Aran selalu membanggakan dirinya sebagai pria yang berprinsip. Ia bukan tipe yang suka menunda pekerjaan, patuh pada aturan, menghormati orang yang lebih tua, dan, sejak memasuki usia dewasa, ia menambahkan satu prinsip lagi ke dalam daftarnya: tidak menjalin hubungan seksual dengan siapa pun dari lingkaran pertemanannya. Selama lebih dari dua dekade ia hidup, prinsip-prinsip tersebut tetap berdiri kokoh layaknya pilar di dalam dirinya. Setidaknya, sampai ia berhadapan dengan Osamu Miya.
Osamu, yang telah ia kenal sejak sekolah dasar. Osamu, yang sering menyelipkan bekal makan siang ke tangannya semasa SMA sambil berkata, “Kak, gue baru coba resep baru. Nanti jangan lupa kasih feedback, ya?”. Osamu, dengan wajah jelita, rambut panjang yang disemir abu-abu, juga rok sekolahnya yang bahkan tidak mencapai setengah pahanya. Osamu, yang entah kenapa, sering kali membungkuk di hadapannya—entah untuk mengambil pulpen yang jatuh atau mengikat tali sepatu—dan membuat bokongnya yang bulat dan penuh tepat berada di depan mata Aran, hanya berlapis safety pants yang lebih menyerupai pakaian dalam karena ukurannya yang begitu minim.
Osamu, yang kini berlutut di hadapannya dengan bibir yang disumpal penis. Matanya yang sayu dan sewarna baja digenangi air mata, ia mengerjap dengan begitu menggemaskan, dahinya berkerut dalam, seolah kewalahan dengan ukuran kejantanan Aran yang kini memenuhi mulutnya. Aran melemparkan kepalanya ke belakang, mengadah memandang langit-langit kamar yang dihiasi bayangan lampu begitu kenikmatan yang menyelubungi kejantanannya merambat naik hingga ke seluruh tubuhnya.
Aran mengerang ketika Osamu memutar lidahnya di kepala penisnya yang memerah. “Aaah, baby. Can you take it deeper?” Ia menunduk ke arah Osamu, telapaknya yang besar menyisir helaian sehitam arang yang menutupi wajah jelita itu, membawanya ke belakang dan menahannya di dalam kepalannya. Osamu memejamkan matanya, menikmati sensasi penuh dan menyesakkan yang menyumpal mulutnya akibat kepala penis milik Aran yang menabrak uvulva dan pangkal lidahnya.
Laki-laki itu menggeram rendah ketika batang penisnya dijepit oleh dinding tenggorokan Osamu yang hangat dan basah. Ia mengusap kepala Osamu dengan penuh sayang, pujian-pujian terlontar keluar dari bibirnya di antara napasnya yang berderu. “Nghh, baby, you did so good. Samu, sayang, coba lebih rileks lagi—hhh, iya gitu, sayang. Pelan-pelan,” katanya sambil menekan pelan belakang kepala Osamu, membantu gadis itu untuk menelan miliknya lebih dalam lagi. “Yeah, like that. Such a good girl, my beautiful, precious girl.”
Pujian yang terus dilemparkan oleh Aran bagaikan bensin yang disiram di atas api nafsu Osamu, gadis itu merapatkan pahanya, menjepit vaginanya yang basah dan berkedut karena tiap kata yang diucapkan pria itu. Dengan kelopak mata yang terkatup, Osamu menelan keseluruhan penis Aran, napasnya putus-putus, dan air mata jatuh menuruni pipinya bak aliran sungai. Lidahnya memutari batang panjang dan keras itu selagi rongga lehernya membuat gerakan seolah menelan, mengirimkan kenikmatan tiada tara yang membuat Aran menggeram rendah. Ketika Osamu merasakan bahwa pasokan oksigennya menipis, ia menarik kepalanya mundur, melepaskan kejantanan itu untuk sekedar mengambil napas.
