menjauhkan wajahnya dari kemaluannya. Gadis itu berkedip guna mengusir embun yang membuat pandangannya kabur, semburat merah sontak melukisi wajahnya ketika melihat Issei menatapnya dengan lembut. Dagu pria itu mengkilap dan basah karena campuran liur dan cairan cinta Tobio. “Enak, gak?”

Tobio hanya menjawab dengan anggukan, merasa tidak mampu untuk menyusun kata-kata koheren dengan otaknya yang mendadak malfungsi.

“Nanti dibikin lebih enak.” katanya, sebuah janji yang membuat vagina Tobio sontak kembali berkedut. “Wa, lu suka fingering dia, gak?”

Tobio mengalihkan pandangannya ke arah kekasihnya. Manik sebiru lautan dalam miliknya membulat ketika melihat Hajime duduk bersandar pada sofa sambil mengurut penisnya. Celana denim serta dalaman milik pria itu berakhir dengan mengenaskan di atas lantai, sementara empunya mengocok kejantanannya yang berdiri tegak layaknya tiang. Gerakan tangannya pelan, seolah menolak untuk keluar dalam waktu dekat. “Colmek maksudnya? Suka, kok.”

“Jadi, lu sama dia cuman gak pernah ngewe yang masukin kontol?”

Tobio mengerang pelan, merasa bahwa ia tidak kuat kalau harus mendengar percakapan vulgar antara Hajime dan Issei lebih lama lagi.

“Iya, Tsun. Lo kalau mau colmekin dia, ya, silahkan.” jawab Hajime dengan santai. Tangannya masih mengurut penisnya dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari tubuh Tobio.

Of course I will. You want her to squirt, right?”

Kemudian, dengan perlahan, Issei memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang vagina Tobio. Pria itu menggeram rendah di dadanya ketika merasakan dinding Tobio mengetat di sekitarnya. Inci demi inci jari panjang dan tebal milik Issei ditelan oleh liang kenikmatan gadis itu, yang mana saat ini tengah menatap langit-langit dengan mata membelalak. Bibirnya terbuka setengah, napasnya tercekat di tenggorokan, dan peluh sebesar biji jagung membasahi pelipisnya.

Breathe, pretty. Slowly, let me in. It’s just my finger. You’re used to this, right?” Issei berkata pelan dengan niat menenangkan. Ia mengusap lembut pinggul Tobio sambil terus memasukkan jarinya ke dalam. Kemudian, ketika keseluruhan ruas jarinya telah berada di dalam Tobio, pria itu mulai menggerakan tangannya. Keluar-masuk dengan ritme pelan dan hati-hati yang terjadi selama beberapa menit sebelum jari keduanya ikut merangsek masuk.

“AAAH, aaah!” Desahan Tobio semakin santer terdengar. Gadis itu membuka matanya dengan susah payah guna melihat ke arah kekasihnya yang masih mengurut penisnya seirama dengan ritme jari Issei. Bunyi kecipak pasah memenuhi ruangan, bersautan dengan desahan, rengekan, dan lenguhan Tobio yang persis aktris bintang video porno.

“Kakak masukin jari yang ketiga, ya? Is that okay?” Issei bertanya dengan lembut sambil menyingkap poni Tobio yang menempel di dahinya dan menutupi setengah wajahnya. Gadis itu mengangguk dan mencicit, “please … Kakak.”

Tiga jemari Issei terus keluar-masuk lubangnya dengan ritme yang konstan. Menggaruk dinding vaginanya, namun, jelas-jelas menghindari gumpalan saraf sensitif di dalamnya. Tobio menggeliat frustrasi, ia merengek dan menatap Issei dengan pandangan memohon, namun, Pria itu malah menyeringai dengan mata yang mengerling nakal.

“Wa, nih, perhatiin. Kalau lo mau dia squirting, pas jari lo di dalem, lo arahin jari lo ke atas. G-spot cewek tuh di situ.” ujar Issei dengan kasual, seolah perkataannya tak lebih dari mendemonstrasikan cara membuat kopi instan. “Terus jangan lupain klitorisnya dia. Lick, suck, whatever. Just abuse the fuck out of it.”

