Atsumu berdiri memandang pintu apartemen Osamu dengan gugup. Ia memindahkan beban tubuhnya dari satu tumpuan kaki ke lainnya secara bergantian sebelum pada akhirnya menekan tombol interkom yang terpasang di sisi pintu.
“Samu, ini gue.”
Dalam hitungan sepersekian detik, pintu di hadapannya terbuka, memunculkan sosok Aran yang berdiri tegap di baliknya. Pria itu memasang ekspresi wajah yang kaku, seperti tak pernah mengenal senyuman sebelumnya. Tatapannya dingin, menusuk, sementara jemarinya menggenggam knob pintu dengan erat, begitu erat hingga Atsumu sempat membayangkan baut-bautnya bisa saja terlepas dari kusen. Atsumu mencebikkan bibir bawahnya hingga menjuntai ke bawah, tidak menyukai perlakuan dingin yang Aran berikan.
Ada jeda sesaat—hening yang terasa lebih lama dari seharusnya—sebelum Aran berdeham pelan dan mempersilahkan Atsumu untuk masuk. Aran menyingkirkan tubuhnya dari ambang pintu, guna memberikan ruang bagi Atsumu untuk melangkah masuk. Gerakannya tampak tak sabaran dan sesuatu dalam diri Atsumu menyuruhnya untuk lebih baik kembali pulang. “Masuk,” katanya, suaranya terdengar datar dan keramahan absen dalam tiap suku katanya. “Osamu ada di pantry.”
Atsumu melangkah melewati Aran dengan hati-hati, seolah memasuki wilayah asing yang penuh ranjau. Aroma bunga yang disemprotkan pewangi ruangan otomatis bercampur dengan sesuatu yang tidak asing, mirip seperti pandan dan cairan tubuh. Menyadari aroma apa yang tengah melayang di udara membuat Atsumu mengerang di dalam hatinya, langkahnya pun tergesa menghampiri Osamu yang bersandar di meja pantry sambil meneguk segelas air.
“Bisa gak buka jendelanya?” Atsumu berkata dengan cukup lantang dan sukses membuat kembarannya terkesiap.
Wanita itu memutar tubuhnya untuk menghadap Atsumu. “Emang kenapa?”
“It smells like sex in here, Samu. Ugh.” jawabnya yang direspons dengan kekehan pelan dari kembarannya. Osamu pun menaruh gelas di atas meja sebelum melangkah melewati ruang TV untuk membuka jendela dan pintu balkon, membiarkan udara malam mengalir masuk, menggantikan aroma pergumulan panas yang masih begitu pekat menggantung di udara. Sementara itu, di dapur, Atsumu masih diam mematung. Ia termenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari kehadiran Aran yang berdiri tak jauh darinya.
Aran melirik ke arah Atsumu sebelum mengangkat tangannya, menunjuk ruang TV tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gerakannya bagai sebuah israyat—sebuah perintah tanpa paksaan, sebuah ajakan yang tak bisa ditolak.
Atsumu menelan liurnya, mencoba menghapus ketegangan yang semakin kentara. Ia memandang ke arah Aran, yang kini telah membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah pergi meninggalkan dapur. Suara langkah kaki Aran terdengar samar, berdentum di atas lantai dan mengisi keheningan di apartemen itu. Dengan napas yang terasa berat, Atsumu akhirnya menggerakkan kakinya, mengekori Aran menuju ruang TV.
Ketika mereka tiba di ruang TV, angin malam yang masuk dari balkon menyambutnya dengan lembut, membawa hawa dingin yang bercampur dengan sisa hujan sore tadi, juga asap rokok yang menari-nari di udara sebelum hilang karena kebasan tangan Osamu. Gadis itu duduk di tepi pintu balkon dengan rokok yang terjepit di bibirnya ditemani sebuah asbak di sampingnya. “Duduk, Tsum. Ada yang mau ditanyain.” katanya singkat, matanya melirik ke arah sofa.
Menghela napas, Atsumu pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. “Mau ngapain, ya?” Ia bertanya dengan kikuk, walaupun pertanyaannya lebih seperti sebuah basa-basi karena ia tahu persis apa yang akan terjadi.
