happy fucking birthday

deera
16 min readOct 13, 2024

--

Rumah keluarga Miya selalu terasa hidup, ramai akan suara obrolan, tawa, dan aroma masakan rumahan yang menggugah selera. Dekorasi ulang tahun menghiasi setiap sudut ruangan, dan sebuah spanduk besar tergantung di dinding bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Atsumu & Osamu”, Si Kembar tidak terlalu senang dengan spanduk yang dipajang (“Ma! Kita udah terlalu tua buat kayak ginian!” keluh mereka serempak, tapi Ibunya hanya tersenyum dan mengabaikan protes keduanya).

Meja makan sudah tertata, dihiasi kue ulang tahun dan berbagai hidangan — beberapa di antaranya dimasak oleh Osamu sendiri bersama Ibunya. “Kenapa aku yang masak buat pesta ulang tahunku sendiri, sih?” gerutu Osamu sambil mengaduk panci, membuat Rin tersenyum kecil melihatnya.

Rin, yang sejak tadi memperhatikan interaksi keluarga Miya, merasakan sebuah kehangatan yang mendalam, tapi juga ada rasa rindu yang tak terucap. Ia pun mengusir perasaan di hatinya dan memilih untuk melangkah ke dapur guna menawarkan bantuan. Rin pun berakhir dengan tugas menata makanan di piring dan membawanya ke ruang makan. Sementara itu, Atsumu sudah mengambil tempat di ruang tamu, dikelilingi oleh keponakan-keponakannya dan Pamannya, bercerita dengan penuh semangat tentang karier voli profesionalnya. Anak-anak kecil tersebut memandangnya dengan mata berbinar, terpesona oleh kisah-kisah Paman mereka yang menurutnya “Terkenal kayak artis!”

Tiba-tiba, Bibi Osamu masuk ke dapur dengan membawa beberapa wadah makanan. “Mira!” panggilnya kepada Ibu Osamu. “Aku bawain makanan nih, taruh di mana, ya?”

Mira berbalik badan lalu mengelap tangannya di celemek, ia menghela napas meski suaranya terdengar penuh kasih sayang. “Aku ‘kan sudah bilang, kamu gak perlu repot-repot bawa makanan! Jadi ngerepotin aja.”

Bibi tertawa kecil. “Ah, jangan gitu! Aku juga mau masak sesuatu yang enak buat keponakan-keponakanku yang paling kusayang!” Ia pun mencubit pipi Osamu, yang langsung berusaha menghindar. “Bibi! Gangguin Tsumu aja, aku lagi sibuk masak.” keluh Osamu sambil tetap fokus pada masakannya.

Mira kemudian mengambil wadah-wadah tersebut dari tangan adiknya dan beralih pada Rin dengan senyuman lembut. “Rin, sayang, bisa tolong pindahin ini ke piring dan bawa ke meja makan?” Suaranya penuh kelembutan, jenis suara yang selalu membuat hati Rin merasa tenang. Bagi Rin, Mira sudah seperti ibu yang tak pernah ia miliki – seorang yang menganggapnya seperti anak sendiri. Hati Rin terasa berat akan kenyataan bahwa wanita baik hati ini tidak tahu bahwa salah satu putranya berubah menjadi seperti mantan suaminya, pria yang dulu menghancurkan hati Mira, pria yang meninggalkan keluarganya.

“Oke, Ma.” jawab Rin. Sebutan itu keluar begitu saja, seakan sudah menjadi hal alami baginya memanggil Mira dengan sebutan Ma.

“Terima kasih, sayang.” kata Mira, sambil menepuk lembut lengan Rin. Rin tersenyum kecil dan meninggalkan dapur.

Saat berjalan menuju meja makan, Rin mendengar bisikan pelan dari arah dapur. Mira dan Bibi sedang berbincang dengan nada rendah, seolah-olah percakapan itu hanya untuk mereka. “Dia datang gak?” tanya Bibi, suaranya terdengar getir.

Jawaban Mira lembut, tapi tegas. “Gak, dia gak datang. Gak pernah datang.”

