false god

deera
12 min readSep 22, 2024

--

♫ You might want to listen to :

• False God – Taylor Swift

• God Must Hate Me – Catie Turner

• Big God – Florence + The Machine

• Sun Bleached Flies – Ethel Cain

• God’s Country – Ethel Cain

We might just get away with it

Religion’s in your lips

Even if it’s a false god

We’d still worship this love

TW // self harm

Sudah hampir setahun Kiyoomi menjalin hubungan dengan Atsumu tanpa satu jiwa pun mengetahui tentang mereka (kecuali Osamu dan Suna, for the love of God, Atsumu sama sekali tidak bisa menyimpan rahasia dari kembarannya, dan Osamu tidak bisa menyimpan rahasia dari pacarnya). Sudah hampir satu tahun juga Kiyoomi rasanya berdiri di ambang kematian. Dia takut semuanya akan terbongkar, dia takut hubungannya akan menyentuh radar keluarganya. Dia takut akan dirinya sendiri, takut kalau sebenarnya ia benar-benar menginginkan hal ini.

Rasa ketakutannya terbendung di dalam dirinya, hingga satu malam ia jatuh dan hancur. Kiyoomi menyakiti dirinya sendiri. Dia terduduk di lantai kamar mandi dengan sebilah silet di sampingnya, warna merah pekat mengalir dari lengannya dan jatuh menetes ke lantai. Beberapa luka goresan kecil, karena Kiyoomi terlalu pengecut untuk menggores lebih banyak, terlalu pengecut untuk menekan lebih dalam. Karena dia tidak benar-benar ingin mati, dia ingin hidup. Tapi bukan seperti ini. Kemudian ia kembali melantunkan doa, memohon ampun karena sudah berani-beraninya menyakiti tubuh yang bukan ciptaannya.

Saat Atsumu tahu tentang kondisinya, ia menangis kencang dengan Kiyoomi dalam pelukannya. Dia merengkuh Kiyoomi sampai matahari terbit, dan Kiyoomi tidak pernah merasa lebih hidup. Sepanjang malam, Atsumu mengecupi luka di lengannya. Dia menggambar bintang-bintang di atas luka Kiyoomi, namun setiap garis yang ia buat membawa darahnya sendiri.

Kiyoomi thought to himself, if it’s a sin, then why does it taste so sweet? And he knows heaven is a thing, he goes there when Atsumu touches him.

“Sayang, rambut kamu udah panjang.”

Kiyoomi melirik ke arah Atsumu yang tengah sibuk menyisiri rambutnya dengan jemarinya yang kasar. Menyalakan ponsel dan membuka aplikasi kamera, Kiyoomi melihat pantulan dirinya sendiri. Rambut ikalnya memang sudah menyentuh tengkuknya. “Hm, nanti aku potong.”

“Aku aja yang potongin. Mau, gak?”

Kiyoomi mendelik tajam. “Gak. Pakai nanya.”

“Jahatnya …” Atsumu merengek manja, lalu memeluk Kiyoomi dari belakang. Lengannya melingkar di pinggang Kiyoomi sementar dagunya tertopang di bahunya. “I just want to spoil my baby, my sweetheart, my –”

“Geli, anying. Alay. Eweuh kaera.”

(Geli, anjing. Alay. Gak tau malu).

Kalimat ejekan tersebut bukan berasal dari Kiyoomi, melainkan dari suara lain yang terdengar amat familiar. Suara yang telah menemani keseluruhan hidup Atsumu. Osamu duduk di atas sofa sambil melempar pandangan geli ke arah Atsumu, di sampingnya, Suna sibuk mengepulkan asap dari rokok yang terhimpit di antara jarinya. Saat ini, mereka berempat tengah berada di apartemen sewaan milik Suna. Kiyoomi tidak terlalu mengenal Osamu dan Suna, tapi Atsumu memaksanya untuk datang. Katanya, family bonding. (Memangnya mereka keluarga?).

