Keiji tidak pernah tahu siapa Ayahnya.
Sejak ia lahir, hanya ada dirinya dan Ibunya, tinggal di sebuah apartemen kecil di tengah hiruk-pikuk kota. Ibunya bekerja sebagai pegawai kantoran biasa, dari jam sembilan pagi sampai lima sore. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar uang sekolah Keiji. Mereka hidup sederhana, tapi baik-baik saja — sampai suatu hari, semuanya mulai berubah.
Keiji berusia tujuh tahun saat ia pertama kali sadar ada yang salah. Ia pulang dari sekolah dan melihat setumpuk tagihan yang belum dibayar di meja makan, berserakan dengan stempel merah bertuliskan “terlambat.” Ia tidak tahu apa artinya, tapi ia bisa merasakan ketegangan yang merayap di udara. Di tahun yang sama, pria-pria asing mulai mengetuk pintu rumah mereka, mencari Ibunya dengan nada bicara yang membuat Keiji merasa ada ancaman tersembunyi di balik senyum ramah mereka. Kata-kata seperti “pinjaman” dan “hutang” melayang-layang, hal-hal yang belum ia mengerti, tapi setiap kali mereka datang, Ibunya menghindari tatapan mereka dan memintanya untuk masuk ke kamar. Pada usia delapan tahun, dia belajar untuk tidak mengangkat telepon, membiarkan deringnya berlalu atau mengangkatnya sebentar hanya untuk mendengar suara dingin di ujung sana sebelum menutupnya kembali.
Lalu, tiba-tiba, semuanya berubah.
Saat Keiji hampir berusia sepuluh tahun, tagihan-tagihan itu menghilang seolah disapu bersih oleh tangan yang tak terlihat. Para penagih hutang berhenti datang, tidak ada lagi pria yang mengetuk pintu dan menuntut jawaban, bahkan telepon dari bank pun berhenti. Suatu hari, secara tiba-tiba, Ibunya membawa pulang tas belanjaan berisi barang-barang yang tidak pernah mereka mampu beli sebelumnya — tas mahal, pakaian bermerek, serta sepatu kulit mewah. Makanan mereka juga berubah, dari yang tadinya hanya telur dan nasi, kini menjadi steak dan lobster, hidangan yang hanya bisa Keiji lihat di restoran mahal yang kerap mereka lewati.
Di usianya yang kesepuluh, mereka pindah rumah. Apartemen sempit yang dulu mereka huni kini digantikan oleh apartemen mewah di lingkungan kelas atas yang jauh dari kebisingan juga kotornya jalanan kota. Segalanya bersinar dengan kemewahan dan uang. Keiji tidak mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi, tapi dia tidak bertanya. Dia terlalu muda untuk melihat gambaran besarnya, terlalu muda untuk tahu bahwa kekayaan selalu datang dengan harga.
Sampai suatu hari, ketika seorang wanita berpenampilan elegan namun penuh dengan amarah muncul di depan pintu mereka, memperkenalkan dirinya sebagai “Aku istrinya.” sebelum melempar Ibunya ke lantai. Saat itulah Keiji mulai menyadari kebenarannya.
Ibunya adalah simpanan orang kaya. Pria yang selama ini datang ke rumah mereka adalah CEO di perusahaan tempat Ibunya bekerja, seseorang yang sudah menikah dan punya anak. Keiji tidak sepenuhnya paham tentang apa yang terjadi, tapi dia tahu itu sesuatu yang buruk. Hubungan gelap itu berakhir tak lama setelah insiden tersebut. Namun, meski pria itu pergi, mereka tetap tinggal di apartemen mewah tersebut. Gaya hidup penuh kemewahan tidak menghilang, meskipun Ibunya terpaksa keluar dari pekerjaannya. Akan tetapi, tanpa penghasilan tetap dan dompet pria kaya raya, Keiji pikir mereka akan kembali ke kehidupan lama mereka, ke apartemen kecil yang pernah mereka sebut rumah. Tapi sebaliknya, semakin banyak barang mahal yang datang — pakaian yang lebih mewah, makan malam yang lebih istimewa, dan pria-pria lain yang mengenakan cincin pernikahan.
Kehidupan keduanya kembali berjalan dengan normal, dan Keiji tidak pernah bertanya dari mana semua uang itu berasal, karena hal tersebut tidak lah penting baginya. Tagihan mereka terbayarkan dan ia mendapatkan semua mainan serta buku yang diinginkan.
“Keiji,” kata Ibunya suatu malam, suaranya lembut saat ia duduk di hadapan meja rias, mengenakan anting mutiara yang berkilauan. “Kalau kamu rupawan, dunia ada di telapak tanganmu, Nak. Orang-orang akan memujamu seperti seorang dewa, sesuatu yang gak bisa dimiliki oleh orang biasa. Mereka akan melakukan apa aja buatmu, Nak, kamu cuma harus senyum.” Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Orang, terutama laki-laki, gampang untuk ditipu daya. Mereka jatuh pada kecantikan seperti ngengat ke api. Beauty is a blessing, Nak.”
Keiji tidak mengatakan apa pun, tapi dia berdiri di samping Ibunya, menatap bayangan mereka di cermin. Dia memandang wajahnya sendiri yang begitu mirip dengan wajah Ibunya, dan untuk pertama kalinya, dia mengerti.
Pada usia kesebelas, dia menyadari bahwa wajahnya adalah kekuatan. Suatu senjata yang lebih tajam dari pisau mana pun, dan dia bisa menggunakannya dengan mudah. Yang dibutuhkan hanyalah tatapan, kibasan bulu mata, dan senyuman polos — lalu dunia akan tunduk padanya. Seperti bagaimana mereka telah tunduk pada Ibunya. Bagaimanapun juga, dia adalah putra Ibunya.
