Wakatoshi tidak memiliki banyak teman semenjak ia kecil. Perawakannya yang tinggi besar mengintimidasi teman sebayanya, ia tidak banyak bicara dan selalu terlihat sibuk dengan isi kepalanya sendiri, mengurungkan niat orang-orang yang berusaha menawarkan pertemanan. Ia juga tidak pandai di bidang akademik, otomatis mencoret opsi teman sekelasnya untuk menghampirinya demi bertanya mengenai pelajaran. Wakatoshi ingin punya teman, dia hanya tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Sampai pada akhirnya, ia menemukan keahliannya; voli. Kalau boleh sombong, Wakatoshi sangat pandai bila berurusan dengan bola yang umumnya didominasi warna biru dan kuning itu. Ia bisa memukul jauh bola di tangannya hingga melayang tinggi sampai ke langit-langit gimnasium, ia bisa menentukan dengan presisi kemana bola itu akan mendarat, dan tubuhnya yang tinggi memudahkannya untuk memukul mundur pemain lawan yang berusaha menghentikannya. Wakatoshi masih tidak punya teman, masih tidak tahu caranya, tapi kini segelintir orang mulai mengerubunginya. Menghujaninya dengan pujian atau tepukan akrab di punggung ketika timnya memenangkan perlombaan. Wakatoshi pikir itu cukup, walaupun semua perhatian hanya sebatas basa-basi dan tidak pernah berakhir dengan obrolan akrab maupun kunjungan ke rumah ketika akhir pekan.
Kemudian, saat tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Pertama, Wakatoshi bertemu dengan seseorang. Orang asing itu berdiri di ambang pintu toilet dengan wajah melongo dan mata yang membulat lucu. Rambut ikalnya yang hitam legam duduk di atas kepalanya dengan serampangan, wajahnya kecil dan kulitnya seputih kapas, tulang pipinya yang tinggi bersemu merah, dan ia terus memandangi Wakatoshi – atau lebih tepatnya memandangi saputangan yang berada di genggamannya. Tak ada kata yang terucap, tak ada kalimat yang tertukar, anak itu pergi dari hadapannya secepat ia muncul tanpa bilang permisi.
Beberapa hari setelahnya, Wakatoshi kembali melihat sosoknya di koridor sekolah. Tubuhnya menempel di dinding, seolah berharap permukaan datar itu dapat menelannya bulat-bulat, seolah ia tidak ingin terlihat, tidak ingin berurusan dengan orang lain. Matanya bulat seperti rusa namun entah bagaimana sukses menghunuskan tatapan tajam ke setiap orang yang lewat dan dahinya yang dijatuhi beberapa surai ikalnya dipenuhi garis-garis ketidaknyamanan. Ia berdiri di sana dengan plang imajinatif bertuliskan ‘JANGAN MENDEKAT & JANGAN AJAK NGOBROL’ di atas kepalanya. Wakatoshi berbalik menjauhi koridor kelas dua, kali ini dengan senyuman yang hadir di wajahnya.
Hari berganti menjadi minggu dan Wakatoshi terus melihat rambut ikal itu kemana pun ia pergi. Bersembunyi di balik dinding, mengekorinya ke gimnasium, berbaur dengan bayangan Wakatoshi sendiri – mengikutinya kemana pun ia melangkah. Wakatoshi ingin sekali berkenalan dengannya (atau menegurnya karena tidak sepantasnya ia dibuntuti seperti itu) tapi ia tidak tahu bagaimana memulai sebuah obrolan, dan sepertinya anak itu juga tidak pandai bergaul. Wakatoshi menghela napas, membiarkan orang asing dengan wajah paling manis yang pernah ia lihat itu menemani bayangannya.
Namanya Sakusa Kiyoomi, murid pindahan, sekarang duduk di kelas dua, dan satu tahun lebih muda darinya. Wakatoshi mendapatkan informasi tersebut melalui obrolan-obrolan murid lain yang ia curi dengar saat di kantin. Sesuatu di dalam dirinya melompat dengan bahagia karena setelah tiga minggu, dia akhirnya bisa mengaitkan nama pada wajah orang asing yang selalu mengikutinya. Wakatoshi melangkah meninggalkan kantin dengan perut kenyang, senyuman kecil yang terpatri di wajahnya, juga nama Sakusa Kiyoomi yang terus berputar di dalam kepalanya seperti kaset rusak.
“Halo, kamu kenapa ikutin aku terus?”
Siang itu matahari sedang tinggi-tingginya, hawa panas membuat beberapa murid memilih untuk menghabiskan waktu istirahat mereka di ruang kelas, namun, Wakatoshi lebih memilih untuk pergi menghampiri Kiyoomi yang sedang duduk di atas ayunan dengan kotak bekal di pangkuannya. Kiyoomi mendongkak, lagi-lagi matanya membulat lucu, seolah tidak percaya kalau Wakatoshi tengah berbicara dengannya.
“Maaf.” Hanya respons itu yang Wakatoshi dapatkan. Maaf. Maaf. Perkataannya bergema di dalam kepala Wakatoshi yang tiba-tiba malfungsi. Suara Kiyoomi menyapa indra pendengarannya dengan sopan – pelan, lembut seperti sutra, dan terasa seperti madu (yang ini tidak masuk akal, tapi saat mendengar bagaimana Kiyoomi berbicara ia rasanya bisa mengecap madu di langit-langit mulutnya).
“Kenapa minta maaf? Kenapa ikutin aku?”
Kiyoomi menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang berubah merah padam. Usahanya sia-sia karena Wakatoshi masih bisa melihat telinganya yang bersemu. “Umm, maaf. Aku mau kenalan tapi gak berani.” katanya, masih menolak untuk menatap Wakatoshi yang kini berdiri tepat di hadapannya.
