Tobio menenggelamkan tubuhnya di antara tumpukan selimut ketika pintu kamar indekosnya berderit terbuka. Satu-satunya orang yang memiliki kunci cadangan adalah Hajime, kekasihnya, dan kedatangan pria itu memecah keheningan kamar yang temaram. Tobio menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya, menyembunyikan diri di balik permainan sandiwara yang telah ia susun dengan rapi—lakon seorang gadis sakit yang membutuhkan perhatian.
Bunyi langkah Hajime menggema dan memantul di dinding. Lewat celah kecil selimut yang melorot dari puncak kepalanya, Tobio mencuri pandang. Sosok Hajime berdiri di tengah kamar, membawa rantang yang kemungkinan besar berisi makanan untuk orang sakit. Pria itu mengenakan kaos hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan garis bahu dan dadanya. Celana panjang berbahan denim membalut kaki jenjangnya, membuat penampilannya terlihat mantap namun kasual.
Mata Tobio tak sengaja mendarat pada lengan Hajime, di mana otot-ototnya terlihat tegas namun tak berlebihan—cukup untuk membuat perutnya terasa melilit. Tanpa sadar, ia merapatkan kedua pahanya, menjepit guling di antara kakinya, gerakan kecilnya terasa nyaris memalukan ketika ujung permukaan guling bersentuhan dengan area paling sensitif di tubuhnya. Sebuah lenguhan pelan lolos dari bibirnya, hampir tak terdengar di tengah keheningan.
“Bi? Kamu sakit beneran?” Suara Hajime yang berat membelah sunyi di antara keduanya. Logat bicaranya yang terkesan nyablak dan selalu menggunakan lo-gue hilang entah kemana digantikan suara lembut yang penuh perhatian. Tobio menurunkan selimut hingga hanya setengah wajahnya yang tertutup kemudian memandang Hajime dengan mata bulat gelapnya yang seperti buah beri. “Kok tiba-tiba sakit? Kamu kurang tidur atau ada salah makan?”
Gak, Kak. Aku sebenarnya horny gara-gara ovulasi. Tobio ingin sekali menjawab seperti itu, tetapi kata-katanya tersangkut di ujung lidahnya yang berubah kelu. Alih-alih mengucapkan apa yang sebenarnya dirasakannya, ia memilih jawaban yang meluncur seadanya, “kayaknya karena kurang istirahat dan kebanyakan main laptop, Kak.”
Hajime mendengus pelan. Ia pun menaruh rantang di atas meja kecil yang terletak di samping ranjang, suara logamnya berdenting dalam ruangan yang sunyi. “Ini Emak ngasih makanan buat kamu. Ayo makan dulu, yuk?” Ia berkata dengan lembut tapi tetap memberikan tekanan halus.
Tobio, yang masih terbungkus selimut layaknya kepompong, menggeleng pelan. “Makasih, Kak, tapi nanti aja makannya.” tolaknya dengan nada malas. Dari balik selimut yang menutupi sebagian besar tubuhnya, ia mengulurkan satu lengan, kecil dan kurus, guna menarik Hajime agar lebih dekat dengannya. Sentuhannya ringan namun memaksa, seperti anak kecil yang menginginkan perhatian penuh. “Aku mau tidur sambil dipeluk.” lanjutnya, suara yang teredam kain berubah menjadi rengekan manja.
Hajime terpaku sejenak, napasnya tertahan, tatapannya tak beranjak dari sosok Tobio yang bergelung di dalam selimut dengan begitu menggemaskan. Hajime tahu ia harus membujuk Tobio untuk makan, tetapi rasa lunak di hatinya mulai mengalahkan logika. “Makan dulu, Bi. Kalau kamu belum makan, Kakak gak bisa tenang.”
“Gak mauuu!” Suara Tobio meninggi dengan nada manja dan kenes, bibirnya mengerucut seperti bebek. Selimut yang menutupi wajahnya perlahan turun, memperlihatkan matanya yang memicing tajam dan bibirnya yang merekah dengan ekspresi tak mau mengalah. “Ayo, Kakak, temanin tidur.” Ia berkata lagi, kali ini lebih keras, lebih memaksa, dengan tatapan mata yang penuh determinasi.
