crossing the line

deera
9 min readFeb 14, 2025

--

Tags : First time, deflowering, vaginal sex.

Pintu yang terbuat dari kayu mahogani tertutup di belakang Hajime ketika ia dan Tobio melangkah memasuki rumah. Suasananya hening dan sepi, jarum jam bertengger di angka 7 malam, dentingnya menggema di seluruh area rumah yang gelap. Hajime berjalan mendahului Tobio, mencari saklar lampu untuk memberikan pencahayaan, sementara gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah.

Lampu menyala menerangi area rumah, dan Tobio dapat melihat dengan jelas beberapa kardus yang ditumpuk di sudut ruangan. “Kamu mau makan apa, sayang?” tanya Hajime selagi melangkah menghampiri Tobio. Derap langkahnya memantul di dinding, dan figurnya yang tinggi besar berdiri menjulang di hadapan Tobio yang masih terduduk di sofa.

Alih-alih menjawab, Tobio justru bertanya, “itu kardus apa, Kak?” Ia menunjuk ke arah tumpukan kardus yang beberapa masih tersegel rapi.

“Oh? Kemarin aku habis beli furniture baru dan belum sempat beresin.” jawab Hajime sebelum ikut bergabung dengan Tobio di sofa. Tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan dan ia mengerang begitu punggungnya yang kaku menyentuh permukaan empuk sofa. “Aku beli rak buat di kamar sama dapur, tapi belum ada waktu buat nyusunnya. Kayaknya besok aku mau suruh orang aja … terus … pokoknya—”

Hajime terus berceloteh mengenai rencananya soal memberikan rumahnya ‘makeover’. Pria itu berbicara soal menambah rak, memindahkan lemari, lalu entah apa — mungkin soal meja nakas baru, mungkin juga lampu gantung untuk menggantikan yang sudah usang — sejujurnya Tobio tidak tahu karena ia berhenti mendengarkan di menit pertama. Mata bulat gadis itu terus mengamati tiap lekukan wajah Hajime, mulai dari rahangnya yang tegas, tulang pipinya yang tinggi, hidungnya yang mancung, hingga mata tajamnya yang dibingkai alis tebal. Kepalanya jatuh di sandaran sofa, wajahnya mengadah ke langit-langit ruangan, menampilkan leher jenjangnya dengan jakun yang naik turun tiap ia berbicara.

“Terus nanti rencananya, Bi, aku — eh ngapain?” Hajime yang semula ingin memberitahu Tobio mengenai rencananya mengubah tempat menjemur pakaian di atas menjadi rooftop seketika tersentak ketika Tobio memanjat tubuhnya hingga kini gadis itu duduk sepenuhnya di atas paha Hajime. “Bi?”

Tobio tidak berkata apa pun, ia malah mengalungkan lengannya di leher Hajime sebelum mengusak pipinya dengan milik pria itu yang terasa sedikit kasar akibat bulu-bulu kumis yang baru tumbuh. Tangannya tak tinggal diam, jemarinya bertengger di tengkuk Hajime, memijatnya dengan gerakan kelewat sensual, lalu merambat naik untuk meremas helaian pendek Hajime, mengirimkan sensasi menggelitik yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Bi,” Hajime menahan pinggul Tobio yang bergerak di atasnya, jari-jarinya meremas pinggang ramping gadis itu dari balik sweater crewneck yang dikenakannya. Ia mendongak guna melihat dengan jelas wajah kekasihnya. Gadis itu memandanginya dengan tatapan sayu, separuh wajahnya tertutupi oleh surai sehitam arangnya, namun, Hajime masih dapat melihat dengan jelas pipinya yang merah padam di bawah temaram lampu.

Pria itu mengulurkan tangannya, kemudian mengusir helai rambut Tobio menggunakan jarinya, memberikannya gambaran jelas wajah kekasihnya. “Kakak, I miss you.” Gadis itu berkata dengan pelan, suaranya tak lebih dari sebuah bisikan bernada sensual yang secara otomatis membuat jantung Hajime berdetak lebih cepat.

“Kakak kangen aku gak?” tanya Tobio, lebih seperti sebuah pertanyaan retoris, karena keduanya tahu betul betapa mereka merindukan kehangatan satu sama lain. Setelah satu bulan penuh tidak jatuh dalam keintiman apa pun, Hajime tentu saja merasa haus dan kelaparan akan tiap jengkal tubuh indah kekasihnya. Ketika menyadari pandangan mata Hajime yang berkilat akan nafsu, Tobio lantas mengulum senyumannya.