“Hhhh, Kakak … enak, gak? Did I do good?” Ia bertanya. Suaranya lirih, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam napas berat. Osamu mendongak perlahan, menatap Aran dengan mata yang masih berkabut, bulu matanya yang basah saling menempel karena sisa air mata. Tatapan itu, penuh harap sekaligus rasa malu, seolah memohon jawaban lebih dari sekadar kata-kata. Kepalanya bersandar lemah di salah satu paha Aran yang terbuka, tubuhnya terasa kecil dalam posisi tersebut.
Aran melemparkan senyuman manis ke arah Osamu. Jemarinya menari-nari di antara surai gelap Osamu, mengusap kepalanya dengan sayang. “Yeah, baby, you did so good. Now, come here. Aku gak mau keluar di mulutmu, maunya di memek kamu ini.” katanya, lalu dengan usil kakinya mengusap lubang basah milik Osamu dari balik celana dalam yang ia kenakan.
Osamu mendesah begitu mendengar ucapan vulgar dari Aran. “Kakak, ngomongnya jorok banget.” Ia merengek, bibirnya mengerucut seperti bebek dan Aran terkekeh dibuatnya. Ia pun menyelipkan tangannya di bawah ketiak Osamu guna mengangkat tubuh gadis itu lalu menjatuhkannya di atas ranjang.
Aran mengukung tubuh Osamu yang berada di bawahnya di antara lengannya. Matanya mengerling nakal ketika melihat tubuh telanjang gadis itu, meliuk indah bagai gitar spanyol, berisi di bagian-bagian yang tepat. “Cantik banget kamu, sayang.” bisiknya tepat di telinga Osamu, lidahnya keluar dan menjilat daun telinganya, merambat turun hingga ke leher jenjangnya yang lembab karena keringat. Osamu memejamkan matanya, perutnya bergejolak antara nafsu yang membakar juga kupu-kupu yang berterbangan. Ia mengalungkan lengannya di leher Aran, mendekap laki-laki itu agar semakin mendekat.
“Ahhh … Kakak.”
“Hm?”
“Touch me, please.”
“I’m touching you, sayang.” Aran menelusuri tiap jengkal tubuh Osamu dengan telapaknya yang besar dan kasar. Jemarinya melingkari pinggang ramping gadis itu, lalu naik perlahan hingga ke payudaranya, memelintir putingnya yang mencuat menantang di udara—seolah memohon untuk dihisap, dijilat, diraup olehnya. “You have to be more specific, princess.”
Osamu merengek manja, matanya memicing tajam ke arah Aran. Bukannya takut, pria itu malah semakin gemas dibuatnya. “Ngomong. Kalau mau apa-apa itu ngomong yang jelas.”
“Kakak tahu aku mau apa.” Osamu menimpali, masih merajuk.
“Coba ngomong, ‘Kakak, enakin memekku, dong.’ gitu.” kata Aran dengan nada bicara yang naik, bermaksud menirukan suara Osamu. Ia berkata dengan seringaian meledek yang terbentuk di bibirnya. Mendengarnya, mata Osamu membulat, semburat merah yang duduk di pipinya turun hingga ke dadanya. “Kakak! Jorok banget, sih, omongannya.”
“Ayo, dong. Ngomong gitu.” Aran meremas payudara Osamu yang berada di dalam tangkupan telapaknya, ibu jarinya mengusap putingnya, sementara bibirnya sibuk membubuhi leher dan wajah Osamu dengan kecupan-kecupan seringan kapas. “Sweetheart, use your words like a big girl.” Ia menggerakan pinggulnya dengan maksud menggoda, menggesekan batang penisnya di paha Osamu yang mengangkang, meninggalkan jejak cairan pra-ejakulasi di permukaan kulitnya, sengaja menghindari pusat tubuh gadis itu yang basah dan berkedut.
“Gak mau! Malu.” Osamu lagi-lagi merengek. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, nafsunya sudah di ubun-ubun tapi rasanya sangat memalukan kalau harus memohon seperti apa yang diperintahkan oleh Aran. “Kakak, please.”
Aran mendecak, pura-pura sebal. Ia melayangkan tatapan kecewa ke arah Osamu yang membuat jantung gadis itu seolah jatuh merosot ke lututnya. “Kok gitu? Are you not my good girl anymore?”
