Osamu tidak pernah bertemu dengan orang yang lebih bodoh daripada Keiji. Mengapa seseorang berpikir bahwa mengambil tindakan balas dendam atas nama ibu yang sudah lama tiada dilahap liang lahat adalah hal yang masuk akal? Osamu mendengus memikirkan betapa konyolnya ide itu, seakan diambil langsung dari alur film Hollywood yang dramatis namun tidak realistis. Osamu mendengus saat mengingat pengakuan penuh Keiji yang penuh air mata. Sudah seminggu sejak pertengkaran sengit mereka, tetapi kebodohan dari dendam kekanak-kanakan Keiji masih mengganggunya, yang membuat Osamu semakin tidak habis pikir adalah kenyataan bahwa Keiji terus mencoba menghubunginya, seolah-olah masih ada yang bisa diselamatkan di antara. hubungan kandas keduanya.
Bahkan sekarang, di akhir jam kerja saat restoran sudah ditutup, Keiji berdiri di depan restoran setelah seluruh pelanggan dan karyawan Osamu telah pergi pulang. Sosoknya terlihat rapuh, mata Keiji merah dan bengkak, bekas tangisan masih jelas di wajahnya yang penuh dengan penyesalan serta rasa sakit. Ada aura keputusasaan di sekitarnya, seakan-akan setiap bagian dari tubuhnya berteriak minta tolong, dari tangan yang bergetar hingga tatapan penuh harap yang tidak pernah meninggalkan wajah Osamu. Keiji terlihat begitu kecil, begitu tak berdaya, begitu menyedihkan.
“Osamu, tolong, kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya lagi,” suara Keiji terdengar parau saat ia berbicara, penuh dengan emosi yang menekan pita suaranya. “Aku … Aku gak mau ini berakhir. Aku gak mau kita berakhir.” Kata-katanya keluar seperti permohonan, putus asa layaknya seorang terdakwa memohon di hadapan hakim, atau seseorang yang berdiri di tepi jurang, berharap untuk ditarik kembali sebelum tubuhnya benar-benar hancur karena terjatuh.
Kepalan tangan Osamu mengeras di sisi tubuhnya saat ia menatap Keiji dengan tatapan dingin dan tanpa belas kasih. Ia tidak punya sisa simpati yang bisa diberikan. Pemandangan Keiji yang begitu menyedihkan hanya menambah bensin pada api amarah yang masih membara di dalam dirinya. “Keiji, aku sudah bilang, aku gak mau melihatmu lagi. Apa kamu benar-benar sebodoh itu sampai gak ngerti kata-kata sederhana? Gak ngerti bahasa manusia?”
Penghinaan itu mengenai Keiji dengan telak, terlihat dari cara posturnya yang semakin runtuh. Bahunya merosot, dan bibirnya bergetar saat air mata menggenang di matanya, hampir tumpah. “Aku tahu aku salah,” katanya dengan bergetar, “Aku tahu alasanku itu konyol buatmu, tapi—”
“Gak ada tapi.” Osamu memotongnya dengan tajam, suaranya tak kenal kompromi. “Kita sudah selesai. Kamu paham gak, sih? Selesai.”
Napas Keiji terhenti sejenak. Suaranya semakin kecil, hampir tak terdengar. “Aku sudah lama berhenti gunain kamu buat rencanaku. Pas aku sadar aku punya perasaan ke kamu—”
“Aku gak mau dengar itu lagi.” Osamu menyela, tatapannya semakin mengeras. Semua alasan, semua penjelasan—terdengar kosong baginya, upaya menyedihkan untuk memperbaiki sesuatu yang telah hancur tanpa bisa diperbaiki lagi.
“Osamu, please.” suara Keiji mulai goyah, keputusasaan semakin terlukis jelas di wajahnya. “Aku pikir kamu cinta sama aku. Aku benar-benar pikir—”
“Yah, itu bukan salahku, ‘kan?” Kata-kata Osamu seperti pukulan terakhir yang kejam. “Kamu yang milih buat percaya sama omonganku.”
Kesunyian yang mengikuti terasa begitu berat. Keiji berdiri di sana, benar-benar hancur, harapan terakhirnya berantakan di sekitarnya. Ia telah mempertaruhkan segalanya pada momen ini, pada kesempatan bahwa Osamu mungkin akan memaafkannya, mungkin masih mencintainya. Tapi saat kata-kata dingin Osamu meluncur keluar dan membuat hatinya kembali hancur, ia menyadari betapa bodohnya dirinya.