Aran, yang duduk di sisi lain sofa, pun bersuara. “Gue mau tanya soal surat—”
“Bang, bang, please, gue bener-bener minta maaf! Gue emang salah. Itu surat tuh hilang, kayak, poof! Hilang gitu aja!” Atsumu memotong perkataan Aran. Kalimatnya keluar dengan terburu-buru dan lebih terdengar seperti sebuah racauan.“Gak … gak tiba-tiba juga, sih, tapi … ya you get it, lah? Pokoknya waktu itu tuh gue gak nutup resleting tas gue—lupa banget, hehehe, bad habit. Guilty. Gue tahu ini goblok banget, tapi gue udah coba cari, sumpah, gue udah coba cari di mana-mana! Tapi gak ketemu, Bang! Gak ada. Kayaknya jatuh di jalan atau—atau gak tahu kemana! Aduh, gue minta maaf, gue gak tahu itu surat apa—”
“Tsumu, dengerin dulu—”
“Apa itu surat kayak dokumen penting keluarga lu, Bang? Atau jangan-jangan itu—” Atsumu tiba-tiba terdiam, matanya yang sewarna madu tiba-tiba membola, seakan ia baru saja menemukan teori konspirasi yang brilian. Ia menunjuk ke arah Aran dengan dramatis, di sisi lain, Osamu mendengus geli karena tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulut saudara kembarnya itu pasti sesuatu yang tidak masuk akal.
“Surat wasiat! Itu pasti surat wasiat, ya?!” teriak Atsumu penuh keyakinan.
“Are you serious right now, Atsumu?” Aran menghela napas panjang, suaranya rendah mencerminkan kelelahan yang bercampur frustrasi. Osamu, yang sudah menebak arah pembicaraan, langsung terbahak keras hingga hampir tersedak asap rokok yang baru saja ia hembuskan. Tubuhnya terguncang oleh tawa, sementara tangannya buru-buru menepuk-nepuk dada untuk mengembalikan napasnya yang terengah.
Aran hanya bisa memandang keduanya dengan ekspresi putus asa. Ia tahu malam ini akan jadi panjang, terutama jika Atsumu terus bersikap seperti ini.
“Jelas-jelas gue suruh lo ngasih surat itu ke Osamu,” lanjut Aran sambil memijat pelipisnya, berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kesabaran. “Mana mungkin itu dokumen keluarga gue atau surat wasiat. You think I’m going to die or something?”
“Iya juga, sih. Terus itu apa, dong?” tanya Atsumu sambil memiringkan kepala, ekspresinya penuh kebingungan namun juga penasaran.
Di luar jendela, angin malam meniup tirai tipis, juga helaian hitam milik Osamu. Suara kendaraan yang melintas di jalan raya terdengar samar, menjadi latar belakang kontras dari diskusi aneh yang terjadi di apartemen. Lampu yang memancarkan cahaya kekuningan berpendar di atas mereka, seakan ikut menjadi saksi absurditas percakapan yang terjadi.
“It was a confession letter.” jawab Aran, suaranya nyaris tenggelam di antara helaan napas panjang yang ia lepaskan. “Gue nembak Osamu di surat itu.”
Ruangan mendadak sunyi selama beberapa detik. Atsumu terdiam, ekspresinya kosong seolah otaknya sedang memproses informasi yang ia terima. Kemudian, tiba-tiba, ia meledak dalam tawa keras yang bahkan lebih berisik dari Osamu sebelumnya. “What? Do you think we live where World War II is still happening?” ujarnya di sela tawa, suaranya terputus-putus karena ia berusaha bernapas.
“It was romantic!” Aran membalas dengan nada tinggi, suaranya memantul di dinding ruangan. Ada sedikit warna merah di wajahnya, entah karena marah, tersipu, atau mungkin keduanya. “Surat itu romantis! Nembak lewat surat itu romantis, oke?”
Osamu menatap Aran dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. Matanya menyipit penuh kehangatan, berbeda dengan ekspresi geli di wajah Atsumu. Wanita itu menyandarkan tubuhnya ke jendela, membiarkan dinginnya kaca menyapa punggungnya yang hanya dilapisi jubah tidur tipis.
Pada akhirnya, tawa Atsumu pun mereda, menyisakan senyum canggung yang hanya dibalas oleh delikan tajam dari Aran. Wajah pria itu penuh ketegangan, dan udara di antara mereka terasa berat, meski suara TV yang samar di latar belakang terus berusaha mengisi kekosongan.