“Kamu gak tahu seberapa kangennya aku sama kamu.” Hajime menggeram di telinga Tobio. “Aku kangen sama ini.” Telapaknya yang besar menampar kedua bokong Tobio yang masih dilapisi celana denim. “Sama ini juga.” Kali ini tangannya menyelinap ke depan, di antara tubuh keduanya, meremas salah satu payudara Tobio dengan kasar, sukses membuat Tobio melempar kepalanya ke belakang sambil melenguh pelan.

Pria itu pun menarik turun kepala Tobio agar mendekat, kemudian menyatukan belah bibir keduanya dalam sebuah pagutan panas. Lengan Hajime melilit tubuh ramping Tobio, membelenggu gadis itu dalam dekapannya, sementara bibir terus mencumbui milik Tobio dengan lidahnya yang melesak masuk mengabsen satu per satu gigi gadis itu.

Jari-jemarinya tak tinggal diam, bergerilya masuk ke balik pakaian yang membalut tubuh Tobio, mengelus kulit telanjangnya yang meremang di bawah sentuhannya. “Ahh, Kakak.” Tobio mendesah pelan, keningnya berkerut dan wajahnya semerah tomat. Bibirnya mengkilap karena liur — entah milik siapa — napasnya memburu, dan pinggulnya tak bisa diam di atas pangkuan Hajime, mengejar friksi nikmat ketika kemaluannya bergesekan dengan milik Hajime.

Hajime menarik pinggul Tobio agar semakin merapat dengan tubuhnya, kemudian menggerakan tubuh gadis itu layaknya boneka pemuas nafsu di atas tenda yang terbentuk dari balik celananya, menggesekan penisnya yang menegang dan terkurung dengan lembah kenikmatan Tobio. Pria ittu menggeram, napas menerpa wajah Tobio layaknya uap panas, dan pinggulnya terus bergerak mengejar ledakan-ledakan kecil kenikmatan.

“A-aahh, Kakak!” Tobio melenguh, bibirnya ia gigit guna menahan desahan vulgarnya yang memantul dengan memalukan di dinding, meninggalkan gema yang makin menyulut api nafsu Hajime.

“Anjing, Bi. Kangen banget aku sama memekmu.”

Tobio sontak tersemu begitu mendengar perkataan tak senonoh kekasihnya. Wajahnya tambah memerah begitu Hajime menarik turun celana denim sekaligus dalaman milik Tobio, meninggalkannya hanya dengan sweater crewneck warna biru laut dan cairan vagina yang meninggalkan noda basah di celana khaki yang dikenakan Hajime.

Pria itu mendorong tubuh Tobio hingga tak lagi berada di pangkuannya dan jatuh ke atas sofa. “Ah, Bi, anjing. Buka kakinya sayang, aku mau lihat memekmu.” ujar Hajime yang kini berada di atas Tobio, mengukung tubuh gadis itu di antara lengannya. Rambut pendeknya menempel di pelipisnya yang berkeringat, dan dinding vagina Tobio otomatis berkedut begitu melihat paras tampan kekasihnya.

Dengan perlahan dan malu-malu, Tobio membuka kedua pahanya, kemudian menahannya dengan kedua lengannya yang berada di belakang lututnya. Vaginanya yang kemerahan dan dicukur bersih tanpa meninggalkan satu pun bulu pubis menyambut Hajime, membuat pria itu mengerang dengan air liur yang berkumpul di mulutnya, seketika merasa kelaparan. “Bi, aku jilatin mau, ya?”

Tobio mengangguk kelewat semangat, vaginanya berkedut merespons perkataan Hajime. Tanpa banyak kata, pria itu pun membuka kaus yang dikenakannya sebelum melemparnya dengan asal ke lantai lalu meraup keseluruhan vagina Tobio dengan mulutnya yang terbuka lebar. Hajime bersedia pergi berperang untuk kewanitaan Tobio yang kini memenuhi indra pengecapnya, ia rela berperang demi bibir gemuk gadis itu yang kini ia gigit dengan giginya, rela berperang untuk kumpulan syaraf sebesar kacang polong bernama klitoris yang memerah akibat hisapan bibirnya.

“AAAHH! K-Kakak … nghh,” Tobio terus mendesah, napas putus-putus dan kepalanya ditutupi oleh kabut nafsu. Hajime terus menjentikkan lidahnya di atas klitoris Tobio sementara jarinya perlahan mulai memasuki vaginanya yang basah dan berkedut. Telunjuk pria itu melesak memasuki lubang Tobio, membuat empunya melenguh panjang dan merengek — meminta lebih, merasa kurang, menginginkan sesuatu yang lebih besar, lebih, lebih, lebih. “More, please. More!”