Osamu tidak menunggu jawaban. Pria itu berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Keiji berdiri sendirian dalam dinginnya malam, di bawah lampu jalan yang redup, hanya ditemani dengan rasa penyesalan dan hati yang hancur berkeping-keping untuk kesekian kalinya.
Osamu bermimpi tentang Rin lagi.
Tapi kali ini, mimpinya terasa hampir seperti kenangan manis yang samar, seolah cinta yang dulu pernah mengisi kekosongan di hatinya kembali hadir. Di dalam mimpinya, Rin duduk di dapur apartemennya, tempat mereka biasanya menghabiskan waktu bersama. Senyumannya begitu cerah hingga rasanya menyakitkan untuk dilihat, jenis senyuman yang dulu membuat dunia Osamu terasa lebih menyenangkan, lebih mudah dijalani, hanya karena keberadaannya. Mata Rin, penuh kehidupan, berkerut di sudutnya, seperti ketika ia tertawa atau menemukan sesuatu yang lucu dan menggemaskan. Tidak ada jejak kesedihan yang biasanya menghantui sepasang matanya, tidak ada tanda-tanda luka yang Osamu torehkan di dalamnya.
Rin mengenakan sweater favorit Osamu, yang sering ia curi dari dalam lemari setiap kali menginap. Sweater itu terlihat longgar di tubuhnya, lengannya terlalu panjang, menutupi tangan Rin sepenuhnya. Napas Osamu tersendat melihatnya. Pemandangan di hadapannya layaknya secuil masa lalu yang sudah ia coba lupakan tapi tak pernah bisa benar-benar hilang. Masa lalu di mana mereka masih bahagia, di mana cinta masih menyelimuti mereka seperti pelindung yang tidak bisa ditembus.
Di dalam mimpinya, Rin tidak menangis. Ia tidak menatap Osamu dengan tatapan tajam yang penuh dengan luka, penuh dengan pengkhianatan. Ia tidak tampak seperti seseorang yang telah hancur, seseorang yang hatinya telah pecah berkeping-keping hingga tidak bisa disatukan lagi. Sebaliknya, Rin hanya tersenyum, lembut dan tenang, seolah semua di antara mereka tidak pernah ada yang salah, seolah cinta mereka masih utuh, tidak tersentuh oleh kesalahan-kesalahan Osamu.
“Osamu,” Suara Rin terdengar, mengalun lembut di dalam mimpinya, namun terasa seolah tidak keluar dari mulutnya. Suaranya bergema di kepala Osamu, bergetar seperti kenangan yang samar nan jauh, memudar tapi tetap begitu jelas. “Are you happy without me?”
Pertanyaan itu menghantam Osamu seperti pukulan telak. Sederhana, tapi menghancurkan. Kata-kata Rin terdengar tenang, tetapi ada ketajaman di baliknya, sebuah pertanyaan yang tidak bisa diabaikan oleh Osamu.
“You should be,” Rin melanjutkan, melangkah lebih dekat, senyuman yang terpatri di wajahnya sedikit goyah. Matanya masih memancarkan kehangatan, tapi kata-katanya terasa seperti belati yang menusuk lebih dalam dari pertengkaran mana pun yang pernah mereka alami. “You’re the one who threw us away.”
Dada Osamu terasa sesak ketika kata-kata Rin semakin bergema, memantul-mantul di dalam kepalanya seperti vonis yang tak bisa dihindari. Osamu ingin mengatakan sesuatu, menyangkal, memohon pengampunan, tapi mulutnya tetap bungkam. Tenggorokannya terasa tercekik, tak ada suara yang keluar. Rin benar, bukan? Dialah yang menghancurkan segalanya, yang mengambil cinta mereka dan memecahkannya, sepotong demi sepotong, hingga tak tersisa apa-apa selain penyesalan.
Rin menatapnya sekali lagi, senyumnya kini berubah menjadi getir, dibalut kesedihan yang sebelumnya coba ia sembunyikan. Lalu, tanpa sepatah kata apa pun, Rin berbalik pergi, sosoknya perlahan memudar meninggalkan Osamu sendirian dalam sisa-sisa mimpinya.