Sejak kecil, Keiji selalu suka perhatian, meski dia selalu berpura-pura seolah tak menginginkannya sama sekali. Dia sering tampak bosan, tidak tertarik pada apa pun, namun ia melakukannya di tempat di mana orang bisa melihatnya — melihat wajahnya, melihat betapa mempesonanya dia. Saat menginjak bangku SMP, Keiji sudah mahir memanfaatkan pesonanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia tidak perlu berusaha keras; wajahnya sudah cukup membuka jalan. Tapi, dia juga cerdas — dia tahu kapan harus bersikap malu-malu, kapan harus tersenyum, dan kapan harus membiarkan tatapannya menggantung cukup lama untuk membuat orang lain melakukan sisanya.
Saat Keiji menginjak usia tiga belas tahun, kru editorial sebuah majalah datang ke sekolah-sekolah di wilayahnya. Mereka mencari wajah yang cocok untuk sampul proyek majalah mereka yang berjudul Inspiring Teen. Keiji tahu itu adalah kesempatan emasnya. Majalah itu ingin menampilkan seorang siswa yang berprestasi, seseorang yang bisa menjadi inspirasi bagi remaja sebayanya. Keiji bisa merasakan bahwa tempat di sampul itu seharusnya miliknya.
Tapi, ada satu masalah. Kandidat paling cocok bukanlah Keiji, melainkan seorang gadis bernama Keiko, siswi kelas tiga yang memiliki sederet prestasi — kompetisi puisi, lomba matematika, dan segudang keunggulan akademik. Dia luar biasa, tak ada yang bisa menyangkal itu. Tapi, dia tidak cantik. Dia gemuk, rambutnya berantakan, dan kawat giginya bersinar aneh setiap kali dia berbicara. Keiji tidak bisa membayangkan wajah seperti itu menghiasi sampul majalah, ia tidak akan membiarkannya terjadi.
Ketika kru editorial kembali ke sekolah untuk melanjutkan diskusi, Keiji pun bertindak. Ia melihat seorang wanita dari tim tersebut — seorang wanita dengan mata tajam, tulang pipi tinggi, dan gaya yang elegan — sedang duduk di bangku dekat taman bermain sekolah, sendirian dengan gelas kopi di tangan. Dia tampak seperti orang yang berwenang, dan Keiji ingin berbicara dengannya. Langkahnya mantap, wajahnya sudah dipoles dengan ekspresi kepolosan yang terukur.
“Dia bisa jadi inspirasi yang bagus buat pembaca muda kita,” jawab wanita itu ketika Keiji bertanya mengapa mereka memilih Keiko. “Seorang gadis yang unggul dalam berbagai bidang, dari puisi sampai matematika — itu jenis inspirasi yang kita butuhkan.”
Keiji tak gentar. Matanya, dihiasi bulu mata panjang yang berkedip, memancarkan tekad saat dia membalas, “Aku juga menang beberapa kompetisi sains dan matematika. Kalau di luar akademik, aku salah satu anggota tim voli yang menang kejuaraan.”
Wanita itu mengangkat alisnya, tampak tertarik tapi keheranan. “Maksudnya, kamu mau jadi model sampul, begitu?”
“Ya.” jawabnya singkat, tapi tatapannya kokoh.
“Biasanya anak laki-laki seusiamu gak tertarik dengan hal-hal seperti ini,” katanya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Mereka bilang terlalu … girly. Yah, kebanyakan pembaca kita itu memang remaja perempuan, tahu ‘kan?”
Keiji tertawa kecil, matanya berkerut di sudutnya. “Menurutku malah jadi model sampul itu keren dan gak cuma buat perempuan aja. Tapi, kalau mereka benar-benar berpikir itu buat perempuan, bukannya bakalan lebih menarik — lebih berani, kalau kalian pilih anak laki-laki?”
Wanita itu terdiam, tampak merenung. Tatapannya menjelajahi wajah Keiji, meneliti setiap lekukannya, menangkap fitur masa mudanya, dan kepercayaan diri dalam suaranya.
“Dan,” Keiji menambahkan, sambil sedikit condong ke depan, “bukannya lebih bagus ‘kan kalau wajah yang rupawan yang ada di sampul majalah? Biar lebih enak dilihat.”
Tahun itu, Keiji terpilih sebagai model sampul majalah Inspiring Teen. Wajahnya — sempurna dan memikat — menghiasi setiap rak majalah, namanya menggema di lorong-lorong sekolah. Keiko, gadis yang gagal terpilih, hanya bisa memegang majalah itu dengan air mata berlinang, wajah Keiji terpampang besar di sampulnya.
Keiji melihatnya menangis di lorong, isakannya pelan namun menyakitkan. Dan saat Keiji berjalan melewatinya, ia tersenyum — lembut, hampir seolah penuh kebaikan, tapi penuh kemenangan.
Dia menang, seperti biasanya.
Setiap kali Ibunya membawa laki-laki ke rumah, Keiji selalu diperintahkan untuk tetap berada di kamarnya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan — dia tahu peraturannya. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Malam itu, tepatnya hari Jumat di liburan musim panas ketika Keiji duduk di bangku kelas dua SMP, Ibunya pulang dengan seorang pria. Biasanya, kalau hal tersebut terjadi, dia tahu harus segera menghilang, menghindar sebelum kehadirannya disadari. Walaupun sesekali ia akan mengintip dari balik pintu untuk sekedar melihat pria-pria seperti apa yang Ibunya bawa pulang. Tapi malam itu, saat Keiji hampir sampai di kamarnya, suara Ibunya terdengar dari ruang tamu, menghentikan langkahnya.
“Keiji, kemari!”
Permintaan itu aneh, hampir mengejutkan. Ibunya tidak pernah memanggilnya di depan pacar-pacarnya — tidak sekalipun ia pernah dipanggil untuk berkenalan dengan mereka. Ada sesuatu tentang pria ini yang mengubah kebiasaan itu, sesuatu yang berbeda.
