Pintu ditutup dengan keras hingga suara dentumannya menggema di seluruh apartemen Osamu layaknya letupan senapan. Rin meringis saat lengannya ditarik dengan kasar oleh Osamu yang menyeretnya memasuki apartemen. Kemarahan Osamu terasa begitu nyata, jari-jarinya mencengkeram pergelangan Rin sampai rasa sakit berdenyut di bawah kulitnya, setiap langkah pria itu berat dan penuh amarah.
“Samu! Lepasin aku!” Rin berteriak, suaranya pecah, merintih kesakitan, merasa pergelangannya hampir patah di bawah tekanan. Rasa malu menyelimuti dirinya – dia seorang atlet profesional, kuat, tinggi, tubuhnya dipenuhi otot, tapi dia tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Osamu. Osamu selalu lebih kuat darinya, dan dengan amarah yang menyala serta adrenalin, Rin tidak pernah punya kesempatan.
“Samu!”
“Shut the fuck up you fucking whore!”
Rin tertegun, matanya melebar, jantungnya seakan berhenti sepersekian detik saat kalimat hinaan tersebut meluncur dari bibir kekasihnya. Kata-kata itu menghantamnya seperti pecahan kaca, menusuknya hingga ke hatinya. Osamu tak pernah memanggilnya dengan hinaan seperti itu sebelumnya, dan mendengarnya sekarang hampir membuat Rin menangis. “Gimana bisa kamu manggil aku begitu, Samu?! Kurang ajar!” Dengan sisa kekuatannya, Rin mendorong Osamu, membebaskan dirinya. Ia menatap pergelangan tangannya – memerah, sakit, dengan bekas kuku Osamu yang dalam. “Jaga mulut kamu, Samu!”
Dia tahu melawan Osamu hanya akan memperparah keadaan, hanya akan membuat api keburukan semakin menjalar. Tapi dia harus melakukannya – harus. Untuk mempertahankan dirinya, menunjukkan betapa hancur hatinya. Untuk bertahan. Untuk bernapas.
“But I’m right!” seru Osamu, ia tertawa histeris layaknya orang gila, matanya menyalak ke arah Rin, membuat tubuhnya merinding. “Gue benar! Lu itu lonte! Lu di tempat Atsumu. Padahal jelas-jelas lu bilang sampai sini tengah malam, tapi lu –”
“Aku sama Atsumu gak ngapa-ngapain!”
“ – di tempat kembaran gue! What the fu –”
“Kita cuma ngobrol –”
“ – kalau bukan lonte, terus apa?! Kenapa lu sampai harus bohong?!”
Suara teriakan mereka saling bersahutan, dan seketika Rin kembali menjadi anak 12 tahun. Terkubur di bawah tumpukan selimut saat kedua orang tuanya bertengkar, suara jeritan yang memekik dan pecahan porselen menghantam dinding. Rasa mual menghantam perutnya. Seharusnya ia tidak berbohong pada Osamu. Seharusnya tidak berbohong, seharusnya dia lebih baik – lebih baik sebagai anak, lebih baik sebagai teman, lebih baik sebagai pacar. Ini semua salahnya, selalu salahnya. Seharusnya tidak berbohong – seharusnya bisa menjadi seseorang yang lebih baik, yang lebih pengertian, minta maaf, minta maaf – itu saja yang bisa dilakukannya. Minta maaf agar Osamu tetap tinggal. Minta maaf –
Kepalanya dipenuhi dengan ribuan pikiran yang berputar tanpa henti, membuatnya ingin muntah, ingin mencakar kulitnya hingga berdarah, ingin meminta maaf. Air mata turun mengalir di wajahnya saat Osamu mendorongnya ke dinding dan mencengkeram rahangnya sampai sakit. Dan tiba-tiba, ia bisa melihat ayahnya – berteriak padanya sambil mencengkeram wajah kecil Rin, karena ia telah mengganggu waktu kerja ayahnya, karena ia bukan anak yang baik.