“Gaya pacaran maneh kayak anak SMP.” cibir Osamu.

Atsumu melepaskan pelukannya. “Lu jangan bikin emosi, ya.” sungutnya sambil menunjuk ke arah Osamu. “Rin, pacar lu nih kelakuannya kayak anak ngentot.”

Eleuh, Rin, tingali si Tsumu udah Ibu kota banget, euy. Pakai elu-gue sekarang beliau.” Osamu terbahak kencang, dengan main-main ia menendang kaki Atsumu yang selonjoran di atas lantai berlapis karpet. “Jiga nu he-eh we si kehed. Bedegong.”

(Liat, Rin, si Tsumu udah Ibu kota banget).

(Kayak yang iya aja si sialan ini).

“Monyet. Lu pulang gak? Jauh-jauh ke Jakarta cuma buat ledekin gue?” sungut Atsumu. Dahinya yang berkerut menandakan rasa kesal, lantas ia menarik kaki kembarannya dengan kencang, menyebabkan Osamu jatuh terjerembab ke lantai diiringi suara pekikan. “Goblok! Goreng adat, anying. Kalakuan jiga jeleuma teu baleg!” Osamu memekik, dia melemparkan bantalan sofa ke arah Atsumu. Naasnya, lemparannya malah mengenai Kiyoomi yang tengah sibuk dengan ponselnya. Kiyoomi mengumpat saat ponselnya terbang hingga ke sisi lain ruangan akibat lemparan salah sasaran Osamu.

(Goblok! Kelakuan kamu jelek! Kayak orang gak bener).

“Heh! Menta hampura teu sia ka kabogoh aing?” Atsumu menoyor kepala kembarannya. “Minta maaf, Osamu! Cowok aing udah sia sakitin …”

(Heh! Minta maaf gak ke pacarku?).

“Atsumu, please, don’t embarrass me.” kata Kiyoomi. Ia bisa merasakan rasa malu mulai merayap dari tengkuknya, menjalar hingga ke wajahnya yang memerah. “It’s fine, Osamu.” ucapnya lalu melemparkan senyuman kecil ke arah Osamu.

“Waduh, Kiyoomi, sorry banget. Maaf.” Osamu menyatukan kedua telapak tangannya, tubuhnya sedikit membungkuk di hadapan Kiyoomi.

“Aman, Osamu.”

“Omi, kenapa kamu pemaaf banget?” Atsumu mendengus kesal. Lengannya kembali melingkar di pinggang Kiyoomi.

As forgiving as God himself.” timpal Suna diiringi kekehan kecil yang terdengar mencemooh, masih dengan rokok yang terjepit di antara kedua belah bibirnya. “Kiyoomi si anak Bapa.”

Kiyoomi ingin membungkam mulut Suna.

Kiyoomi duduk di sofa sambil memeluk kakinya, dagunya bertumpu di atas lutut, sementara pandangannya terpaku pada dua bersaudara yang sibuk berdebat tentang video game. Layar televisi besar menampilkan permainan yang sedang berlangsung, dengan dua konsol di tangan mereka masing-masing. Atsumu berteriak-teriak kesal saat karakternya kalah dari Osamu, ekspresi frustrasi jelas terlihat di wajahnya. Atsumu is such a sore loser when it comes to video game. Kiyoomi tersenyum tipis melihat tingkah konyol mereka, hatinya terasa kosong saat mengingat hubungannya dengan ketiga kakaknya tidak lebih dari saling sapa saat hari natal dan perayaan tahun baru. Di samping Kiyoomi, terdapat Suna yang asik mengunyah keripik kentang, sesekali ia ikut meledek Atsumu dan mengabadikan kekesalan laki-laki bersurai pirang itu lewat ponselnya.

“Ah, sia! Kalah mulu aing. Udah ah, males.”

“Dih? Lanjut lah.”

“Osamu, anying, kok sia jadi jago kieu?”

Perdebatan mereka berlanjut, begitu pun dengan senyuman Kiyoomi yang semakin lebar terpatri di wajahnya.