Tungkainya melangkah perlahan ke arah ruang tamu, setiap pijakannya hati-hati. Matanya bergantian memandangi Ibunya dan pria yang duduk di sampingnya. Pria kali ini bukan seperti yang lain — bukan pria tua dengan kulit keriput, wajah yang melorot, dan rambut seputih abu. Pria-pria yang, meskipun kaya, selalu tampak rapuh, seakan tubuh mereka dapat jatuh kapan saja. Keiji tidak pernah mengerti kenapa Ibunya, yang begitu cantik dan mempesona, memilih pria-pria yang tampak seperti bisa berakhir di peti mati kapan pun.
Tapi pria ini — pria ini berbeda. Ia tampak lebih muda, lebih kuat. Rambutnya hitam legam, hanya ada beberapa helai perak yang menyelip di antaranya, dan tubuhnya tinggi — sangat tinggi — dibalut setelan kerja resmi. Wajahnya memiliki fitur yang tajam, matanya yang sayu dibingkai oleh sepasang alis tebal. Tatapannya melembut saat menatap Keiji, dan senyumnya, meskipun miring, tampak ramah. Ia bukan pria muda, tapi jelas tak setua yang lain. Namun, ada kesamaan di antara pria ini dengan yang sudah-sudah, yaitu terletak di cincin pernikahan yang melingkari jari manis mereka. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa ada sesuatu tentangnya — tampan dengan cara yang tak pernah dimiliki pria-pria sebelumnya.
Ibu Keiji tersenyum, senyuman yang sudah terlatih dan dipoles seiring waktu, lalu menoleh ke anaknya. “Keiji,” panggilnya lembut, “ini Akihito.” Dia melirik pria di sampingnya. “Akihito, ini anakku … Keiji.”
Pria itu — Akihito — berdiri dan melangkah mendekati Keiji. Gerakannya santai, namun, ada kharisma yang tak pernah Keiji lihat dari pria-pria yang biasanya menghabiskan waktu dengan Ibunya. Akihito berjongkok hingga sejajar dengan Keiji, matanya hangat saat bertemu dengan tatapan bocah itu.
“Miya,” kata pria itu, suaranya rendah dan tenang. “Miya Akihito. Saya harap kita bisa saling akrab, ya, Keiji. Karena, sepertinya kita bakalan sering ketemu.”
Akihito mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan dengan senyuman yang terpatri di wajah tampannya. Keiji menatapnya sebentar, lalu dengan perangai yang sama seperti yang ia tiru dari Ibunya, Keiji meraih tangan Akihito.
“Salam kenal, Paman.” jawab Keiji, suaranya tenang, meskipun pikirannya berputar-putar. Sesuatu memberitahunya bahwa pria ini tidak seperti yang lain — ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Ibunya bertingkah layaknya gadis remaja, seolah pria ini akan tinggal lebih lama dari yang biasanya.
Kunjungan Akihito ke rumah mereka sudah menjadi rutinitas, seperti suara jarum jam di lorong yang terus berdetak, pria itu akan tiba tepat pada saat makan malam, selalu membawa sesuatu — entah hadiah untuk Keiji atau makanan dari restoran kegemarannya.
Malam itu, mereka bertiga baru selesai makan, dan Ibu Keiji sudah pamit untuk mandi. Suara televisi yang samar dan denting lembut es di dalam gelas Akihito memenuhi ruang tamu. Keiji duduk di sebelahnya, kakinya dilipat di atas sofa, memperhatikan pria di sampingnya yang sibuk dengan ponselnya. Akihito mengangkat pandangannya dari ponsel dan tersenyum, seakan baru teringat kalau Keiji ada di sana. “Aku punya anak seusiamu, lho,” katanya, suaranya rendah dan tenang. “Kembar.”
Dia menyodorkan ponselnya ke arah Keiji, menunjukkan foto dua anak laki-laki yang wajahnya identik, mata mereka gelap dan bulat seperti milik Akihito. Kedua anak itu berdiri berdampingan.
“Mereka mirip sama Paman.” gumam Keiji, matanya tetap tertuju pada gambar yang ditampilkan di layar ponsel. Rasanya aneh, melihat Akihito tercermin dalam dua anak laki-laki ini, anak-anak yang, dalam dunia lain, mungkin bisa menjadi temannya, teman sekelasnya. Tapi di sini, mereka hanyalah orang asing — orang asing yang memiliki darah yang sama dengan pria di sebelahnya.
Akihito tertawa pelan, mengambil kembali ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. “Ya,” katanya, “dalam banyak hal, memang begitu.”
Keiji terdiam sejenak, pikirannya dipenuhi bayangan tentang kedua anak laki-laki itu, “Paman sayang sama mereka gak?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan penasaran. Mata Keiji tetap tertuju pada tempat di mana Akihito menyimpan ponselnya, seakan gambar Si Kembar masih ada di sana, tertinggal dalam suasana yang hening.
Akihito bergerak sedikit, duduk lebih santai, tatapannya melembut saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan. “Iya, dong.” jawabnya setelah jeda yang panjang. “Mereka ‘kan anakku.”
Keiji mendongak, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, pikirannya yang muda mencoba meraih sesuatu yang nyaris tak terjangkau. Dia ragu sebelum kembali berbicara, suaranya lebih pelan sekarang, seakan takut dengan rekasi Akihito. “Kalau gitu, kenapa Paman malah ada di sini? Sama aku dan Mama, bukannya di rumah sama mereka?”
Ruangan terasa membeku dalam diam setelah pertanyaan itu. Suara air mengalir dari kamar mandi terdengar lebih keras, mengisi kekosongan di antara mereka. Tatapan Akihito melayang ke pintu tertutup, lalu kembali pada Keiji. Bibirnya melengkung menjadi senyum kecil, senyum yang lebih mirip seringaian.