“Atsumu, gue mau ngomong serius.” ujar Aran, nadanya datar tapi jelas menggambarkan bahwa ia tak sedang bercanda.
“Iya, Bang, maaf.” Laki-laki itu pun memperbaiki posisi duduknya, sementara itu kepalanya tertunduk penuh penyesalan.
“Kalau lo tahu surat itu hilang, kenapa lo gak bilang apa-apa?” tanya Aran, pertanyaanya keluar dengan nada yang agak tinggi tanpa bisa ia cegah, membuat Atsumu semakin merosot di kursinya.
“Soalnya lo juga gak pernah nanya soal itu lagi, Bang.” jawab Atsumu pelan, nyaris tak terdengar. Ada rasa bersalah yang begitu kentara dalam intonasinya. “Makanya gue kira itu surat gak penting.”
Aran tiba-tiba berdiri, tubuh tingginya berjalan mondar-mandir mengitari ruang TV. Jemarinya menggaruk kepalanya dengan gerakan frustasi, sementara rahangnya mengeras menahan amarah. “Seharusnya lo bilang, Tsumu! Apa susahnya ngomong? Walaupun gue gak pernah ungkit lagi soal surat itu, bukan berarti gue lupa! Gue gak nanya karena gue pikir suratnya udah diterima.”
“I was scared, okay?” Atsumu akhirnya menjawab, suaranya terdengar tak kalah keras, seperti meledak dari bawah tekanan. Bibirnya maju seperti bebek, dan pandangannya kini menatap Aran dengan memelas. “Gue pas itu, kayak, 14 tahun? 15 tahun? I think you’re the coolest guy ever! I’m looking up to you, I idolize you. Jadi, pas gue hilangin titipan lo, gue gak berani buat ngaku karena gue takut lo marah. Gue takut kelihatan bodoh atau payah di depan orang yang gue kagumin—damn, it’s so weird and sappy talking about this.”
Langkah Aran terhenti di tengah ruangan. Kata-kata Atsumu yang sederhana tapi penuh kejujuran itu seolah sedikit banyak memadamkan amarahnya. Pria itu menghela napas panjang, bahunya yang semula tegang pun perlahan rileks. Matanya kini menatap Atsumu dengan lembut dan tidak lagi penuh penghakiman.
“You were scared?” tanyanya, lebih sebagai sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
“Iya,” jawab Atsumu, matanya berkedip gugup, dan jemarinya kini sibuk memilin ujung bajunya. “Makanya gue gak bilang apa-apa. Gue gak tahu harus ngapain selain diam aja dan berharap lo lupa.” Ia terdiam sejenak sebelum menambahkan dengan lirih. “Maaf, ya, Bang.”
Aran menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami perasaan Atsumu, namun, rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang.
“Masih marah, ya, Bang?” tanya Atsumu, mencoba memastikan.
“Yes, obviously.” jawab Aran diiringi bola matanya yang berputar malas, frustrasi mulai kembali mewarnai suaranya. “Bayangin, Tsum, kalau surat itu sampai ke Osamu gue mungkin udah pacaran sama dia. Bahkan mungkin sekarang gue udah nikah sama dia. Lo tahu gak sih, ini kayak butterfly effect? I could’ve had it all.” Aran kemudian menoleh ke arah Osamu yang duduk tenang di ambang pintu balkon. “Samu, say something.”
Wanita itu, yang sejak tadi diam, menekan rokoknya di atas permukaan asbak hingga apinya padam. Ia mengangkat wajahnya, menatap bergantian antara Atsumu dan Aran, seolah sedang mempertimbangkan apa yang ingin ia katakan. “He’s right, Tsumu.” ucapnya pada akhirnya. “I could’ve had something that I always wanted. I loved him, well, I still do”
Mendengar pengakuan Osamu, Aran pun berdeham dalam upaya menutupi kegugupannya. Ia memutar tubuh, membelakangi Si Kembar, seolah berusaha menyembunyikan rasa hangat yang perlahan merayap di pipinya yang diakibatkan oleh rasa malu juga sesuatu yang lebih dalam, lebih personal.
“Kenapa kalian berdua yakin banget kalau surat itu sampai, kalian pasti bakalan langgeng?” Suara Atsumu tiba-tiba memecah kesunyian. Pertanyaannya keluar dengan penuh skeptisisme.