“Aku Wakatoshi. Ushijima Wakatoshi.”
“Iya, aku udah tahu … banyak yang omongin kamu soalnya kamu keren.” Mendengarnya, Wakatoshi otomatis menaikkan salah satu alisnya karena keheranan. Keren? Siapa yang bilang dia keren? “Aku Kiyoomi, Sakusa Kiyoomi.” lanjutnya.
Wakatoshi tersenyum. “Iya, aku juga udah tahu.”
Kiyoomi sontak mengangkat kepalanya kembali, terlihat terkejut ketika mendengar Wakatoshi menyebut namanya meskipun belum ada perkenalan. Obrolan ringan pun dimulai di antara keduanya, yang kemudian berkembang menjadi percakapan yang lebih akrab, diikuti dengan kunjungan rutin ke rumah Wakatoshi pada akhir pekan yang lambat laun berubah menjadi pergi bersama ke taman bermain saat libur semester.
Wakatoshi tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan teman, tapi ia tahu bagaimana caranya jatuh cinta.
Sinar matahari menyelip masuk melalui tirai jendela dan mengusik Wakatoshi yang sibuk menjelajahi dunia mimpi. Lengannya melayang dan mendarat di wajahnya, berupaya untuk menutupi sinar matahari agar ia bisa kembali tidur. Akan tetapi kesadarannya sudah kembali sepenuhnya, ia pun melenguh dan merenggangkan tubuhnya yang kaku serta diserang rasa linu di setiap sendinya. Wakatoshi menggosok kedua matanya, berusaha mengusir kantuk yang menggantung berat di pelupuknya.
“Nghh,”
Seseorang mengerang protes ketika Wakatoshi berusaha untuk bangkit dari posisinya. Ia menunduk dan mendapati Kiyoomi hampir sepenuhnya berbaring di atasnya, dengan salah satu kakinya dilemparkan ke atas pinggul Wakatoshi, lengannya melingkari perutnya, dan kepalanya tenggelam di dadanya. Wakatoshi bisa merasakan bagaimana helaian ikal milik Kiyoomi menggelitik wajahnya dan ia terkekeh dibuatnya.
“Kiyo, bangun. Aku ada kelas jam 10 kurang 15, sekarang udah mau jam setengah 9.” ujarnya seraya menggoyangkan bahu Kiyoomi dengan perlahan, berharap laki-laki itu bisa segera bangun karena jarum jam terus bergerak dan keduanya memiliki kelas untuk dihadiri. “Kiyo, ayo bangun.”
Alih-alih membuka matanya, Kiyoomi malah kembali mengerang protes, ia melepaskan pelukan yang menjerat Wakatoshi layaknya tentakel gurita lalu berbalik badan dan menenggelamkan dirinya di antara selimut yang menyelimuti keduanya. Melihatnya, Wakatoshi mendecak sebal. “Kiyo, wake up. We have classes to attend.”
“Don’t wanna …” Kiyoomi berkata dengan suara yang teredam di antara tumpukan selimut.
“Bangun dan balik ke kamarmu buat siap-siap sana.” Wakatoshi bangkit dari atas ranjang, tungkainya berjalan mengitari ruangan untuk mengambil handuk yang digantung di belakang pintu kamar. Semalam, Kiyoomi berkunjung ke kamarnya, berkata bahwa ia tidak berani tidur sendiri setelah Komori memaksanya untuk marathon serial Insidious dari film pertama hingga terakhir. Laki-laki itu berjalan melintasi area universitas (karena gedung asrama mereka yang berseberangan) saat tengah malam hanya dengan dibalut piyama (“Aku gak mau nonton horror lagi, jalan ke sini aja aku takut. Sialan emang si Komori.”)
Kiyoomi menggeram kesal, ia menendang selimut yang membelenggu tubuhnya kemudian berbalik menghadap Wakatoshi, matanya menyipit karena amarah dan bibirnya mengerucut. “Kamu usir aku?” Ia bertanya dengan intonasi suara yang kental akan kantuk, matanya setengah terpejam dan rambutnya terlihat seperti sarang burung. Wakatoshi mengulum senyumnya, menahan rasa gemas yang bersarang di dalam dirinya, memacu jantungnya untuk berdetak dengan lebih cepat, menjalar hingga ke perutnya yang geli dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan di sana.
“Toshi, aku pinjam baju kamu aja, ya?”
Mendengarnya, tentu saja Wakatoshi tidak bisa memberikan bantahan. Ia menghela napas, menyampirkan handuk di bahunya, kemudian melangkah mendekati Kiyoomi. “Yaudah, mau aku dulu yang mandi atau kamu?” tanyanya dengan tangan yang kini melayang di atas kepala Kiyoomi, jemarinya tenggelam di antara surai sewarna arang miliknya, menata helaiannya yang mencuat ke segala arah. “Kamu dulu aja, deh. Aku tahu kamu mau mandi pas kamar mandinya masih kering.” Wakatoshi melanjutkan sambil melemparkan senyuman ke arah pacarnya itu.
“Okay … give me 5 minutes.”
“Right now, Kiyo. I don’t want to be late.”
Kiyoomi mengerang. Ia pun bangkit dan meregangkan tubuhnya, “Kelasku padahal masih nanti jam 11. Quit rushing me.” Ia menggerutu sementara tangannya sibuk melipat selimut dan merapikan sprei yang lepas di beberapa sisi. “Pinjam handuk, dong.”
“Itu di dalam lemari ambil aja.” kata Wakatoshi yang kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, tergelak ketika Kiyoomi menggeram kesal, asap imajinatif mengepul keluar dari atas kepalanya. “Toshi! Aku udah beresin tempat tidurnya kenapa kamu tidurin lagi?!” Ia memekik, suaranya naik beberapa oktaf. Lengannya terulur dan menarik paksa Wakatoshi untuk bangkit meninggalkan ranjang yang kini spreinya kembali kusut.
