♫ You might want to listen to :
• Guilty as Sin – Taylor Swift
• Watch You Sleep – Girl in Red
• Michelle – Sir Chloe
• Renegade – Big Red Machine ft. Taylor Swift
• Take Me to Church – Hozier
• Fools – Troye Sivan
• Don’t Blame Me – Taylor Swift
• God Says Nothing Back – The Wallflowers
What if I roll the stone away?
They’re gonna crucify me anyway
What if the way you hold me is actually what’s holy?
If long suffering propriety is what they want from me
They don’t know how you’ve haunted me so stunningly
I choose you and me
… Religiously
Kiyoomi suka ketika semuanya berada dalam kendalinya. Seperti bagaimana ia menjadwalkan semua kegiatannya selama seminggu penuh dalam catatannya atau bagaimana ia mengendalikan bola voli di tangannya dan menentukan dengan presisi di mana bola itu akan mendarat. Bahkan, saat ia bersama seseorang, Kiyoomi selalu memastikan bahwa ialah yang memegang kendali. Ia selalu menempatkan posisinya sebagai pihak yang akan mengakhiri hubungan itu, bukan sebaliknya. Kulitnya meremang dan hatinya resah ketika sesuatu terjadi tanpa sepengetahuannya.
Kiyoomi tidak suka sesuatu yang spontan, sesuatu yang tiba-tiba, sesuatu yang berada di luar dugaannya. Sejauh ini, selama 21 tahun ia hidup, dia cukup percaya diri bahwa dia bisa mengendalikan sebagian besar hal dalam hidupnya.
Hingga Miya Atsumu muncul di hadapannya pada suatu Senin ketika matahari sedang panas-panasnya, mengenakan almamater kampus yang sama dengannya, berjalan memasuki gimnasium dan mengenalkan diri sebagai anggota baru dari klub volinya. Ada sesuatu tentang Miya yang membuat Kiyoomi gelisah. He doesn’t like how cooky Miya is. Berdiri setinggi 6'1" dengan rambut paling cerah dan sorot mata yang penuh akan arogansi. Sesuatu tentang Miya yang seringkali memamerkan pesonanya kepada manajer klub mereka, gadis-gadis random di kafetaria, bahkan rekan setim mereka. Miya melakukan itu kepada semua orang kecuali Kiyoomi.
Dia masih berisik di sekitar Kiyoomi, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Miya tetap secerah biasanya, tetapi juga seperti berjalan di atas serpihan kaca yang menusuk di sekitar Kiyoomi. Hal tersebut sangat mengganggu, membuat Kiyoomi ingin muntah.
Ada sesuatu yang membara jauh di dalam diri Kiyoomi setiap kali Miya hadir di sekitarnya. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa melemparkan dirinya sendiri ke luar jendela bukan lah ide yang buruk. Sesuatu yang muncul saat mereka berdiri bersebelahan, berada di kelas yang sama, atau ketika jari-jemari mereka bersentuhan tanpa sengaja saat keduanya berjalan menuju gimnasium.
Kiyoomi tidak tahu apa perasaan itu. Mantan kekasihnya di masa lalu tidak pernah memberinya sensasi konyol dan aneh hanya dengan sentuhan ujung jari. Kiyoomi membenci Miya karena untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak memiliki kendali atas apa yang akan terjadi.
Sakusa Kiyoomi sedang menulis cerita hidupnya di mana semuanya berjalan sesuai dengan garis besar alur yang telah ia rancang, hingga seorang tokoh baru bernama Miya Atsumu menulis kisahnya sendiri di atas kertas Kiyoomi tanpa mengatakan permisi.
Kiyoomi tidak tahu bagaimana hidupnya bisa sampai di titik ini. Titik di mana ia melakukan sebuah dosa besar yang tak termaafkan. Titik di mana ia mengkhianati Sang Pencipta, menenggelamkan dirinya di kubangan dosa, menyerahkan dirinya secara sukarela untuk menjadi bahan bakar agar api neraka tetap membara. Titik di mana ia merasa hina dan malu setiap kali harus berdiri di depan altar dengan doa menggantung berat di lidahnya.