Ada jeda sebelum suara Bibi terdengar lagi, kali ini lebih tajam. “Bagus. Lelaki brengsek tukang selingkuh kayak dia emang gak pantas di sini. Setelah semua yang kamu lakuin buat dia dan anak-anak, dia ninggalin keluarganya gitu aja. Sumpah, ya, semoga dia hidupnya menderita!”

Langkah Rin terhenti sejenak. Tangannya sedikit bergetar saat ia meletakkan piring-piring di atas meja. Ia mengepalkan tangan, jemarinya mencengkeram erat piring di tangannya. Sungguh aneh bagaimana kehidupan seperti berputar dan mengulang kejadian yang sudah lampau, bagaimana siklus luka bisa berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bibi Osamu benar-benar punya hak untuk mengutuk pria yang menghancurkan keluarganya, tapi jauh di dalam hati, Rin tak bisa menahan pikirannya sendiri: Keponakanmu juga ngelakuin hal yang sama.

Ironi itu terasa seperti garam yang ditaburkan pada luka terbuka. Di sini, Osamu — putra Mira, anak yang begitu dicintai oleh Ibunya — mengkhianati orang yang mencintainya dengan cara yang sama seperti ayahnya dulu. Osamu menghancurkan apa yang telah mereka bangun bersama, sama seperti bagaimana Ayahnya menghancurkan keluarganya.

Rin terus menata piring dalam diam, tangannya bergerak otomatis, seolah tubuhnya masuk ke dalam mode auto-pilot. Ia meletakkan setiap hidangan dengan hati-hati di meja makan, namun pikirannya melayang jauh dari ruangan itu, jauh dari tawa yang memantul dari dinding rumah keluarga Miya, jauh dari Osamu.

Cahaya hangat dari lilin menerangi ruangan, memancarkan bayangan yang berpendar di wajah-wajah tersenyum yang berkumpul mengelilingi meja makan. Di tengahnya, sebuah kue ulang tahun berada, dihiasi dengan dua lilin sederhana berbentuk angka “24". Keluarga Miya menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” dengan penuh semangat, suara-suara mereka ringan penuh kebahagiaan, Atsumu tertawa sambil merekam semuanya dengan ponselnya. Senyuman pria bersurai pirang itu membentang lebar, matanya bersinar dengan kebahagiaan, sementara Osamu duduk di sampingnya dengan senyuman lembut — senyuman yang dulu membuat hati Rin berdebar, senyuman yang pernah ia pikir hanya untuknya.

Kue dipotong, irisan-irisan disebarkan, dan percakapan memenuhi ruangan. Semua tampak bahagia, segalanya terlihat sempurna. Rin duduk diam sambil memainkan kue di piringnya, memindahkannya dari satu sisi ke sisi lain tanpa benar-benar memakannya. Suara-suara di ruangan itu terasa jauh, tenggelam oleh kebisingan di kepalanya.

Pada satu titik, Bibi melontarkan pertanyaan dengan nada bercanda. “Atsumu, kapan kamu mau menikah, hah? Nanti tambah tua, lho!”

Atsumu tertawa, menggelengkan kepala. “Bibi, aku aja gak punya pacar buat dinikahin!” jawabnya dengan seringai khasnya, membuat ruangan itu kembali dipenuhi gelak tawa.

Ibunya, Mira, ikut menimpali, melambaikan tangan seolah menepis topik pembicaraan yang baru saja terjadi. “Alah, gak usah ngomongin Tsumu, dia terlalu pemilih anaknya!” katanya dengan senyuman menggoda. Lalu, dengan tatapan yang membuat perut Rin terasa mual, ia menoleh ke Osamu. “Osamu, sayang, kapan kamu mau kasih cincin ke jari Rin?”

Ruangan bergemuruh dengan sorak-sorai kecil dan beberapa suara yang memuji betapa lucu dan serasinya mereka sebagai pasangan. Osamu tertawa kecil, menggenggam tangan Rin di bawah meja. Tapi, saat tangan Osamu menyentuhnya, sesuatu di dalam Rin menolak. Sentuhannya bukan lagi kehangatan yang dulu ia sukai, melainkan lebih terasa seperti bara api — panas dan mencekik. Dengan kikuk, Rin terkekeh pelan tanpa memberikan jawaban apa pun dan menarik tangannya dari dalam genggaman Osamu.