Hajime menatap Tobio dari bawah, memandangi bagaimana dada gadis itu naik turun dan perutnya berkontraksi tiap kali ia menyentuh titik sensitif di dalam lubangnya maupun menghisap klitorisnya yang mencuat. “Bi, cantik banget kamu, sayang.” Hajime berkata tepat di atas labia Tobio yang basah karena liur dan lubrikasi, membisikkan kalimat cinta dan pujian kulitnya yang meremang karena sensivitas.

“Nghh, Kakak, mmhh.” Tobio mengerutkan keningnya begitu ia merasakan jari tengah sekaligus manis milik Hajime melesak memasuki lubangnya, menggaruk dindingnya yang sensitif, dan meninggalkan suara kecipak becek yang vulgar dalam tiap gerakannya. “Aahh, Kak — Hajime!”

Hajime terus melakukan gerakan keluar-masuk dengan jemarinya, menekan g-spot Tobio yang membuat kepala gadis itu seolah berputar dan lubangnya kian banjir dengan cairannya sendiri.

“Pindah ke kamar, ya, sayang?”

Tobio mengangguk, membiarkan tubuhnya dibopong oleh Hajime menuju kamar tidur lelaki itu yang berada di lantai dua.

Tobio menggigit bibir bawahnya, tubuhnya yang telanjang terlonjak-lonjak di atas ranjang dengan Hajime yang berada di atasnya, menggesekkan kepala penisnya dengan bibir vaginanya yang berkedut, seolah menggoda kepala bulat layaknya jamur itu untuk bertamu ke dalam dan meninggalkan benih-benih cinta. “Anjing, hhh, Bi — enak banget memekmu padahal, hhh — anjing — padahal gak masuk. Fuck. Anjing.”

Pria itu mendesah kencang, desahannya bersautan dengan milik Tobio yang memekik dan kenes. Manja, genit, menggoda, berpura-pura polos padahal tatapannya mengerling dengan nakal dan kakinya terbuka lebar. “Aaahh, Kak, touch me, please.

“Di mana, hm? Di sini?” Ibu jari Hajime memutari klitoris Tobio, sementara kepala penisnya terus menabrak labia Tobio, seolah ingin masuk tanpa benar-benar masuk. “Dek Bio mau dienakin itilnya sama Abang?”

“Ahhh!” That was new. Tobio berpikir di dalam hati. Hajime tidak pernah memanggilnya dirinya sebagai abang sebelumnya. That was hot. Gadis itu mengerang.

Hajime menunduk memandangi penisnya yang terus mengeluarkan cairan pra-ejakulasi yang turun menjatuhi vagina Tobio, bercampur dengan cairan lubrikasi dari vagina gadis itu, kemudian berakhir di atas sprei dan meninggalkan noda basah yang membentuk pulau. “Aaarghh, Bi. Aku mau banget ewe kamu.” Omongannya keluar tanpa bisa ia cegah, meluncur dari bibirnya yang setengah terbuka.

Tobio mengerjap dengan menggemaskan. “Kak?”

“Aku mau banget, sayang.” Hajime menunduk guna mengecupi bahu telanjang Tobio. “Aku mau banget ewe kamu pakai kontolku, bukan jari atau lidah. Nghh, anjing, digesek aja enak apalagi diewe.” Pria itu tidak tahu sedang bicara apa, mungkin keinginan yang selama ini mati-matian ia pendam, mungkin juga racauan di saat nafsu membutakan.

“Mmhh, t-tapi Kakak waktu itu bilang gak mau sampai masuk.” Tobio berkata dengan takut-takut, suaranya keluar lebih seperti cicitan tikus kecil. Meskipun begitu sesuatu di dalam diri Tobio juga menginginkan hal yang sama dengan Hajime.

“Iya, Bi, tapi gua — aku, hhh, aku gak tahan.” Hajime menggigit bibi bawahnya, napasnya kian memberat dan penisnya seolah akan meledak. “Aku mau banget entot kamu, Bi, sayang. Boleh, ya?”

“A-aku takut sakit, Kak.” ucap Tobio, masih berupa sebuah penolakan, namun, kini lebih terdengar ragu dari sebelumnya. Seakan-akan ia sendiri tak yakin ingin menolak permintaan Hajime.