Ketika Osamu terbangun, matahari mulai menyusup melalui tirai, mewarnai kamarnya dengan nuansa abu-abu yang redup. Wajahnya basah, pipinya terdapat bekas air mata yang sudah mengering, bukti bahwa ia telah menangis dalam tidurnya. Dadanya terasa berat dengan rasa sakit yang familiar, dan nama Rin terus menggema di kepalanya, berulang-ulang seperti hukuman yang kejam.
Osamu berbaring di atas ranjangnya seraya menatap langit-langit kamar, berusaha mencari jawaban di antara bayang-bayang lampu. Cuma mimpi, ia berkata pada dirinya sendiri, tapi rasanya lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia rasakan saat terjaga. Rin memang telah pergi, tapi bayangannya tetap tinggal, menghantui setiap sudut pikirannya, sebagai pengingat abadi akan kebahagiaan yang pernah ia buang.
“Maksudnya? Kok bisa?” Suara Osamu terdengar tegas, hampir memotong udara dengan ketegangan. Hari masih pagi, matahari bahkan masih mengintip malu-malu dari balik awan, tapi kepalanya sudah terasa akan meledak. Onigiri Miya sudah tutup selama seminggu karena Osamu tidak bisa fokus bekerja, dan hari ini, ketika ia akhirnya merasa sedikit siap untuk kembali bekerja, bencana sudah menunggunya di tempat kerja.
Salah satu karyawannya, pria yang seumuran dengan Osamu, maju dengan tatapan penuh ketakutan. “B-bos,” dia menelan air liurnya dengan gugup. “Minggu lalu, di shift terakhir sebelum libur—kami lupa, um, kami lupa nyalain freezer, jadi semua daging—ikan dan ayam, semuanya— rusak karena dibiarin terlalu lama di suhu ruangan.”
Osamu merasakan darahnya mendidih, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia ingin menghajar pria itu, ingin meluapkan amarah yang sudah memenuhi dadanya, tapi ia berusaha menahan diri. “Kenapa freezer bisa mati? Seharusnya ‘kan freezer selalu nyala.”
Karyawannya semakin gelisah, menghindari tatapan Osamu. “S-sebelumnya, ada pemadaman listrik, Bos. Dan generator kita rusak, dan kita gak sadar kalau freezer-nya gak bisa nyala otomatis waktu listrik kembali.”
Osamu mengerutkan alisnya, rasa frustrasi semakin memuncak. “Kenapa saya gak tahu kalau generator kita rusak?” bentaknya.
Karyawan lain maju perlahan, dengan suara yang terdengar ragu-ragu. “Kami—kami sudah bilang, Bos. Minggu lalu. Tapi Bos bilang mau ngecek dulu nanti.”
“Saya bilang begitu?” Osamu berusaha mengingat, tapi pikirannya dipenuhi oleh kekacauan yang lebih besar dari sekadar urusan freezer. Semuanya buram di kepalanya, seperti dipenuhi oleh masalah-masalah lain yang terus menghantui. Dia menarik napas panjang, berusaha keras mengingat, tapi yang ada di pikirannya hanyalah Keiji dan rencana balas dendamnya yang gila. Pikirannya langsung kembali pada Keiji—pada rentetan masalah yang dibawanya, dan tentu saja, Rin. Rin yang selalu datang dalam mimpinya setiap malam, seperti hukuman yang tak berkesudahan.
Osamu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. Dia tidak menyadari betapa terganggunya dia sampai semuanya terasa begitu salah. Keiji dan rencana balas dendamnya, kisah masa lalu yang seharusnya sudah dilupakan, tetapi malah terus menghantui hidupnya. Dan Rin, nama yang terus menerus mengusik pikirannya, membuatnya sulit tidur, membuatnya lebih sulit untuk fokus pada hal-hal yang nyata—seperti mengurus restorannya sendiri.
Sekarang, kesalahan-kesalahan itu kembali menghantamnya. Daging yang rusak di restoran bukan hanya soal biaya yang hilang, tapi juga soal reputasi. Sebagai pemilik restoran, Osamu tahu betul bahwa mempertahankan kualitas bahan baku adalah hal yang paling penting, terutama untuk bahan-bahan yang mudah rusak seperti daging, ikan, dan ayam. Bukan hanya soal peraturan kesehatan, tapi juga soal kepercayaan pelanggan. Satu kesalahan seperti ini bisa menghancurkan kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Osamu merasa bersalah, terlalu sibuk dengan masalah pribadinya hingga mengabaikan bisnis yang selalu menjadi kebanggaannya. Ia bahkan tidak tahu kalau generator, yang seharusnya menjaga operasional tetap berjalan, rusak.
