Osamu was a different kid while growing up and his parents know that.
– — – — – — –
HELPLESS
Osamu tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Ia sudah dititipkan di panti asuhan semenjak lahir, bersama dengan secarik kertas bertuliskan namanya, dan juga seorang bayi lainnya dengan wajah identik. Walaupun mereka kembar, nyatanya Osamu tidak pernah merasakan kehadiran saudaranya itu karena ketika mereka berusia kurang dari empat bulan Atsumu diadopsi. Sementara Osamu harus mendekam di panti hingga berusia delapan tahun.
Delapan tahun.
Giginya bergemerutuk, buku-buku jarinya ia genggam keras-keras hingga memutih, dan wajahnya memerah menahan amarah tiap kali Osamu mengingat kenyataan bahwa saudara sialannya itu mendapatkan keluarga sejak ia bayi, sementara Osamu harus terus berbagi ranjang, makanan, mainan, dan waktunya bersama puluhan anak lainnya selama hampir satu dekade kehidupanya. Tak hanya itu, ia juga harus mendengar cemooh para pengasuh di panti setiap harinya. Mereka bilang Osamu anak yang aneh, tidak pandai bersosialisasi, dan matanya menusukkan belati ke setiap lawan bicaranya. Orang-orang dewasa itu selalu saja bersikap semaunya, berbicara seenaknya, dan Osamu sangat lah geram.
“Setiap ada yang datang, dia nggak bisa bersikap manis. Mana mau orang adopsi anak seperti itu? Anak-anak yang lain aja takut sama dia.”
“Aku sebenarnya kasihan, tapi benar deh… dia itu aneh banget jadi anak! Nggak mau bersosialisasi dan kasar sama yang lain.”
Berisik. Benar-benar berisik.
Tapi Osamu tidak bisa melakukan apapun, lagipula, orang dewasa itu tidak bisa dikalahkan, iya ‘kan?
– — – — –
EXECUTION
Osamu sangat suka melukis. Lukisan khas anak-anak yakni, dua gunung dengan matahari di tengahnya, rumah dengan sawah di sekitarnya, atau hal sederhana seperti pantai dengan huruf M yang berperan sebagai burung camar. Ia senang saat semburat warna menghiasi kanvas polos miliknya. Sesuatu di dalam Osamu menari-nari dengan bahagia saat ia menambahkan warna jingga ke sketsa matahari, biru dengan gradasi putih untuk lautan, maupun warna merah pekat darah yang mengotori tangga dan lantai marmer putih tempatnya berpijak. Yah, memang bukan kanvas sih, tapi lantai seputih kanvas yang selalu dibersihkan oleh para pengasuh setiap paginya bisa juga berperan seperti kanvas, ‘kan? Osamu jarang mewarnai karyanya dengan warna merah, karena merah itu sangat lah mencolok. Osamu bingung dengan campuran komposisi warnanya. Tapi, entah kenapa, dia menyukai saat cairan krimson itu menetes menuruni anak tangga.
Namun, yang Osamu lebih suka adalah sesuatu – seseorang yang tergeletak di anak tangga paling akhir. Tubuhnya tidak sadarkan diri di atas banjir darahnya sendiri. Ia adalah salah seorang pengurus panti yang setiap harinya tak pernah absen mencemooh Osamu. Saksi mata bilang, ia terjatuh dari tangga ketika membersihkan lantai. “Saya nggak lihat pas jatuhnya, saya baru datang terus udah begitu. Mungkin kepalanya terbentur teralis tangga, terus bocor.”
Osamu tidak suka kemungkinan yang disebut oleh Si Saksi Mata – salah seorang pengajar yang memiliki kelas pagi. Osamu membuat kemungkinan lain di kepalanya sendiri. Mungkin dia langsung mati. Osamu lebih menyukai kemungkinan tersebut, karena itu berarti rencananya tidak sia-sia. Wanita gendut, jelek, dan bau mulut itu memang sudah sepantasnya tinggal 1,5 meter di bawah tanah, pikir Osamu.
Tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya sudah tersusun rapi dalam kepalanya yang kemudian ia eksekusi tepat jam lima lewat tiga puluh pagi. Anak-anak masih bergelung dengan nyaman di bawah selimut mereka, para pengajar baru akan hadir pukul tujuh, dan satu-satunya pengasuh yang bertugas di sayap kiri panti adalah Si Korban. Osamu tahu di area sekitar itu tidak ada kamera pengawasnya, Osamu juga tahu Si Korban akan mengepel tangga sambil memainkan ponselnya. Tubuh kecilnya bersembunyi di belakang kabinet sebelum ia mendorong keras-keras Si Korban hingga ia jatuh tergelincir dan berguling ke bawah. Kalau saja tangannya tidak menggenggam ponsel, mungkin ia akan selamat dengan berpegangan ke railing tangga, pikir Osamu seraya memasukkan sarung tangan yang didapatkannya dari kelas baking ke dalam saku celananya.
Yah, mengganti salah seorang pengurus yang sudah mati bukan suatu pekerjaan yang sulit. Toh, seminggu setelahnya keadaan panti kembali seperti semula. Garis kuning polisi telah dicabut, warna merah gelap yang tadinya mewarnai lantai dan anak tangga juga sudah hilang tak berbekas, begitu juga dengan aroma besi khas yang membuat perut setiap orang bergejolak.
Semuanya kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang mencurigainya.
Osamu pun tersadar, orang dewasa itu ternyata bisa dikalahkan juga, ya?