“Karena,” katanya, “aku lebih sayang sama Ibumu.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke ruang di antara mereka, bergelombang, mengusik ketenangan. Hati Keiji sedikit bergetar, tapi dia menjaga wajahnya tetap datar, matanya menyipit saat mencerna pengakuan pria itu. Keiji duduk tegak, tangannya terletak di pangkuan, jari-jarinya sedikit mencengkeram kain celananya. Dia memikirkan si kembar dalam foto itu, menjalani hidup di mana ayah mereka tidak pulang untuk makan malam, di mana pria yang seharusnya mencintai mereka sedang duduk di sofa apartemen wanita lain, mengatakan kepada anak yang bukan miliknya bahwa dia mencintai lebih mencintai orang lain.
Keiji mengalihkan pandangannya, matanya menatap ke jendela, di mana cahaya kota berkedip di kejauhan.
“Kapan kamu mau nikahin aku?” Suara Ibunya terdengar samar-samar dari balik dinding.
“Aku masih belum tahu.” Kali ini, suara Akihito menyaut. “Aku harus cerai sama istriku dulu. Sabar, ya, sayangku.”
Keiji pun kembali mengalihkan fokusnya ke buku yang sedang ia baca, memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar percakapan yang baru saja terjadi. Pikirannya melayang ke arah Si Kembar, kalau Ibunya dan Akihito menikah, berarti pria itu akan menjadi Ayahnya, tapi, bagaimana dengan Si Kembar? Bukannya Akihito ayah mereka?
“Keiji! Kamu bakal punya adik!” Suara ibunya meluap dengan kegembiraan, matanya bersinar penuh haru saat dia menghampiri Keiji dengan senyum yang begitu cerah, lebih cerah dari yang pernah Keiji lihat sebelumnya.
Keiji sebenarnya tidak pernah menginginkan seorang adik, dia suka menjadi anak tunggal, menjadi pusat dunia Ibunya, satu-satunya yang mendapat perhatian penuh. Memikirkan harus berbagi perhatian Ibunya, berbagi kehidupan, membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, saat ia melihat wajah Ibunya yang begitu riang, jika hal ini lah yang membuat Ibunya bahagia, mungkin mempunyai adik tidak akan seburuk itu.
Akan tetapi, ada pertanyaan yang terus mengusik, yang tidak bisa ia abaikan. Keiji tidak mengerti kenapa Ibunya bisa sebahagia ini, mengandung anak dari suami orang lain. Bagaimana bisa Ibunya tersenyum begitu lebar, begitu bebas, dengan menyimpan kenyataan seperti itu?
Akihito tidak tinggal selamanya bersama mereka.
Semua bayangan tentang kehidupan yang sempurna hancur ketika Keiji berusia empat belas tahun. Ia mendengar suara pertengkaran pecah di suatu malam, suara Ibunya yang meninggi dengan kemarahan dan putus asa, diiringi dengan balasan Akihito yang tak kalah lantang dan tajam. Dinding apartemen mereka tidak cukup tebal untuk meredam teriakan, suara bising dari gelas yang pecah di lantai, dan kalimat-kalimat menyakitkan yang terdengar jelas di udara.
Keiji duduk membeku di kamarnya, mencoba memahami potongan-potongan percakapan yang menembus tembok. Ia tidak mengerti semuanya, tapi ada beberapa kata yang terasa menusuk. “Gugurin aja, lah!” suara Akihito terdengar dingin dan tegas, diikuti suara piring yang menghantam lantai. Suara ibunya, penuh dengan rasa sakit dari pengkhianatan, membalas dengan nyaring, “Kamu selingkuh ‘kan sama yang lebih muda! Lebih cantik! Jawab!”
Tangan Keiji mengepal di sisi tubuhnya saat pertengkaran semakin memanas. Ibunya, wanita yang selalu bangga pada kecantikannya, pada kemampuannya membuat pria bertekuk lutut, kini perlahan hancur di hadapan seorang laki-laki. “Aku pikir kamu cinta sama aku!” Ibunya kembali berteriak, suaranya patah di setiap suku kata.
Lalu, di tengah kekacauan itu, Keiji mendengar bunyi klik yang tak asing dari pintu depan. Akihito sudah pergi. Begitu saja, badai mereda, tapi keheningan yang mengikuti terasa jauh lebih menyakitkan. Suara isak tangis Ibunya memenuhi apartemen yang kosong, rasa sakitnya tumpah tanpa henti. Berkali-kali, Ibunya berbisik lirih di sela-sela tangisnya, seperti doa dan kutukan, “I thought you loved me. Is loving you not enough? Is being pretty not enough?”
Malam itu, Keiji menyadari sesuatu yang kejam tentang dunia ini. Bahkan kecantikan, bahkan cinta, tidak cukup untuk menahan seseorang agar tidak pergi. Dia berbaring di tempat tidur, mendengarkan Ibunya menangis, suaranya seperti gema menyedihkan dari seorang wanita yang dulu percaya dia bisa mendapatkan segalanya.
Seminggu setelah pertengkaran itu, Keiji menemukan Ibunya terbaring tak sadarkan diri di antara tumpukan pil yang berserakan. Tubuhnya tergeletak di lantai dapur yang dingin, kaku dan tak bergerak. Kulitnya dingin saat disentuh, nadinya lemah, napasnya nyaris tak terdengar. Dengan air mata yang menggenang di matanya, Keiji gemetaran saat mencoba menelepon ambulans. Putus asa, ia berlutut di samping wanita tersebut, menangis sambil menenggelamkan wajahnya di pelukan yang tak membalas, berharap, berdoa, akan tanda-tanda kehidupan.