“Kocak, ya, mereka?” Suara Suna menyapa telinga Kiyoomi. Ia menoleh saat menyadari bahwa Suna berbicara dengannya. Meskipun kalimatnya tertuju pada Kiyoomi, pandangannya tak pernah lepas dari Osamu. Matanya yang biasanya memancarkan aura malas bicara tampak lembut dan penuh kasih saat objek pandangnya adalah laki-laki berambut gelap yang seringkali ditutupi topi baseball itu. Bibirnya menukik ke atas, tersenyum saat Osamu tergelak. Suna memandang Osamu seakan pria itu lah yang menggantung bulan di langit. “They’re so stupid. Both of them. Iya ‘kan, Kiyoomi?”

Kiyoomi mengangguk singkat. “Iya.”

But, do you know who’s more stupid?”

Who?”

Us. Because we fell in love with those two idiots.”

Kiyoomi mendengus. Ia meluruskan kakinya, lalu melempar pandangan kosong ke arah Suna. “Who says I’m in love with Atsumu?” Wajahnya datar tanpa ekspresi, padangannya menghunus tajam ke arah manik kehijauan milik Suna. “Mungkin gue cuma bosen aja, mungkin gue lagi gak tahu harus ngapain.”

Suna menyeringai dengan lebar. Lagi-lagi pandangan mencemooh itu, seolah Suna bisa tahu isi pikiran Kiyoomi. “You’re such a bad liar, tahu gak? Lu gak bisa ngomong begitu padahal lu ngeliatin Atsumu kayak orang baru pertama kali kasmaran.” katanya. “Lu bisa bohongin diri lu sendiri, Kiyoomi. Tapi gak orang lain.”

Kiyoomi diam kehabisa kata-kata. Ia mengalihkan pandangannya dari Suna. Kedua obisidiannya pun jatuh ke tumpukan sajadah yang berada di pojok ruangan. Terlipat rapi di atas lemari dengan Al-Quran di sampingnya. Tubuh Kiyoomi sontak mematung. “Suna, lu … sholat?” Suaranya keluar dengan pelan dan tak yakin.

“Iya, kenapa? ‘Kan gue islam, bodoh.”

“Tapi ‘kan lu –”

“Apa? Gay?”

Kiyoomi mengangguk pelan. Tubuhnya seketika kaku, darahnya berdesir dengan tidak nyaman, dan degup jantungnya terasa dua kali lipat lebih kencang. Suna percaya bahwa Tuhan ada, Suna beribadah atas nama-Nya, Suna adalah salah seorang umat, dan Suna percaya bahwa perbuatannya adalah sesuatu yang dilarang. Namun, kenapa? Kenapa dia masih bertahan? Kenapa Suna masih bersama Osamu? Segala macam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya seketika buyar ketika Suna buka suara.

“Aneh, ya? Gue ngelakuin hal yang jelas-jelas dosa, dilarang, dan hina. Jelas ada suratnya. Ada kisahnya. Aneh, ya?” Suara Suna berubah pelan agar Atsumu dan Osamu tidak mendengar percakapan mereka, ia tertawa miris di akhir kalimatnya. “Orang bilang … ibadah gue bakalan percuma. Nanti juga masuk neraka, iya, ‘kan? But I pray not only to redeem my sins or my actions. I pray because it’s my duty as a believer. Percuma atau nggaknya ibadah gue, urusan gue sama Tuhan, ‘kan?”

Kiyoomi memilih untuk menutup mulutnya, membiarkan Suna meneruskan ceritanya.

“Gue tahu gue udah berdosa. Dosa besar. Banyak dosa. But I love Osamu, and also the God himself. I don’t want to give up either of them. Dulu gue benci diri gue sendiri, gue gak bisa maafin diri gue sendiri karena udah suka sama sesama jenis. Jadi homo, padahal Bapak gue tukang ke masjid. Padahal, Ibu gue sering ngisi pengajian. Terus gue kenapa malah jadi homo? Jadi kaum yang dilaknat Tuhan?” Suna menatap nanar ke depannya, ke sebuah figura foto keluarga yang dipajang di atas meja televisi. “Terus gue berhenti ibadah, berhenti sholat dan ngaji. Karena kata orang-orang percuma. Yaudah, gue stop aja.”