“Terus aku duduk di mana?”
“Sofa ada. Ugh.”
Melalui ekor matanya, ia memperhatikan bagaimana Kiyoomi dengan cekatan kembali merapikan ranjang seperti ia menaruhkan nyawanya di sana. Tubuhnya seperti memiliki pikiran sendiri ketika ia melingkari lengannya di pinggang Kiyoomi, menyanderanya di antara dekapannya dengan wajahnya yang ia benamkan di ceruk leher laki-laki yang masih sibuk menata tempat tidur itu. “Leave it, Kiyo. Udah rapi itu.” Wakatoshi berbisik dengan bibirnya yang dengan malu-malu menyentuh leher Kiyoomi, ragu-ragu apakah harus mencium setiap tahi lalat yang ada atau membiarkannya. Giginya terasa gatal, ingin terbenam di hamparan kulit seputih salju dan merobeknya, melukiskan warna merah yang akan berubah menjadi biru dan kuning dalam beberapa hari.
Wakatoshi terkekeh pelan ketika merasakan Kiyoomi meremang di bawah atensinya. Tangan yang tadinya sibuk memasukkan sprei ke sela-sela ranjang kini berpindah ke atas telapak Wakatoshi yang masih bersarang di area pinggangnya, menetap di sana dan menyalurkan kehangatan yang membuat darah Kiyoomi berdesir geli, menjalar naik hingga ke wajahnya yang bersemu. Wakatoshi menyerah memerangi dirinya sendiri, ia pun mulai membubuhkan ciuman-ciuman kecil di leher jenjang Kiyoomi, memetakan setiap tahi lalat yang tersebar di sana dengan bibirnya, mengabsennya satu per satu dengan gigitan kecil. Kiyoomi otomatis memiringkan kepalanya, memberikan ruang lebih bagi Wakatoshi untuk menelusuri lehernya dengan bibirnya – kali ini ditemani dengan sapuan lidah yang membuat lututnya seketika lemas. Kepalanya seketika ditutupi kabut napsu dan Kiyoomi melenguh dibuatnya.
“Morning kiss?” Suara Wakatoshi sukses menarik Kiyoomi dari isi kepalanya sendiri. Pria itu menggeleng kuat-kuat, “No. Gross. At least, brush your teeth first.”
Kiyoomi terlena di bawah sentuhan pria itu, tubuhnya berubah lemas layaknya jeli, otaknya seketika malfungsi, matanya terpejam menikmati hangat tubuh Wakatoshi yang memenuhi indranya. Kehangatan itu pergi secepat ia datang, membuat Kiyoomi tersentak dan diam seperti orang dungu dengan napas yang tercekat di tenggorokan. Ia berbalik dan menemukan Wakatoshi duduk di atas sofa dengan ponsel di tangan. “Kenapa? Sana mandi, aku gak mau telat.”
Kiyoomi berteriak kesal, diiringi dengan lemparan bantal yang mendarat tepat di atas wajah Wakatoshi. Kakinya menghentak saat ia melangkah untuk mengambil handuk dari dalam lemari. Wakatoshi tergelak, tawanya besar dan menular, mengikuti tubuh Kiyoomi yang hilang dari balik pintu kamar mandi.
Wakatoshi tengah terkubur di antara buku-buku materi perkuliahannya ketika Kiyoomi muncul di sebelahnya dan menyandarkan kepalanya di bahu Wakatoshi. Tubuhnya lunglai dan seluruh beratnya bertumpu pada Wakatoshi yang masih sibuk mencerna setiap kata yang tertulis di lembaran buku. Dahinya mengernyit ketika beberapa kali menemukan kalimat yang tidak ia mengerti. Ujian akhir semester sudah di depan mata dan Wakatoshi menolak untuk mengulang kelas seperti semester lalu.
“Serius banget, sih.” kata Kiyoomi, membuyarkan konsentrasi Wakatoshi yang sebenarnya juga sudah buyar dari saat pertama ia membuka buku. Belajar bukan lah kegemaran Wakatoshi, setiap sesi belajar konsentrasinya layaknya sebuah benang tipis nan rapuh yang bisa putus kapan saja. Kehadiran Kiyoomi tidak membantunya sama sekali, hanya dengan wangi parfum pria itu Wakatoshi dapat langsung meninggalkan bukunya dan menempatkan keseluruhan atensinya kepada pacarnya.
“Dikit lagi ujian, aku mau belajar.”
“Bullshit. Kayak jalan aja otaknya kalau lihat buku.”
Wakatoshi menghempaskan bukunya ke atas meja, kemudian menjentikkan ibu jari dan telunjuknya di dahi Kiyoomi yang dihadiahi ringisan pelan dari laki-laki itu. “Kurang ajar.” Wakatoshi berkata dengan singkat, berusaha terlihat marah dan tersinggung. Namun, bola matanya yang berkilat jenaka dan bibirnya yang ia katup rapat untuk menahan senyuman mengkhianati usahanya.
Kiyoomi terkekeh pelan dari balik masker yang ia kenakan. “Bercanda, Toshi.” Suaranya pelan teredam makser, namun efeknya menggelitik perut Wakatoshi. Bertahun-tahun mereka menjalin hubungan, setiap kali namanya meluncur dari bibir Kiyoomi dan dilontarkan dengan suaranya yang berat namun lembut, efeknya masih sama seperti saat pertama kali Kiyoomi memanggilnya di ayunan ketika mereka masih duduk di bangku SMP.