– — – — –
A PLACE YOU CALLED HOME
Di usia delapan tahun, Osamu pun diadopsi oleh sepasang suami istri yang mengaku tidak bisa memiliki anak secara biologis. Keinginan mereka untuk memiliki anak pun disalurkan melalui program adopsi.
Obsidian milik Osamu bergulir mengamati kedua orang tua barunya. Seorang pria dengan setelan kasual namun mengantongi kunci mobil keluaran terbaru, dan juga seorang wanita dengan rambut yang disasak tinggi serta handbag berbahan kulit buaya yang tampak ilegal untuk dijinjing.
“Osamu, Nak, sekarang kamu panggil kami berdua Mami dan Papi, ya.”
Anak kecil itu tersenyum lebar lalu mengangguk, “Iya! Mi, Pi.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Osamu tidur sendirian di ranjang besar tanpa harus berdesakkan dengan anak lainnya. Malam itu pun, untuk pertama kalinya, Osamu terlelap dengan senyuman yang tepatri di wajahnya.
– — – — –
DOLLHOUSE
Orang yang ia panggil Mami dan Papi ternyata tidak sebaik yang dikira. Mereka bahkan jarang menetap di rumah, sekalinya pulang Osamu malah mendengar teriakan dan bunyi porselen yang dilempar ke lantai. Keduanya memang selalu bersikap baik di hadapan Osamu, namun ketika ia berbalik, pasangan suami istri yang seharusnya saling mencintai itu malah mengutuk satu sama lain. Ayahnya yang tukang selingkuh dan Ibunya yang menutup mata karena sibuk dengan perhiasannya. Layaknya rumah boneka di mana mereka akan berpura-pura menjadi keluarga cemara di hadapan orang lain. Namun, tidak ada kata cerai di kamus keduanya, karena hal tersebut dapat mencoreng nama baik keluarga.
Osamu tidak peduli soal kericuhan yang selalu mereka perbuat setiap kali bertemu. Osamu hanya ingin perhatian mereka, dan ia akan mendapatkannya bagaimanapun caranya. Seperti misal dengan berdiri di atas atap sekolah seolah akan melompat (wali kelasnya pun menghubungi orangtuanya), kabur dari rumah, hingga menghabisi nyawa kelinci peliharaan anak tetangganya. Saat ditanya kenapa, Osamu mengangkat bahunya dengan acuh, “Nggak tahu. Habisnya aku bosan.”
Ibunya langsung berbalik badan dan menutup mulutnya, seolah menahan keinginannya untuk memuntahkan makan siangnya. Di sisi lain, Ayahnya menatap Osamu dengan penuh kengerian. Kenapa? Salahnya di mana? Aku cuma mau kalian perhatiin aku, kok.
Malamnya, kedua orang tuanya berkata bahwa ia tidak boleh lagi berkelakuan seperti itu. Mereka berkata bahwa ia sudah hilang akal. Osamu pun tersenyum manis sambil melontarkan kalimat maaf, “Aku janji nggak akan gitu lagi, Mi, Pi.”
But Osamu kept doing it.
Another rabbit. Cats. Dogs.
Beating up his classmates, harassing his maids.
Osamu always got away with everything because his family had money and power. They despised each other, but they loved Osamu too much that they turned blind eye to their son’s strange antics.
– — – — –
ALICE IN WONDERLAND
Osamu menekuni voli karena kegiatan klub di SMP-nya tidak ada lagi yang menarik. Hal ini berlanjut hingga ke SMA di mana ia menyadari bakatnya dalam bidang olahraga tersebut. Ia mendapatkan panggilan untuk menghadiri program pelatihan voli tingkat nasional di mana anak-anak berbakat dan berpotensi seperti dirinya akan berkumpul dan dikarantina selama seminggu. Osamu sendiri tidak terlalu antusias, baring-baring di ranjangnya atau pergi hangout bersama Kiyoomi jauh lebih menarik daripada menghadiri program omong kosong ini.
Siang itu matahari sedang tinggi-tingginya dan Osamu mengutuk setiap orang di sekitarnya. Bajunya basah karena keringat dan menempel di tubuhnya layaknya kulit kedua. Langkah kakinya yang terhentak-hentak membawa Osamu menyusuri koridor hotel tempatnya menetap sampai seminggu ke depan. Manik kecoklatannya menyusuri setiap nomor kamar hingga pandangannya bersirobok dengan sesuatu – atau seseorang dalam hal ini – yang lebih penting dan menarik daripada mencari kamar hotel. Seorang laki-laki seusianya dengan seragam asing (sepertinya dari luar kota) menarik perhatian Osamu. Ia menatapnya dengan mata terbelalak lebar, berdiri hanya dua kaki darinya, remaja laki-laki itu melemparkan senyum lebar ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Osamu yakin dia pernah melihat wajah itu sebelumnya, seperti saat dia bersiap untuk memulai hari di depan cermin rias di kamarnya.
Ia seperti melihat bayangannya sendiri bergerak.
Remaja dengan rambut sewarna jerami itu terlihat persis seperti dirinya.
.
.
.
.
Kembar.
Osamu tidak lupa ia punya kembaran. Ia selalu ingat, kembarannya itu orang yang paling ia benci di dunia. Osamu pertama kali bertemu dengannya saat yayasan milik Ayahnya mendonasikan sejumlah uang kepada sebuah SD negeri di pinggiran kota. Hari itu merupakan hari terakhir semester genap, para wali murid memenuhi area sekolah dalam rangka pengambilan rapor. Saat itu lah Osamu melihatnya. Seorang anak sebayanya yang dikelilingi banyak teman dan juga orang tua yang hadir dalam pembagian rapor.