“Tapi, Kiyoomi, gue sadar gak bisa lupain Tuhan gitu aja. Gue stop ibadah cuma gara-gara orang yang berlagak kayak Tuhan? Mengadili gue? Ngehakimin gue? Emangnya mereka siapa? They’re just a mere human, a mere believer, like me. Mereka juga pasti sama berdosanya kayak gue, entah apa dosa mereka. Karena manusia ‘kan gak ada yang suci. Lantas, orang yang sama berdosanya kayak gue … kenapa berani-beraninya bersikap kayak Tuhan?” katanya dengan suara yang terdengar parau. “Gue masih inget gimana orang-orang lihat gue pas tahu kalau gue pacaran sama cowok. They looked disgusted, angry, it felt like they wanted me to be dead. Padahal, Tuhan sendiri Maha Pemaaf, kenapa orang-orang yang cuma umat malah kayak algojo?”

“Karena apa yang lu lakuin itu dosa –”

“Gue tahu, Kiyoomi. It’s wrong, it’s a sin. Sampai sekarang gue masih belum nemu jawaban kenapa Tuhan ciptain gue kayak gini. Kenapa Dia nulis takdir gue kayak gini? Buat jadi gay? Jadi sesuatu yang jelas dilarang? Kenapa? Apa sebenarnya takdir itu urusan kita? Gue gak tahu, mungkin gak akan pernah tahu. Gak semua hal bakalan ada jawabannya, and I’m fine with it. Gue bakalan terus ibadah, mohon ampun, atau apapun itu. I will not abandon my faith, just because some bastards told me to go fuck myself and die.” Suna meraih sekotak rokok di sampingnya, kemudian memantik api dari korek sampai putungnya menyala. “Orang-orang pingin berlagak jadi Tuhan, padahal dirinya sendiri juga pendosa.”

Kiyoomi menemukan dirinya kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit menganga dan matanya membelalak saat ia menoleh ke arah Suna. “Terus … keluarga lu gimana?”

“Gue pergi demi kewarasan gue sendiri. Udah lama lost contact,” jawabnya. “Kiyoomi, lu jangan yang kayak kaget banget gitu. Banyak orang kayak gue, oke? Gue tahu apa yang gue lakuin itu dosa besar, but deep down I still believe that God is a forgiving being.”

Do you think God will forgive you for this?

Suna mengangkat bahunya. “I don’t know. Tahu apa, sih, kita ini?”

Malam itu, percakapannya dengan Suna terus berputar di dalam kepala Kiyoomi seperti kaset rusak.

3 months later

Atsumu [02.18]

Omi, sayangggg happy 1st anniversary!!! I love you lottsssss ;) :*

Kiyoomi [06.23]

Morning. Happy anniversary.

Atsumu duduk termangu dengan ponsel di genggamannya. Pandangannya nanar terpaku ke arah bubble chat terakhir yang Kiyoomi kirimkan. Walaupun sudah setahun mereka menjalin hubungan, setahun berbagi keintiman dan kehangatan di atas ranjang, setahun saling berbagi suka dan duka, Kiyoomi tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintai Atsumu. Kalimat sesingkat, “Aku cinta kamu juga.” atau “I love you.” tidak pernah keluar dari belah bibirnya. Setiap deklarasi cinta yang Atsumu katakan seolah terpantul di dinding yang kokoh. Pernyataan cintanya jatuh ke telinga yang tuli.