“Kamu ngapain? Kelasmu udah selesai?” tanya Wakatoshi yang kembali berusaha menempatkan fokusnya pada deretan materi mengenai hukum internasional. Ia membiarkan bagaimana Kiyoomi makin memangkas jarak di antara keduanya, kepalanya masih tersampir di bahu Wakatoshi, namun kali ini lengannya terkait di antara bisepnya. Kiyoomi melepaskan maskernya dan kini Wakatoshi bisa merasakan bagaimana napas laki-laki itu berderu menerpa tengkuk dan lehernya.
Perpustakaan ramai dipenuhi pengunjung dan Kiyoomi tanpa punya rasa malu menempel padanya layaknya sebuah perangko.
“Iya, udah selesai.” jawab Kiyoomi dengan singkat. “Aku ngantuk, Toshi. Ayo balik ke kamar kamu buat tidur siang.”
“Why are you such a cat person? Sleep all day and bother me at night.”
“And you’re such a dick person for not giving me what I want.”
Suara tawa keluar begitu saja dari belah bibir Wakatoshi, ia tergelak dengan kepala yang terlempar ke belakang. Kiyoomi itu selalu saja mempunyai respons dari setiap kata yang Wakatoshi ucapkan, kadang mengandung hal-hal manis, kadang juga ejekan menyebalkan yang malah mengundang tawa. “Nanti aja tidurnya, aku mau belajar. Kamu gak belajar juga?”
“Aku udah pintar.”
Wakatoshi mengusak rambut Kiyoomi hingga berantakan, wajahnya hanya berjarak beberapa senti darinya dan ia tersenyum lebar hingga kedua pipinya terangkat. “Ooh, sombong ceritanya?”
Kiyoomi mendecak. “Ayo, Toshi. Belajarnya nanti aja, please, aku ngantuk banget.”
“Gak mau, Kiyo. Tidur aja di sini temani aku.” Ia menolak. Walaupun ajakan Kiyoomi untuk tidur siang terdengar seperti rencana paling nikmat sedunia, bayang-bayang mengulang kelas seperti menghantui hari-harinya. Kiyoomi mengerang dengan kesal, “Argh, fuck me.”
“Already did that last week, though?”
Ucapannya dihadiahi tepukan keras di punggung. Kiyoomi menatap ke arahnya dengan mata yang membola dan wajah merah seperti kepiting rebus. “Bukan gitu maksud aku! Freak.” sungutnya, ia bersedekap setelah melepaskan diri dari Wakatoshi. “Dari mana coba kamu belajar ngomong kayak gitu?”
“Aku nonton series gitu dari rekomendasi Tendou, it has a lot of cheesy pick-up lines and I guess it’s getting inside my head.” Ketika mendengar nama Tendou, Kiyoomi mendengus kesal dan gumaman “Stop hanging out with him.” tertangkap indra pendengarannya. Wakatoshi tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya, Kiyoomi tidak pernah cemburu dengan kehadiran Tendou, hanya saja ia berpendapat bahwa laki-laki berambut merah itu memberikan pengaruh buruk yang mana tidak pernah bisa Wakatoshi mengerti.
“What about me then? Am I also getting inside your head?” Kiyoomi bertanya dengan pelan. Ia menatap ke arah Wakatoshi dari balik bulu matanya yang menyapu pipinya.
“What do you mean? You’re already there, living inside my head from God knows when.”
Wakatoshi tidak bohong. Kiyoomi sudah menetap dalam kepalanya semenjak ia melihatnya di toilet beberapa tahun lalu. Sosok anak beranjak remaja yang pemalu dan kikuk, menatapnya seolah Wakatoshi lah yang menggantung bintang-bintang di langit hanya karena ia melipat saputangannya dengan benar, berubah menjadi laki-laki beranjak dewasa yang merintih nikmat di bawahnya dengan wajah merah padam dan tubuh yang dibanjiri keringat. Entah bagaimana wujudnya – remaja polos maupun laki-laki yang seringkali naik turun di atas tubuhnya – Kiyoomi selalu menetap di dalam kepala Wakatoshi. Residen tetap, tanpa dipungut biaya sepeser pun.
“Nanti pas liburan aku mau ke Kamakura. Family trip ceritanya.”
Keduanya sedang berbaring di ranjang Wakatoshi sambil menyaksikan tayangan Derry Girls yang diputar di laptop Kiyoomi, ditemani setoples keripik kentang sebagai camilan (setelah membujuk Kiyoomi selama kurang lebih 3 menit, Wakatoshi berhasil meyakinkan laki-laki itu kalau tidak apa-apa makan di atas ranjang. “Nanti remahannya aku yang beresin.” Wakatoshi berkata, “Pokoknya aku balik ke kamarku kalau tempat tidurnya kotor.” Kiyoomi merengut). Wakatoshi mengalihkan pandangannya dari layar laptop begitu mendengar rencana liburan musim panas Kiyoomi, “Kamakura? Berapa lama?”
“The whole summer, Toshi. Mamaku mau banget stay di sana gak tahu kenapa.” jawabnya. Mulutnya sibuk mengunyah keripik kentang sementara matanya terpaku menyaksikan episode yang sedang diputar. Merasa gemas, Wakatoshi menarik dagu pria itu ke arahnya kemudian mengecup singkat bibirnya yang dipoles serbuk perasa dari keripik kentang. Kiyoomi mendecak, “Jorok, aneh.”
Wakatoshi lebih memilih untuk mengabaikannya dan lanjut menghujani wajah Kiyoomi dengan ciuman-ciuman kecil. “Apa, sih, Toshi? Stop, argh aku lagi nonton!” Ia merajuk dan merengek, berusaha mendorong Wakatoshi agar menjauh darinya, berupaya melepaskan diri dari serangan dadakan yang laki-laki itu lakukan.
“Maaf, gemas.”