Osamu menggigit bibir bawahnya dengan cemas. “I am! I promise, I can be good.”
“Then beg.” Aran berkata dengan kejam. “Beg like a whore that you are. Beg for me to touch your slutty cunt and make you come.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Osamu, bergetar di ambang tumpah—entah karena nafsu yang membakar tubuhnya atau karena kalimat tajam Aran yang menikam tanpa ampun. “Ugh, Kakak.”
“Cmon, princess.”
Osamu menelan liurnya kuat-kuat. Ia mengangkat tangannya kemudian meletakannya tepat di atas milik Aran yang masih bertengger di dadanya. Kemudian, tanpa tahu malu, ia menuntun tangan pria itu menuruni tubuhnya, menyusuri perutnya hingga berakhir di atas vaginanya yang masih tertutupi celana dalam. Area kemaluannya yang terasa hangat dan basah sesekali berkedut di bawah tatapan Aran. “Touch me here, please, Kakak. Enakin memekku.” pintanya, seraya tambah membuka lebar pahanya, mempersilahkan Aran untuk menyentuhnya lebih jauh.
Aran menggeram, penisnya berkedut ketika mendengar ucapan Osamu yang mengantarkan gelombang nafsu baru. Tanpa banyak bicara, ia menyingkirkan tangan Osamu yang masih menyelubungi miliknya. “Let me take over from here, you just lay there, okay, baby?” Osamu mengangguk dengan cepat, kelewat semangat dan antusias. Aran terkekeh gemas melihatnya.
Ia menunduk dan menatap vagina milik Osamu seperti orang kelaparan. Kain dalaman yang membalutnya berubah transparan akibat cairan lubrikasi yang terus keluar dari lubangnya, liur berkumpul di dalam mulut Aran, ingin sekali meminum tiap cairan yang dihasilkan gadis itu. Ia pun menjatuhkan wajahnya di selangkangan Osamu, menghirup aroma sabun mandi dan musk yang menguar dari vaginanya. Dengan lihai, jemarinya pun menarik turun celana dalam tersebut, lalu mengepalkannya dan membawanya ke wajahnya. “Hhh, you smell so good, baby. I’m gonna keep your panties.”
Osamu merengek dibuatnya. Cairan nafsunya terus keluar dengan memalukan, seolah lubangnya memohon untuk segera disentuh, dijamah, dan dirajam dengan jemari maupun penis lelaki itu. “Kakak, please, aku udah gak kuat.”
“Aku jilmekin dulu, ya, sayang?”
“G-gak usah, Kak. Aku belum shaving.”
Aran tergelak pelan. “What do you take me for, Samu? I’m a man, a starving man, a little hair isn’t a problem. I’m gonna devour your cunt no matter the conditions.”
Tanpa menunggu apa pun lagi, Aran menguburkan wajahnya di antara paha Osamu yang bergetar. Lidah pria itu menjilati tiap inci bibir vaginanya, menghisap labianya yang basah, sementara ibu jarinya memutari klitoris Osamu yang mencuat dan memerah. Gadis itu menggelinjang dibuatnya, kakinya yang tersampir di leher Aran mengenjang, sementara jemarinya menarik helaian pendek milik pria itu. “A-aah … Kakak, nghh, enak.” Bibirnya terbuka, berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin karena paru-parunya seketika terasa sesak. Secara refleks, ia menggoyangkan pinggulnya seirama dengan gerakan keluar-masuk lidah Aran di lubangnya, membawa wajah pria itu untuk semakin tenggelam di antara selangkangnya.
“K-Kakak … hhh.” Osamu terus mendesah dan merintih nikmat. Bibir Aran meninggalkan lubangnya, kemudian naik dan meraup klitorisnya, menghisapnya tanpa peringatan. Tubuh gadis itu terlonjak, erangan putus-putus lolos dari bibirnya yang memerah karena terus digigit. “AAAH! Kakak, nghh, enak banget.”