Kiyoomi tidak pernah membalas kata-kata cintanya. Namun, Atsumu tidak pernah ambil pusing soal hal tersebut. Baginya, keputusan Kiyoomi untuk menjalin hubungan dengannya sudah seperti berkah yang tidak ternilai, bagaikan menemukan setetes embun di padang pasir yang tandus. Walaupun sesekali, di antara kesendiriannya yang mencekik dan dinginnya malam, Atsumu mengharapkan Kiyoomi membalas perkataannya.

Atsumu [06.30]

Ayo pergi hari ini. Ke cafe waktu kita first date? I’ll pick you up after class ;))

At least, Kiyoomi never leave.

Nevermind.

Kiyoomi memeriksa pantulan dirinya di cermin, mengecek kembali pilihan pakaian yang ia kenakan untuk pergi bersama Atsumu di malam peringatan hari jadi mereka yang ke-1 tahun. Pilihannya jatuh kepada kemeja putih yang dipadupadankan dengan sweater warna hijau emerald serta celana bahan berwarna hitam. Tidak berlebihan, tidak juga terlihat tidak pantas. Kiyoomi tidak akan pernah mengakui kepada Atsumu kalau sepanjang hari ia mencemaskan pakaian apa yang harus ia kenakan.

Atsumu [18.04]

Aku udah di luar, sayang

Kiyoomi [18.04]

Ok.

Saat berjalan menuju pintu depan, Kiyoomi menemukan Ibunya duduk di ruang keluarga dengan sebuah majalah di tangan. Di hadapannya, televisi menayangkan berita mengenai tahun politik. “Mau kemana, Kiyo?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah yang ia baca.

Kiyoomi bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, jari-jari kakinya yang dilapisi sepatu ia gulung dengan gugup, tangannya yang gemetar ia jejalkan ke saku celananya. “P-pergi, Mi.”

“Sama siapa?”

“Teman.”

Ibunya seketika tergelak, ia menatap Kiyoomi dengan geli. Seolah Kiyoomi baru saja mengatakan lelucon paling konyol sedunia. “Kamu punya teman selain Motoya?”

Ok, rude? “Punya, Mi. Teman kampus.”

“Yaudah, hati-hati. Jangan pulang terlalu malam.”

Tanpa berniat melanjutkan obrolan, Kiyoomi melangkah menghampiri pintu keluar dengan tergesa-gesa. Di luar, ia melihat mobil milik Atsumu terparkir di depan pagar. “Sorry, lama. Tadi ngobrol bentar sama Mami.” ucap Kiyoomi begitu ia menempatkan tubuhnya di kursi penumpang. Atsumu tersenyum manis, “Gak apa-apa, Omi.”

Malam itu Atsumu mengenakan kaos hitam polos yang dilapisi jaket denim warna abu-abu, serta celana warna hitam. Ia duduk di belakang kemudi, satu tangan mengendalikan mobil, sementara tangan lainnya berada dalam genggaman Kiyoomi. Sesekali, Atsumu mengalihkan pandangannya dari jalanan kota Jakarta yang sibuk. He looked at Kiyoomi with unshed tears in his eyes and heart on his sleeve.

Tempat yang mereka tuju adalah sebuah kafe sederhana yang terletak di pusat kota. Suasana kafe yang remang-remang namun ramai akan pengunjung dimeriahkan dengan lantunan live music jazz. Kafe di mana mereka pertama kali pergi berkencan, saat Kiyoomi masih bingung dengan perasaannya sendiri, sementara Atsumu terlihat siap menyusun masa depan bersamanya. Satu tahun berlalu, di tempat yang sama, dengan perasaan yang sama. Kiyoomi yang masih takut dan Atsumu yang siap mempersembahkan seisi dunia untuknya.

Setelah membayar pesanan mereka, langkah Kiyoomi yang hendak mencari tempat duduk terhenti ketika Atsumu menariknya menuju sisi lain kafe. “Mau ngapain?” tanya Kiyoomi keheranan. Alih-alih menjawab, Atsumu malah tersenyum lebar ke arahnya dengan jari telunjuk yang menunjuk ke arah sebuah kotak besar dengan tirai di depannya dan plang bertuliskan PhotoBox yang menggantung di atasnya. “Foto?”