Berani-beraninya dia diadopsi terlebih dahulu, merasakan hangatnya keluarga sejak bayi, dan mendapatkan senyuman tulus dari orang di sekitarnya?
Osamu hated him. He hated his beaming smile and loud remarks. He wanted to shut him up, to erase the light off of his face.
.
.
.
.
Osamu sadar dirinya berbeda dari orang lain saat ia merasakan merah bila keinginannya tidak dituruti. Bukan, ini bukan tantrum anak kecil biasanya. Bukan tantrum di mana kalian merengek dan menangis di lantai sampai dibelikan mainan atau permen yang diinginkan, melainkan amarah di mana Osamu rasanya ingin menghabisi sesuatu. Ketika hal tersebut terjadi, Ibunya akan mendekap dirinya sambil membisikkan kata-kata penenang,
“It’s okay sayang, namanya juga anak kecil.” katanya ketika Osamu melemparkan piring ke arah salah seorang pengasuhnya karena ia menolak diberi makan.
“Nggak apa-apa, Nak, nanti Mami sama Papi yang urus ya?” katanya ketika Osamu menggantung anjing tetangganya sampai mati karena gonggongannya mengganggu tidur siang Osamu.
“It’s not a big deal, sayang, kamu nggak salah apa-apa.” katanya ketika Osamu hampir menenggelamkan teman sekelasnya ketika latihan renang hanya karena anak itu selalu bersikap sok akrab dengannya.
Osamu selalu menginginkan banyak hal dan ia selalu memastikan bahwa ia akan mendapatkannya. Tidak peduli caranya salah atau benar. Bagaimanapun juga, apapun yang dilakukan Osamu, semuanya akan diurus oleh orang tuanya.
Dan saat ini tidak ada yang lebih diinginkan Osamu daripada kehidupan kembarannya.
Semenjak pertama kali bertukar kata, Atsumu selalu bercerita tentang keluarganya, “Sumpah ya, ortu gue, ribet banget mereka anjir! Mau tahu segalanya tapi ya gapapa sih, berarti sayang. Kocak juga mereka, lu pasti suka deh sama mereka.” ujarnya, seolah orangtua yang selalu ada di rumah dan kepo urusan anak mereka adalah hal yang paling memuakkan di kehidupan Atsumu. Ia juga bercerita soal teman masa kecilnya, Suna, yang menurut Atsumu; “Aneh anjir orangnya. Tapi dia bestie gue banget.”
Osamu penasaran dengan kehidupannya. Osamu ingin menjadi Atsumu.
Hingga suatu hari, melalui pesan singkat, Atsumu mengusulkan sebuah ide brilian yang mana melibatkan keduanya untuk bertukar tempat. Saat itu Osamu tengah berbaring di ranjang hotelnya, cahaya layar ponselnya yang menusuk mata menjadi satu-satunya penerangan dan ia menatap lekat-lekat bubble chat yang dikirimkan Atsumu dengan senyuman lebar terukir di wajahnya. Atsumu tidak mengusulkan ide tersebut, Osamu lah yang menanamkan ide untuk bertukar tempat ke alam bawah sadar kembarannya. Semenjak mereka bertemu, Osamu selalu berbicara bahwa ia penasaran dengan kehidupan Atsumu, dan dua hari lalu mereka baru saja menonton film The Parent Trap di mana sepasang anak kembar memutuskan untuk bertukar tempat untuk mempersatukan orang tuanya yang telah bercerai.
Atsumu fell into Osamu’s scheme, just like Alice fell into the rabbit hole. Osamu looked at him with the Cheshire Cat smile and Atsumu mistook it for a genuine smile.
– — – — –
THE PRINCE AND HIS KNIGHT
Osamu tahu Kiyoomi menyukainya semenjak mereka duduk di bangku menengah pertama. Ia selalu menangkap Kiyoomi mengamatinya lewat sudut matanya, atau ketika obsidian gelap milik laki-laki itu menelusuri tubuhnya saat mereka berganti baju untuk pelajaran olahraga.
“Kamu suka aku ya, Kiyoomi?” tanya Osamu sambil menatap Kiyoomi dari balik bulu matanya.
Seperti tertangkap basah, Kiyoomi mengalihkan pandangannya. “Kalau iya kenapa?”
Osamu tersenyum manis, ia menarik Kiyoomi ke dalam pelukannya. “I think it’s cute, even though I don’t like you that way, Kiyoomi. But, I can keep you by my side.”
And for Sakusa Kiyoomi that’s enough.
.
.
.
.
Malam itu mereka sedang berbaring di ranjang besar milik Osamu setelah keduanya selesai dengan tugas matematika yang memuakkan. Kiyoomi tengah fokus berselancar di sosial media ketika Osamu menjatuhkan kepalanya ke atas dada Kiyoomi dan mengalungkan lengannya ke pinggang laki-laki berambut ikal itu. Ia sedikit tersentak ketika pandangannya tertutupi oleh surai keabuan milik Osamu. “What are you trying to do, Sam?” tanyanya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Keheningan merengkuh keduanya, jari-jemari Kiyoomi menari di atas rambut Osamu yang beraroma vanila. Sesekali ia menarik pelan helaian di antara jarinya, menghasilkan rengekan dari Osamu.
“Kiyooo, stop pulling my hair. You can do that when we’re doing something else.”
This brat, Kiyoomi mengutuknya di dalam hati.
“Kiyoooo…”
“Hmm?”
“Would you do anything for me?”
“Konteksnya apa?”
“Anything.” Osamu terkekeh kecil. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Kiyoomi dalam-dalam. “Anything I ask. Anything I want.”