Wajah Ibunya, yang dulu begitu cerah dan cantik, sekarang tampak pucat seperti hantu, bibirnya yang biasa berwarna merah muda kini berubah biru. Ibunya selalu bilang bahwa kecantikan adalah anugerah, berkah yang bisa memberinya apa saja yang ia inginkan. Tapi sekarang, di sinilah dia, tergeletak di lantai yang dingin, hidupnya terombang-ambing di ujung maut, semua ini karena seorang pria yang tak lagi menganggapnya cantik, tak pernah benar-benar mencintainya. Keiji terisak lebih keras, hatinya hancur saat ia terus memeluk tubuh Ibunya.
Kenapa semua harus berakhir seperti ini? Ibunya percaya bahwa kecantikan adalah kekuatannya, tameng yang melindunginya. Lalu, mengapa ia bisa berakhir seperti ini? Apakah kecantikan benar-benar berkah seperti yang selalu Ibunya katakan? Ataukah itu hanyalah topeng kejam untuk sesuatu yang lebih gelap, lebih jahat — yaitu kutukan? Pikiran itu terus menggerogoti hatinya, meruntuhkan setiap kata yang pernah ibunya ucapkan. Apakah kecantikan yang justru menghancurkannya?
Keiji berumur empat belas tahun saat Ibunya mengakhiri hidupnya sendiri, dan kematiannya juga menandai akhir dari sesuatu di dalam diri Keiji. Setelah menyelesaikan urusan di rumah sakit, pertanyaan tanpa henti dari para pelayat, dan keheningan yang mencekam di rumah duka, ia pindah ke apartemen yang lebih kecil, jauh dari bayang-bayang kehidupan yang pernah ia kenal. Ia meninggalkan wangi parfum Ibunya, tempat yang masih menyimpan gema tawa dan kesedihannya.
Keiji menghabiskan harinya dihantui oleh ingatan tentang Ibunya, sosoknya berdiam di setiap sudut pikirannya. Dalam kesedihannya, ia terjebak dalam satu tujuan tunggal: mencari seseorang, siapa saja, siapa pun, yang memiliki nama Miya. Ia perlu mereka untuk ikut merasakan rasa sakit yang dialami Ibunya, untuk memikul beban yang telah menghancurkannya di bawah kekuatan yang tak kenal ampun. Keiji ingin menuntut jawaban, pertanggungjawaban, balas dendam, apa pun itu.
Saat Keiji pertama kali melihat Si Kembar, mereka berdiri di hadapannya seperti gema dari masa lalu, cerminan dari sebuah foto yang pernah ia lihat bertahun-tahun lalu di ponsel Akihito. Waktu telah membentuk keduanya; mereka bukan lagi anak-anak polos yang terabadikan dalam sebuah foto. Rambut mereka telah berubah — satu berwarna pirang cerah, yang lainnya berwarna abu-abu pudar.
Ketika pertandingan berlangsung, Keiji merasakan dirinya sulit untuk berkonsentrasi, nama “Miya” bergema di pikirannya seperti rekaman rusak. Mereka adalah keturunan dari pria yang telah menghancurkan hidup Ibunya, orang yang bertanggung jawab atas badai yang telah mengubah hidupnya, yang telah membunuh Ibunya secara tidak langsung.
Rentetan pemikiran di dalam kepalanya terhenti mendadak oleh bunyi peluit wasit, suara yang menandakan akhir pertandingan. Tatapan Keiji melayangkan pandangannya ke papan skor, rasa frustrasi hadir di dalam dirinya saat ia melihat kemenangan Inarizaki. Namun, matanya, yang bergerak seperti ngengat pada api, kembali ke arah Si Kembar. Ia mempelajari mereka, memandangi tanda-tanda Akihito di wajah dua pemuda itu, pengingat akan pria yang telah menghancurkan hidupnya dan Ibunya.
Atsumu, kembar yang berambut pirang, memancarkan keceriaan, tawanya bergema seperti lonceng, terlalu keras dan terlalu riang, sementara senyumnya membentang lebar hingga pipinya tertarik ke atas. Osamu, kembar yang berambut abu-abu, adalah bayangan yang pendiam, manik matanya keabuan dan mengingatkan Keiji pada Akihito.
Tatapan Keiji singgah terlalu lama pada Osamu. Ia baru beralih saat suara mengeluh Bokuto memecah keheningan, menariknya kembali dari lamunannya, menjauh dari gema masa lalu yang coba ia lupakan.
Rencana Keiji awalnya sederhana: menghancurkan hidup Osamu, mengusik hubungannya dengan Rin, dan meninggalkannya dalam kehancuran — seperti bagaimana Akihito telah meninggalkan Ibunya. Keiji ingin melihat Osamu menderita, menanggung dosa-dosa Akihito, dan merasakan beban rasa bersalah yang Ayahnya tak pernah rasakan. Melihat Osamu, dengan bisnis yang sukses dan hubungan yang bahagia, ditambah wajahnya yang sangat mirip dengan Akihito, membuat kemarahan menguasai Keiji. Dia tahu betapa dalamnya Osamu mencintai Rin; afeksinya terlihat jelas di pantulan matanya, di setiap tatapan yang ia lemparkan pada kekasihnya. Tapi, Osamu tetaplah anak Ayahnya, dan beruntung bagi Keiji, dia adalah anak Ibunya.
Keiji tahu cara memainkan permainan ini. Dengan tatapan lembut yang mengintip di balik bulu mata panjang dan senyuman yang mampu menawan siapa pun, dia membuat Osamu terjerat. Perselingkuhan mereka dimulai dengan polos, tapi lama kelamaan berkembang menjadi sesuatu yang lebih — makan malam larut malam, mengunjungi kediaman satu sama lain, sentuhan yang menyusuri tiap jengkal kulit — semua mengarah pada kehancuran hubungan Osamu dan Rin yang tak terelakkan. Seharusnya, Keiji merasa puas melihat Osamu hancur, karena bahwa meskipun semua ini terjadi, hati Osamu masih milik Rin, dan kandasnya hubungan mereka menghantam Osamu layaknya sebuah truk berisi kesengsaraan.