Dengan berat hati, Osamu menghela napas panjang. “Panggil orang buat cek generatornya.” perintahnya dengan nada datar, amarah yang tadi hampir meledak kini terkubur dalam kelelahan. “Dan periksa semua bahan baku yang lainnya. Saya gak mau ada masalah lagi yang baru ketahuan nanti.”
Para karyawannya mengangguk cepat, langsung bergerak untuk menjalankan perintahnya. Akan tetapi, Osamu hampir tidak memperhatikan mereka di sepanjang hari hingga tanda tutup kembali menggantung di pintu masuk Onigiri Miya. Pikirannya kembali melayang pada Keiji, pada Rin, dan pada benang kusut emosi yang terus-menerus menghantui dirinya selama berminggu-minggu terakhir.
Osamu menatap layar ponselnya dengan kening yang semakin berkerut. Matanya perih karena sorotan cahaya biru dari layar ponsel yang menyala, dan ruang obrolannya dengan Atsumu seolah melotot balik ke arahnya, menunjukkan pesan-pesan yang tak terjawab. Sudah dua minggu Osamu mencoba menghubungi Atsumu, namun semua upayanya dibalaskan oleh sunyi. Hampir setahun berlalu sejak pertengkaran hebat mereka di hari ulang tahun, dan hubungan keduanya semakin memburuk, seperti tanaman yang layu karena dibiarkan terlalu lama tanpa disiram. Atsumu sudah berhenti mengajaknya untuk bertemu, berhenti datang ke rumah Osamu tanpa pemberitahuan seperti dulu. Panggilan teleponnya, yang dulu selalu meramaikan ponsel Osamu, kini berubah menjadi jarang. Mereka hampir tidak pernah bertemu lagi—mungkin dua kali sebulan, itu pun kalau Atsumu sedang baik hati.
Tapi kali ini berbeda. Pesan-pesan Osamu yang dikirimkan Osamu dibiarkan tanpa balasan selama dua minggu. Padahal, Osamu tahu, Atsumu selalu berada di ponselnya. Atsumu sering memperbarui Instagram, terus menerus berceloteh di Twitter, seolah hidupnya berjalan seperti biasa, tanpa sedikit pun peduli pada Osamu. Kesunyian yang terjadi bukanlah kebetulan—melainkan sebuah keputusan yang sengaja diambil oleh Atsumu untuk mengabaikannya.
Laba-laba telah menjalin jaringnya di antara ruang obrolan mereka, debu pun mengumpul di atas kata-kata yang tak pernah dibaca. Ponselnya terasa semakin berat di tangan, seakan berkarat karena terlalu lama diabaikan, tak digunakan. Hati Osamu terasa kosong, seperti ada lubang yang terus-menerus menggerogotinya dari dalam, meninggalkan kehampaan yang tidak bisa diisi. Rin sudah pergi, lukanya masih segar dan nyeri, masih berdarah dalam setiap keheningan malam. Dan kini Atsumu, saudaranya, satu-satunya orang yang dia kira akan selalu ada, mulai menghilang perlahan, lenyap dari genggamannya, tanpa pernah menoleh ke belakang.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Osamu benar-benar merasa sendirian. Sepenuhnya, seutuhnya, sendirian. Setiap ikatan yang dulu ia anggap pasti kini terasa terurai, tercerai-berai hingga tak ada lagi yang bisa ia genggam. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban kenapa semua ini terjadi, kenapa semua orang meninggalkannya, tapi yang keluar hanyalah keheningan yang pahit dan mencekik.
Keiji berhenti menghubunginya. Atsumu masih tidak membalas tiap pesan yang ia kirimkan. Ibunya tidak pernah lagi menelepon. Dan Osamu terlalu takut untuk membuka ruang obrolan baru dengan Rin.
Osamu menghabiskan waktunya tenggelam dalam kubangan kesendirian.