Tak ada respons dari Hajime, pria itu memandang sayu ke arah kekasih dan sahabatnya. Tangannya semakin cepat mengurut penisnya yang tegak menantang udara.

Lalu, Issei pun melakukan apa yang baru saja ia katakan. Pria itu menukikkan jarinya ke atas, menabrak sesuatu di dalam lubang Tobio yang mengantarkan gelenyar aneh bak disengat listrik, sementara lidahnya kembali diarahkan pada klitorisnya. Tubuh gadis itu sontak menggelinjang, pinggulnya bergerak serampangan di atas ranjang, namun, ia tidak bisa pergi kemana pun akibat lengan Issei yang mengunci pergerakannya. Pria itu terus menusuk g-spot Tobio tanpa ampun, diiringi dengan lidahnya yang dijentikkan di atas klitorisnya.

“Aaaahh, nghh, s-stop … aaah!”

Fuck, you’re so hot. So responsive, so pretty, so fucking wet.” Perkataan Issei keluar nyari seperti sebuah desisisan. Tangannya yang menganggur menyusup masuk di antara kakinya untuk menyetuh penisnya yang sedari awal ia abaikan. Jemarinya mengurut batangnya yang keras dan berurat, menggeram rendah begitu kenikmatan menghantam tubuhnya.

Napas tobio berubah menjadi putus-putus ketika ia merasakan klimaksnya kembali datang menghampiri. Namun, kali ini terasa berbeda. Lebih kuat, lebih mendesak, dan sensasi seperti ingin buang air kecil bergejolak di perutnya. Ia menepuk kencang bahu Issei, matanya membola ke arah pria itu. “Kak, Kak! M-mau pipis … nggh, kayak mau pipis. U-udah, please.” Ia berkata setengah memohon, namun, Issei malah makin menyunggingkan senyuman lebar.

You’re going to squirt, baby. Let it go. Cmon, give it to me.” Issei makin cempat menggerakan ketiga jarinya di dalam lubang Tobio, menekan g-spot-nya dengan presisi, sementara bibirnya terus menghisap klitorisnya. Kemudian, putihnya datang dengan tiba-tiba. Tobio menjerit kencang, kakinya yang tersampir di bahu Issei bergetar hebat ketika air bening keluar dari dalam lubangnya, merembes deras membasahi sprei hingga dada telanjang Issei.

Fuck! Anjing!” Hajime mengumpat rendah ketika klimaks mengantamnya bersamaan dengan milik Tobio. Pria itu terus menatap lubang kekasihnya yang masih mengucurkan air tiap kali dikocok dengan jari lihai sahabatnya.

Ketika Tobio mengira semuanya telah usai, Issei masih terus mengeluarmasukkan jarinya di dalam tubuh Tobio, seolah memancing klimaks lainnya yang terasa lebih dekat dari yang Tobio kira. “Baby, Bio, give me another one.”

No, please,” Tobio terisak pelan, keningnya berkerut akibat rasa nikmat yang kini mulai bercampur dengan sakit karena ransangan berlebih. “It’s too much. Kakak—Hajime, please.”

“Hmm, wrong name, baby. Ayo sekali lagi bisa, yuk, jadi anak pinter.” Issei mengelus lembut dahinya yang basah akan peluh, berbanding terbalik dengan pergerakan jarinya yang dengan brutal terus menekan g-spot-nya. “Ayo, Bio, sayang. Sekali lagi. Give me one more and I’ll give you your Hajime.”

Orgasmenya kembali hadir tanpa permisi. Entah bagaimana caranya, kali ini terasa lebih intens dan kuat. Cairan bening kembali mengucur deras dari lubangnya, memuncratkan keseluruhannya pada tubuh Issei yang masih mengukungnya. Jeritan sunyi keluar dari bibir Tobio, bola matanya terlempar ke belakang hingga menyisakan putih.