Semua mata tertuju pada mereka, mengharapkan jawaban yang romantis. Namun di dalam dirinya, Rin merasa segalanya hancur. Jantungnya berdegup lebih keras dari percakapan di sekitarnya, napasnya terasa dangkal, dan ruangan seolah memudar. Kepanikan menjalar, mendesak ke tenggorokannya, dan ia menelannya dengan paksa, memaksakan senyum agar tidak ada yang menyadari.

Di balik tawa, obrolan, denting gelas dan piring, pikiran Rin berteriak dengan keras dan tak kenal ampun. Dia berselingkuh. Dia berbohong. Dia kelihatan cinta sama aku, tapi dia bersama orang lain. Semua orang melihat pasangan yang sempurna. Mereka melihat cinta yang seharusnya ada, masa depan yang mereka percaya sudah pasti. Tapi Rin tak bisa melihatnya, yang ia rasakan hanyalah kenyataan pahit yang menghantui mereka, dan dia ingin berteriak. Dia ingin lari. Dia ingin semuanya berhenti, tapi dia hanya tersenyum dan memainkan irisan kue di atas piringnya.

“Rin, sayang?” suara lembut Mira membawanya kembali ke kenyataan. “Kamu gak apa-apa? Kamu hari ini diam banget, lho, nak.”

Rin mengangguk, memaksa dirinya untuk berbicara, meskipun kata-katanya terasa seperti pecahan kaca di tenggorokannya. “Aku gak apa-apa, Ma. Capek aja.”

“Omongan Mama yang tadi gak usah terlalu dipikirin, ya, sayang. Mama cuma bercanda aja, gak maksa kalian buat nikah cepat, kalia — ”

“Aku gak akan nikah sama Samu, Ma.” Rin memotong perkataan Mira, seluruh pandangan mata kembali tertuju ke arahnya. Osamu yang duduk di sebelahnya menatap Rin keheranan, tanda tanya imajinatif seolah muncul di atas kepalanya. “Babe?” Osamu berbisik, suaranya kecil dan takut. Sementara itu, Atsumu berubah kaku di kursinya.

Rin tersenyum lembut, ia meletakkan alat makannya, lalu melipat lengannya di atas meja. “Aku sama Samu gak akan nikah.”

“Kenapa, sayang?” Mira bertanya, mata kelabunya – yang identik dengan milik Osamu — memperhatikannya dengan penuh kekhawatiran. Dalam sekejap, tatapannya hampir membuat Rin ragu, hampir membuatnya kembali berperan di panggung sandiwara yang sudah ia bangun, berpura-pura semuanya baik-baik saja.

“Karena Samu selingkuh,” jawab Rin dengan singkat, suaranya terkesan tenang. Tidak ada getaran maupun ketegangan yang biasanya mencekik tenggorokannya. “Iya ‘kan, Samu?”

“H-hah? Maaf semuanya, Rin emang suka bercan — ” Osamu tergagap, panik terlihat di matanya.

“Gak, aku gak bercanda.” potong Rin, nada suaranya tetap tenang, berbanding terbalik dengan kepanikan yang terlukis jelas di wajah Osamu. “Dia selingkuh pas kita LDR — hubungan jarak jauh. Sudah hampir enam bulan sekarang, iya ‘kan, Samu?”

Ruangan seketika sunyi, semua orang menatap Osamu dan Rin secara bergantian. Namun, Rin belum selesai. Ketentraman dalam suaranya mulai memudar, kepercayaan dirinya beralih menjadi sesuatu yang lebih manik, tidak stabil. “Dia bahkan gak ngelakuin itu depan mataku! Chat-an lah malam-malam! Teleponan juga! Ciuman di ruang storage resto pas aku bilang mau ke toilet sebentar! Semua itu dia lakuin sambil bilang kalau dia cinta sama aku, sambil bilang kita baik-baik aja!”

Suara Rin semakin keras, kini berubah histeris, tangannya bergetar saat ia mencengkeram tepi meja. Bibi bangkit dari kursinya dan mengusir anak-anak untuk pergi ke lantai atas, urusan orang tua, katanya.