Osamu bertemu dengan seorang wanita di aplikasi kencan. Awal pertemuan mereka bukanlah sesuatu yang istimewa—hanya percakapan singkat tanpa makna. Baginya, wanita tersebut hanyalah seseorang untuk mengisi waktu, seseorang yang mungkin bisa membantunya melarikan diri dari beban berat yang selama ini mengusik kepalanya. Keduanya pun setuju untuk bertemu, dan Osamu berpikir semuanya akan sederhana: minum sedikit, basa-basi sebentar, lalu masuk ke kamar hotel untuk meredakan stres yang telah menggerogotinya selama berbulan-bulan.
Malam itu berjalan persis seperti yang Osamu bayangkan. Ruangan hotel remang-remang, dan tubuh mereka segera terjerat dalam sprei. Wanita itu berisik, suaranya memekakkan telinga dengan desahan yang terdengar dilebih-lebihkan. Kehadirannya terasa mengganggu, kata-katanya dangkal dan tidak tulus, tapi Osamu tak peduli. Setidaknya tubuh wanita itu menawarkan sedikit kenyamanan sementara. Kulitnya hangat, dan dinding kelaminnya yang basah melingkupi milik Osamu dengan nikmat.
Begitu selesai, Osamu langsung tertidur tanpa memedulikan apa pun. Dia tidak memberi wanita itu perhatian lebih, tidak ada ucapan terima kasih, maupun ada gestur lembut. Ia bahkan tidak ingat apakah wanita itu bermalam bersamanya atau tidak. Baginya, teman kencannya itu tidak penting.
Namun saat pagi tiba, Osamu terbangun dengan perasaan cemas. Ia meraih dompetnya dengan mata setengah terbuka, dan menemukan kartu ATM-nya telah lenyap. Rasa panik langsung menyelubungi dirinya saat ia terbangun sepenuhnya, tangannya bergetar saat mengambil ponsel, dengan jantung berdebar, ia langsung menghubungi pihak bank, memohon agar kartunya diblokir. Tapi sayangnya, semuanya sudah terlambat.
“Kartu Anda sudah kami blokir. Tapi, maaf, Pak, sudah ada penarikan dengan jumlah yang lumayan besar dari rekening Anda,” kata seseorang dari pihak bank, suaranya datar dan tanpa emosi, seolah kejadian seperti ini sudah sering terjadi. “Kami tidak bisa menjamin bahwa uang Anda akan kembali. Anda harus segera membuat laporan polisi.”
Osamu mengutuk dirinya sendiri, rasa marah dan frustrasi menyelimuti dadanya. Ia pun pergi ke meja resepsionis hotel, menjelaskan keadaannya lalu meminta rekaman CCTV, berharap ada secercah harapan untuk menemukan wanita yang telah mencuri uangnya. Akan tetapi, semuanya seolah sia-sia. Hotel penuh dengan tamu, dan wanita itu dengan mudah menghilang di keramaian, wajahnya tertutup oleh tudung hoodie dan masker.
“Gak kelihatan jelas ini, Pak,” kata manajer hotel sambil memutar rekaman di komputernya. “Maaf, tapi dia cukup hati-hati. Gak ada yang jelas di rekaman. Kami gak bisa membantu lebih dari ini, Pak.”
Osamu merasakan kemarahan membara di tenggorokannya, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Ia mengepalkan tinjunya, tangannya gemetar, lalu pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan, meskipun ia tahu di dalam hatinya bahwa itu mungkin tak akan mengubah apa pun.
Di kantor polisi, petugas yang duduk di belakang meja bahkan tidak mengangkat pandangannya ketika Osamu menjelaskan situasinya.
“Jadi, ada perempuan mencuri kartu Anda, dan Anda baru sadar pagi ini?” Suara petugas terdengar bosan, seolah ini hanya satu dari ribuan kasus yang mengisi hari-harinya.
“Ya,” jawab Osamu, suaranya serak karena kelelahan. “Saya gak sadar sampai saya bangun.”
“Oke, kalau begitu. Kami akan tindak lanjuti laporannya, tapi kemungkinan ketemunya kecil. Susah, Pak, melacak kasus seperti ini tanpa identitas yang jelas, dan sepertinya perempuan ini menutupi dirinya dengan baik.”
Osamu meninggalkan kantor polisi dengan perasaan lebih hancur daripada saat dia datang. Dia telah kehilangan banyak hal—keluarganya, teman-temannya, kekasihnya, sekarang bahkan sejumlah uangnya pun ikut lenyap. Hidupnya hancur di depan matanya, setiap bagian runtuh tak peduli seberapa keras ia mencoba mempertahankannya.