Menit bergulir begitu lambat hingga Tobio merasakan tubuhnya turun dari ketinggian dan gelombang orgasmenya perlahan surut. Gadis itu berusaha mengatur napasnya, ia memejamkan mata, merasa lega karena semuanya sudah berakhir. Namun, perkataan Issei selanjutnya membuatnya sontak kembali merasa was-was dan terjaga.

“Wa, mending lu ewe sekalian. Udah gue siapin gini, she’s loose enough you can just slide in.”

“Huh?”

Hajime tidak tahu kemana semua prinsipnya pergi. Mungkin, terbang keluar jendela. Mungkin juga tertinggal di dalam mobilnya yang terparkir di basement. Yang jelas, prinsip soal “Do not penetrate anyone with your penis before marriage.” yang selalu ia banggakan seolah hilang ditelan bumi. Sebab saat ini, ia fokus memperhatikan batang penisnya yang perlahan masuk ke dalam lubang basah Tobio. Tubuh gadis itu menerimanya dengan mudah, meskipun bibirnya terus merengek—memohon untuk berhenti karena terlalu sensitif.

“Aaah, Kakak … aku gak kuat lagi. Udah.”

Permohonan Tobio jatuh ke telinga yang tuli. Telapaknya meremas keras pipi bokong Tobio yang tersaji di hadapannya. Punggung gadis itu melengkung indah ketika keseluruhan penis Hajime akhirnya bersarang dilubangnya. Keduanya mengerang nikmat begitu sensasi dipijat dan disumpal menyelubungi tubuhnya masing-masing. “Anjing, Bi, enak banget memek kamu. Kenapa gak dari dulu aku ewe kamu kayak gini, sih?”

“Ngggh, gerak, Kak. Please.” Tobio merengek manja sambil menggoyangkan bokongnya, membuat bongkahan bulat tersebut bergerak dengan menggoda di hadapan Hajime.

Plak!

“Tadi katanya udahan dan mau stop, sekarang malah mohon-mohon kayak lonte.” Hajime mencibir diiringi tamparan keras di salah satu pipi bokong kekasihnya. Kemudian, tanpa ampun dan belas kasih, ia mulai menggerakan pinggulnya dengan ritme cepat. Penisnya menyiksa lubang sensitif Tobio dengan kenikmatan, mengakibatkan tubuh gadis itu terhempas menabrak kepala ranjang dalam setiap hentakan pinggul Hajime.

Rangkaian desahan dan lenguhan terlontar keluar dari bibir Tobio yang menganga, membuat beberapa tetes air liur turun menuruni rahangnya. Ia meremas sprei di bawahnya hingga buku-buku jarinya memutih, matanya terkatup rapat, dan rasa nikmat yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan membuat tubuhnya lemas seperti jeli. Telapak besar milik Hajime menyibak rambut panjangnya, kemudian mengaitkan jemarinya di antara helaiannya untuk menariknya. Kencang dan tanpa ampun.

Tobio menjerit kencang begitu rambutnya dijambak dari belakang. Matanya sontak terbuka, pandangannya bersirobok dengan milik Issei yang duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengocok penisnya. “AAAH! Nghh!”

“Bio, hhhh, anjing—ketatin memek kamu, sayang, nah iya gitu. Anjing, pinter banget kamu, sayang.” Hajime terus meracau di belakangnya, jelas-jelas hilang dalam kenikmatan. “Tsun, pakai mulutnya, gih.”

Fuck you mean by that?” Issei mendengus, matanya memicing ke arah Hajime.

“Maksud gua, fuck her mouth, Matsukawa.” jawab Hajime disertai dengan dengusan malas. Ia kembali menarik rambut Tobio, membuat kepala gadis itu mengadah ketika arah Issei. “Bio, ‘kan tadi udah dienakan sama Kak Issei, sekarang gantian kamu yang enakin dia pakai mulutmu. Gimana? Mau, gak?”