“Dan aku terus diam! Aku biarin aja dia bohongin aku, karena aku pikir kalau aku gak bilang apa-apa, mungkin dia bakalan sadar. Tapi gak! Gak berhenti! Malah sampai jadian! Iya ‘kan, Samu? Jawab!”

Rin tertawa pahit, suaranya seakan terlalu keras untuk ruangan kecil itu. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Ia bisa merasakan mata semua orang tertuju padanya, lebar dengan keterkejutan, tetapi ia tidak bisa berhenti. Kata-kata terus meluncur keluar, tajam dan tak terkontrol. “Dia bahkan sudah hubungan badan sama selingkuhannya itu! Bohongin aku selama berbulan-bulan! Dan kamu harap aku terus senyum sambil bilang semuanya gak apa-apa? Gak apa-apa kalau pacarku punya pacar kedua? Gak apa-apa kalau sebenarnya aku hampir gila?! Itu yang kamu mau, Samu?! Jawab!”

Osamu bangkit hingga kursinya berderit, ia berdiri menjulang di hadapan Rin dengan amarah yang berpendar di matanya. “Rin, berhenti ngomong ngaco! Kamu gak lihat kita ada di mana, hah?!” Ia menggeram, suaranya keluar di antara giginya yang bergemeletuk serta napasnya yang memburu.

“Justru aku bilang biar keluarga kamu tahu kalau kamu itu bejat! Brengs —”

“Cukup! Udah!” Mira memekik, suaranya bergetar, wajahnya memerah dengan air mata yang siap tumpah. Pusaran emosi terlihat jelas di wajahnya — kebingungan, kaget, amarah, kesedihan — semuanya seakan menghimpit hati Rin, membuat rasa bersalah menguar di dadanya. Rasanya seperti ia baru saja melukai ibunya sendiri.

“Apa maksudnya semua ini, hah? Kenapa tiba-tiba jadi begini?” Suara Mira melemah, nyaris tak terdengar. Atsumu cepat berdiri untuk menghampiri ibunya dan memeluknya erat, mencoba menenangkan.

“Ma, jangan dengerin apa yang Rin bilang, dia itu cuma asal ngomong —”

“Aku gak bohong!” Rin menyela, suaranya tajam penuh kemarahan. Ia muak dan geram bagaimana Osamu selalu berhasil memutar balikan fakta, membuat orang-orang percaya pada versinya, karena ia tampak baik, tampak seperti orang yang tidak mungkin berbuat salah. Tapi Rin tahu lebih baik, dan kepahitan akan kebenaran tersebut membuat tenggorokannya terasa terbakar. “Aku ngomong yang sebenarnya! Dia selingkuhin aku!”

Osamu meneguk ludah, wajahnya menegang. “Ma, semuanya,” katanya, suaranya terdengar pura-pura tenang, “kalian semua tahu latar belakang keluarga Rin yang gak harmonis, ‘kan? Karena itu Rin suka gak stabil. Ini semua gara-gara itu! Kelakuannya yang gak masuk akal ini! Aku cuma nggak kasih perhatian ke dia sebentar, dan sekarang dia nuduh aku selingkuh! Brilliant!” Suaranya semakin tinggi saat ia melihat ke sekeliling meja dan menunjuk Rin. “Dia sudah gak waras! Dia gak stabil secara mental —”

“Diam!” Tubuh Rin bergerak lebih cepat dari pikirannya, tinjunya menghantam Osamu dalam sepersekian detik. Osamu tersungkur ke lantai, terjatuh dengan keras. Jeritan terdengar di sekeliling meja ketika Rin kembali hendak memukul, kali ini lebih kuat, tapi Atsumu cepat-cepat menahannya dari belakang dengan erat.

“Beraninya kamu nyalahin kondisi mental dan keluargaku buat ini! You’re fucking disgusting!” Rin hampir berteriak, tubuhnya meronta dalam dekapan Atsumu. “Kamu selingkuh, dan sekarang kamu mau nyalahin aku?! Dasar brengsek!”