Hajime menghela napas dalam-dalam, tangannya secara refleks mengusap belakang lehernya, mencoba meredam perasaan hangat yang tiba-tiba melingkupi dadanya. Ia memandang Tobio, yang kini sepenuhnya muncul dari balik selimut, wajahnya penuh harap. Akhirnya, ia tersenyum kecil, langkahnya mendekat ke ranjang, memutuskan untuk menyerah pada permintaan manja Tobio meski pikirannya berkata lain.
“Kamu ini, manja banget.” gumam Hajime seraya duduk di tepi ranjang dengan gerakan pelan. Tangannya mengusap puncak kepala Tobio dengan lembut, jarinya menyelip dan menari di antara helaian rambut yang sedikit kusut. “Tapi kalau Kakak temenin tidur sekarang, kamu janji nanti makannya dihabisin, ya?”
Tobio mengangguk cepat, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja memenangkan argumen. Ia melesak lebih dalam ke pelukan Hajime yang kini terbaring di sampingnya. Lengan kurusnya melingkari torso Hajime dengan erat, seolah berusaha menghapus jarak di antara mereka. Jemari Tobio sesekali bergerak, mengelus lembut sisi tubuh Hajime, sebelum akhirnya menyelinap di bawah kain hitam yang membalut pria itu.
“Bi, tanganmu dijaga.” tegur Hajime dengan nada lembut tapi penuh peringatan.
Namun, Tobio memilih mengabaikan teguran yang dilayangkan oleh kekasihnya. Ia merapatkan tubuhnya lebih erat, seolah ingin menjadi bagian dari pria yang tengah memeluknya, menyelinap di bawah lapisan kulitnya, merasuki raganya, dan tinggal di samping jantungnya yang bertalu dengan konstan. Secara perlahan, paha rampingnya melingkari pinggul pria itu, menjeratnya seperti tentakel gurita. Kemudian, dengan gerakan yang begitu perlahan hingga nyaris tak terasa, Tobio menggeser pinggulnya, berpura-pura memperbaiki posisi tidurnya. Gadis itu pun terkesiap begitu vaginanya yang masih dibalut celana pendek dan dalaman bergesekan dengan paha kekasihnya.
Gerakannya mungkin tampak polos, tetapi ada sesuatu di baliknya—sebuah godaan halus yang menyala redup dalam cahaya kamar yang remang-remang. Hajime mendesah pelan, matanya menyipit menatap Tobio, seakan mencoba membaca pikiran gadis itu. Akan tetapi, Tobio hanya bersandar manja di dadanya, memejamkan mata seolah tidak ada niatan apa pun, menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.
Ketika ia merasa Hajime sama sekali tidak curiga, Tobio kembali menggerakan pinggulnya. Mengejar friksi kenikmatan tiap kali kemaluannya bergesekan dengan permukaan kasar celana denim yang dikenakan Hajime. Bintang-bintang kecil seolah meledak di balik kelopaknya yang terkatup rapat, dan kelembapan mulai datang di area sensitifnya.
“Bi, stop.”
“Nghh.”
“Bi, Bio, sayang. Stop.” Telapak besar milik Hajime bertengger di pinggangnya, menahan pergerakannya. Gadis itu menghela napas pelan, lalu mendongak, menatap pria itu dari balik bulu matanya yang lentik. “Kenapa, Kak?” tanyanya, suaranya terdengar seperti bisikan yang manja.
“Jangan, Bi.” jawab Hajime, sudut bibirnya melengkung nakal. “Kakek lu di sorga nonton.”