“Bocah freak.”
“Aku lebih tua dari kamu.”
“Doesn’t matter.”
Kiyoomi terus merengut sementara Wakatoshi semakin bersemangat untuk menggodanya, mengusik ketenangannya, menusuk gelembung zona nyaman milik Kiyoomi dengan jarum-jarum kecil. “Jadi kamu ninggalin aku selama musim panas?” tanyanya, masih sambil menciumi setiap inci wajah Kiyoomi. Kali ini sasarannya adalah pelipis laki-laki itu, bibirnya menetap tepat di atas kedua tahi lalat Kiyoomi, mengecupnya dengan lama dan menghirup aroma citrus yang menguar dari rambutnya.
Kiyoomi menghela napasnya. “Iya, aku gak bisa nolak ajakan keluargaku lagi soalnya tahun kemarin udah nolak.” Musim panas tahun lalu, Kiyoomi menghabiskan liburannya di kampus karena satu dan dia hal sementara keluarganya terbang ke Korea Selatan selama kurang lebih tiga pekan. “Kamu mau ikut aku ke Kamakura gak? I’m sure my parents won’t mind, they pretty much adore you.” Lagi-lagi, Kiyoomi menawarkan hal yang menggiurkan, menggoyahkan dirinya yang sudah punya rencana musim panas sendiri.
“Maaf, sayang, gak bisa. Aku harus balik ke Sendai lagi, mau temani nenekku di sana. Kasian sendirian.” Setelah ucapannya keluar, Wakatoshi bisa merasakan bagaimana tubuh Kiyoomi berjengit begitu mendengar panggilan sayang yang dilayangkan untuknya. Warna merah langsung terpoles di pipinya, merambat hingga ke tengkuk dan lehernya. Wakatoshi jarang sekali memanggil Kiyoomi dengan sebutan manis seperti sayang, baby, babe, atau apapun itu. Maka dari itu, setiap kali kata-kata tersebut dilontarkan, Kiyoomi langsung memerah seperti tomat dan menunduk layaknya putri malu.
“Sayang –”
“You need to stop watching whatever the hell Tendou recommends you. For the sake of me, myself, and I’s sanity.”
Sontak, Wakatoshi tertawa kencang hingga bahunya bergetar. Ia menutup laptop Kiyoomi dan menaruhnya di atas nakas samping tempat tidurnya, diikuti dengan toples keripik kentang yang berakhir di lantai. Tubuhnya mendorong Kiyoomi agar berbaring sepenuhnya di atas ranjang, mengukungnya di antara lengannya yang bertumpu di samping kepala Kiyoomi, menghimpitnya di sana, tidak meninggalkan ruang sedikit pun bagi Kiyoomi untuk kabur. Laki-laki berambut ikal itu menaikkan sebelah alisnya, memandang Wakatoshi dengan pandangan antara keheranan dan menantang. “Mau ngapain?” Ia bertanya.
“Do you know that I love you so much, Kiyo?” Deklarasi cinta Wakatoshi yang terkesan tiba-tiba dihadiahi senyuman lebar yang terbentuk di wajah Kiyoomi. Matanya menyipit dengan jenaka dan pipinya yang bersemu terangkat hingga ke telinga. Jari-jemari Wakatoshi menari di antara rambut Kiyoomi, mendorong beberapa helainya yang menutupi kening pria itu. Wakatoshi menurunkan kepalanya, mencium lembut pelipis Kiyoomi, membisikkan kata-kata cinta di sana. “I’m not a romantic, but look what you did to me. I love you, Kiyo.”
Kiyoomi mencengkram erat kerah piyama yang dikenakan Wakatoshi. Matanya terpejam, menikmati seluruh atensi dan afeksi yang dicurahkan laki-laki itu. “Hmm, I know. I love you too, Toshi.”
“Always have been?”
“Yes.”
“Always will be?”
Kiyoomi terkekeh pelan. “Definitely.” Ia mengalungkan lengannya di leher kekasihnya dan Wakatoshi meresponsnya dengan memiringkan kepalanya guna mempersatukan belah bibir keduanya, menjejalkan lidahnya ke dalam rongga mulut Kiyoomi, mengabsen setiap giginya, menyapu dinding dan langit-langit mulutnya. Lidah keduanya saling menari, air liur mengalir keluar melalui sela-sela bibir dan Kiyoomi sudah sepatutnya merasa jijik, namun, dia malah semakin memperdalam ciuman mereka.
Tangan Wakatoshi yang menganggur menelusup memasuki piyama yang Kiyoomi kenakan, membuat kontak langsung dengan perutnya yang telanjang, mengelus kulitnya dengan sentuhan seringan kapas. Ketika ia merasakan pasokan oksigennya menipis dan paru-parunya seakan terbakar, Wakatoshi memutuskan cumbuan mereka, meninggalkan benang air liur tipis yang menghubungkan keduanya. Ia mengamati lamat-lamat wajah Kiyoomi yang memerah dan mulai dibanjiri peluh, napasnya tersengal dan panas layaknya mesin uap. Rambutnya terhampar di bantal, mencuat ke segala arah membentuk halo layaknya malaikat, tampak kontras dengan sarung bantalnya yang berwarna putih.
Napas Wakatoshi tercekat di tenggorokannya, afeksi memenuhi rongga paru-parunya, membuatnya sesak dan berada satu jengkal dari asfiksia. “So pretty, Kiyo, so pretty.” Wakatoshi terus menghujani kekasihnya dengan pujian-pujian manis yang dibalas Kiyoomi dengan lenguhan panjang juga deruan napas yang putus-putus.
“Touch me more, please.”