“Oh Tuhan, udah! Berhenti!” Suara Mira bergetar, dan Rin mendengar isak tangisnya, tapi kepalanya hanya terisi kemarahan yang menyala-nyala.

“Tsumu!” Rin berteriak, suaranya parau, napasnya memburu. “Bilang ke semuanya! Kamu tahu soal perselingkuhan itu! Kasih tahu mereka!”

Ruang makan mendadak sunyi, seakan semua udara dihisap keluar dari ruangan itu. Wajah Osamu memucat, ia melirik panik pada saudara kembarnya, memohon dalam diam. “Tsumu gak bakal bilang apa-apa,” Osamu berbisik, suaranya terdengar getir. “Dia saudara aku. Dia gak akan —”

Tapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Mira menatap Atsumu dengan mata penuh air mata. “Nak? Apa yang dibilang Rin itu benar?” suaranya kecil, rapuh, penuh ketakutan. Pertanyaan itu menggantung di udara, menunggu jawaban yang tak diinginkan oleh Osamu.

Atsumu ragu sejenak, genggamannya pada Rin mengedur. Semua orang menahan napas, tegang.

“Apa itu benar, Nak?” Suara Mira pecah. “Apa Osamu selingkuh?” Ia mengulang pertanyaannya, mendesak Atsumu secara tidak langsung.

Atsumu menutup matanya, wajahnya menegang dengan rasa bersalah yang selama ini ia simpan. “Iya, Ma,” bisiknya. “Osamu udah selingkuh dari Rin selama setengah tahun. Aku tahu, tapi Rin minta aku buat nggak bilang apa-apa.”

Makian keluar dari mulut Bibi dengan cepat, lantang dan penuh amarah, sementara Mira mematung di tempat. Energi Rin semakin meledak-ledak, tubuhnya menggeliat dalam dekapan Atsumu, kemarahan menguasainya. Osamu berdiri terpaku, wajahnya pucat, tak sanggup membela diri.

Kemudian tamparan itu datang.

Tangan Mira mendarat di wajah Osamu dengan keras, suara tamparannya menggema di ruangan layaknya petir. “Berani-beraninya kamu?!” isaknya, suaranya serak oleh kekecewaan, oleh patah hati. “Gimana bisa kamu ngelakuin hal bejat kayak gitu ke Rin? Ke Mama?”

Osamu tersentak, tangannya terangkat ke pipinya, tapi ia tak berkata apa-apa. Tak ada yang bisa ia katakan, tatapan Ibunya penuh dengan kesedihan dan kemarahan, menusuk jantungnya seperti pisau.

“Mama kecewa banget sama kamu,” Mira berbisik, suaranya nyaris tenggelam dalam pusaran emosi yang menguasainya. “Kamu sama aja kayak dia. Sama aja kayak Papamu. Kamu lihat sendiri gimana Mama dulu jadi gila karena diselingkuhin berkali-kali! Kamu tahu kalau kalian berdua tumbuh besar gak ada peran ayah ya itu karena Papamu itu milih pergi sama selingkuhannya! Kamu juga tahu kalau Mama harus kerja banting tulang dari pagi ketemu pagi karena Papamu nolak ngasih nafkah! Lebih milih biayain selingkuhannya! Osamu, Osamu, Osamu … kamu tahu jelas perselingkuhan itu yang ngehancurin keluarga kita! Ngehancurin masa kecil kamu! Tapi kamu malah lakuin itu? Gimana bisa?!”

“Ini bukan pertama kalinya dia selingkuh.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Rin tanpa bisa dia tahan.

“Rin, shut the fuck up!” Osamu menggeram, tatapannya menusuk ke arah Rin. Wajahnya memerah, memar-memar dari pukulan sebelumnya masih terlihat jelas, dan sesuatu di dalam diri Rin ingin memperburuk semuanya.

Alis Mira berkerut, keterkejutan jelas tergambar di wajahnya. “Apa?”

Rin menelan air liurnya dengan susah payah sebelum menjawab, “Waktu itu pas SMA … dia selingkuh. Sama cewek kelas dua.”

“Diam, Rin!” Suara Osamu meledak, penuh amarah yang menggema dan memantul di dinding.