Osamu akan selalu mencintai Rin, dan Keiji hanyalah pelarian sementara, sekadar hiburan sesaat. Namun, Keiji tidak peduli, karena ia juga menggunakan Osamu untuk kepuasannya sendiri. Melihat pria yang mirip dengan Akihito tenggelam dalam penderitaan seharusnya memberinya kebahagiaan. Menyaksikan Osamu perlahan-lahan jatuh ke dalam kehampaan seharusnya membuat Keiji merasa puas. Lantas, mengapa yang ia rasakan justru kekosongan dalam dirinya? Mengapa hatinya sakit, mengetahui Osamu tidak akan pernah mencintainya, tidak akan pernah memandangnya dengan sesuatu yang lebih dari sekadar hasrat sesaat? Tatapan Osamu dipenuhi nafsu, tapi tidak pernah ada kasih sayang yang sama seperti yang dia simpan untuk Rin.
Keiji pikir dia telah mengendalikan Osamu sepenuhnya. Namun, pada akhirnya, ternyata hatinya sendirilah yang salah ia perhitungkan.
Malam sudah larut, hanya ada cahaya bulan yang samar-samar menerangi kamar. Osamu berada di atasnya, napasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat saat ia menghantam Keiji dengan kasar dan tanpa henti. Setiap gerakannya tergesa, tak ada kelembutan sama sekali. Kepala Keiji beberapa kali terbentur kepala ranjang, dentuman lemah yang mengikuti ritme pergerakan yang semakin tak nyaman. Kaki ranjang berderit di bawah mereka, namun, suaranya tenggelam oleh desahan berat Osamu juga nafas keduanya yang memantul di keheningan malam.
Keiji memejamkan mata, mencoba tenggelam dalam kenikmatan fisik yang menyelubungi tubuhnya, namun, ada sesuatu yang terasa salah — berbeda. Ia bisa merasakan keputusasaan Osamu, tapi bukan untuknya. Seolah-olah keberadaannya tak lebih dari sekadar bayangan. Cara Osamu menggenggam pinggulnya, caranya bergerak — begitu berbeda, hampir seperti rutinitas tanpa makna.
“Osamu …” Keiji berbisik, suaranya nyaris tak terdengar, berharap bisa menarik perhatian kekasihnya kembali, berharap ada secercah pengakuan. Namun, mata Osamu tampak kosong, tatapannya menembus dirinya, ke dalam ingatan orang lain, ke dalam pelukan yang bukan miliknya.
Dan saat itu, di tengah gerakannya yang serampangan, Keiji mendengarnya. Awalnya pelan, desahan kecil yang tidak sengaja lolos dari bibir Osamu. “Rin …”
Jantung Keiji membeku. Ia ingin berpura-pura tidak mendengarnya, ingin percaya itu hanya panggilan yang keliru, tapi suara Osamu semakin jelas, semakin nyata, semakin penuh gairah. “Rin!” Ia mengerang, tubuhnya menegang saat ia menenggelamkan dirinya lebih dalam di dalam tubuh Keiji untuk terakhir kalinya.
Keiji merasakan kehangatan menyebar di dalam dirinya, tapi semua yang bisa ia pikirkan hanyalah nama itu. Rin. Bukan Keiji. Bukan dia yang diinginkan Osamu. Bukan dia yang ada di pikiran Osamu. Kenyataan itu menghantamnya seperti pisau yang dingin dan tajam, mengiris ilusi yang selama ini ia genggam erat.
Hatinya hancur, rasa sakit itu tumpah keluar seperti darah yang menggenang di lantai. Hati yang persis seperti milik Ibunya, hati yang pernah berdarah untuk pria yang tak pernah mencintainya. Kini, hati itu berdegup di dalam tubuhnya, sekali lagi patah karena dosa pria lain.
“Osamu,” Keiji mencoba lagi, suaranya bergetar, menahan tangis yang nyaris pecah. Tapi Osamu tak mendengarnya. Ia sudah jatuh terkulai di sampingnya, tubuhnya lelah, pikirannya melayang entah ke mana, tenggelam dalam bayangan seseorang yang tak berada di sampingnya, kesadarannya ditarik oleh kantuk.
Keiji memalingkan wajah, menggigit bibir untuk menahan air mata. Hatinya hancur, dan tidak ada yang mendengar isakannya.
Keiji berdiri di depan cermin, tatapannya terkunci pada bayangannya sendiri, mencari dengan putus asa sesuatu yang salah, sesuatu yang mungkin tidak disukai Osamu. Jemarinya bergetar di samping tubuhnya, gatal ingin menggaruk wajahnya, merobek kecantikan yang selama ini menjadi perisainya, senjatanya. Seharusnya dia sempurna. Dia yang selalu diinginkan semua orang, yang ingin dimiliki orang lain. Jadi kenapa — kenapa — Rin masih hidup di dalam pikiran Osamu?
“Aku cantik,” bisiknya pada pantulannya, suaranya kosong. “Aku cantik. Aku segalanya.”
Tangannya terulur, jemari menyusuri kulitnya yang sempurna, tulang pipinya yang tegas, bibirnya yang selalu dipuji banyak orang. “Tapi, kenapa gak cukup?” Suaranya serak, ada sesuatu yang rapuh dan patah dalam intonasinya. Tangan mengepal di samping tubuhnya, kuku-kuku menancap menyakitkan di telapaknya. “Kenapa dia gak cinta sama aku? Aku udah ngasih semuanya. Aku udah hancurin hubungan mereka. Rin udah pergi. Rin udah gak ada! So why is he still there in his heart?”