“Maksudnya?” Osamu mengerutkan kening, ia lantas bangkit dari duduknya dan menghampiri Atsumu.
Atsumu menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada. Tatapannya tajam, serius, dan lebih dewasa dari sebelumnya. “Gini, emang, sih, ada kemungkinan kalian pacaran dari dulu dan mungkin sampai nikah. Tapi, siapa yang bisa jamin? Bisa aja malah kalian putus, and messed everything up.”
“Tsumu—”
“No, no. You want to talk about butterfly effect, then let’s talk about it.” Atsumu menyela. “Samu, lo pernah bilang lo gak suka LDR. Tapi, habis lulus SMA, lo sekolah keluar karena dapat beasiswa buat culinary school. Kalau waktu itu lo udah pacaran sama Bang Aran, apa lo bakalan tetap pergi? Atau lo malah nolak beasiswa itu demi dia? Dan kalau lo pergi, apa kalian yakin hubungan kalian bakal tetap baik-baik aja? Atau malah putus di tengah jalan? Dan kalau lo gak jadi ambil beasiswanya apa karir lo bakalan sebagus sekarang, Sam? Apa mimpi lo buat jadi koki bakalan terwujud?”
“Tsumu—” suara Aran terdengar memperingatkan, namun, Atsumu hanya mengangkat tangannya, menghentikan pria itu untuk bicara lebih jauh.
“No, listen to me!” katanya lagi dengan nada yang jauh lebih tegas. “Lo bilang ini soal butterfly effect, ‘kan? Well, ini juga butterfly effect yang lain. Mungkin, justru lebih baik kalian gak pacaran dari dulu. Siapa yang bisa jamin kalau surat itu sampai, hubungan kalian bakal lancar-lancar aja? Bisa aja kalian sadar kalau kalian gak cocok, terus putus, dan akhirnya pertemanan kita semua jadi kacau.”
Kata-kata Atsumu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang berat di antara mereka bertiga. Aran menghela napas, ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Tapi ini soal tanggung jawab, Tsumu. Kalau lo dititipin sesuatu, lo harusnya jaga baik-baik. Ini bukan cuma soal surat, ini soal lo yang gak serius dan teledor.”
“Iya, Bang, gue ngerti.” kata Atsumu. “Gue salah. Gue minta maaf. Tapi yang gue maksud, kenapa kalian ngerasa hubungan kalian tuh ditentuin sama surat ini? Why are you guys so hung up on the past instead of talking like a fucking adult?” Atsumu berkata dengan intonasi yang naik beberapa oktaf. Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan mengitari ruangan, menyalurkan rasa frustrasinya yang menggelegak. “Soalnya, lo berdua udah mau 30, nunggu apa lagi, sih?”
“Tsumu, jangan mulai.” Osamu akhirnya angkat bicara, nadanya tajam dan wanita itu menatap kembarannya dengan mata yang memicing. “Duduk, please.”
Tapi Atsumu mengabaikan ucapan Osamu. Ia berhenti melangkah, lalu memandang keduanya dengan ekspresi penuh kekesalan bercampur putus asa. “Kalau kalian saling cinta, kenapa kalian gak ngomong? Kenapa kalian gak berbuat sesuatu? Kenapa masih main tarik-ulur kayak gini, kayak orang yang gak tahu apa yang mereka mau?”
Keheningan kembali melingkupi ruangan. Kata-kata Atsumu yang berupa sindiran seolah memukul telak keduanya, membuat mereka tidak bisa membalas, hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Aran menatap lantai, Osamu menghindari pandangan keduanya, dan Atsumu hanya menghela napas panjang, menggelengkan kepalanya.
“Daripada terus-terusan FWB kayak gini dan malah nyakitin satu sama lain, kenapa kalian gak ngomong? Jujur-jujuran aja.” katanya, kali ini lebih pelan, lebih tenang. “Stop mourning something from the past, something that you can’t undo.”
Ruangan itu terasa semakin sunyi, hanya menyisakan rasa berat yang menggantung di udara. Aran dan Osamu saling melirik, seolah mencari jawaban dalam tatapan masing-masing, sementara Atsumu perlahan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
“Atsumu, it’s not that easy.”
“It’s easy, Kak. I already said that I’m in love with you. As a matter of fact, I just said that like two hours ago.” ucap Osamu setengah menyindir. Tubuhnya bersandar lemas di bantalan sofa, sementara tatapannya terpaku di atas lantai. “I have always known I love you since I was a kid.”