“Apa?! Itu sudah 6 tahun yang lalu!” Bibi Osamu menjerit, terjatuh ke kursinya karena terkejut.

Suara Rin terdengar tenang, tapi penuh penekanan, setiap kata seolah memotong udara tegang di sekitarnya. “Aku maafin dia karena kupikir dia bakal berubah. Tapi sekarang aku sadar, selama ini aku cuma dimanipulasi, dibikin percaya — ”

Osamu langsung memotong, mencoba memindahkan perhatian orang-orang. “Oke! Kalau kita mau ngebahas soal perselingkuhan, kenapa kita gak ngomong soal gimana kamu dan Atsumu diam-diam ketemuan di apartemennya di belakang gue, hah?”

Ruangan mendadak sunyi. Tubuh Atsumu menegang di belakang Rin, sementara tangannya terkepal di samping tubuhnya.

“Apa?” Rin mengalihkan pandangannya ke arah Osamu, kebingungan menyeruak dalam dadanya.

Atsumu, dengan wajah yang dipenuhi kemarahan, menatap Osamu tajam. “Itu bukan hal yang sama, dan lu tahu itu! Gue sama Rin cuma temenan! Gak ada apa-apa, lu tahu itu!”

“Oh, iya? Temenan?” Osamu mengejek, seringai sinis terukir di bibirnya. “Lu berharap gue percaya? Lu selalu iri ‘kan sama gue?! Dari SMA, lu udah naksir Rin. Lu cemburu waktu dia milih gue, iya ‘ kan, Tsumu?”

Rin membeku, napasnya tertahan di tenggorokan saat kata-kata Osamu menggantung di udara. Wajah Atsumu berkerut karena amarah.

“Diam.” Suara Atsumu rendah, penuh ancaman. Badai yang sebentar lagi meledak.

Osamu tersenyum licik, menekan lebih keras. “Iya, terus aja, menyangkal! Lu gak bisa dipercaya karena dari dulu lu selalu pengen apa yang gue punya. Lu selalu pengen Rin — ”

Sebelum Osamu bisa menyelesaikan ucapannya, Atsumu mendorong Osamu hingga keduanya jatuh terjerembab di atas lantai, tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Dia menjatuhkan Osamu ke lantai dengan geram, menahannya dengan tangan yang terkepal erat di kerah baju Osamu.

You’re full of shit, Samu!” Atsumu menggeram, suaranya gemetar karena amarah. “Lu gak bisa terima kenyataan kalau lu yang ngerusak semuanya, jadi lu mau seret gue ke dalam masalah lu, hah? Iya? Biar lu kelihatan suci depan orang-orang?!”

Osamu berusaha meronta di bawah Atsumu, tangannya mencoba mendorong kembarannya, tapi cengkeraman Atsumu keras seperti baja. Buku-buku jarinya memutih saat kepalan tangannya semakin kencang mencengkeram baju Osamu, menariknya lebih dekat, wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.

You’re a fucking liar!” Atsumu memuntahkan kata-katanya, matanya membara dengan pengkhianatan yang sudah terlalu lama dia pendam. “You don’t get to twist this around. You don’t get to make me the villain just because you can’t own up to your own fucking mistakes! You act just like Pa, fucking disgusting!” Kemudian, ia melayangkan tinjunya ke arah Osamu. Kepalan tangannya mendarat berkali-kali di atas wajah Osamu. Osamu yang tidak terima, membalas tiap pukulan Atsumu sama kerasnya.

Teriakan Mira pecah di udara, suaranya keluar dengan kepanikan ketika ia berusaha melerai kedua putranya. “Berhenti! Berhenti, kalian berdua!”

Dia berlari ke arah mereka, air mata mengalir di pipinya, mencoba memisahkan kedua putranya. Tangannya gemetar saat dia meraih lengan Atsumu, memohon. “Atsumu, Osamu, tolong! Berhenti!”

Tangisan Ibu mereka tenggelam oleh amarah yang melahap keduanya, ruangan dipenuhi ketegangan yang memecah ikatan keluarga yang selama ini mereka bangun.