Titik di mana ia harus bersimpuh setiap malam memohon ampun kepada Tuhan dengan air mata berlinangan. Persis saat ia merendahkan dirinya saat ini, bertumpu di kedua lututnya, berada di antara paha Atsumu dengan kepala laki-laki itu terlempar ke belakang. Lenguhan pelan terdengar dari kedua belah bibirnya, telapak tangan Atsumu yang besar dan kasar bersarang di antara surai ikal milik Kiyoomi. Menariknya, mengelusnya, mendorongnya agar Kiyoomi menghisap lebih dalam.
“Aah … Omi, watch your teeth, sayang. Can you go deeper?” Suaranya serak dan kental akan nafsu. Kiyoomi mencengkram paha Atsumu keras-keras, sebuah bentuk protes karena, ayolah, Kiyoomi tidak semahir itu untuk menelan keseluruhan kejantanan milik lelaki dengan surai keemasan itu. Namun, perlakuannya berbanding terbalik dengan isi pikirannya. Ia menurut. Kiyoomi menurunkan kepalanya lebih dalam, menahan sensasi ingin muntah dan tersedak, membiarkan bagaimana Atsumu menaik-turunkan kepalanya dengan ritme cepat. Lenguhan berganti menjadi geraman, cengkraman jari-jemari Atsumu di rambutnya semakin mengencang.
“Omi, I’m close. Telen apa gak?”
Kiyoomi menggeleng keras-keras. Ia bergumam di antara sumpalan kejantanan Atsumu di mulutnya.
“Telen aja, ya? Please.”
Terus ngapain nanya kalau akhirnya nyuruh aku telen?!
Kiyoomi tersentak saat cairan putih kental itu mewarnai dinding dan langit-langit mulutnya. Kepala penis milik Atsumu menabrak pangkal tenggorokannya, dan Kiyoomi mengerang dibuatnya. Atsumu melenguh dengan panjang dan keras, suaranya memantul di dinding tipis kost-an. Kiyoomi sampai khawatir tetangga kost Atsumu bisa mendengar bagaimana laki-laki itu hanyut dalam rasa nikmatnya. “Ughh … Omi, enak. Hehe.”
Kiyoomi menyeka tepian bibirnya dengan tissue yang pacarnya sodorkan. Di dalam mulutnya masih bersemayam cairan cinta milik Atsumu, membuat perutnya bergejolak. “Jangan dimuntahin. Telen.”
Dan Kiyoomi menelan semuanya tanpa rasa malu, layaknya anggur merah di perjamuan kudus.
People like him go to hell when they died.
Kiyoomi duduk temangu di atas ranjang Atsumu tanpa sehelai pakaian di tubuhnya. Bunyi air mengucur terdengar dari dalam kamar mandi, pertanda bahwa sang pemilik kamar tengah membersihkan sisa-sisa keintiman mereka. Kiyoomi menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, seolah kain tipis itu bisa menutupi dosa-dosanya. Menenggelamkan kepalanya di bantal, Kiyoomi mengerang protes saat Atsumu kembali dari kamar mandi dan menarik lengannya untuk bangkit. “Omi, ayo bersih-bersih dulu.”
“Gak mau … malas.”
“Ayo. Nanti pagi kamu pasti marah ke aku kalau badanmu lengket.”
“Kamu aja yang bersihin, ah!”
Atsumu mendengus, “Dasar manja. Bossy!” ledeknya, tapi ia tetap membasuh tubuh Kiyoomi dengan kain lap basah yang terasa hangat. “I know you don’t like cold water at night.” Nada bicara Atsumu yang lembut menyapa dengan sopan ke pendengaran Kiyoomi. Mendengar bagaimana Atsumu bicara dengan aksen daerahnya yang kental, Kiyoomi berusaha keras mengulum senyumannya, menahan sensasi geli di perutnya, dan menenggelamkan kepalanya lebih dalam ke bantal agar pacarnya tidak bisa melihat bagaimana pipinya bersemu merah.