Tobio hanya bisa mengangguk, mengiyakan tiap perkataan Hajime. Otaknya sudah berhenti bekerja sejak pertama kali ia melangkahkan kaki memasuki kamar hotel ini. Gadis itu membuka bibirnya lalu menjulurkan lidahnya ke arah Issei, “mau, Kakak, please.”

Fuck, okay, baby. Hold on.”

Hajime dan Issei pun memanuver tubuh Tobio agar lebih mendekat ke arah pria berambut ikal yang kini tengah mengarahkan penisnya ke arah bibir Tobio.

“Kakak, please?”

Which ‘Kakak’, sayang?”

Gadis itu dengan senang hati menerima sodoran penis yang diarahkan padanya. Walaupun tidak terlalu lihai, ia berusaha mati-matian untuk menghisap, menjilat, dan mengurut batang penis Issei. Bibirnya ia gunakan untuk menutup giginya—persis seperti yang diajarkan oleh Hajime—sementara ia membuat rileks tenggorokannya.

Issei mengerang panjang ketika setengah miliknya bersarang di dalam mulut hangat Tobio. Kepala penisnya yang menyerupai jamur menabrak pangkal lidah gadis itu dan tiap kali Tobio membuat gerakan menelan, sensasi dipijat yang nikmat menyelubungi penisnya. Sementara itu di belakang tubuh Tobio, Hajime terus menggerakan pinggulnya dengan serampangan, menabrak titik sensitifnya dan membuat klimaks lainnya datang menghampiri Tobio.

Gadis itu mendesah kencang di antara penis Issei yang menyumpal mulutnya, mengirimkan getaran di sepanjang batangnya. Ketiganya terus bergerak dengan selaras selama benerapa menit, sebelum Hajime menarik keluar penisnya untuk menembakkan cairan maninya di bokong Tobio. Gadis itu melepas penis Issei dari mulutnya untuk mendesah kencang ketika orgasmenya kembali datang. Tubuhnya terhuyung ke depan, jatuh ke dalam dekapan Issei.

“ANJING! Argh, bangsat.” Hajime mengerang kencang, tangannya masih sibuk mengurut penisnya yang masih menyemburkan mani di atas kulit porselen Tobio. “Sei, mau pakai memeknya gak? Lu belum keluar, ‘kan?”

Mendengarnya, sontak Tobio menggeleng kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa merasakan tubuh bagian bawahnya, “u-udah, please. Aku capek, it’s too much.” Air mata turun menuruni pelupuknya, membasahi pipinya yang semerah delima matang.

Say your safe word then, pretty.”

Tobio tertegun. Ia mengerjap pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bibirnya terkatup rapat dan kata berry tak kunjung keluar darinya.

“Hmm, that’s what I thought.”

Lalu, Issei memanuver tubuhnya agar terlentang di atas ranjang. Kakinya mengangkang dan tersampir di bahu pria itu. Dengan perlahan, ia mendorong masuk penisnya ke dalam tubuh Tobio yang masih gemetar kecil. Gadis itu menangis karena ransangan berlebih ketika Issei sama sekali tidak memberinya waktu untuk menyesuaikan diri. Pinggulnya bergerak tanpa ampun menyiksa lubangnya, bunyi antara kulit yang saling beradu bergema di kamar yang temaram.

“Bio, fuck, you feel so fucking good. A virgin cunt, huh?

Tobio bisa merasakan kesadarannya yang makin menjauh dari genggamannya. Bibirnya terus mengeluarkan desahan, rasa nikmat mulai berubah menjadi nyeri, namun, nafsunya malah makin menjadi. Ketika pada akhirnya Issei mencapai puncaknya, pria itu menyemburkan putihnya tepat di bibir vagina Tobio yang memerah dan bengkak. Pria itu menggeram, dan dengan kejam menampar vaginanya hingga jeritan penuh rasa sakit melayang keluar dari bibir Tobio.

Malam itu, ingatan terakhir Tobio sebelum kesadarannya hilang adalah empat lengan kekar yang mendekapnya dalam kehangatan.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (3)