“Why would I? Kamu aja nggak mau tunangan sama aku.” balasnya sambil mendengus. Kepalanya berdenyut sakit saat mengingat bahwa Osamu menolak ide pertunangan yang diinisiasi kedua orangtua mereka. Katanya, Osamu ingin mencari cinta sejatinya sendiri. Omong kosong macam apa itu? Memangnya ini negeri dongeng?
Osamu melemparkan delikan sebal ke arah Kiyoomi, “No matter what, I’d still keep you by my side. Isn’t that enough for you, Kiyoomi? You said you love me… so, would you do anything for me?”
Kiyoomi is what people called down bad. “Iya, Samu. I will.”
.
.
.
.
“Would you do that for me?”
Kiyoomi menatap Osamu dengan tanda tanya besar di atas kepalanya. Layar laptopnya menampilkan Osamu dengan rambut sewarna jerami dan latar kamar yang tidak familiar. Si bodoh ini bilang kalau ia sedang bertukar tempat dengan “kembarannya” sampai semester berganti. Kiyoomi sudah bertemu dengan Si Kembaran ini, seorang carbon copy dari Osamu namun dengan pembawaan yang lebih ceria dan terkesan heboh. Sekeras apapun ia berpura-pura menjadi Osamu, Kiyoomi tetap tahu kalau yang selama ini berada di sampingnya bukan lah Osamu.
“Coba ulang tadi kamu ngomong apa.”
“Aku bilang, akrabin diri sama kembaranku, Kiyo. Make him fall in love with you, he’s so easy. Naive and dumb.” katanya. “You can pretend it’s me, cause you know, I would never return your feelings whatsoever.” Osamu itu sangat memuakkan. Orang-orang di sekitarnya ia anggap layaknya sebuah pion catur di atas papan catur besar miliknya. Osamu akan memainkan mereka sesukanya karena Mami dan Papi akan membereskan sisanya. Tapi sialnya Kiyoomi tidak dapat mengatakan tidak ketika dihadapkan dengan wajah rupawan yang menyimpan pikiran paling sakit di baliknya.
“Buat apa, Sam?”
“For the plot.”
Kiyoomi tidak pernah mencintai Atsumu. Tapi kalau Osamu menyuruhnya untuk membuat Atsumu jatuh kepadanya, Kiyoomi akan menuruti keinginannya. After all, the person that appears before him is what people called a ‘prince’ and Kiyoomi is just a mere knight for him.
– — – —
THE MOON, THE SUN, AND THE EARTH
Osamu tidak pernah peduli dengan orang lain hingga ia berhadapan dengan Suna Rintarou. Seorang remaja sebayanya yang selalu bicara blak-blakan dengan nada suara yang mengimplikasikan bahwa ia malas bicara. Matanya yang berbentuk seperti mata kucing selalu menatap dalam-dalam ke arah Osamu, menyelam di dalamnya dan memporak-porandakan isi pikirannya. Setiap berhadapan dengannya, Osamu selalu berusaha keras untuk bersikap normal dan menghindari sorot mata pria yang akrab dipanggil Sunarin itu. Tanpa ia sadari, Sunarin telah masuk dan menetap di pikirannya.
Osamu sedang menulis cerita hidupnya di mana semuanya berjalan sesuai dengan garis besar alur yang telah ia rancang, hingga seorang tokoh baru bernama Suna Rintarou menulis kisahnya sendiri di atas kertas Osamu tanpa mengatakan permisi.
Osamu tengah berbaring sambil menatap langit-langit kamar Atsumu ketika ia mendapatkan pernyataan cinta dari Sunarin. Pria itu menyukai Atsumu, of course it has to be Atsumu. Osamu rasanya sampai mual saat ia membaca ulang pesan singkat yang dikirimkan Sunarin. Bulir-bulir keringat dingin membanjiri pelipisnya karena untuk pertama kalinya, seseorang tidak bertekuk lutut di hadapannya. Untuk pertama kalinya, Osamu menemukan sebuah pion catur yang tidak bisa ia gerakan semaunya. Pikirannya berputar seperti tornado, mencabik-cabik ketenangannya yang semula sudah rapuh. Ia selalu menduga bahwa Sunarin memiliki perhatian khusus pada Atsumu, tapi mendengarnya secara langsung membuat perutnya terasa diaduk-aduk. Selama ini, Osamu merasa dirinya yang selalu memegang kendali, menjadi poros yang menggerakkan segala sesuatu di sekelilingnya. Namun sekarang, semua berubah.
Osamu menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia ingat bagaimana Sunarin selalu tersenyum hangat kepadanya karena ia kira Osamu adalah Atsumu. Perasaan cemburu yang selama ini ia tekan semakin menguat, membentuk simpul-simpul rasa sakit di dadanya. Ia tidak bisa memungkiri bahwa Atsumu adalah magnet bagi banyak orang. Kembarannya itu selalu menarik perhatian dengan kharismanya yang alami dan sikapnya yang penuh percaya diri. Osamu mengerti kenapa Sunarin jatuh cinta pada Atsumu, tapi itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Malah, itu hanya menambah beban di hatinya yang sudah penuh dengan perasaan tak terucapkan.
Osamu tahu bahwa ini bukan soal siapa yang lebih baik atau lebih pantas. Ini tentang perasaan yang tidak bisa dikendalikan, tentang hati yang memilih jalannya sendiri tanpa memperdulikan logika. Ia menatap langit-langit kamar Atsumu dengan pandangan kosong, berharap bisa menemukan jawaban di antara bayang-bayang yang terbentuk oleh cahaya lampu. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak emosi yang ingin meledak. Ia sadar bahwa tidak ada jawaban yang mudah dalam situasi ini, semua keputusan yang diambil akan memiliki konsekuensi, dan Osamu tidak yakin siap menghadapi semua itu.