Napas Keiji tersendat, tangis tertahan di tenggorokannya. Tangannya terangkat ke wajahnya, gemetar, jari-jarinya melayang di atas bayangannya sendiri. Dia ingin mencakar, merobek kecantikan yang sudah jadi tidak berarti. Apa gunanya kalau Osamu masih memandangnya seolah dia orang asing, kalau dia masih menyebut nama orang lain di tengah malam?
“You should love me,” desisnya, suara bergetar oleh kemarahan dan keputusasaan. “I am here. I’m the one who stayed. I’m the one who made you mine.”
Keesokan harinya, Keiji tidak pergi bekerja. Sebaliknya, dia menghabiskan waktunya di salon, mewarnai rambutnya menjadi cokelat gelap, menghapus sosok yang dulu, sosok yang ternyata tidak cukup. Kacamatanya lenyap, digantikan dengan sepasang lensa kontak, dan eyeliner hitam tegas membingkai matanya, memberi tampilan yang lebih tajam, lebih kuat, lebih seperti orang lain.
Dia berdiri di depan pintu apartemen Osamu, jantungnya berdetak kencang di dadanya. “Ini semua demi rencanaku.” bisiknya pada dirinya sendiri, mengulangi tiap kalimat layaknya sebuah mantra. “Ini semua demi rencana. Bukan karena sakit hati. Bukan karena dia masih cinta sama Rin. Bukan karena aku kehilangan diriku sendiri dalam semua ini.”
Tapi jauh di dalam hatinya, Keiji tahu semua hal yang ia lakukan bukan lagi untuk rencana balas dendamnya. Keiji tahu, rencananya sudah terkubur dalam-dalam sejak ia mempersilahkan Osamu untuk singgah di hatinya.
“Sayang, kok kamu ganti penampilan gini?”
“How do I look? Am I pretty?”
“Prettier than ever.”
So, you love it when I looked like your ex? Pertanyaan itu tersendat di tenggorokannya, bibirnya ia katup rapat-rapat.
Ketika tahun telah berganti di kalender dan hubungan keduanya hampir menginjak satu tahun, Keiji menemukan belasan ruang obrolan di dalam aplikasi kencan yang terpasang di ponsel Osamu. Jarinya gemetar saat ia menelusuri ponsel kekasihnya, membaca pesan demi pesan dari orang-orang asing — pria dan wanita — yang terjadi di belakangnya. Napasnya tersengal, tak beraturan, dadanya berdegup begitu kencang hingga bunyinya memekakkan telinga. Dinding di sekitarnya seakan menyempit. Keiji bahkan tidak menyadari suara air dari kamar mandi telah berhenti atau bahwa Osamu kini berdiri di belakangnya.
“Keiji,” suara Osamu memecah badai di pikirannya, tenang, tidak menyadari badai yang bergemuruh dalaman pikiran Keiji. “What are you doing with my phone?”
Hati Keiji terasa dipelintir dengan sakit yang menyiksa saat dia berbalik menghadap Osamu, suaranya rapuh dan pecah. “Siapa orang-orang ini?” Matanya melebar, penuh dengan ketidakpercayaan, dengan pengkhianatan. “Kamu — kamu punya dating app? Kamu flirting sama semua orang ini di belakang aku?!”
Osamu melangkah maju, tangannya terangkat seolah mencoba menenangkannya. “Wait, sayang, aku bisa jelasin —”
“Jelasin apa?” Suara Keiji bergetar, lebih lantang, lebih menyakitkan. “Kamu selingkuh di belakang aku!”
“Keiji, dengarin aku dulu —”
“Kamu sama aja! Sama kayak dia! Sama kayak Ayahmu!” Kata-kata itu meluncur dari mulutnya tanpa ia sadari.
Osamu membeku, kebingungan bercampur dengan ketegangan kini terlukis jelas di wajahnya. “Tunggu … apa? Kamu tahu soal Papaku dari mana? Aku gak pernah bilang apa-apa.”
Keiji diam membisu di tempatnya, bibirnya ia katup rapat-rapat.
“Kamu tahu Papaku dari mana?” Osamu mengulang pertanyaannya, kali ini suaranya terdengar tajam, curiga menyusup di setiap kata. Alisnya berkerut, tubuhnya tegang, dan matanya meneliti Keiji seolah ia berubah menjadi seseorang yang tak dikenal. “Jawab aku, Keiji!” Suaranya semakin keras saat pertanyaannya terus dijawab dengan diam.
Keiji menelan air liurnya, berharap rasa gugupnya juga ikut tertelan. “Waktu aku umur tiga belas, atau empat belas, Ayahmu selingkuh sama Ibuku.” jawabnya, suaranya gemetar di akhir, hampir patah di bawah tekanan kenangan yang menghantui.
Ekspresi Osamu langsung berubah —ketidakpercayaan, kemarahan, dan kebingungan berputar menjadi satu. “What the fuck?” Osamu mondar-mandir di ruangan dengan tangan yang terus mengacak-acak rambutnya karena frustasi. “What the actual fuck, Keiji?”
Mata Keiji mengikuti gerakan Osamu yang gelisah. “Hubungan mereka berlangsung sekitar tujuh bulan. Terus, Ibuku hamil—”
“Ya Tuhan, please, bilang kalau kamu bercanda!” Osamu berteriak frustrasi, suaranya semakin meninggi di setiap kata.
Keiji terus berbicara meskipun suaranya masih gemetar. “—tapi Ayahmu menolak buat tanggung jawab—”
“He was a married man!” Osamu memotong, suaranya lantang dan penuh amarah.
“—my mother loved him too much. Dia bunuh diri setelah Ayahmu ninggalin dia dan maksa buat gugurin kandungannya! Ayahmu hancurin hidupnya! Dia hancurin hidupku!”