Aran bergumam di sekitar area vaginanya, mengantarkan getaran nikmat yang membuat kepala Osamu seketika pening. Pria itu terus menghisap titik sebesar kacang polong yang penuh akan syaraf sensitif itu sembari memutar dan menjentikkan lidahnya. Jarinya menelusup masuk ke dalam lubang Osamu, menggaruk dindingnya yang mana dihadiahi erangan kencang dari gadis itu. “Keluar dulu sekali, ya, sayang?” katanya sembari memasukan jari kedua, melakukan gerakan keluar-masuk dan menggunting.
Osamu terengah, ia menunduk dan menatap Aran lewat manik keabuannya yang sayu. “Nggh, i-iya, Kakak.”
Ketika jari ketiga masuk, napas gadis itu tercekat di tenggorokannya. Akibat ukuran kejantanan Aran yang di atas rata-rata, tiap kali mereka berhubungan badan, Osamu harus menerima setidaknya empat jari pria itu sebelum keduanya sampai di inti permainan. Kepalanya terlempar ke belakang begitu Aran berhasil menyentuh titik sensitif di dalam lubangnya, suara becek dari lubangnya memantul di dinding dan telinga Osamu berdengung karena malu.
“Basah banget kamu, sayang.” Lagi-lagi pria itu berkata dengan vulgar, mengakibatkan nafsu semakin memenuhi kepala Osamu. “Have you ever this wet for anyone else?”
“N-no. Only you, Kakak.”
“Yeah, that’s what I thought.” Empat jari milik Aran yang bersarang di dalam lubangnya, keluar-masuk dengan cepat, mengantarkan panas yang memenuhi perutnya, sementara lidah pria itu terus bermain di atas klitorisnya. Dindingnya berkedut hebat, sensasi seolah ingin buang air kecil bergelojak di bagian bawahnya, jemarinya meremas sprei hingga buku-bukunya memutih, tubuhnya seolah berada di ambang klimaks dan sentuhan jemari Aran mendorongnya jatuh ke dalam kolam orgasme. Putihnya keluar dengan tiba-tiba, cairan bening mengucur keluar dari lubangnya yang terus berkedut, tubuhnya menggelinjang hingga Aran harus menahan pinggulnya agar diam. “Fuck, baby, did you just squirt?”
Osamu terus menjerit, air mata tumpah dan menuruni wajahnya yang bersemu. Cairannya masih keluar mengucur dengan deras membasahi sprei dan dada laki-laki yang kini masih terus mengeluar masukkan jemarinya. “Fuck, look at you, baby. Squirting just from my fingers?”
“Nggh … Kakak, udah, senstif—please.” Osamu merengek. Ia berusaha merapatkan kakinya dan mendorong Aran menjauh dari selangkangannya. Alisnya berkerut ketika rasa nikmat berubah menjadi sakit. Aran pun mengeluarkan jemarinya dari dalam lubang Osamu, melihat bagaimana vagina gadis itu memerah dan bibirnya membengkak, dadanya bergemuruh akan nafsu, tidak sabar ingin menenggelamkan dirinya dalam kehangatan dinding Osamu.
“Kamu gak apa-apa, sayang? Enak, gak?” Aran berbisik lembut, menaikkan tubuhnya hingga wajah mereka sejajar. Manik gelapnya menatap Osamu dengan kehangatan yang nyaris membakar. Jari-jarinya yang kasar tapi penuh kasih membelai pipi gadis itu, menghapus sisa air mata yang tumpah. Perlahan, bibirnya turun, meninggalkan jejak ciuman lembut di setiap inci kulit Osamu yang bersemu merah.
“E-enak, Kakak … enak banget.” jawab Osamu. Suaranya terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang terputus malu-malu. Pipinya semakin bersemu, namun, matanya tak mampu menghindar dari tatapan penuh nafsu milik Aran yang mengurungnya dalam gejolak rasa yang begitu mendalam.
“Masih mau lanjut?”
“Iya.”
“Think you can ride me, baby?”