Perkataan Kiyoomi layaknya sebuah titah mutlak yang diucapkan oleh seorang komandan batalion dan Wakatoshi hanya lah tentara rendahan yang harus menuruti setiap perintahnya. Ia pun beralih ke leher jenjang Kiyoomi yang terhidang menggiurkan di hadapannya, mengecupi setiap jengkalnya, menghisapnya dengan keras hingga Kiyoomi merintih, lalu menjilati warna merah yang timbul merekah sebagai permintaan maaf. Kiyoomi melemparkan kepalanya ke belakang, desahannya semakin santer terdengar, memantul di dinding kamar asrama yang tipis. Ia bisa merasakan bagaimana jemari kurus Kiyoomi bersarang di kepalanya, menarik helai rambutnya setiap kali Wakatoshi menyentuh titik sensitifnya.
“Toshi … touch me, please.” Permohonan Kiyoomi membuat seluruh tubuh Wakatoshi meremang, mengirimkan friksi nikmat yang merambat hingga ke ereksinya. “I’m touching you.” Ia berkata, masih sibuk menandai leher Kiyoomi. “Where do you want me to touch you, Kiyoomi?” Wakatoshi meninggalkan leher Kiyoomi, bibirnya bergerak pindah untuk menemui bibir kekasihnya, menelan desahan dan rintihan yang keluar kemudian menyatukan jari-jarinya dengan milik Kiyoomi dan menahannya di atas kepala.
Kiyoomi melenguh di antara cumbuan mereka sebelum kakinya melingkar di pinggang Wakatoshi, menyebabkan bagian bawah keduanya bersinggungan. Wakatoshi menggeram, tangannya turun menahan pinggul Kiyoomi agar tidak banyak bergerak. “Diam, Kiyo. Stop moving too much.” Suaranya keluar dengan tegas, Kiyoomi sontak mematung dan berbaring diam di bawah kukungan pria itu layaknya boneka.
Tangan Wakatoshi menjalar turun, melewati pelvisnya, bergerilya di balik celana Kiyoomi dan menyentuh ereksinya yang menengang. Begitu merasakan telapak Wakatoshi yang kasar dan hangat melingkari kejantannya, membuat kontak langsung antara kulit dan kulit, Kiyoomi memekik. Kakinya yang masih terkait di pinggang pria itu mengejang, wajahnya ia benamkan di bantal, berusaha untuk menahan desahannya di sana. Napasnya makin tersengal seirama dengan gerakan naik turun yang Wakatoshi lakukan di balik celananya yang lama kelamaan menyebabkan rasa frustrasi mulai mendatangi kepala Kiyoomi, “Lepas.”
“Apa?”
Kiyoomi merengut, “Celanaku, lepas.”
Lagi-lagi, ia menuruti perintah pacarnya. Dengan cekatan, Wakatoshi menarik turun keseluruhan celana piyama Kiyoomi sekaligus dalamannya. Kiyoomi mendesah lega begitu ereksinya tidak lagi dibelenggu kain sempit dan berdiri tegak menampar perutnya sendiri. Tak berhenti sampai di situ, jemari Wakatoshi dengan cekatan melepas setiap kancing piyama yang Kiyoomi kenakan, membiarkan pakaian berwarna biru langit itu jatuh dan berakhir mengenaskan di lantai, meninggalkan Kiyoomi tanpa sehelai benang pun.
Wakatoshi melanjutkan tugasnya, kali ini tubuhnya bergerak turun, menjilati setiap jengkal tubuh Kiyoomi. Lidahnya berputar di sekitar areolanya, menghisap dan menggigit inti dadanya, memukul keluar desahan kencang dari mulut Kiyoomi. Melukiskan tanda lainnya yang serupa dengan yang berada di leher Kiyoomi, tubuh pria itu layaknya kanvas kosong yang sedang dibubuhi warna krimson oleh Wakatoshi.
“Aah .. Toshi,” Kiyoomi bisa merasakan otaknya mulai malfungsi dan kesulitan untuk menyusun kata-kata selain ‘aah’, ‘Toshi’, dan ‘please’. Jemarinya menari dengan luwes di antara helaian gelap milik Wakatoshi, menahan kepalanya agar semakin menempel di dadanya, seolah menginginkan Wakatoshi untuk merasuki rongga dadanya dan menetap selamanya di samping jantungnya yang berdetak dengan cepat. “Toshi …”
Seluruh kehangatan dan sentuhan yang tadinya menyelimuti tubuh Kiyoomi seketika menghilang dan pergi begitu Wakatoshi menarik tubuhnya menjauh. Kiyoomi mengerjap kebingungan, penglihatannya yang buram karena nafsu berusaha menangkap Wakatoshi dalam pandangannya, menemukan pria itu duduk bersimpuh di dekatnya dengan gurat keraguan yang terlukis di wajahnya. “Kenapa?” Kiyoomi bertanya keheranan.
“I want to try something.” Pria itu tampak menimang suatu hal di kepalanya dan Kiyoomi seolah bisa melihat roda-roda mesin berputar dalam otaknya. “On your hands and knees, please.”
Walaupun masih diliputi perasaan heran, Kiyoomi tetap menuruti perintah kekasihnya. Ia bangkit dari posisinya dan berbalik membelakangi Wakatoshi, bertumpu dengan kedua lututnya yang bergetar dan lemas, juga tangannya yang meremas sprei di bawahnya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Toshi – “
Seluruh kalimat yang telah Kiyoomi susun seolah terbang keluar dari dalam kepalanya, jeritan dipukul keluar dari rongga dadanya, dan tubuhnya terhuyung ke depan begitu ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyapu titik sensitif di antara bokongnya. Kiyoomi menguburkan wajahnya di bantal, menjerit di sana dengan kewarasannya yang kian terkikis dalam tiap jilatan Wakatoshi. “Aaah … Wakatoshi, what the actual fuck?!”