“Iya, Omi.”

“Buat apa?”

“Kenang-kenangan.”

“Kalau mau foto di HP aja.”

Atsumu mendecak sebal. Kakinya sedikit menghentak. “Beda rasanya, Omi. Romance me a bit.”

Memutuskan untuk mengikuti apa mau Atsumu, Kiyoomi pun rela tubuhnya ditarik ke dalam booth foto. Ia terdiam sambil bersidekap, mengamati setiap gerak-gerik Atsumu yang sibuk memilah template dan frame foto. Sambil terkikik, ia mengambil aksesoris tambahan yang terletak di dalam booth, mengenakan sebuah kacamata bulat layaknya Harry Potter dan menyerahkan bando telinga kucing berwarna hitam ke arah Kiyoomi. “Omi, pakai.”

“Hah? Gak.”

“Omiiii … please?”

Every time Atsumu looked at him with those big brown eyes, Kiyoomi felt like he wanted to give him the world.

Memilih untuk mengalah, Kiyoomi pun mengenakan bando pemberian Atsumu. Setelah selesai memilah bingkai foto, kamera pun mulai menangkap setiap pergerakan mereka. Beberapa kali Atsumu mamasang gaya yang konyol namun entah kenapa terlihat menggemaskan di mata Kiyoomi, sementara itu Kiyoomi dengan kikuk berusaha bergaya seadanya.

Waktu terasa bergulir begitu lambat. Pandangannya kini terpaku ke arah Atsumu. Suara hiruk pikuk kafe dan jepretan flash dari kamera larut hingga tak terdengar. Hatinya berdesir ketika melihat laki-laki di sampingnya, hatinya pun terasa amat penuh karena harus terus-terusan menolak perasaannya dari Atsumu.

Don’t talk to strangers or you might fall in love.

Kalau saja ia tidak merespons perkataan Atsumu saat mereka pertama kali berbicara di gimnasium, mungkin mereka tidak akan berada di sini. Kalau saja Kiyoomi tidak membalas pesan singkat dari Atsumu dan menyimpan nomornya dalam daftar kontak, mungkin mereka tidak akan berada di sini. Berada di dalam booth foto dengan afeksi yang nyaris membawa Kiyoomi ke dalam asfiksia.

Di sesi foto terakhir, Kiyoomi menarik wajah Atsumu agar berhadapan dengannya. Ketika flash kamera menerangi seisi booth, ia membawa laki-laki itu dalam sebuah ciuman, melumat pelan kedua belah bibirnya. Atsumu tersentak, wajahnya memerah dan melongo.

“Atsu, I love you. I’m sorry it took me so long to say it.” lirih Kiyoomi, nada suaranya yang lembut membuat mata Atsumu memanas dan penglihatannya kabur. “I love you. You’re everything to me. I love you, so much. My heart is full of you, it suffocates me. I love you.”

Atsumu menggigit bibirnya yang bergetar hingga ia bisa merasakan besi di mulutnya. “O-omi … aku juga cinta banget sama Omi.” Tangisnya pun pecah. Air mata perlahan menuruni wajahnya layaknya air terjun. Kiyoomi terkekeh melihatnya, “Dasar cengeng.”

Lembaran hasil foto mereka pun keluar, dengan foto terakhir di mana bibir keduanya saling bertautan. Di lembar foto tersebut, tidak sekali pun Kiyoomi menatap ke arah lensa kamera. Sepanjang sesi foto, tatapannya sepenuhnya terfokus pada Atsumu, seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang.

Di peringatan tahun pertama hubungan mereka, Kiyoomi akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Ia merengkuh dirinya yang kotor oleh dosa dan menyingkirkan seluruh ketakutannya. Meskipun ia mungkin tidak akan berakhir di surga, setidaknya setiap kali ia bersama Atsumu, ia bisa merasakan secuil kehangatan yang menyerupai surga.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (2)