Osamu menggigit bibir bawahnya sebelum mengangguk. Mendengar perkataan Aran, lubangnya kembali berkedut dan api nafsu yang tadinya padam kembali dipantik oleh kata-kata pria itu. Aran pun memanuver tubuh keduanya, membantu Osamu untuk duduk di atas pangkuannya sementara ia bersandar di kepala ranjang. Tangannya mencengkram pinggang ramping Osamu, membimbing gadis itu hingga lubangnya yang menganga tepat berada di atas penis Aran yang mengacung tegak layaknya tiang.
“Pelan-pelan, sayang.” ucapnya, seraya menurunkan tubuh Osamu dengan perlahan. Matanya yang sayu memandang penisnya sendiri yang dilahap mulut vagina Osamu, inci demi inci batangnya hilang di antara paha gadis itu, sensasi hangat menyelimuti penisnya ketika dinding Osamu seolah mencengkramnya dengan nikmat. Aran mengadahkan kepalanya sementara mata terkatup rapat, menahan diri agar tidak menjatuhkan tubuh Osamu sepenuhnya di atas penisnya, agar tidak langsung menghujam gadis itu tanpa memberikannya waktu untuk menyesuaikan ukurannya.
“Fuck, you’re so big. Why are you so big?” Osamu merengek. Jari lentiknya yang bertengger di bahu Aran mencengkram pria itu sementara tubuhnya terus turun menerima batang penisnya. “Kakak … nghh, you’re so big.”
“I know, sweetheart. Pelan-pelan, ya.” Aran mengusap lembut pinggul Osamu, menenangkan sosoknya yang kini meracau di atas penisnya. Waktu terus bergulir dengan lambat, peluh sebesar biji jagung menghiasi pelipis Osamu ketika pada akhirnya ia berhasil memasukkan keseluruhan kejantanan milik Aran ke dalam lubangnya, tiap permukaan dindingnya yang sensitif seolah dihantam langsung oleh batang yang berkedut itu. Kakinya yang melingkari tubuh pria itu otomatis menggenjang begitu putihnya kembali datang tanpa bilang permisi. Osamu menjerit, kepalanya terlempar ke belakang, dan tubuhnya menggelinjang di atas pangkuan Aran.
“Fuck, Samu!” Aran mengumpat ketika lubang Osamu mengetat di sekitar penisnya. “Kamu keluar cuma karena aku masukin? Aku bahkan belum gerak.”
“AAAH! Kakak, nghhh, maaf.” kata Osamu, merasa malu karena tiba-tiba orgasme bahkan sebelum permainan inti dimulai. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aran, menyembunyikan wajahnya yang berubah semerah tomat sambil mengatur napasnya yang berubah pendek.
Arah tertawa kecil, pipinya menggusak sayang sisi kepala Osamu. “Gak apa-apa, sayang.” Ia menepuk pelan bongkahan bokong Osamu, mengisyaratkan gadis itu untuk mulai bergerak. “Ayo gerak, baby. Aku udah gak tahan.”
Dengan perlahan, Osamu mulai menaik-turunkan tubuhnya di atas pangkuan Aran. Paha kokoh pria itu menopang tubuh gadis itu, sementara pinggulnya bergerak ke atas seirama dengan Osamu, gerakan keduanya bertemu di tengah dan selaras. Aran mengumpat dan menggeram, tangannya mencengkram kuat-kuat pinggang Osamu hingga cetakan berbentuk sabit terlukis di atas kulitnya. Payudara Osamu yang menggantung di hadapan Aran seolah memohon untik dijamah, “aku nyusu, ya, sayang?”
“Aahh … nghh, i-iya, Kakak.”
Pria itu pun memajukan wajahnya, kemudian meraup puting Osamu ke dalam mulutnya. Lidahnya memutari areola Osamu sebelum bibirnya menghisap puncak dada gadis itu yang mencuat dan sensitif. Desahan Osamu semakin santer terdengar. Ia menekan kepala Aran agar semakin dalam terkubur di antara gundakan payudaranya, kurang dekat, lebih dekat lagi, rasuki aku, masuk ke dalam rongga dadaku, tinggal di sebelah hatiku.