Kalimat dan jeritan kekasihnya berakhir menggantung di udara tanpa ditemani respons apapun. Wakatoshi makin menguburkan wajahnya di antara pipi bokong Kiyoomi yang ia cengkram erat hingga meninggalkan bekas. Sebenarnya, Wakatoshi tidak tahu apa yang ia lakukan, tidak tahu perihal caranya benar atau salah, ia bergerak murni mengandalkan instingnya. Setiap desahan, lenguhan, juga rintihan Kiyoomi bagaikan bensin yang disiram di atas api nafsunya dan tubuhnya yang masih dibalut pakaian lengkap seakan terbakar hingga ke tulang. Salah satu tangannya bergerak di antara kedua paha Kiyoomi, mengurut ereksinya yang basah karena cairan pra-ejakulasi, sementara yang satunya berusaha menggapai botol lubrikasi di atas nakas.
“Nghh, Toshi … fuck, stop.” Kiyoomi bisa merasakan senyuman Wakatoshi di kulitnya.
“I don’t think so.”
Laki-laki berambut ikal itu makin kewalahan begitu lidah kekasihnya bergerak masuk ditemani jari-jemari panjang yang basah karena pelumas. Tidak ada lagi kosah kata koheren yang keluar dari bibirnya, hanya desahan, lenguhan, rintihan, dan geraman yang memenuhi seisi kamar. Otaknya seolah lumer dan berubah bentuk menjadi bulir-bulir peluh yang menuruni pelipis hingga ke pipinya yang merah padam. Ia bisa merasakan bagaimana jemari panjang milik Wakatoshi bergerak di dalam tubuhnya, menggaruk dindingnya yang sensitif, menukik ke atas dan menekan prostatnya, menyebabkan lengan Kiyoomi yang menopang tubuhnya menyerah hingga ia berbaring telungkup di atas ranjang dengan bokong yang menukik di udara.
Geraman berguruh di dalam dada Wakatoshi ketika bagian dalam tubuh Kiyoomi seakan menarik jemarinya, menahannya di sana dan berkedut di sekitarnya. “Kiyo, are you close?”
Kiyoomi mengangguk dengan heboh, kepalanya masih terbenam di bantal, sementara tubuhnya bergetar merespons setiap sentuhan Wakatoshi. “’m close …” Ia berkata dengan lirih, mengeluarkan seluruh tenaganya yang tersisa hanya untuk membentuk sebuah kalimat sederhana.
“Alright, you can come then.”
And he comes, hard.
Matanya terpejam erat dan pekikan meluncur dari bibirnya begitu orgasmenya menghantamnya seperti sebuah ombak yang bergulung tiada henti. Air mani keluar membasahi sprei di bawahnya dan tubuhnya seketika lemas, lututnya menyerah, Kiyoomi pun jatuh tersungkur di atas ranjang. Ia terdiam di sana, berbaring dengan menyedihkan di atas cairannya sendiri, melayang menikmati pelepasannya yang membuat telinganya berdengung dan kepalanya seketika pening.
“Toshi, kamu – haahh – belajar dari mana begitu, huh?”
Wakatoshi mengulum senyumannya, “Gak dari mana-mana, insting. Maybe I’m just naturally good at everything.”
Kiyoomi ingin sekali menghapus senyuman sombong yang terukir di bibir pria itu dengan bibirnya sendiri.
“Kamu mau udahan?” tanya Wakatoshi seraya mengelus tubuh Kiyoomi yang masih sedikit bergetar. Ia menunduk dan membubuhi bahu telanjang kekasihnya dengan ciuman-ciuman kecil. “Udah malam, I don’t want to tire you out. You have classes tomorrow.” Walaupun ia bisa merasakan bagaimana ereksinya yang masih terperangkap di dalam celana seakan mau meledak dan nafsunya mencapai ubun-ubunnya, Wakatoshi tidak mau melakukan sesuatu ketika kekasihnya itu seperti berada di batas kesadarannya.
“Don’t you dare stop.” Kiyoomi mendesis, ia mengangkat kepalanya dan mendelik ke arah Wakatoshi dengan tajam. Melihatnya, Wakatoshi terkekeh pelan. “Alright, on your back, please. I want to see you.”
Wakatoshi memanuver tubuh Kiyoomi agar berbaring menghadapnya. Laki-laki itu terlihat pasrah menerima setiap perlakuan Wakatoshi, netra gelapnya terus memperhatikan setiap pergerakan kekasihnya; mengambil sekotak pengaman di laci nakas juga melepaskan seluruh pakaiannya sendiri. Tangannya otomatis terangkat, mengelus tubuh telanjang Wakatoshi, membawa jemarinya menelusuri setiap jengkal kulitnya yang dipoles keringat. Kiyoomi menggigit bibir bawahnya dengan kencang ketika memperhatikan Wakatoshi dengan bungkus pengaman yang terhimpit di bibirnya, hendak menyobeknya dengan giginya. “Toshi …”
“Hm?”
“Can you do it … without the condom?”
Wakatoshi mematung di tempat, otaknya seketika malfungsi, dan bungkus pengaman yang terjepit di mulutnya jatuh begitu mendengar permintaan Kiyoomi. Ia menggeram dan menghimpit tubuh Kiyoomi di atas ranjang, “You don’t like it messy and dirty.”
“But tonight I want it to be messy and dirty.” Kiyoomi berkata dengan senyuman menantang di wajahnya. Matanya berkilat karena nafsu, pupilnya membesar membentuk sebuah kolam sehitam tinta yang menenggelamkan Wakatoshi.
Wakatoshi is gone, he’s completely gone.
