forwards, beckon, rebound

deera
12 min read1 day ago

--

“Makasih, ya, Pak.” ucap Shigeru sebelum keluar dari taksi bandara yang membawanya ke kediaman Kakaknya di daerah Menteng Jakarta Selatan. Gadis itu menutup pintu taksi dengan serampangan lalu melangkah dengan cepat ke gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya. Tanpa repot-repot menekan bel, ia menerobos memasuki pagar yang kebetulan tidak digembok.

Derap langkah sepatu loafers yang ia kenakan menghantam lantai marmer yang melapisi teras rumah. Napasnya sedikit tersengal dan jantungnya berdebar ketika tungkainya berhenti di hadapan pintu kayu yang tertutup rapat. Jemarinya saling terkepal, ragu-ragu untuk menekan bel atau malah kembali pulang dan mengurungkan niat awalnya. Kakaknya merupakan pribadi yang penyayang dan terbilang manja, namun, dalam beberapa kesempatan, lelaki yang akan menginjak usia 29 tahun pada bulan Maret nanti itu, dapat berubah menjadi sosok yang mengitimidasi dan sedikit tempramental.

Shigeru merasa takut. Nyalinya ciut. Akan tetapi, rasa mengganjal di dadanya yang telah bersemayam selama hampir sebulan sejak pertengkaran keduanya kian membuatnya sesak setiap pergantian hari. Lantas, diikuti dengan satu tarikan napas, ia memantapkan hatinya untuk menekan bel rumah Issei. Detik bergulir menjadi menit dan sosok pria berambut ikal itu tak kunjung muncul.

Shigeru berpikir untuk langsung menerobos masuk ketika jarinya menekan bel untuk yang ketiga kalinya dan masih tidak menerima jawaban apa pun. Ia menghela napas, berancang-ancang untuk menarik knob pintu, namun, benda tersebut sudah terbuka sendiri dari dalam.

“Kou, darling, kamu ‘kan bisa langsung masuk aja. Ada yang ketinggalan—” Ucapan Issei terhenti di tenggorokannya begitu melihat sosok Shigeru di hadapannya, yang semula ia kira Koutaro. Matanya yang masih rapat digantungi kantuk menyipit, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Shigeru termenung di tempat. Tubuhnya kaku dan kikuk, namun, pandangannya terus terpaku ke arah Kakaknya yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana piyama. Rambutnya tampak berantakan layaknya sarang burung, matanya sayu, dan lehernya dihiasi beberapa bekas gigitan—hickeys—berwarna merah tua. Gadis itu berdeham, kemudian mengalihkan pandangannya.

“Shigeru? Ngapain? Kamu sama siapa ke sini?” Pria itu bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Keningnya berkerut dan sorot matanya menelisik dengan tajam.

“Aku mau ngomong tapi Bli gak pernah balas chat atau angkat teleponku. Jadi, aku samperin ke sini.” jawab Shigeru tanpa basa-basi. Kepalanya mengadah guna memandang Kakaknya tepat di mata. “Aku mau ngomong, please.”

Hela napas kasar terdengar dari sisi Issei. Pria itu pun menggeser tubuhnya dari pintu tanpa mengatakan sepatah kata apa pun, mempersilahkan Shigeru untuk masuk. Ketika Adiknya telah melangkah masuk, ia menutup pintu dengan agak kasar, suara pintu kayu yang menghantam kusen menggema di ruangan yang sunyi bagaikan letupan senjata api. Tanpa menunggu Shigeru, Issei berjalan terlebih dulu meninggalkan Shigeru di area foyer rumah.

Gadis itu memutar matanya malas, bibirnya mencebik menerima perlakuan tak mengenakan dari Issei. Dengan gontai, ia berjalan menuju ruang tengah, berharap pria itu berada di sana, tapi hasilnya nihil. Ia malah menemukan Rocky, anjing poodle peliharan Issei yang tengah duduk di salah satu sisi sofa. “Halo, Ocky.” Ia menghampiri anjing kecil itu lalu duduk di sisinya dan mengelus kepalanya dengan gemas. Rocky menyalak dengan heboh, matanya berbinar memandang ke arah Shigeru. “Uhh, good boy. You’re so cute. Why are you so cute?”

“Rocky. Come here.”

Suara Issei yang ketara akan komando sontk membuat Rocky melepaskan dirinya dari dekapan Shigeru. Anjing itu menghampiri pemiliknya yang kini telah berpakaian lengkap—sebuah kaus hitam polos dengan celana piyama yang sama. “Go to my room. Quick.” Mendengar titah Issei yang absolut, Rocky pun belarian menuju tangga sebelum sosoknya hilang dari pandangan.