“Ciee … malu. Salting, ya?”
Kiyoomi melempar bantal ke arah Atsumu dan mendarat tepat di wajah laki-laki itu. “Berisik!”
Bukannya marah, Atsumu malah tergelak kencang. “Kenapa malu, sih? Kayak sama siapa aja.”
“Justru karena sama kamu.” Suaranya pelan teredam bantal. “Cieee … sesayang itu ya sama aku?” Lagi-lagi ia diledek.
“Miya, have you ever stopped talking?”
“Omi, harusnya ‘kan aku yang nerima after care, bukannya kamu. You pounded me hard and fast, terus masih aku juga yang harus bersihin kamu? Teganya.”
Bukannya jawaban yang ia dapatkan, Atsumu lagi-lagi menerima bantal di wajahnya.
Atsumu tidak pernah mengerti jalan pikiran Kiyoomi. Satu jam lalu, ia merintih keenakan di bawah Atsumu, memohon agar Atsumu naik turun di atasnya dengan lebih cepat, ditandai lehernya sampai membiru, dan dilumat bibirnya hingga membengkak. Namun, sekarang ia menemukan Kiyoomi duduk bersimpuh di antara gelapnya kamar kost. Suara isakan sesekali lolos dari bibirnya, kalimat memohon ampun, dan Bapa, dan Tuhan, terdengar hingga menarik Atsumu dari tidurnya.
Lima belas menit lalu, Atsumu masih merasakan Kiyoomi dalam pelukannya sebelum laki-laki itu menarik diri dan melakukan entah apa yang ia lakukan sekarang. Atsumu is not a religious person, he has been straying away from God for as long as he remembers, but isn’t God supposed to be forgiving? Then, why does Kiyoomi always cry that loud? Always screams until his lungs gave up? Until his jaws break from his waterfall tears, like rocks on a beach worn away by the constant waves?
Atsumu kembali memejamkan matanya. Memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
5 months ago.
“Kalau kamu cewek, kita gak bisa kayak gini.” bisik Atsumu sambil menunjuk ke arah papan peringatan “DILARANG MEMBAWA LAWAN JENIS” yang menggantung di beberapa area kost – gerbang masuk, parkiran motor, hingga ruang tamu. Kiyoomi mendengus, “Kenapa harus aku yang jadi ceweknya?”
Mata kecoklatan miliknya membulat lucu, “Gak gitu! Aku juga boleh jadi cewek… eh tapi gak usah! Nanti gak bisa kayak gini.”
“If one of us were a girl, we could be accepted everywhere.”
“Not here, though.” Lagi-lagi omongan Kiyoomi ia balas dengan nada main-main yang menyebalkan, tapi kali ini disertai dengan kedipan mata yang sukses membuat wajah Kiyoomi terasa panas. Melihat bagaimana kedua pipi Kiyoomi berubah menjadi merah padam, Atsumu terkikik geli.
“Bego banget kamu, aneh.” Bibirnya mengutuk Atsumu, sementara otaknya membiarkan tubuhnya ditarik oleh laki-laki berambut pirang itu memasuki kamar kost dengan nomor 15 yang menggantung di pintu.
Siang itu, Atsumu rasanya seperti baru saja memenangkan lotre. Sakusa Kiyoomi. Iya, Sakusa Kiyoomi yang itu. Menerima ajakannya untuk mampir ke kost Atsumu, mengingat kelas mereka yang dibubarkan lebih awal dan dibatalkannya latihan voli klub mereka. Sakusa Kiyoomi yang selama hampir setahun selalu merajamnya lewat tatapan mata, kini menggenggam tangannya dengan erat ketika keduanya memasuki kamar sewaan miliknya.
Sakusa Kiyoomi yang selalu bertingkah seakan memusuhi seisi dunia itu sejak tiga minggu lalu berstatus sebagai pacar Atsumu.
“Kita mau ngapain, sih, di kost?”
“Atuh lah, yang, pacaran. Apa lagi?”