Tobio mendengus frustrasi, bibirnya mengerucut sebal, lalu dengan gerakan kecil penuh protes, ia menepuk perut Hajime yang kini sibuk tergelak, tawanya yang besar menggema di kamarnya. Mata pria menyipit, berubah menjadi dua bulan sabit yang memancarkan kehangatan, sementara bahunya berguncang karena tawa. Melihatnya, Tobio tak bisa menahan senyuman yang perlahan menyelinap ke wajahnya. Ada sesuatu yang mengembang di dadanya, sebuah rasa yang amat familiar—bahagia, hangat, dan penuh cinta. Rasanya seperti ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menggelitik setiap sudutnya.
Tanpa berkata apa-apa, Tobio bangkit perlahan. Tubuhnya meninggalkan kehangatan pelukan Hajime hanya untuk menduduki pria itu dengan pahanya yang kini melingkari pinggul kekasihnya. Posisi mereka berubah, dan kini Hajime terbaring di bawahnya, kedua manik gelapnya menatap Tobio dengan penuh rasa ingin tahu. Jemari Tobio yang lentik mulai bergerak, menari-nari di atas dada Hajime yang masih dibalut pakaian. Sentuhannya seringan kapas, hampir seperti angin sepoi-sepoi yang bermain di atas permukaan air, namun, cukup untuk membuat Hajime menahan napas sejenak. “Kakak, ayo.” katanya.
Hajime menaikkan sebelah alisnya, matanya mengerling dengan usil sementara bibirnya mengulas sebuah seringaian. “Ayo apa?”
“Ayo, ini.” Tobio, entah dengan keberanian dari mana, memutar pinggulnya tepat di atas gundukan nafsu Hajime yang masih dibalut celana. Gadis itu bisa merasakan kejantanan milik kekasihnya yang keras dan kaku menggesek bibir vaginanya, membuatnya melenguh pelan.
Hajime menggeram, ia mencengkeram pinggang Tobio dengan erat. “Tadi katanya sakit?”
“Yes, I am. Please, Kakak, cure me from the inside.”
Tobio merengek manja begitu kenikmatan merayap naik dari area intimnya hingga ke sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal, terputus-putus, seolah ada sesuatu yang tak terlihat menyumbat tenggorokannya, membuatnya menelan dengan susah payah. Dengan gemetar, ia menurunkan pandangannya ke bawah, memandangi Hajime yang kini fokus menggesekkan kepala penisnya di atas permukaan celana dalamnya. Cairan pra-ejakulasi yang terus keluar dari lubang kencingnya mengotori kain berwarna merah muda yang kini berubah tembus pandang.
“Anjing, nggh.” Hajime melemparkan kepalanya ke balakang, matanya terpaku pada langit-langit kamar, memandangi bayangan lampu—berpikir bahwa ia sedang melakukan sebuah perbuatan dosa tapi rasanya seperti mencicipi surga. “A-anjing, aahh.”
“K-kakak, ngghh.”
Hajime mengarahkan kepala penisnya tepat di atas klitoris Tobio yang mencuat dari balik celana dalamnya. Gadis itu sontak mengerang kencang hingga kakinya yang menggenjang. Pria itu mengerutkan keningnya, berusaha sekeras yang ia mampu untuk tidak melesakkan keseluruhan kejantannya ke dalam lubang kekasihnya yang basah dan hangat. Jemarinya yang menganggur turun untuk menyentuh lubang Tobio, ia bisa merasakan pusat tubuh gadis itu berkedut di bawah sentuhannya. “A-aah, Kakak!” Tobio terus mendesah, suaranya yang keluar dengan manja bagaikan bensin yang disiram tepat di atas api nafsu Hajime.
Pria itu menggeser dalaman yang dikenakan oleh kekasihnya ke samping, memperlihatkan bibir vaginanya yang kemerahan dan dicukur bersih. Hajime menggeram rendah, nafsunya mencapai ubun-ubun begitu lubang Tobio yang basah tepat berada di depan kepala penisnya. “Bi, cantik banget kamu di bawah sini. Memekmu ini—”
“Kakak! Jangan ngomong begitu, malu!” Tobio memekik, wajahnya bersemu merah layaknya kepiting rebus dan Hajime tergelak pelan dibuatnya. Ia pun kembali mengarahkan kepala penisnya tepat di atas titik sensitif Tobio yang mencuat, memutari benda sebesar kacang polong itu, dan memandikannya dengan cairan pra-ejakulasinya. Kontak langsung antara kulit yang telanjang mengirimkan friksi kenikmatan yang membuat tubuh keduanya meremang. “Anjing, fuck, aahh. Bi, enak banget kamu padahal aku gak masukin.”