Shigeru merengut, merasa kesal karena kesenangannya bersama Rocky direnggut begitu saja.

“Kamu mau ngomongin soal apa?” tanya Issei, membuka pembicaraan di antara keduanya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, tepat berada di seberang Shigeru. Pupil matanya yang segelap malam menatap lekat-lekat ke arah Shigeru, dan gadis itu sedikit bergidik karena sorot mata Kakaknya yang begitu mirip dengan milik Ibunya.

“Bli, aku mau minta soal omonganku di group chat beberapa minggu lalu. Aku gak seharusnya ngomong kayak gitu, bawa-bawa Kak Hana padahal itu topik sensitif buat Bli. Aku minta maaf banget.” Shigeru berkata dengan nada penyesalan di tiap suku katanya. Bahunya melorot dan tangannya dengan gugup memilin ujung bajunya sendiri.

Di sisi lain, Issei diam dengan tangan yang memijat pelipisnya. Wajahnya kaku tanpa ekspresi dan Shigeru seolah berhadapan dengan Ayahnya. Dirinya seolah kembali terlempar ke masa lalu, ketika usianya baru menginjak 8 tahun, di meja makan bersama seorang pria paruh baya dengan raut wajah paling tak ramah yang pernah ia lihat.

“Bli—”

I heard you, Shigeru. Aku juga baca chat-mu.” jawab Issei singkat, seakan-akan malas berbicara dengan Shigeru.

Gadis itu merengut, bibirnya melengkung ke bawah, dan tangannya terkepal di atas pangkuannya. “Terus kenapa Bli gak jawab chat-ku?”

Pria itu mendecak kesal. “I was hurt, Shigeru. Kamu tuh ngomong soal hal yang kamu tahu jelas kalau itu traumatis buat aku. You know damn well how it was for me.” katanya. “Kamu juga ungkit-ungkit soal tanggung jawabku ke keluarga. Aku tahu aku yang bawa nama keluarga dan satu-satunya yang bakal nerusin karena aku anak laki-laki satu-satuny, but you don’t have to rub it into my face, no?”

Issei bangkit dari posisinya kemudian melangkah menuju mini bar yang terletak tak jauh dari ruang tengah untuk mengambil segelas air mineral dingin dari dalam kulkas. “Aku kepala keluarganya, aku tahu. Makanya aku gak bisa seenaknya cari pasangan, aku tahu! Kamu gak usah kayak —shove it into my face. Bawa-bawa Hana juga gak harus, ‘kan?” Issei meneguk segelas air di tangannya, dadanya berdesir dan perutnya bergejolak dengan tidak nyaman begitu nama Hana terucap dari bibirnya.

Shigeru menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Matanya terus mengikuti pergerakan Kakaknya. “Iya, Bli, makanya aku mau minta maaf. Aku kelepasan ngomong dan gak dipikir dulu sebelumnya.”

Hana meant everything to me. At least, she was.” Issei menunduk, memandang es batu yang mengapung di atas gelas. “I wish it was as easy as you said, Dek. Tinggalin semuanya, karena ini hidup kita sendiri. Tapi, aku gak bisa semauku. Dulu aku mau ngikutin apa kata kamu, pergi aja, convert aja, tapi aku sadar kalau gak ada aku kalian bertiga sama siapa?”

Tidak ada kata lain yang bisa terucap dari bibir Shigeru kecuali; “maaf, Bli.”

“Tapi dibandingkan soal kamu yang ungkit-ungkit Hana—” Ia berdeham, lagi-lagi nama wanita itu meninggalkan rasa pahit di mulutnya. “—aku lebih gak terima apa yang kamu bilang soal Biyang.” Pria itu membalikkan badannya kemudian kembali melangkah mendekati Shigeru. “Dek, selama ini kamu berbakti sama Biyang itu buat balas budi semata?”

Shigeru mengernyitkan keningnya lalu menggeleng kuat-kuat. “Gak gitu maksud aku. Maksud aku tuh, emang selamanya kita harus nurutin apa kata orang tua walaupun apa yang mereka mau bikin kita gak bahagia? Walaupun apa yang mereka mau bikin kita merasa kayak dipenjara?”

“Kamu merasa kayak gitu pas di rumah?”

“Kadang Biyang tuh … too much. Sampai aku kesal dan sering berantem sama dia, sampai kadang aku merasa kalau dia anggap hubungan aku sama dia tuh cuma sekadar balas budi aja.” Shigeru memandang Issei dengan sorot mata sendu. “Aku tahu dia begitu buat kebaikan kita semua, tapi terkadang caranya salah dan bikin aku merasa kayak dikekang.”