Waktu terus berlalu, tapi Osamu tetap terbaring di sana, terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri. Perasaan campur aduk antara cemburu, sakit hati, dan kebingungan terus menghantuinya. Satu hal yang ia tahu pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah menerima pesan dari Sunarin.
Sunarin itu dunianya Osamu, tapi ia hanya fokus dengan Atsumu.
The moon loves the earth so much, but the earth is too focused on the sun and its ray of sunshine.
That was his last straw.
– — – —
MERLOT
Osamu kembali ke kehidupannya sendiri. Rumah besar layaknya istana dan orangtua yang menaruh seisi dunia ke pangkuannya tanpa ia minta. Namun Osamu tidak menyukai itu semua. Dia merindukan suasana hangat di rumah sederhana milik keluarga Atsumu, merindukan riuh anak-anak kecil yang bermain bola di depan pagar, merindukan suara motor Sunarin yang di-starter saat ia akan mengantarkan pesanan gas dan galon. Ia memandang Ibunya yang duduk di hadapannya dengan datar. Wanita itu tengah membaca majalah fashion langganannya dengan sebatang rokok yang terjepit di antara bibir berwarna merlot. Jemarinya yang dicat merah menari di atas halaman majalah, asap rokok mengepul di udara. Jauh berbanding terbalik dengan kebiasaan Ibu Atsumu yang selalu berada di ruang TV, menonton sinetron kesukaannya sambil memakan kerupuk kulit yang disimpan di toples plastik.
“Kenapa, Nak?”
Osamu menggeleng. “Nggak ada, Mi.”
“Do you want something? You look troubled.”
“What if I want to be someone else, Mi?”
Ibunya menghentakkan rokoknya ke sisi asbak, membuat puntung rokok yang terbakar jatuh ke dalamnya. Ia menghembuskan asap ke udara. “Maksudnya gimana, sayang?”
Osamu terdiam, merenungkan kata-kata yang akan ia lontarkan. “Aku bosan … sama kehidupanku sekarang. I want something else. I want to be someone else.”
Walaupun keheranan, wanita paruh baya yang masih terlihat muda di usianya yang ke-48 itu melemparkan senyuman manis yang terukir dari bibir merlot-nya ke arah putra semata wayangnya. “Whatever that is, fine by me. I’ll give everything to you, dear.”
Osamu mencebikkan bibirnya, “What if that’s something wrong and illegal…”
Ibunya itu otomatis terbahak ketika mendengar ucapan Osamu. Wanita itu tertawa hingga mengeluarkan air mata. “Ngomong apa kamu, sayang? You’ve done so many terrible and inhuman things throughout your life and now you want to talk about morals? Osamu, sayang, setiap kali kamu begitu memang kamu kira siapa yang beresin akibatnya? Mami dan Papi. I don’t care what that is, kid, I’ll still give it to you. After all, you’re my pride and joy. After all, illegal and law don’t exist in this household.”
Merlot itu warna kesukaan Osamu. Karena setiap kali ia berhadapan dengannya, his mother gives everything he wants in a silver platter.
.
.
.
.
Atsumu duduk di sebelahnya sambil sibuk memainkan game di ponsel miliknya. Saat ini keduanya sedang duduk di dalam mobil dengan suara radio yang menemani. “Sam, kok berhenti di sini? Ngapain?” suara Atsumu memecah keheningan di antara keduanya. Ia memandang Osamu dengan keheranan, lalu melihat ke luar jendela mobil. Mobil milik Osamu berhenti di sebuah daerah sepi dengan hutan belantara sejauh mata memandang, di hadapannya terlihat sebuah rumah yang cukup besar namun tak berpenghuni. “Ini rumah siapa, Sam? Jauh banget dah, kayak udah nggak di kota lagi.”
“Ini vila punya keluargaku.” jawab Osamu dengan ogah-ogahan. Dia lelah harus terus pura-pura baik di hadapan Atsumu sementara hal yang paling ingin ia lakukan adalah membenturkan kepala Atsumu keras-keras ke kaca jendela mobil.
“Serius? Bagus banget! Kita mau nginap di sini, kah? Boleh ajak Kiyoomi, nggak?” nada suara Atsumu yang ceria agak membuat Osamu merasa kasihan, namun ia menepis perasaan itu. Mata kembarannya itu berbinar saat menyebutkan nama Kiyoomi, tidak tahu kalau Kiyoomi juga merupakan aktor di panggung sandiwara buatan Osamu.
Naive and dumb, like a fawn.
“Aku mau ngomong, Tsumu.”
“Soal apa?”
“Aku nggak mau balik lagi. Bukan sekarang, atau kapanpun. Aku mau selamanya jadi kamu.” Osamu berkata dengan tegas, Atsumu menatapnya dengan kebingungan. “Maksud lu apa nggak mau balik? Lu gila atau gimana?” Nada suaranya malah memicu sesuatu di dalam diri Osamu.
“Aku suka kehidupan kamu, Atsumu, aku suka ada di rumah dan dimasakin Bunda – ”
“Itu rumah gue anjir, bukan rumah lu. Stop aneh!” teriak Atsumu tiba-tiba.
“Nggak penting! Aku suka di sana!”