Saat ia berjalan kembali ke apartemennya, satu-satunya pikiran yang terus terngiang di kepalanya adalah Rin. Pelukan hangat Rin, senyuman Rin, suara Rin. Tapi Rin juga sudah pergi. Dan itu, lebih dari segalanya, adalah luka terdalam yang mungkin tidak akan pernah sembuh.
Osamu berdiri di balkon apartemennya, merasakan dinginnya udara malam yang menusuk kulitnya, tapi di dalam, ia hanya merasakan kehampaan. Sepuntung rokok terjepit di antara bibirnya, asapnya mengepul pelan ke udara, menghilang dalam kegelapan seperti semua hal lain dalam hidupnya akhir-akhir ini. Tanpa ia sadari, jemarinya bergerak sendiri, meraih ponsel di sakunya. Jari-jarinya mencari nama Rin secara otomatis—sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama lebih dari setahun. Ruang obrolan keduanya yang lama tak tersentuh layaknya sebuah peninggalan artefak dari kehidupan lain, dipenuhi kenangan yang sudah ia kubur dalam-dalam namun tidak pernah benar-benar bisa ia lupakan.
Sebelum ia bisa menghentikan dirinya, Osamu menekan tombol panggil. Ia sendiri tidak tahu apa yang diharapkan—mungkin Rin tidak akan menjawab, kemungkinan besar ia akan langsung menutup telepon. Tapi deringnya terus berlanjut, dan setiap detik yang berlalu, secercah harapan kecil mulai menyala di dadanya, sesuatu yang ia pikir sudah lama padam. Suara dering telepon terus bergema, seperti detak waktu yang menghitung mundur ke arah sesuatu yang Osamu dambakan.
Lalu, panggilan itu terhubung.
“Rin—” Suara Osamu pecah, penuh dengan rasa putus asa yang tidak ia rencanakan untuk tunjukkan. Namun, ia juga bisa merasakan harapan di tiap suku katanya.
Tapi, yang menyapanya bukanlah suara yang akrab dan menenangkan yang selama ini ia rindukan. Sebaliknya, yang terdengar malah suara asing, seseorang yang tidak ia kenal, seseorang yang tidak pernah ada di dunia yang dulu ia bagi bersama Rin.
“Siapa ini?” Suara itu bertanya, terdengar santai tapi kental akan rasa ingin tahu. Suara itu asing, jauh, tapi entah bagaimana terasa intim, seolah-olah orang ini telah mengambil tempat Osamu tanpa ia sadari.
Jantung Osamu dicengkeram hingga berdarah. “Ini … siapa?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan, rasa takut sudah menggerogoti kata-katanya. “Di mana Rin?”
Jawaban yang datang seperti pukulan telak, cepat dan tak terelakan. “Rin lagi di kamar mandi,” jawab pria itu, berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Saya pacarnya. Ini saya lagi bicara sama siapa, ya?”
Dunia terasa seolah berhenti berputar sejenak. Tanah di bawah kaki Osamu seakan runtuh, seperti balkon tempat ia berdiri tiba-tiba berada bermil-mil di atas bumi, membuatnya tergantung di ruang kosong yang menyedihkan. Jantungnya berdebar kencang, tapi tidak ada suara, tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan.
Pacar.
Kata itu bergema di pikirannya, tajam dan kejam, lebih keras daripada suara pria itu. Osamu menggenggam ponselnya lebih erat saat kenyataan itu mulai menyusup. Rin sudah melangkah maju. Ada orang lain sekarang—seseorang yang memanggilnya “pacar,” seseorang yang mungkin sedang menunggu Rin keluar dari kamar mandi untuk melanjutkan malam mereka, hidup mereka.
Osamu tidak bisa merespons, tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa tercekat, sakit di dadanya tak tertahankan. Tanpa berkata apa-apa, tanpa berpikir lagi, dia mematikan panggilan.
Kesunyian yang mengikuti begitu menyiksa. Rokoknya sudah habis terbakar hingga ke filter, apinya padam seperti harapan rapuh yang selama setahun ini ia pegang erat-erat. Rin sudah pergi, dan kali ini, tidak ada jalan kembali.
His life was falling apart under the weight of karma from his sins. He found karma and it was cruel, harsh, and unforgiving.