“Semuanya harus sesuai sama apa yang dia mau. Dari hal kecil kayak kelakuan di rumah sampai hal besar kayak jodoh. Jodoh, Bli! Orang yang bakalan sama kita sampai mati harus dia yang tentuin! It’s too much!” Shigeru berusaha keras menjelaskan semua hal yang mengganjal di hatinya walaupun saat ini otaknya tak lebih dari kumpulan benang kusut. “Bli harusnya tahu gimana rasanya! Pasti dia lagi cari istri buat Bli, terus abis itu cari suami buat aku, mungkin aja nanti juga buat Akira. Emangnya kita sebagai anak gak boleh egois sekali aja?”

She just wants the best for us.”

“Oh, shut up! Jangan mentang-mentang Bli anak kesayangan Biyang jadi Bli belain terus-terusan!”

Issei mendecak sebelum menaruh gelasnya di atas meja dengan kasar. Kaca menghantam kaca, menghasilkan bunyi nyaring yang menggema di langit-langit. “Anak kesayangan apa, sih? Biyang sayang sama semuanya kok.”

She loves you the most.” Shigeru mendelik tajam ke arah Issei. “Bli juga tahu, ‘kan? Bli ‘kan yang paling dimanja dari kecil. Dia sayang sama Bli karena Bli yang paling nurut! Gampang didikte sesuai kemauan dia.”

“Terus kamu maunya apa? Aku ngelawan gitu?”

Stand up for yourself! Be happy for once! Jangan lembek jadi orang!”

“Aku udah pernah coba ngelawan dulu, Shigeru! Tahu gak akhirnya gimana? Akhirnya aku sampai harus tinggal di rumah Niang sama Kakiang. Kamu ‘kan juga tahu kejadiannya gimana! They treated me like I was fucking possessed, Shigeru! Satu keluarga tuh ngira aku diguna-guna sama Hana, tahu gak?!” Issei mengerang dengan kencang ketika tubuhnya jatuh merosot ke sofa. “Aku capek ngelawan, gak ada gunanya juga.”

“Bli harusnya kabur.”

“Tuh ‘kan, kamu selalu ngomong soal hal yang jelas-jelas susah. Aku udah bilang, aku gak bisa tinggalin kalian bertiga gitu aja.” Issei berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil dan tidak meledak. “I have responsibilities at home, and what hurt me the most is how you rub it into my face like a mockery after everything I’ve done for our family.”

Shigeru menundukkan kepalanya yang seketika berat akan rasa bersalah. “Aku minta maaf, Bli.”

“Terus masalah kamu sama Biyang, kalian berdua itu keras kepala. Ya, wajar kalau suka saling bertentangan. But she loves you. Very much.” Lantai marmer di bawahnya kakinya menusukkan dingin yang membuat Issei merasa tak nyaman. Ia memandang Shigeru lekat-lekat, namun, gadis itu menghindari tatapannya. “You know that she loves you right?”

“Kadang aku merasa dia gak sayang sama aku.”

“Astaga Tuhan, Shigeru!” Issei melempar tangannya ke udara dengan dramatis. Ia mendecak malas begitu mendengar ucapan Shigeru. “Aku gak paham kenapa kamu suka merasa kayak gitu.”

Adiknya itu bangkit dari posisi kemudian berdiri menjulang di hadapan Issei yang masih terduduk di posisi semula. “Ya, Bli gak akan tahu rasanya karena Bli yang paling di sayang!”

This bullshit again! She loves us equally!” Nada bicaranya naik tanpa bisa ia cegah. Kepalanya mendongak guna melihat dengan jelas raut wajah Shigeru.

She’s not! Sometimes, she shows her favouritism!” Shigeru menyalak dengan emosi. “Coba bayangin jadi aku! Selalu kena marah kalau dia lagi bad mood, selalu jadi samsak tinju buat dia. Omongan Biyang tuh suka nyakitin. Bli gak akan pernah tahu rasanya karena … karena Bli yang paling disayang!”

Merasa geram, Issei pun ikut bangkit, membuat tubuh Shigeru yang lebih pendek darinya otomatis mundur ke belakang. “Oh, kalau ngomongin soal favouritism aku juga bisa dong omongin gimana hubungan kamu sama Ajik?”

Shigeru mengernyit heran. Matanya bergerak liar ke sekeliling ruangan, berusaha menghindari api yang membara di manik segelap onyx milik Kakaknya. “Kenapa jadi bawa-bawa Ajik?”