“Gak, sayang, ‘kan udah aku buka sama jariku tadi.” ucap Hajime seraya memasuki ketiga jarinya ke dalam lubang vagina Tobio. “Tuh, lihat. Gak sakit ‘kan memekmu? Tadi udah aku enakin.” Ia terus menggerakan jarinya dan memukul keluar desahan lain dari rongga dada Tobio. “Enakan, sayang? Kalau pakai kontolku lebih enak lagi. Gua — aku, fuck, aku masukin, ya? Please, sayang.”

“Kita gak ada kondom, Kak.”

“Gak apa-apa, nanti aku keluar di luar, ya, sayang? Please?”

Entah setan apa yang merasuki tubuh Tobio sehingga gadis itu mengangguk, membiarkan tubuhnya di tarik jatuh semakin dalam ke kubangan dosa,dan melihat dirinya sendiri bercumbu dengan setan bernamakan nafsu.

Hajime menggeram rendah hingga ia seolah bisa merasakan dadanya bergetar. Jantungnya bertalu dengan keras dan berdengung di telinganya. Tangannya dengan gemetar menuntun batang penisnya untuk memasuki tubuh Tobio yang terhidang dengan begitu menggiurkan di hadapannya. Kepala penisnya melesak tanpa hambatan yang berarti, namun, cukup untuk membuat Tobio meringis perih. “Ssshh, sayang, tahan. Maaf.”

Gadis yang terbaring di bawahnya itu hanya bisa mengangguk, membiarkan Hajime mengambil alih, menuntun keduanya dalam sebuah dosa besar yang membuat Tobio seketika pening dan mual. “Napas, Bi, tahan sebentar. Rileks.”

Beberapa menit berselang hingga keseluruhan penis Hajime terbenam di dalam tubuh Tobio yang kini megap-megap seperti ikan yang dibawa ke daratan. Keningnya berkerut dan napasnya tersengal, rasa nyeri dan perih berkumpul di vaginanya, namun, setiap pergerakan kecil Hajime juga mengantarkan kenikmatan yang membuat kakinya bergetar.

“Anjing, hhh, belum gerak aja udah enak! Bi, nghh.”

“A-aahh! Kakak, please, gerak.” Sakit dan perih masih hadir, namun, Tobio ingin sekali mengejar friksi kenikmatan yang hadir sekelibat tiap Hajime bergerak.

Pria itu pun mencengkram pinggang Tobio, kemudian dengan ritme pelan meggerakan pinggulnya maju-mundur, pandangannya fokus ke arah persatuan tubuh keduanya yang makin membakar api nafsunya. “Bi, hhh, enak gak memekmu diewe pakai kontol, hm? Lebih enak dari jari, ‘kan?”

Alih-alih menjawab, desahan Tobio kian santer terdengar. Bibir gadis itu terbuka dan menyebabkan air liur menetes menuruni dagunya. Kepala Tobio terasa pening, menjalar hingga ke dadanya yang seketika sesak, entah karena nikmat akibat ransangan penis Hajime atau karena rasa bersalah dan menyesal yang mulai menggerogotinya dari dalam.

Kelopaknya setengah terbuka, memandangi Hajime yang sibuk mengejar kenikmatan di atas tubuhnya. Kedua kakinya yang bertengger di bahu pria itu bergetar dalam tiap gerakannya, kepala penis Hajime terus menabrak titik sensitifnya, membuang keluar seuruh penyesalan dan menggantikannya denga keinginan untuk orgasme.

“Bi, anjing — hhh, aku mau keluar.”

“D-di luar, Ka — nghh!”

Pria itu dengan kelabakan menarik keluar batang penisnya dan menembakkan maninya ke atas perut Tobio. Gadis itu mendesah begitu klimaksnya menyusul karena pergerakan jemari Hajime di atas klitorisnya. Keduanya terdiam memandangi langit-langit, deru napas terdengar besahutan, dan penyeselan terasa memenuhi rongga dada hingga terasa sesak. Hajime melempar pandangannya ke arah Tobio yang meringkuk memeluki dirinya sendiri, “aku bantuin bersih-bersih, ya?”

“Kakak keluar di luar semua, ‘kan?”

Hajime mengernyit, lalu mengangguk. “Iya, Bi.” Mungkin. “Besok aku kasih pil kalau kamu takut.”

Tak ada balasan dari Tobio. Malam itu keduanya terbaring dengan punggung yang saling berhadapan dan terjaga hingga adzan subuh terdengar dari speaker masjid, seolah menghakimi dua pendosa yang diam seribu bahasa.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (3)