Kemudian, segalanya berjalan seperti rekaman buram di dalam kepala Wakatoshi yang dipenuhi kabut nafsu. Ia membiarkan tubuhnya bergerak dengan insting, menahan Kiyoomi di bawahnya, mencengkram pinggangnya hingga jemarinya berbekas di kulit pucat pria itu, menjejalkan kejantanannya inci demi inci, memukul keluar lenguhan panjang dari keduanya. Wakatoshi bergerak dengan serampangan, di bawahnya Kiyoomi mengalungkan lengannya di leher pria itu, berupaya untuk menstabilkan tubuhnya yang terlonjak hingga sesekali membentur kepala ranjang.
“Wakatoshi, finish inside of me, please?” Kiyoomi berkata di antara napasnya yang putus-putus. Wakatoshi tersengal, keningnya mengernyit dalam ketika ia merasakan sesuatu berkumpul di perutnya, menjalar hingga ke ereksinya yang bergerak keluar masuk di bagian bawah Kiyoomi. “What’s gotten into you today, huh? Fuck.”
Gerakannya konstan keluar masuk dengan cepat, menekan dengan presisi ke arah prostatnya, sementara ereksi Kiyoomi yang terhimpit di antara tubuh keduanya bergesekan dengan perut Wakatoshi. Mereka pun larut dalam kenikmatan, mengejar pelepasan. Wakatoshi membenamkan wajahnya di ceruk leher Kiyoomi, menghirup aroma yang familiar dan menenangkan ketika akhirnya ia meledak di dalam tubuh kekasihnya.
Matahari menggantung dengan terik di atas langit yang menaungi Sendai. Wakatoshi duduk di hadapan kipas angin dengan ponsel di tangannya. Ia termangu, memandangi layarnya yang berkedip menyedihkan, nama kontak Kiyoomi terpampang di sana dan seluruh panggilannya dialihkan ke kotak suara. Ia mendecak kesal. Pesan singkat maupun panggilan teleponnya jarang sekali direspons oleh pacarnya itu. Bahkan, pernah seharian Kiyoomi tidak mengabarinya. Laki-laki itu seakan menghilang di telan ombak pantai Kamakura, mengabaikan setiap perhatian yang berusaha Wakatoshi salurkan, seakan-akan selama musim panas dia tidak mau lagi berurusan dengan Wakatoshi.
Pria itu berpikir, Kiyoomi mungkin saja sibuk menghabiskan waktunya bersama keluarganya hingga lupa memeriksa ponselnya. Mengingat kedua orang tua Kiyoomi yang jarang hadir di rumah karena urusan pekerjaan, juga ketiga Kakaknya yang sudah punya kehidupan masing-masing – meninggalkan Si Bungsu Kiyoomi sendiri di rumah. Mungkin saja, Kiyoomi rindu bercengkrama dengan mereka, tapi, Wakatoshi jauh lebih rindu bercengkrama dengan Kiyoomi.
Musim panas sudah akan berakhir dan Wakatoshi rasanya seperti disiksa karena terjebak di Sendai sementara pacarnya itu melakukan entah apa di Kamakura. Wakatoshi tidak pernah antusias menunggu datangnya semester baru, namun, kali ini ia berharap liburan bisa segera berakhir tepat esok hari sehingga ia bisa kembali mengurung Kiyoomi dalam dekapannya. Kiyoomi terasa dekat sekaligus jauh, memikirkannya membuat hatinya terasa diremas hingga berdarah.
Bahkan, bubble chat-nya yang semalam bertuliskan ‘Good night, I love you’ tidak dibalas oleh pria itu. Orang-orang selalu bilang Wakatoshi memiliki pembawaan yang tenang, jarang menunjukkan amarah maupun frustrasi, tapi kali ini ia rasanya ingin mengamuk dan berteriak kencang dengan harapan suaranya bisa terdengar sampai ke Kamakura. Kiyoomi itu … kemana dia? Lagi apa? Sama siapa? Urusan apa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menghantui hari-harinya di Sendai.
Bunyi ding! pertanda pesan masuk sukses menarik Wakatoshi dari badai yang berkecamuk di pikirannya. Dengan terburu-buru, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas tatami. Harapannya yang sudah melambung tinggi di angkasa, berharap Kiyoomi membalas pesannya, dijatuhkan ke tanah begitu saja ketika ia melihat nama Tendou tertera di notifikasi ponselnya. Wakatoshi berdecak dengan sebal, secara ogah-ogahan, ia membuka pesan singkat yang dikirimkan sahabatnya itu. Wakatoshi mengernyit heran saat melihat Tendou mengirimkan sebuah foto yang masih dalam proses dimuat dalam ruang percakapan mereka.
Tendou [13.04]
Eh, gue di Kamakura. Ini pacar lu bukan, sih?
Maniknya terpaku ke arah layar ponsel, memandangi sebuah foto dengan dua orang laki-laki yang berjalan beriringan dengan tangan saling bertautan. Keduanya berdiri begitu dekat, salah satunya yang berambut pirang menempeli dan menumpukan keseluruhan tubuhnya di lengan yang berambut gelap. Wajah pria yang bersurai keemasan tampak berseri-seri, sementara yang satunya – walau ditutupi masker – terlihat membalas senyumannya karena matanya yang ikut menyipit.
Kiyoomi selalu tersenyum dengan matanya. Wakatoshi bisa mengenali perawakan dan mata itu kemana pun ia pergi. Kiyoomi berada di dalam potret buram yang dikirimkan Tendou, berjalan dengan orang lain dalam genggamannya. Wakatoshi bisa merasakan momen ketika jantungnya jatuh merosot ke bawah hingga ke lutut.
Wakatoshi tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan teman, tapi ia tahu bagaimana caranya jatuh cinta. Sayangnya, dia juga tidak tahu kalau jatuh cinta itu akan selalu berjalan beriringan dengan patah hati.