Tobio terus mendesah dengan kenes, ia melingkarkan pahanya di pinggul Hajime, mengunci pria itu di antara kakinya. Tangan Hajime yang menganggur naik menyusuri perut telanjangnya kemudian bermain di atas dada Tobio yang putingnya mencuat di udara, seolah memohon untuk diberikan perhatian. Gadis itu mengerang begitu putingnya dibalut kehangatan mulut Hajime, lidah kekasihnya itu menari-nari di atasnya, memutari permukaannya yang sensitif, sementara giginya sesekali memberikan gigitan kecil yang meledakan bintang di balik kelopak mata Tobio.
“Aaah! Kak Iwa, nghh, Hajime …”
Mendengar namanya disebut dengan begitu manisnya oleh kekasihnya, Hajime menggeram. Gerakannya makin serampangan menggesekan kepala penisnya di area sensitif Tobio. Ia melepaskan kulumannya di puncak dada gadis itu guna melihat kejantanannya tenggelam di antara bibi vagina Tobio yang gemuk dan memerah. “Anjing, Bi, aku masukin, ya? Just the tip? Ujungnya aja, please?” Hajime merasa bahwa akal sehatnya sudah terlempar keluar dari jendela dan pergi entah kemana. Ia menatap Tobio dengan pandangan memelas, kepalanya dipenuhi kabut nafsu.
Tobio menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Keraguan terpancar dari bola matanya yang mengkilap layaknya cermin. Namun, gadis itu tetap mengangguk. “O-oke. Tapi, jangan dimasukin semua, ya, Kak?”
“Iya, sayang.” Hajime menurunkan wajahnya untuk memberikan kecupan ringan di atas belah bibir Tobio. Tangannya terus bergerak menggesekkan kemaluan keduanya dengan gerakan serampangan, jarinya yang menganggur memutari klitoris Tobio sambil sesekali menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya. Kemudian, tanpa aba-aba dan peringatan, ia memasukkan kepala penisnya ke dalam lubang hangat Tobio yang basah berkedut hebat.
Tobio dan Hajime melenguh panjang begitu kenikmatan memenuhi tiap indra mereka. Hajime menggerakan pinggulnya dengan cepat namun tetap hati-hati, pandangannya seolah kabur ditutupi nafsu begitu melihat bagaimana kepala penisnya keluar-masuk di lubang Tobio yang menganga dan terus mengeluarkan cairan cinta.
“Kakak! Aaaah!” Desahan Tobio makin santer terdengar begitu puncak kenikmatan gadis itu datang dengan tiba-tiba. Tubuhnya menggelinjang di atas ranjang begitu orgasmenya terus bergulung tiada henti bagaikan ombak di tepi pantai.
Di sisi lain, Hajime menggeram dan mendesah karena penisnya dijepit oleh dinding vagina Tobio yang berkedut hebat pasca pelepasan. Tangannya terus mengurut batangnya yang tidak berada di dalam Tobio, mengejar putihnya sendiri. Lalu, klimaksnya datang tak lama setelah gadis itu. “Nggh, anjing!” Ia menggigit bibir bawahnya guna menahan kalimat sumpah serapah yang siap meluncur saat maninya meluncur keluar dan melukiskan labia Tobio dengan putih.
“Nggh, Kak … mhhm.” Tobio melenguh panjang ketika jemari Hajime membawa cairan maninya ke klitorisnya yang sensitif. Gadis itu mengerling nakal ke arah kekasihnya, bibirnya mengulas senyuman manis. “Thank you for curing me, now I’m healed.”