“Kamu diam-diam kontakan sama Ajik, ‘kan? Makanya kamu mau kuliah merantau?! I saw your phone, Shigeru!” Issei mengacak rambutnya dengan frustrasi. “Orang itu yang pukulin Biyang! Pukulin aku! Biyang juga bilang buat jangan pernah berhubungan lagi sama dia, tapi kamu—”

He’s still my father! Our father!”

He abused us!”

He has changed!”

Sebuah tawa getir lolos dari belah bibir Issei. Matanya memandang Shigeru dengan tidak percaya, seolah gadis itu baru saja melemparkan candaan konyol yang tak lucu sama sekali. “Gimana bisa kamu tahu kalau dia udah berubah sedangkan kamu gak pernah ngerasain dijahatin sama dia, hm? Shigeru, he loves you dearly, he never laid his fists on you. How could you know he has changed?”

Shigeru menelan air liurnya kuat-kuat. Matanya seketika memanas tanpa bisa ia cegah. “Aku tahu dia udah berubah. Dia nyesal sama kelakuan dia yang dulu, Bli. Aku sesekali ngobrol sama dia lewat telepon, aku berani sumpah, dia udah berubah!”

He’s a manipulative fuck! Kamu jangan gampang dibegoin gitu dong!” bentak Issei, membuat Shigeru sedikit terhenyak di tempatnya.

“Manipulitif gimana, sih? Aku gak bego, Bli! Aku beneran udah berubah!” Shigeru ikut berteriak, nada suaranya frustrasi dan bulir air mata mulai jatuh dari kelopaknya. Lamgkahnya mengikuti milik Issei yang pergi ke taman belakang, entah untuk apa, tapi gesturnya yang seolah menghindar membuat Shigeru kesal bukan kepalang. “Sini, gak?! Mau kabur kemana sih?!” Ia menarik lengan Kakaknya dengan kencang, menghentikan langkah pria itu.

“Aku gak mau ngomongin soal ini!” Aku gak mau ngomongin soal Ajik.

“Bli sendiri yang bawa-bawa Ajik! Terus Bli yang merasa gak terima pas aku bilang Ajik udah berubah!” Dia udah berubah, tolong, percaya sama aku. Aku mau keluarga kita bareng-bareng lagi.

“Dia gak mungkin berubah, Dek! Abuser kayak dia gak mungkin berubah!” Aku harap omongan kamu benar dan Ajik udah berubah.

“Bli, dengerin dulu—”

Issei menggeram kencang lalu menepis tangan Shigeru hingga membuat tubuh gadis itu terhuyung ke belakang. Matanya melotot ke arah Adiknya dan tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. “If you want to be buddy-buddy with him, you should live with him then. Tinggal sana kamu sama dia. Ikut dia dan gak usah pulang lagi ke rumah Biyang.” Issei mendelik tajam ke arah Shigeru, amarah terlihat jelas dalam sorot matanya. “Toh, kamu juga gak ngerasa disayang ‘kan di rumah? Kamu juga gak sayang ‘kan sama kita? Seharusnya kamu ikut dia aja pas abis cerai!”

Shigeru termenung di tempatnya. Wajahnya seketika memerah dan asap seolah keluar dari telinganya. Ia pun mendorong tubuh Kakaknya lalu menghantam pria itu dengan tas selempang yang ia kenakan. Logo berbentuk dua huruf C yang terbalik dan terbuat dari besi mengenai kulit Issei membuat pria itu meringis. “Aw! Shigeru, apaan, sih?! Ih, Shigeru! Stop it!”

“Gimana bisa Bli bilang kalau aku gak sayang sama Biyang? Sama Bli dan Akira?! I was the one who tend your wounds when Ajik beat you up! Aku yang obatin Bli pas Ajik dulu mukulin Bli sampai babak belur! Aku! Terus Bli bilang sekarang—” Suaranya bergetar karena tangis, “—kalau aku gak sayang sama kalian? Bilang kalau aku seharusnya ikut Ajik pas abis perceraian How dare you?!”

Stop hitting me, you freak!”

“Kenapa bisa Bli ngomong kayak gitu?!”

“Ya, kamu juga gak seharusnya semena-mena ke aku! Bilang Ajik udah berubah padahal kamu gak pernah ngerasain gimana jahatnya dia! Kamu cuma jadi saksi bukan korban, Shigeru!” Pria itu menangkap tangan Adiknya yang terus memukulinya dengan serampangan. Gadis itu masih menangis dan rasanya hati Issei seolah diremas oleh tangan imajinatif. “Kamu gak tahu rasanya jadi aku, dan aku gak tahu rasanya jadi kamu! Kita gak seharusnya—” Issei mencengkeram pergalangan tangan Shigeru agar berhenti. “Kita gak seharusnya kayak gini, Shigeru!”