Atsumu suka bagaimana Kiyoomi selalu mengalihkan wajahnya setiap kali dialek daerahnya yang kental terlepas begitu saja. Bertahun-tahun menetap di Ibu kota, Atsumu berusaha keras untuk menyembunyikan dialek daerahnya yang kalau kata orang ‘mendayu-dayu’, demi dianggap serius bila ia sedang emosi, karena lagi-lagi orang bilang ‘orang Sunda kalau marah malah lucu’. Atsumu sebal mengingatnya. Tapi Kiyoomi tampaknya suka kalau ia bicara tanpa harus menyembunyikan dialeknya.
“Pacaran ‘kan bisa di kafe. Atau di mall.”
“Hmm, tapi nanti kita gak bisa kayak gini.” kata Atsumu sebelum ia menarik Kiyoomi untuk berbaring di ranjangnya. Tubuh pacarnya itu jatuh tersungkur di atasnya, Atsumu tergelak geli ketika Kiyoomi memekik karena terkejut. “Ih! Bego! Ngapain, sih, tarik-tarik?” sungutnya. Wajahnya yang dibingkai manis dengan helaian rambut ikal yang sehitam arang tepat berada di depan pandangan Atsumu. Posisi laki-laki itu kini berada di atas Atsumu, mengurungnya di antara lengannya yang bertumpu di ranjang.
“Baby, you look divine like this.” ucap Atsumu. Ia mengalungkan lengannya di leher Kiyoomi, menariknya ke bawah agar tubuh mereka semakin menempel lengket layaknya perangko. “Like an angel.”
Pupil mata Kiyoomi membesar, mengakibatkan kedua obsidian itu bertambah gelap layaknya lubang hitam yang siap menarik Atsumu ke dalamnya. Kiyoomi merendahkan dirinya, kini kedua lengannya berada di samping kepala Atsumu, jari-jemarinya menari dengan lihai di antara helaian rambutnya. “If I’m an angel, are you the devil?”
“Yeah … I’m the devil. And tonight I’m going to rip your wings so you couldn’t fly anymore, so you have stay with me. Forever.” Atsumu menarik kepala Kiyoomi agar mendekat, kemudian mengecup bibirnya singkat.
Atsumu bisa merasakan bagaimana tubuh Kiyoomi bergidik di atasnya. Wajah laki-laki itu berubah kaku, semburat merah kembali muncul dan menjalar hingga ke lehernya yang putih layaknya porselen. Gigi Atsumu rasanya gatal, ingin sekali ia menandai leher itu dengan warna biru, merah, kuning, dan hitam layaknya kanvas kosong. Kiyoomi kembali memajukan wajahnya, menarik Atsumu dalam sebuah ciuman yang dihadiri oleh benturan gigi dan pergulatan lidah.
“And then you’ll become the fallen angel.” ujar Atsumu di sela sesi ciuman mereka.
Di dalam hatinya, Kiyoomi menyetujui perkataan Atsumu. He’s indeed a fallen angel. Because he rebelled against his God, because he betrayed his faith, and because he just got casted away from heaven.
Kiyoomi melenguh panjang. Kepalanya terlempar ke belakang, nafasnya tersengal, pakaiannya entah hilang kemana, rambut ikalnya yang segelap malam berjatuhan di atas bantal, sementara ereksinya berdiri tegak layaknya tiang. Di sisi lain, Atsumu sibuk menghujani perut, pinggul, dan pinggang Kiyoomi dengan kecupan. Beberapa tanda biru menghiasi bagian dalam pahanya. Kiyoomi mendesah, “Miya –”
“Atsumu.”
“Ugh … nghh … Atsu, stop.”
“Why should I? Orang kamu keenakan gini, kok.” Atsumu masih sibuk menghujani pinggulnya dengan kecupan-kecupan kecil, sesekali lidahnya menari di atasnya. “I’m worshipping your body, Omi sayang.”