Atsumu terpaku di tempat duduknya, merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring dengan meningkatnya ketegangan antara dia dan Osamu. Mereka sudah berdebat lama, meskipun mungkin baru beberapa menit. Udara di dalam mobil terasa pengap dan panas, serta penuh dengan kemarahan yang memuakkan. “Aku nggak suka tinggal di rumahku sendiri, Atsumu!”
“Dan lu pikir gue suka, gitu? Maaf ya, Osamu, tapi gue lebih suka tinggal di gang kecil daripada rumah gedong tapi nggak pernah ada penghuninya! Gue lebih suka sama orang tua dan temen-temen gue sendiri…” Atsumu menunduk dan menarik napas panjang. “…dan agak sepi juga karena nggak ada Suna.”
Mendengar nama itu, sesuatu dalam diri Osamu seakan dipantik, tiba-tiba dia dipenuhi amarah. “Suna? Apa hubungan kamu sama dia, sih?” Suaranya dingin, berbeda dengan Osamu yang dikenal Atsumu beberapa minggu lalu. Nadanya penuh dengan kemarahan dan cemburu, sesuatu yang gelap dan berbahaya. Atsumu meluruskan punggungnya dan perlahan meraih pegangan pintu. “Dia temen gue, inget?”
“Kamu suka sama dia, ya?”
“Stop ngomong ngaco, anjir! Udah tahu gue pacaran sama Kiyoomi!”
“Terus, kamu pikir Kiyoomi suka sama kamu?”
“Apaan, sih?”
“Goblok! Hahaha … Atsumu bego! Polos banget sih kamu? Orang paling tolol sedunia!” Suara tawa Osamu menggelegar dan memenuhi seisi mobil. Atsumu terdiam dan memandang Osamu dengan penuh kengerian. “Lu apaan, sih? Orang gila! Kenapa coba? Buka kuncinya gue mau keluar!”
Osamu meredakan tawanya sendiri, ia melirik Atsumu dengan sinis dari sudut matanya. “Kiyoomi itu … nggak bener-bener suka sama kamu Atsumu, sayangku. Everything he did, I told him to do it. Udah ya, duduk yang tenang selagi aku cerita.”
Waktu terasa bergulir begitu lambat ketika Osamu mulai menceritakan semuanya sejak awal. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti jarum yang menusuk perlahan ke dalam kesadaran Atsumu. Semakin Osamu berbicara, semakin Atsumu diselimuti oleh rasa takut yang mendalam. Tubuhnya mulai bergetar, matanya membesar, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Setiap detail yang diungkapkan oleh Osamu membuat Atsumu merasa seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh.
Di sisi lain, Osamu tetap bercerita dengan tenang dan santai, seolah kelakuannya itu adalah hal yang wajar dilakukan. Nada suaranya tidak menunjukkan penyesalan atau kekhawatiran. Dia bahkan sesekali tersenyum tipis, seperti sedang menceritakan kisah biasa di waktu santai. Kontras antara ketenangan Osamu dan kepanikan Atsumu membuat suasana semakin tegang.
Atsumu mencoba menyela beberapa kali, tapi setiap kali dia membuka mulut, suaranya hilang, tercekik oleh rasa takut yang terus menguasainya. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana bisa Osamu, kembarannya yang selama ini bersikap layaknya malaikat, melakukan hal-hal mengerikan yang baru saja diceritakannya dengan begitu santai?
“Osamu, lu bercanda doang, kan?” tanya Atsumu dengan suara bergetar. Namun, Osamu hanya menatapnya sejenak sebelum melanjutkan ceritanya, seolah pertanyaan Atsumu tidak layak untuk dijawab. Atsumu merasa semakin terjebak dalam kenyataan mengerikan yang dihadapkan padanya. Ketidakberdayaan dan ketakutan menyatu, membuat pikirannya kacau.
Osamu tiba-tiba mencengkeram bahu Atsumu dengan erat dan berteriak, “Suna suka kamu! D-dan meskipun kamu ngenalin kami berdua, dia mungkin anggap aku itu kamu! Aku nggak mau balik ke kehidupanku! B-bukan cuma karena Suna… Aku suka tinggal di rumahmu, bantuin Ibu kamu nyiapin makanan atau cuma ngobrol tanpa harus ditinggalin setiap hari!” Matanya memerah dan air mata mulai mengalir deras di wajahnya. Atsumu merasa kaget dan tidak tahu harus berkata apa. Osamu melanjutkan dengan suara yang penuh emosi, “Kamu… kamu punya semua yang aku mau!”
Pertengkaran semakin memanas, dengan keduanya saling melemparkan hinaan dan tuduhan yang semakin tajam. Suasana di dalam mobil berubah menjadi sangat tegang dan tidak nyaman. “Lu nggak bisa seenaknya ambil hidup orang lain! Dasar anak manja! Lu emang beneran gila, ya?” Atsumu berteriak, matanya penuh kemarahan, dan mendorong Osamu menjauh darinya.
Osamu tersentak mundur, tapi kemarahan di matanya semakin menyala. “Kamu bilang apa?” suaranya rendah tapi penuh ancaman. “Kamu nggak tahu apa-apa soal aku!”
Atsumu tahu dia harus keluar dari mobil, menjauh dari Osamu sebelum keadaan semakin buruk. Tapi pintunya terkunci, dan dia tidak bisa membukanya dari dalam. Panik mulai merasukinya saat dia menyadari bahwa dia terjebak. Dia mencoba jendela, tapi mereka elektrik, dan tidak bisa bergerak. Dia menyadari bahwa dia terjebak di dalam mobil dengan Osamu yang semakin tidak terkendali.
“Buka pintunya, Samu!” titah Atsumu, suaranya gemetar. “Udah! Gue mau pulang!”