Wajah Osamu memerah karena amarah, suaranya menggelegar saat dia menunjuk Keiji dengan penuh tuduhan. “Ibumu yang hancurin keluargaku!” dia berteriak. “Tiga belas sampai empat belas, ya? Itu kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pas orangtuaku cerai. Ibumu yang hancurin keluargaku, bukan sebaliknya!”
“Dia bunuh diri!” Suara Keiji pecah, air mata mengalir deras di pipinya. “She never loved anyone like she loved your father! She—”
“Kenapa kamu gak pernah bilang apa-apa?” Osamu memotong lagi, suaranya lebih pelan sekarang. Dia menjatuhkan dirinya di tepi tempat tidur, matanya tertunduk menatap lantai.
Keiji terdiam, keheningan di antara mereka terasa berat dan menyesakkan. “Karena … karena kalau aku gak bisa bikin hidup Ayahmu hancur, aku pikir aku bisa hancurin hidup anaknya. Kamu mirip banget sama dia, Osamu. Aku mau lihat kamu menderita, lihat kamu tersakiti. Hancurin kamu, ngerusak hubunganmu sama Suna, itu caraku buat balas dendam. Itu satu-satunya cara yang aku tahu.”
Osamu berdiri dengan cepat, amarahnya kembali menyala. Dia mendekat ke arah Keiji, suaranya bergetar karena emosi. “Keiji, what the fuck?! Itu dosa Ayahku, bukan aku! Gak ada urusannya sama aku! Kamu gila, ya? Kamu pikir ini film di mana kamu bisa balas dendam atas nama seseorang? Gitu? Itu yang kamu mau? Balas dendam?” Amarah menyelinap di tiap suku katanya, dan Keiji tidak pernah merasa setakut ini. “Kamu itu delusional! Ini dunia nyata, Keiji! Dunia nyata!”
“Kamu gak ngerti!” Suara Keiji bergetar, setiap kata keluar dengan putus asa.
Ekspresi Osamu berubah penuh kemarahan dan ketidakpercayaan, suaranya tajam layaknya pisau. “Ya Tuhan, kamu benar-benar udah gak waras, tahu gak? Kita udah pacaran hampir setahun, Keiji. Was it all just a lie to you?” Setiap kata yang keluar dari mulutnya menghantam Keiji seperti batu, semakin menekannya ke bawah kubangan sakit hati. “Kamu beneran hancurin hubungan aku sama Rin cuma buat balas dendam karena kesalahan yang dilakuin Papaku bertahun-tahun lalu? How absurd can you be?!”
Keiji sepenuhnya hancur, jatuh berlutut di atas lantai sambil menangis tak terkendali. Tubuhnya bergetar hebat, setiap isakan yang keluar mengguncangnya seolah ingin merobek dirinya dari dalam. Dadanya terasa sesak, tenggorokannya terbakar, bahkan bernapas pun terasa menyakitkan. “Kamu sendiri yang hancurin hubunganmu sama Rin, bukan aku!” dia berteriak, suaranya patah di tengah-tengah kesedihannya yang begitu dalam. “Kamu sama aja kayak Ayahmu! A cheater, willing to throw away everything for the next beautiful face that turns your head! Kamu lupa sama Rin yang cinta sama kamu, persis kayak yang Ayahmu lakuin ke Ibumu!”
Osamu mendelik ke arahnya, matanya dingin dan kejam. “Terus kalau gitu Ibumu apa, dong? Dia mau-mau aja milih buat jadi selingkuhan. Itu namanya apa, Keiji? Pelacur?”
Napas Keiji tersengal, amarahnya sesaat menyala di tengah-tengah kehancurannya. “Jangan pernah sebut Ibuku pelacur!”
“But isn’t that what she was?” Suara Osamu tajam dan tak kenal ampun, setiap kata menancap lebih dalam ke dada Keiji. “Pelacur yang hancurin pernikahan orang lain.” Keheningan yang mengikuti terasa mencekik, sebuah momen di mana Keiji bisa merasakan hatinya pecah menjadi jutaan keping. Dan kemudian suara Osamu muncul lagi, lebih dingin dari sebelumnya, menghantam Keiji sampai luluh lantak. “Persis kayak kamu.”
Mata Keiji membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan, tapi Osamu belum selesai. Pria itu melangkah mendekat, berdiri menjulang di hadapan Keiji, kata-kata selanjutnya keluar dan penuh racun. “Lucu, ya? Kamu mau banget hancurin hidupku karena sesuatu yang dilakuin Papaku bertahun-tahun yang lalu, tapi lihat dirimu sendiri sekarang. Kamu juga ikut hancur. Kamu berusaha keras buat hancurin aku, tapi lihat, Keiji. Kamu juga mati perlahan.”
Osamu tertawa, sinis dan merendahkan. “Kamu nangis kayak anak kecil yang bodoh di kamar mandi karena aku manggil nama Rin pas kita ngewe, ‘kan? Yeah, I heard that. It hurt, didn’t it? Because you’re nothing more than a foolish man, catching feelings like an idiot, just like your mother did to my father.”
Dunia Keiji berputar, ruangan terasa menyempit, dan semua yang bisa dia dengar hanyalah tawa kejam Osamu.
Osamu melipat tangannya, suaranya sekarang datar, dingin, seolah tak peduli lagi. “Keluar dari rumahku. Aku selesai sama kamu. Aku gak mau meladeni fantasi balas dendammu yang kekanak-kanakan itu lagi. Kita selesai. Putus. Aku gak mau lihat mukamu lagi. Pergi!”
Dan dengan itu, Keiji dibiarkan terjatuh di lantai, merasa lebih kecil dari sebelumnya, hatinya hancur tak bisa diperbaiki lagi.
Unfortunately, I’m my mother’s child. I’ll fall into the same hole that killed her. I’ll put my heart and pride on the palms of a cruel, cruel, man, just like what she did before her death. I’m my mother’s child, I’ll love you until my breathing stops. I’ll love you until you call the cops on me.