Kiyoomi tidak tahu bagaimana mereka bisa berakhir di posisi ini. Kunjungan singkat ke kost Atsumu berubah menjadi sesi ciuman panas, kemudian pakaiannya hilang dalam sekejap tanpa ia sadari. Sementara di sisi lain, Atsumu masih dibalut pakaian lengkap; kemeja warna biru langit dengan celana khaki. “Worshipping? Aah!” Kiyoomi tercekat saat lengan Atsumu tanpa sengaja menyenggol ereksinya. “Stop … don’t be ridiculous.”
“Why? I’m worshipping your body. It’s a cathedral for me, and the altar is your hips.”
Kiyoomi rasanya ingin menjerit. Ia ingin menarik kepala Atsumu agar menjauh dari dirinya. Ia ingin memungut bajunya dan pulang ke rumah, kemudian merenung di pojokan kamar sambil meminta ampun kepada Tuhan. Tapi semua isi pikirannya seketika lenyap saat ia merasakan sensasi hangat dan basah di antara ereksinya. Kiyoomi menatap ke bawah, terkejut saat melihat ereksinya lenyap di antara belah bibir pacarnya. Kakinya mengenjang dan kepalanya seketika pening.
“Aaah … Atsu,”
Kiyoomi tidak pernah melakukan hal semacam ini dengan mantan kekasihnya. Dia tidak seharusnya melakukan hal seperti ini dengan siapa pun.
People like him go to hell when they died, but Kiyoomi doesn’t have to die to experience it. Because Atsumu’s touch burned like hellfire against his skin.
“Aku gak pernah … aku gak tahu caranya.” Kiyoomi berkata dengan lirih. Kini ia bersimpuh di atas ranjang Atsumu dengan pemiliknya yang terbaring di bawah kukungan Kiyoomi. Atsumu menaikkan salah satu alisnya, “Kamu gak pernah sama mantanmu?”
Kiyoomi menggeleng dengan lemas. “Gak pernah. Lagian, kalau udah pernah juga gak ngaruh kali? Mantanku ‘kan cewek. Aku gak tahu caranya, I’m afraid I’ll hurt you.”
“You won’t. I trust you. Just put it in, I already prepped myself, didn’t I? Kamu lihat sendiri ‘kan tadi?”
Kiyoomi rasanya ingin menghapus ingatannya ketika Atsumu mengangkang di hadapannya dengan jari-jemarinya yang terkubur di dalam lubangnya sendiri. Atsumu bilang, Kiyoomi tidak perlu membantunya mempersiapkan diri, sebab ini kali pertama baginya dan Atsumu tidak mau Kiyoomi kabur karena merasa jijik. Vulgar. Porno. Kiyoomi ingin menghilang ditelan bumi.
Melihat pacarnya yang malah mematung dengan kaku di atasnya, Atsumu mendecak kesal. Ia pun merebut sekotak pengaman dan sebotol cairan lubrikasi dari genggaman Kiyoomi. Setelahnya, ia membalikan posisi keduanya, hingga kini Atsumu mengurung Kiyoomi di antara pahanya. “Lama kamu. Malah diem aja kayak orang oon.”
“Aku ‘kan udah bilang aku gak tahu caranya!”
Atsumu memutar matanya malas. Nafsunya sudah sampai di ubun-ubun dan ia akan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. “You,” Atsumu menunjuk ke arah Kiyoomi. “Just lay there and watch as I take you to heaven.”
Their first time was awkward. Atsumu rode him like a rodeo and Kiyoomi came embarrassingly fast. That night, Atsumu indeed brought heaven to him. Put it on his laps, on silver platter.
Dengkuran halus milik Atsumu terdengar, laki-laki itu tertidur lelap sambil memeluk guling kesayangannya. Kiyoomi duduk bersandar di kepala ranjang, sibuk mengamati bagaimana dada Atsumu naik turun dengan teratur. Juga sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Keintiman mereka berakhir beberapa jam lalu dan Kiyoomi tidak bisa mengusir potret saat Atsumu naik turun di atas tubuhnya dari dalam pikirannya. Kiyoomi menopang kepalanya di telapak tangan, merasakan bagaimana sensasi ingin muntah mulai berkumpul di perutnya. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan memasuki kamar mandi. Napasnya tersengal, keringat bercucuran membasahi wajahnya, dan perutnya bergejolak dengan menyakitkan.