Gadis itu terus menangis, entah karena apa. Mungkin karena rasa bersalahnya terhadap Kakaknya, atau keinginannya untuk disayang sepenuhnya oleh Ibunya, atau rasa rindunya pada Ayahnya. Tangisannya tersedu-sedu, memantul di dinding dan membuatnya sedikit malu hingga ia tidak menyadari lengan Kakaknya melingkari tubuhnya dan menawarkan usapan penuh kasih sayang di punggungnya.

“Hey, ssshh, udah. Jangan nangis lagi. Aku minta maaf udah ngomong kayak tadi. Maafin Bli, ya?”

Shigeru tidak menjawab dengan sepatah kata pun, namun, ia mengangguk dan makin menenggelamkan wajahnya di dada Issei sementara pria itu terus membisikkan kalimag penenang di telinganya.

“Tapi, Biyang sama Ajik tuh beneran cocok.” Ucapan Issei membuat Shigeru terkekeh pelan. Wiski yang membakar tenggorokannya membuatnya sedikit terbatuk. Issei, yang duduk di sampingnya, sama-sama dengan segelas wiski di tangan, kembali melanjutkan perkataannya. “Ajik suka main tangan, terus Biyang omongannya nyakitin.”

Match made in hell.” timpal Shigeru yang dihadiahi kekehan dari Issei. Gadis itu menolehkan kepalanya yang bersandar di sandaran sofa guna memandang Issei. “Bli, maaf aku udah diam-diam kontakan sama Ajik. I missed him, a lot. I’m sorry.”

Issei menghela napasnya lalu mengangkat bahunya dengan acuh. “It’s fine. You do you, Dek, asal Biyang gak tahu.”

“Dia selalu tanya soal kalian, terutama Akira. Karena dia pergi pas Akira masih bayi. Dia tanya kegiatan Akira apa, mau lanjut kuliah kemana, bahkan nanya udah punya cowok atau belum.” Shigeru berkata dengan senyuman di wajahnya yang juga tercermin di wajah Issei. “Pas aku bilang pacarnya Akira orang jaba dan mau kenalin ke Biyang, dia ketawa. Katanya, as expected from the youngest. Rebel.”

“Terus, dia juga tanya soal Biyang. Apa rambutnya udah berubah putih? Apa udah ada keriput tiap dia senyum? Tapi dia bilang, pasti Biyang masih cantik.” Shigeru menunduk, memandang gelas wiskinya yang mulai kosong. “Setiap ngomongin Biyang dia selalu nangis. Mungkin nyesal, mungkin kangen, mungkin—”

“Cinta.” potong Issei. “He loved her. Maybe, he still does.”

Someone who loves you wouldn’t do what Ajik did to Biyang, Bli.”

“Iya, sih. Tapi kadang aku ngintip mereka berdua kalau gak lagi cek-cok. He really did love her. The way he looked at her, I still remember, very clearly.” Issei membawa gelasnya ke bibir, kemudian meneguk tegukan terakhirnya. “Mereka tuh kompleks banget. I don’t know what happened to them. Tapi sampai sekarang Biyang masih doain Ajik kalau lagi ibadah, padahal dia korban. They’re … they’re just so toxic.”

Shigeru termenung mendengarnya. Suasana hening sesaat sebelum ia kembali membuka suaranya. “Ajik juga sering tanya soal Bli. Dia selalu bilang nyesal udah kasar sama Bli dulu. Dia juga tahu Bli udah sukses sekarang dan dia ikut bangga.” Perkataan Shigeru membuat Issei merasakan panas di matanya. Pria itu menolehkan kepalanya ke arah yang berlawanan, berusaha menyembunyikan wajahnya jikalau air matanya turun.

“Dia bilang dia kangen sama Bli. Dia bilang dia mau ngobrol dan perbaikin semuanya sama Bli, tapi dia takut dan gak mau lancang. Dia tanya Bli udah ada pacar belum, aku jawab belum, terus dia ketawa. Dia juga bilang kalau Bli nikah nanti dia mau banget dateng. Kata dia, kalau gak bisa jadi yang mimpin upacaranya, cukup lihat dari jauh aja gak apa-apa.”

Issei berusaha mengatur napasnya sementara matanya basah akan bulir mata yang turun dalam kesunyian.

He misses you. He misses us. But, the least he can do is talk to me.” Shigeru menyengir ke arah Issei yang masih terdiam menahan isak. “What a fucked up family we have, right, Bli?”

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (4)