Osamu menatapnya dengan belati yang terpancar dari manik natanya. “Kamu nggak boleh pergi!” dia berteriak, memukul dasbor dengan kepalan tangannya. “Kita belum selesai!”
Mendengarnya, Atsumu merasakan ketakutan yang semakin besar. Dia tahu bahwa Osamu sedang dalam kondisi yang sangat tidak stabil dan berbahaya. Dia harus keluar dari situasi ini secepat mungkin, tapi tidak ada jalan keluar. Terkunci dan terperangkap, Atsumu hanya bisa berharap ada seseorang yang akan datang dan membantunya.
Sementara itu, Osamu terus berteriak dan mengancam, ketegangan di dalam mobil semakin memuncak, meninggalkan Atsumu dalam kepanikan dan keputusasaan. Osamu panik. Tangannya gemetar dan dia terus mengusap pipinya untuk menghapus air matanya, matanya tidak fokus. Ia mencengkeram setir dengan erat, buku-buku jarinya memutih saat air mata mengalir deras di wajahnya. Dia gemetar dengan amarah, merasa seolah-olah akan meledak. Dadanya terasa sesak, dan napasnya pendek-pendek saat dia mencoba menenangkan diri. Tetapi semakin dia mencoba untuk rileks, semakin amarahnya membara di dalam dirinya. Dia memukul setir dengan kepalan tangan, berteriak dan menjerit tanpa arti. Dia merasa dunia berkonspirasi melawannya, dan dia bingung harus berbuat apa. Matanya bergerak liar menyisir ke dalam mobil, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari keadaan maniknya.
Kejadian selanjutnya tidak pernah sekalipun terbesit di dalam benak Atsumu. Osamu menghimpitnya ke jendela mobil, tangannya menggenggam sebuah palu yang entah dari mana ia dapat. Dengan membabi buta Osamu melayangkan palu tersebut ke kepala kembarannya. Atsumu menjerit, dia berusaha keras menendang Osamu yang entah kenapa menjadi jauh lebih kuat darinya. Pandangannya mulai kabur dan tubuhnya dikuasai rasa sakit, ia menangis memanggil orang tuanya, ia menangis meminta ampun dan memohon maaf kepada Osamu. His cry for help fell into deaf ears.
“Lu bilang mau tukeran tempat, how about we switch places forever?”
Tidak ada jawaban, hening. Suara tangisan dan jeritan Atsumu tiba-tiba berhenti. Darah menuruni pelipis dan mewarnai pipinya. Merlot. Warna kesukaan Osamu.
Merlot smells like blood, rage, and victory.
– — – — –
NO BODY, NO CRIME
Osamu duduk bersandar di kap mobilnya dengan kepala tertunduk dalam. Tangannya yang berlumuran darah menggenggam erat ponselnya. He called his parents and they said they’ll be here in an hour. Osamu terus menunggu dan menunggu. Sementara tubuh kembarannya semakin mendingin di dalam mobil. Ia ditarik dari lamunannya ketika secercah cahaya menghampirinya. Osamu mengangkat kepalanya dan menemukan mobil milik orang tuanya terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ibunya tergopoh-gopoh menghampirinya, ia menenggelamkan Osamu ke dalam pelukannya seraya membisikkan kalimat penenang untuknya.
“Nggak apa-apa, sayang. We’ll take care of this.”
Osamu memejamkan matanya, ia merasa tubuhnya akhirnya bisa berubah rileks saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Ibunya. Sementara di sisi lain Ayahnya sibuk berbicara dengan seseorang melalui ponselnya, nadanya sarat akan otoritas dan amarah. “Papi marah, ya?”
“Nggak, sayang. Udah ya … everything will be fine.”
Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Osamu melirik sebentar ke arah mobilnya. Ke arah jendela mobil yang dihiasi warna merah, ke arah saudaranya yang bersandar tak berdaya dan tak bernyawa, serta ke arah Ibunya yang menatap nanar ke kekosongan di hadapannya.
.
.
.
.
Apa yang ia mau, akan ia dapatkan. Termasuk identitas dan juga kehidupan seseorang.
Seminggu berlalu dan entah bagaimana Ayahnya berhasil memutar balikkan fakta bahwa Osamu ditemukan tidak bernyawa di villa keluarga mereka. Bahwa yang meninggal itu Osamu, bukan Atsumu. Bahwa saat ini yang berbaring di dalam peti mati itu adalah Osamu. Bahwa Atsumu masih hidup dan saat ini berdiri di antara para pelayat yang datang. Suasana rumah duka dipenuhi kolega bisnis orang tuanya, beberapa politisi serta petinggi yang tidak Osamu kenal, dan juga segelintir temannya.
Setelah kejadian itu, Osamu resmi mengambil alih kehidupan Atsumu, berperan sebagai dirinya tanpa ada yang curiga. Orang tuanya berkata bahwa ia bisa melakukan apa pun yang ia inginkan asalkan rela dipantau setiap saat. Osamu setuju, bahkan berjanji untuk rutin mengunjungi mereka sebagai bentuk terima kasih karena telah memberinya kesempatan hidup yang ia dambakan. Tidak ada satu pun yang mencurigai penyamarannya, bahkan orang tua dan teman-teman Atsumu sepenuhnya percaya bahwa Osamu adalah Atsumu.
Osamu pun tidak ragu untuk membuat pengumuman di media sosial bahwa ia telah mengakhiri hubungannya dengan Kiyoomi, yang langsung disambut dengan heboh oleh Sunarin. Semua berjalan sesuai rencana. Hidup baru yang diidamkan Osamu kini benar-benar menjadi miliknya, dan ia akan melakukan apa pun untuk mempertahankannya.