Dengan tergesa-gesa, ia berjalan menghampiri kloset, memuntahkan keseluruhan makan malamnya tanpa sisa. Kepalanya sakit dan matanya berair. Setelah menekan tombol flush dan membilas mulutnya dengan air, Kiyoomi melepaskan pakaiannya satu per satu. Air shower mengucur deras di atas kepalanya, sementara figurnya terduduk lemas di atas lantai kamar mandi yang membeku. Kiyoomi menggosok kulitnya sekeras mungkin hingga merah menyala, air matanya bergabung dengan air kucuran dari shower, dan suara tangisnya teredam oleh suara air yang berjatuhan di lantai kamar mandi.
Ia terus menggosok kulitnya. Ia merasa kotor. Hina. Berdosa.
Gosok. Gosok. Gosok.
Hingga kulitnya memerah dan luka. Hingga tubuhnya bergetar. Hingga Tuhan mau menerimanya kembali.
Malam itu, Kiyoomi berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan melakukan hal hina seperti ini lagi. Tapi janji hanya lah janji yang mudah ia ingkari.
Present day.
“Liburan nanti kamu pulang ke Bandung?” tanya Kiyoomi saat keduanya tengah berbaring di atas ranjang Atsumu. Yang ditanya mengangkat kepalanya dari layar ponsel lalu menjawab, “Iya, baby. Soalnya si Samu pulang juga, katanya mau bawa cowoknya buat kenalin ke Mama.”
“Mama kamu … gak apa-apa, ya?”
“Soal apa?”
“Itu.”
“Gay?”
Kiyoomi mengangguk pelan. Jarinya memilin ujung bajunya, pandangannya terpaku ke bawah, dan pikirannya sibuk berkelana, ke sosok wanita di akhir 40-an yang fotonya menjadi wallpaper laptop Atsumu, seorang wanita yang menerima anaknya untuk mecintai sesama pria.
“Mama biasa aja, yang penting anaknya bahagia.”
“Tapi kan –”
“Apa? Dosa? Musuhin dan mengadili anak sendiri cuma gara-gara orientasi seksual juga dosa gak, sih? Harusnya?”
Kiyoomi menatap Atsumu lekat-lekat. “Two wrongs don’t make a right.”
“Ya namanya juga manusia. Tempatnya dosa.”
Kiyoomi terdiam kehabisan kata-kata. Andai pikirannya bisa sesederhana Atsumu, andai keluarganya bisa sepemaaf Atsumu dan Mamanya, mungkin Kiyoomi tidak akan menghabisi malam-malamnya sambil menangis dan membenci dirinya sendiri. Di tengah kesunyian antara keduanya, Atsumu tiba-tiba berkata, “Awalnya susah juga buat Mama terima Samu. She’s just doesn’t get used to it. Dia masih gak ngerti kenapa cowok bisa naksir sesama cowok. Tapi Mama gak ngehakimi Samu, mereka berdua perang dingin.” Atsumu menghela napasnya. “Tapi akhirnya Mama luluh juga, dan sekarang malah maksa Samu buat ngenalin pacarnya ke Mama.”
“Kalau kamu … udah come out?” tanya Kiyoomi pelan. Ia melirik Atsumu dari balik bulu matanya, masih enggan untuk mengangkat kepalanya.
“Hm, udah. I told her I’m bi. I think it was easier for Ma to accept it, karena aku come out jauh setelah Samu. Pas Mama udah terbiasa kalau ada orientasi seksual lain selain suka lawan jenis.” jawab Atsumu dengan enteng, seolah memberitahu Ibunya sendiri kalau ia menyukai sesama jenis adalah hal mudah layaknya obrolan santai di sore hari. “I’m glad we only have ma. Kalau Papaku masih hidup, bisa-bisa aku sama Samu dihajar sampai mati.”
Atsumu jarang menceritakan perihal Papanya, tapi Kiyoomi tahu pria itu semasa hidupnya adalah seorang jendral di angkatan darat. Atsumu juga selalu berkata bahwa didikan Papanya itu keras seperti di militer.