“Lu ngapain malam-malam di tempat Atsumu, hah?!” Osamu kembali bertanya, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam, keluar di antara gigi-giginya yang terkatup rapat. Jemarinya mencengkeram pipi Rin dengan kekuatan yang membuatnya meringis sakit.
Rin menggigit bibir bawahnya keras-keras, menatap Osamu dari balik genangan air mata yang mengaburkan pandangannya. Jemarinya berusaha menepis pergelangan tangan Osamu, mencoba menjauhkan laki-laki itu darinya. “S-samu – “
“Kenapa? Gue doang gak cukup buat lu? Jadi lu mau Atsumu juga? Gitu? Mau belajar jadi lonte? Mau ngangkang juga depan dia?” Suara Osamu tajam, kejam, menggores lebih dalam daripada pisau mana pun. Rin mencoba menjawab, tapi kata-katanya mati di tenggorokannya, tertelan oleh isak tangis. Dada Rin terasa sesak, dan membentuk kalimat tiba-tiba terasa mustahil.
Osamu mendengus, tangannya meluncur ke bawah hingga menjepit leher Rin, melingkarkan jemarinya di sepanjang lehernya. Cengkeramannya semakin keras, mencekik Rin dengan kebengisan yang menyakitkan, dengan nekat Rin menendang Osamu cukup keras hingga membuat pria itu terhuyung mundur dan jatuh ke lantai. Sambil terbatuk dan terengah-engah, mata Rin menyalak akan amarah. “You could’ve killed me!”
Osamu dengan cepat bangkit dan menghampiri Rin, menghimpitnya kembali di dinding, menjebaknya dengan tangannya. “Stop being dramatic! I’ve choked you before in bed, and you loved it.”
“Ini beda, brengsek!” Rin berteriak, suaranya serak dan bergetar, nada suaranya retak bagaikan kaca, putus-putus bagaikan benang. Dia tidak bisa berhenti berteriak – dadanya sesak, paru-parunya protes minta tolong, sementara air mata mengalir tanpa henti. Ketika Osamu melangkah maju lagi, menjebaknya, Rin meronta, mendorong Osamu dengan sisa tenaga yang ada.
“Kasih tahu aku,” desak Osamu, “kamu ngapain sama Atsumu?”
“Kita … kita cuma ngobrol.” Rin terengah-engah, menjawab di antara tangisnya.
“Kalau begitu, kenapa kamu bohong ke aku?” Suara Osamu dingin.
“Aku gak bermaksud! Maaf, Samu, tolong … maaf.”
Jari-jari Osamu semakin ketat menggenggam rahang Rin. “Apologize for what? For being a whore?”
Tiba-tiba, dengan kekuatan yang tidak pernah dia tahu ada, Rin berteriak “AKU BUKAN PELACUR!” dan menampar Osamu keras di wajah hingga kepalanya berputar ke samping, suara tamparan itu bergema di ruangan seperti petir. Osamu terdiam sejenak, terkejut, lalu kemarahan kembali muncul, dan tangannya meluncur ke arah Rin, menamparnya sebagai balasan. Dampak itu membuat Rin terjatuh ke lantai, air mata mengaburkan pandangannya saat pipinya berdenyut nyeri.
Dan dalam momen itu, saat tangan Osamu menggantung berat di udara, Rin teringat akan tamparan yang dilayangkan oleh tangan ibunya, bagaimana itu membuatnya terisak seperti ini, hancur dan kecil, meringkuk saat kenangan menerpanya.
“Fuck!”
Dengan satu makian terakhir, Osamu melangkah keluar dari apartemen, suara pintu yang dibanting menggema dan memantul di dinding. Rin bersandar di dinding sambil memeluk lututnya, air mata mengalir di pipinya bagaikan bendungan yang hancur.
Kepalanya berdenyut menyakitkan, rahangnya nyeri, dan pipinya memerah, bukan karena malu, tetapi karena tamparan yang dilayangkan oleh Osamu. Setiap rasa sakit di tubuhnya bagaikan pengingat pahit akan api cinta yang bertransformasi menjadi abu.