“Serius, Sam? You’ll pretend to be someone else for the rest of your life?” Suara Kiyoomi yang tenang namun penuh pertanyaan menarik Osamu dari lamunannya. Ia menemukan sahabatnya berdiri di sampingnya dengan setelan jas serba hitam, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Osamu menghela napas dan berusaha menjaga ekspresinya agar tetap tenang. “Jangan panggil aku begitu di publik, Kiyo,” jawabnya dengan nada datar, berusaha menghindari konfrontasi langsung.
Kiyoomi menatapnya tajam, mata gelapnya menelisik setiap sudut wajah Osamu, seolah mencari tanda-tanda keraguan. “Screw that. Ini soal hidupmu. Kamu benar-benar siap menjalani ini selamanya? Pura-pura jadi Atsumu di depan semua orang, even di depan teman dan keluarganya?”
Osamu menggigit bibirnya, mencoba menahan luapan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. “Aku nggak punya pilihan lain, Kiyo. Ini satu-satunya cara supaya aku bisa dapat kehidupan yang aku inginkan. Mereka semua percaya aku itu Atsumu. Bahkan orang tuanya percaya,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar.
Kiyoomi menghela napas panjang, menatap Osamu dengan campuran rasa frustasi dan empati. “Tapi berapa lama kamu bisa bertahan kayak gini? Setiap hari kamu bakalan hidup dalam kebohongan, terus-menerus berpura-pura. Rather than live the life you dreamed of, it’s more like a jail.”
“Fuck off, Kiyo.”
Kiyoomi memutar bola matanya dengan malas. Ia bersandar di dinding dengan kedua tangannya yang dijejalkan ke saku celana. “You sick little fucker. Terserah kamu kalau begitu. Aku cuma khawatir.”
Osamu terbahak kencang, ia memukul pundak Kiyoomi dengan main-main. “Jangan gitu dong, kita masih temen, lho. Even though I’m no longer here, we can still have some fun together. Just like the old times.”
“No, thanks. Mending aku sama yang lain. Kamu pasti bakalan sibuk nempel-nempel sama orang yang namanya Sunarin itu.”
“But, Kiyo, you’re still my bestest friend!”
“Hey, what if somebody finds out about this?”
Osamu melirik ke arah Kiyoomi, masih dengan senyuman manis yang terpatri di wajahnya. Ia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, seolah menyuruh Kiyoomi untuk tetap diam. “Kiyo, there’s a saying that if there’s no body to be found, then there’s no crime.”
Pria berambut hitam legam itu mengernyitkan dahinya, ia heran melihat sahabatnya yang tampak begitu tenang dan yakin dalam kebohongannya. “But Sam, this isn’t just some game. This is your life. What if someone eventually puts the pieces together? What if they start asking questions?”
Osamu menghela napasnya, pandangannya berubah serius. “Kiyoomi, aku udah pikirin semua ini. Ayahku punya pengaruh yang besar. Dia bisa memastikan nggak akan ada yang ngungkit masalah ini lagi. Dan aku juga udah belajar semua tentang kehidupan Atsumu. Nggak ada orang yang bakalan curiga.”
All is well.
At least for now.
.
.
.
.
Siang itu Osamu berkumpul dengan Sunarin dan Aran di warkop langganan mereka. Ketiganya asik bermain kartu ditemani tiga cangkir es kopi dan tiga mangkuk Indomie yang sudah kosong. Sunarin duduk di samping Osamu, begitu dekat hingga pundak mereka sesekali bersentuhan. Setiap kali hal itu terjadi, sesuatu di dalam diri Osamu berdesir, membuatnya merasa hangat dan bahagia. Ia mati-matian berusaha menutupi senyuman yang terus mengembang di bibirnya dan pipinya yang terasa panas. Sejak ia mengambil identitas Atsumu, Osamu merasa semakin dekat dengan Sunarin. Hubungan mereka berkembang dengan cepat, sesuatu yang selalu ia impikan.
Namun, Osamu tahu bahwa ia harus berhati-hati. Meskipun ia sangat ingin menjadi kekasih Sunarin, ia sadar bahwa bergerak terlalu cepat akan menimbulkan kecurigaan. Tidak ada yang tahu bahwa dia sebenarnya adalah Osamu, bukan Atsumu. Jika dia terlalu terburu-buru, semua rencananya bisa berantakan. Oleh karena itu, Osamu memutuskan untuk berpura-pura mendekati Sunarin secara perlahan. Ia menahan diri, mencoba membangun hubungan mereka dengan hati-hati. Setiap momen kebersamaan mereka adalah kesempatan berharga bagi Osamu untuk memperkuat penyamarannya dan mendekatkan diri pada Sunarin.
“Ah, goblok! Kalah mulu gue, jir.” umpat Sunarin sambil membanting kartu remi miliknya ke atas meja. Melihat hal tersebut Aran tertawa terbahak-bahak. “Lu cupu banget, anjing.” ejeknya yang langsung direspons dengan sumpah serapah dari Sunarin.
Osamu tersenyum lebar, memandangi keduanya dengan binar bahagia. Inilah kehidupan yang selalu ia impikan, realisasi dari semua harapannya. Osamu ingin terus menjalani hidup ini hingga akhir, meskipun harus berperan sebagai orang lain untuk meraihnya.
Ketika Osamu sibuk dengan isi kepalanya, di sebrangnya Aran menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi wajah yang tidak bisa diartikan.
– — – —
The devil is real, and he’s not a little red man with horns and a tail. He could be beautiful.