“Kalau kamu, sayang? Apa ada di keluargamu yang tahu kalau kamu suka cowok juga?”
Membayangkan bahwa ada anggota keluarganya mengetahui akan orientasi seksualnya otomatis membuat Kiyoomi rasanya ingin mati. “Gak tahu. Dan gak bakal ada yang tahu.”
Sebelum bisa membalas perkataan Kiyoomi, ponsel Atsumu berdering dengan nyaring. Nama ‘Samu’ tertera di layarnya. Atsumu mendecak, ia pun bangkit dari posisinya untuk menerima panggilan dari kembarannya itu. “Naon, sih?” (Ada apa, sih?)
“Iya, pulang. Teuing, aing acan ningali jadwal kereta, euy.” Suara Atsumu yang mendayu-dayu memanjakan telinga Kiyoomi. Ia mengunci setiap pergerakan pacarnya dalam pandangannya. “Maneh kumaha? Ih, rek naon? Jeung Sunarin?”
(Iya, pulang. Gak tau, aku belum lihat jadwal kereta).
(Kamu gimana? Ih, mau ngapain? Sama Sunarin?)
“Gelo mereun. Eh, kehed, maneh ka Jerman teh rek naon? Hah? Nikah kumaha, goblok? Maneh lulus kuliah aja belom. Tolol, anying, ieu budak teh kunaon, sih?” Kiyoomi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi entah kenapa, setiap kata yang keluar dari bibir Atsumu terdengar jenaka di telinganya.
(Gila kali. Eh, kamu ke Jerman tuh mau ngapain? Hah? Nikah gimana, goblok? Kamu lulus kuliah aja belom. Tolol, anjing, ini anak gimana, sih?).
“Samu, anying, tong kitu atuh. Bulol pisan, anying, geleuh. Ih, kereut ceuli aing. Asli na. Naon, sih? Masa mau serius banget banget banget sama Sunarin? Bengeut jiga dorokdok.”
(Samu, anjing, jangan gitu. Bulol banget, anjing, geli. Ih, potong kupingku. Serius. Apa, sih? Masa mau serius banget banget banget sama Sunarin? Mukanya kayak kerupuk kulit).
“Yaudah, iya. Muhun. Tong loba gaya jadi jeleuma teh, dengekeun aing, anying. Goblok maksimal punya Adi.”
(Yaudah, iya. Iya. Jangan banyak gaya jadi orang. Dengerin aku, anjing. Goblok maksimal punya Adik).
Sambungan telepon terputus, dan Atsumu kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. “Mi, si Samu goblok banget kenapa, ya?”
Kiyoomi mendengus geli, “You’re one to talk.”
“Ih, Omiii … dengerin aku dulu,” kata Atsumu dengan nada merengek. Ia mencebikkan bibirnya dengan lucu. Kiyoomi rasanya ingin menariknya ke dalam sebuah ciuman. “Si Samu masa mau ke Jerman? Mau nikah di sana? Dipikir ngurus surat-surat dan segala macamnya gampang apa? Lagian mereka berdua belum lulus kuliah! Lebih parahnya lagi, aduh emosi aing anying, si Samu sama pacarnya baru pacaran tujuh bulan! Tujuh bulan, Omi! Gelo.” Atsumu mencak-mencak. Dia berbicara dengan tangannya yang bergerak ke sana ke mari.
“Mungkin baru rencana doang.”
“It better be, duh. Lagian aku gak mau dilangkahin Samu, enak aja nikah duluan.”
“Dasar!” Kiyoomi melempar bantal ke arah Atsumu sambil tergelak geli. Atsumu melemparkan senyuman manis ke arahnya, matanya memancarkan afeksi hingga hati Kiyoomi rasanya seperti ditusuk belati. “Nikah, ya? Jerman? Kalau kita nanti di masa depan gimana, ya, Omi?”
Pertanyaan Atsumu ia biarkan menggantung di udara tanpa ditemani sebuah jawaban.