Sendirian dalam keheningan, Rin merasakan dunia seakan menutup di sekelilingnya, ia tenggelam di bawah beratnya harapan yang hancur, dan udara yang ia hirup terasa berat oleh hantu-hantu dari apa yang pernah ada.
Ketika Osamu melihat Rin bersama orang lain – bersama Atsumu, dari sekian banyak orang – segala sesuatu di dalam dirinya seakan meledak. Amarahnya membutakan, dadanya dipenuhi kemarahan yang berkobar seperti api yang tidak bisa dipadamkan. Tapi di balik kemarahan itu, ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang mencekik hatinya: ketakutan. Ketakutan yang merayap dan menghimpit rongga dadanya, membuatnya sadar betapa rapuhnya hubungannya dengan Rin. Betapa mudahnya bagi Rin untuk meninggalkannya, untuk memilih orang lain, untuk menyerah pada hubungan mereka dan pergi tanpa menoleh lagi.
Pikiran itu membuat Osamu ketakutan.
Dia benci bagaimana tangannya bergerak tanpa kendali, jemarinya mencengkeram Rin terlalu keras, meninggalkan bekas luka di tempat yang seharusnya hanya ada kelembutan. Dia benci bagaimana suaranya, kasar dan bergetar, melontarkan kata-kata yang tidak pernah dia maksudkan. Lonte. Kata itu berulang-ulang dalam pikirannya, setiap kali teringat kembali rasanya seperti pisau yang menghunjam lebih dalam di dadanya. Dia tidak bermaksud mengatakannya. Tuhan, dia tidak pernah bermaksud menyebut Rin seperti itu. Rin bukan seseorang yang bisa diperlakukan sembarangan, bukan sesuatu yang bisa dia perlakukan dengan kasar. Rin adalah segalanya, dan Osamu tahu dia telah menghancurkan semuanya.
Saat dia melihat wajah Rin yang dipenuhi air mata, penyesalan mulai menguasainya. Dia bukan orang yang suka menyakiti orang yang dia cintai, setidaknya, bukan seperti ini. Dia ingin menarik semuanya kembali, menarik Rin ke dalam pelukannya dan berbisik meminta maaf sampai rasa sakit itu hilang. Tapi sudah terlambat. Dia sudah melewati batas.
Yang paling menakutkan bagi Osamu, lebih dari kemarahannya sendiri, lebih dari kata-kata kejam yang tidak bisa dia tarik kembali, adalah kemungkinan Rin akan pergi. Bagaimana jika Rin benar-benar meninggalkannya? Bagaimana jika ini adalah hal terakhir yang membuat Rin menyerah, dan kemarahan Osamu akhirnya menghancurkan cinta mereka yang rapuh? Pikiran itu – bangun di tempat tidur yang kosong, tidak pernah lagi melihat senyum kecil Rin, membuatnya ketakutan. Rasa takut itu cukup membuat Osamu ingin berlutut dan memohon pada Rin untuk tetap tinggal, untuk tidak menyerah pada mereka, untuk tidak meninggalkannya.
Waktu sudah lewat tengah malam ketika Osamu kembali ke apartemen. Rin yang sedang bergelung di bawah tumpukan selimut lantas memejamkan matanya, berpura-pura tertidur pulas. Langkah kaki Osamu menggema di lantai marmer yang dingin, perlahan memasuki kamar dan menghampiri sisi ranjang tempat Rin berbaring. Napasnya tercekat begitu ia merasakan bagaimana Osamu berada di hadapannya, telapak pria itu menyisir lembut rambut Rin yang berantakan.
“Rin, maaf, maaf.” Suara Osamu keluar dengan parau dan serak – seperti di ambang tangis, seperti ia menyesali semuanya.
Rin meremas selimut dan tetap memejamkan mata, membiarkan Osamu mengelus rambutnya dan membisikkan kata maaf sampai pada akhirnya suara pria itu mengantarkan Rin ke alam mimpi.
His heart was bleeding, but at least it was still beating.