Paman mereka, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah tegang sejak keributan dimulai, akhirnya melangkah maju dengan cepat saat melihat Atsumu di atas tubuh Osamu. Tanpa berpikir panjang, dia meraih bahu Atsumu dan menariknya dengan kuat, mencoba memisahkan kedua saudara kembar yang saling terjerat dalam pertengkaran brutal.

“Atsumu, sudah!” suaranya keras, penuh otoritas, mencoba menenangkan situasi yang sudah di luar kendali.

Namun Atsumu meronta, mencoba melepaskan diri dari genggaman pamannya. Tangannya masih terkepal, dadanya naik-turun dengan napas berat. “Lepasin aku!” teriaknya, berusaha melawan tarikan pamannya, amarahnya belum mereda. Osamu, masih terengah-engah, merangkak perlahan ke belakang, berusaha menjauh dari jangkauan Atsumu. Wajahnya memar, bibirnya pecah, tapi matanya masih memancarkan amarah yang tak kalah besar.

Akhirnya, setelah meronta-ronta, keduanya berhasil dilerai, tubuh Atsumu ditahan dengan erat oleh Pamannya yang kini berdiri di antara mereka, menjadi penghalang di tengah pertikaian. Suasana ruangan terasa tegang, seolah semua orang menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Dasar bajingan lu, Tsumu! Fucking violent piece of shit!” Osamu memaki sambil mengusap darah di sudut bibirnya.

Rin mendengus, suaranya bergetar penuh kemarahan. “Kamu gak punya hak buat nyebut orang lain kasar, Samu. Kamu sendiri main tangan ke aku sampai aku luka dan lebam!” Matanya menyipit penuh emosi ketika ingatan tentang perlakuan Osamu yang kasar kembali hadir. Dadanya terasa panas, penuh dengan rasa sakit, dan air mata kembali menggenang di pelupuknya.

Mendengar itu, Bibi tiba-tiba berdiri, mengangkat tangannya ke udara dengan penuh frustrasi. “Oh, ini kayak deja vu! Dia benar-benar anak Ayahnya! Udah, aku keluar dari sini!” ujarnya, sebelum pergi dari ruang makan, diikuti oleh suaminya. Kini hanya tersisa empat orang — Rin, si kembar, dan ibu mereka — di ruangan yang penuh dengan ketegangan.

“Sialan lu, Samu! Berani-beraninya lu main tangan ke Rin!” Atsumu menggeram, ia kembali meluncur ke arah Osamu dengan kepalan tangan terangkat. Dalam sekejap, dia kembali berada di atas Osamu, memukulinya tanpa ampun. Osamu menjerit, berusaha menangkis dan menendang Atsumu sekuat tenaga. Rin hanya bisa diam menyaksikan keduanya saling menghajar satu sama lain. Darah berceceran di lantai, wajah mereka penuh dengan luka dan memar. Tapi yang bisa Rin lakukan hanya berdiri di sana, hatinya sakit.

“Atsumu,” suara Ibunya akhirnya terdengar di tengah suara tinju yang menghantam, terdengar kosong dan lelah. “Berhenti mukulin Osamu.”

Atsumu ragu sejenak, napasnya berat, sebelum akhirnya mendorong dirinya menjauh dari tubuh Osamu yang babak belur. Ia berdiri, darah menetes dari tangannya, api kemarahan di matanya masih menyala meskipun mulai meredup. Osamu terbaring di lantai, terengah-engah, wajahnya hancur oleh memar dan darah.

Mira berdiri perlahan, berjalan ke arah Osamu dengan langkah berat. Matanya berkilau oleh air mata yang belum jatuh saat ia memandang anaknya. “Siapa kamu?” bisiknya, suaranya patah oleh beban kesedihan. “Karena anakku, anakku gak akan kayak gini. Dia gak akan bertindak kayak Ayahnya. Siapa kamu?”

Rin sedang duduk merenung di tepi ranjang kamar tamu ketika sebuah ketukan pelan terdengar di ruangan yang hening. Ia tersentak, berkedip beberapa kali untuk mengusir kabut emosinya sebelum berkata, “Masuk aja, gak dikunci.”