“Osamu, I—” Aran melirik Osamu lewat ekor matanya. Jemarinya saling bertaut, berusaha keras menahan dirinya agar tidak menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Udara di antara keduanya terasa berat dipenuhi oleh sesuatu yang tak terucap. “I don’t know.”
“Lo tahu, Bang.” sela Atsumu dengan suara yang kental akan frustrasi. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “lo tuh cuma denial dan ada sesuatu di masa lalu lo yang masih ngeganjel. Iya, ‘kan?”
Atsumu bangkit dari duduknya, langkah kakinya membawanya ke dapur untuk mengambil segelas air lalu meneguknya dengan cepat, mencoba meredakan rasa haus yang ditimbulkan oleh percakapan yang terjadi. Ditemani segelas air di tangannya, ia kembali ke ruang TV, kali ini dengan sorot mata lebih tajam dari sebelumnya. “Get your shit together, Bang. You’re not a fucking teenager anymore.”
Aran memilih untuk bungkam. Setiap kata yang hendak keluar dari mulutnya tertelan kembali, mengakibatkan dadanya terasa penuh dan menyesakkan. Ia menunduk, membiarkan keheningan menyelimuti dirinya.
“Lo jatuhnya kayak main-main sama Osamu.” Atsumu berbicara lagi, lagi-lagi perkataannya bagaikan sebuah sentilan yang tak terelakan. “Lo tuh marah banget soal surat yang hilang karena lo bilang gara-gara itu lo kehilangan sesuatu yang harusnya lo punya. Terus kenapa lo gak ngelakuin apa-apa sekarang? Kenapa gak nebus apa yang hilang? Bukannya malah ngejalanin hubungan gak jelas kayak gini. Kesannya lo cuma lihat Osamu kayak objek seks aja.”
Mata Aran sontak membelalak, pernyataan tersebut membuatnya tersentak dari badai yang berkecamuk di dalam kepalanya. “Gue gak pernah anggap Osamu kayak gitu.”
“But your actions say otherwise.” balas Atsumu cepat. “Yang lo main-mainin itu adek gue, Bang. Yang lo tarik-ulur, yang lo tidurin terus lo tinggalin, itu Osamu! My fucking sister! I will fight you, Bang, tonjok-tonjokan kalau mau. Gue tahu gue bakalan kalah, tapi gue bakalan lakuin apa pun buat dia. Because she’s my sister and she’s the most important person in my life. So, get your fucking shit together. You’re not 17 anymore.”
Kata-kata Atsumu terdengar seperti petir di siang bolong. Ruangan itu terasa panas meski di luar angin dingin malam berhembus tanpa ampun. Osamu hanya bisa terdiam, matanya membola dengan ekspresi sulit diterka.
Atsumu mengalihkan tatapannya ke Osamu, kali ini matanya melembut, tapi suaranya tetap penuh ketegasan. “Lo juga, Sam.”
Osamu tersentak. “Apa?”
“Stand the fuck up for yourself. Lo terima aja gitu dimainin sama cowok? Why? Just because you love him? Are you tolerating and justifying his actions just because you love him?”
“Tsumu—”
“Lo berdua aneh.” Atsumu mengerang keras, tangannya memijat pelipisnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “You two are a mess and a pain in the ass. Dua hari lagi Natal, tolong selesaiin apa pun ini di antara lo berdua. Yesus mau ulang tahun lo berdua malah bertingkah.”
Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja, lalu berbalik menuju pintu. “Udah, ah, gue balik. Ngantuk. Ngobrol sana lo berdua. Jangan diam doang kayak candi.”
Tanpa menunggu balasan, Atsumu melangkah keluar. Suara beep tanda pintu terkunci secara otomatis terdengar samar di kejauhan, mengiringi kepergian pria itu. Kini, ruangan terasa jauh lebih sepi, hanya menyisakan Aran dan Osamu yang duduk termenung, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kata-kata Atsumu masih menggema di kepala mereka, berulang-ulang layaknya sebuah radio rusak, dan membekas seperti cap yang tak bisa dihapus. Di luar, rintik hujan perlahan turun, mengguyur kota dengan dingin yang tak sepenuhnya mampu menyaingi hawa tegang di antara keduanya.