Pintu terbuka perlahan, dan di sanalah Osamu berdiri. Wajahnya penuh dengan plester, bukti dari perkelahian yang baru saja terjadi. Luka-lukanya sudah dibersihkan, dan hati Rin terasa nyeri melihatnya. Karena, meskipun Osamu telah menyakitinya, ia masih mencintai pria ini, ia tidak bisa membencinya, dan Rin tak yakin apakah ia akan bisa mencintai orang lain seperti ia mencintai Osamu.

Osamu melangkah masuk, ragu-ragu di ambang pintu, terlihat bingung dan ketakutan. “A-aku cuma mau ambil tasku.” gumamnya, menunjuk ke arah tas duffel yang tergeletak di sudut ruangan.

Rin hanya mengangguk, memperhatikan Osamu berjalan menyeberangi ruangan. Gerakannya kaku, canggung, seolah ia tak lagi punya tempat di sini. Ia mengambil tasnya dan hampir berbalik untuk pergi ketika Rin memanggil.

“Osamu.”

Osamu terhenti, berbalik menatapnya, secercah harapan di matanya. “Ya?”

“Kita selesai. Aku mau putus.”

Kata-kata itu menggantung di udara, tajam dan final. Suara Rin terdengar mantap, tapi di dalam, segalanya terasa berguncang. Ekspresi Osamu berubah, wajahnya seolah runtuh seakan kata-kata itu melukai dirinya secara fisik. Sesaat, Osamu terlihat seperti tak bisa bernapas. “Gak,” bisiknya, ia pun melangkah maju menghampiri Rin. “Gak, Rin, please, kita gak harus putus. Aku bakal — aku bakal akhirin semuanya sama Keiji. Aku berani sumpah, aku bakal berhenti. Aku cuma cinta sama kamu, Rin. Dari dulu, cuma kamu.”

Rin menggeleng, air matanya hampir tumpah tapi ia menahannya, keteguhan dalam dirinya semakin menguat. “It’s too late, Osamu. Aku gak bisa lagi. Aku gak mau.”

Osamu melangkah lebih dekat, suaranya bergetar, “Rin, please. Kita bisa perbaikin semuanya, mulai dari awal. Give me another chance, please, I swear I’ll make it up to you.”

“Gak mau!” Rin berkata, hampir berteriak. “Besok aku pulang. Aku naik kereta pagi, dan dua hari lagi, aku ke apartemenmu buat ambil barang-barangku.” Kata-katanya terdengar final, seolah setiap suku kata adalah paku terakhir yang menghujam peti mati hubungan mereka.

Ada keheningan panjang di antara mereka, udara dipenuhi kata-kata yang tak terucap. Osamu berdiri membeku, menggenggam tas duffel hingga buku-buku jarinya memutih. Suaranya kecil ketika ia akhirnya berbicara lagi, kebingungan dan rasa sakit terukir di setiap kata. “Kalau kamu udah tahu … Kalau kamu udah tahu soal aku dan Keiji, kenapa gak bilang apa-apa? Kenapa nunggu sampai sekarang? Kenapa di depan keluargaku?”

Mata Rin berkedip, rasa sakit terlihat jelas di sana, tapi dingin. “Karena,” ia mulai berkata, “Aku mau bilang hari ini, di hari ulang tahunmu. Aku mau kamu terus ingat soal ini. Setiap tahun, pas hari ini datang lagi, aku mau kamu ingat apa yang udah kamu lakuin. Aku mau rasa bersalah itu ngehantuin kamu setiap kali kamu ulang tahun. Aku mau hari ini hancur buat kamu selamanya.”

Osamu terlihat seperti baru saja ditampar, beratnya kata-kata Rin menghantam dirinya. Tapi Rin belum selesai.

“Dan aku mau keluargamu tahu kalau kamu orangnya gak kayak apa yang mereka pikir.” Ekspresi hancur terlukis nyara di wajah Osamu, bahunya merosot di bawah beban kata-kata Rin. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu — apa pun — untuk mengambil semuanya kembali, untuk memperbaiki semuanya. Tapi tak ada lagi kata yang tersisa. Hanya keheningan yang menyesakkan.

Goodbye, Osamu,” bisik Rin, keputusasaan dalam suaranya memotong udara layaknya pisau.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

No responses yet