Di antara gerakan naik turun tubuhnya, Osamu sesekali memutar pinggulnya, merasakan bagaimana batang penis Aran seolah mengaduk organ dalamnya. Pria itu mengerang kencang, lengannya yang memeluk pinggang Osamu membawa tubuh gadis itu agar mempercepat gerakannya.
“Baby, fuck, your cunt is so tight.”
Osamu merintih dan memekik. “G-gak, Kakak aja yang t-terlalu besar.” balasnya dengan manja. Ia melemparkan senyuman malu-malu ke arah Aran ketika kembali memutar pinggulnya, mengirimkan sensasi sengatan listrik yang menjalar ke tubuh pria itu. “Biggest I’ve ever taken.”
“Yeah? Fucking whore. How many dicks have you taken, huh?”
“Not so many.”
“Liar. Bad girl.”
Osamu terkikik centil. Matanya mengerling nakal ke arah Aran, suaranya berubah kenes ketika berkata; “I’m not a bad girl, daddy.”
Panggilan itu direspons dengan geraman dari laki-laki itu. Tak tahan, Aran meninggalkan payudara Osamu, memajukan wajahnya, dan mengisap leher Osamu yang terbuka. Ia mengigit, mencium, dan mengulum kulit leher Osamu hingga ruam kemerahan yang nantinya akan berubah kuning akibat hisapannya timbul diatas kulit gadis itu. “Fuck, you can’t just say that to me, baby.”
“What? Daddy?” Osamu terus berkata dengan genit. Pinggulnya masih dengan semangat bergerak memutar dan naik-turun, memancing erangan dan geraman dari pria di bawahnya. “Think you can cum inside me and make me a mommy?”
“Jangan nantangin, fuck.” Merasa tidak tahan, Aran memutar tubuh keduanya hingga Osamu kembali berada di bawah kukungannya. Ia menarik paha gadis itu untuk bertengger di bahunya, lalu menarik dirinya perlahan, menyisakan hanya kepala penisnya di dalam lubang Osamu yang berkedut hebat, sebelum ia kembali menghentakkan pinggulnya dengan kuat, memenuhi Osamu sepenuhnya dan menghantam dinding sensitif di dalamnya. “Shut up while I breed you, brat.”
Desahan dipukul keluar dari dada Osamu. Bola matanya bergulir ke belakang, sementara bibirnya terbuka lebar, mengeluarkan liur yang menetes tanpa kendali. “P-pelan, Kak. Aahh.”
Aran menyeringai, pinggulnya semakin kuat menghentakkan penisnya. Jemarinya ia bawah turun lalu mengusap klitoris Osamu dengan ibu jarinya, menekannya dengan kejam, menggaruknya dengan kuku yang tumpul. “Princess, you were the one who begged me for this and now you want me to slow down? I don’t think so.”
Osamu melontarkan suara parau yang menyerupai lolongan serigala di bawah cahaya bulan purnama. Suaranya pecah, menggema di ruangan yang dipenuhi hawa panas dan napas terengah. Tubuhnya menegang, dilanda gelombang tak terelakkan yang semakin mendekat, memukul setiap sarafnya dengan intensitas yang hampir menyakitkan.
Tangannya dengan serampangan meraih sprei dan selimut di bawahnya, mencengkeramnya dengan kasar seolah itu adalah satu-satunya penopang yang tersisa. Matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka, mengeluarkan suara-suara kecil yang terdengar seperti patahan keputusasaan dan kenikmatan yang bercampur menjadi satu. “Aaah! Kakak, aku mau keluar. I’m gonna come, gonna come, gonna come—”
“Lagi, Samu? Aku bahkan belum keluar. This will be your third.”
“Aaah! Nghh, enak banget … ugh, Kakak, terus, terusterusterus, aaahh!” Klimaksnya menghantam dirinya bagai ombak yang terus bergulung tanpa henti. Aran menarik keluar penisnya, memperhatikan bagaimana cairan bening kembali mengucur deras dari lubang Osamu yang menganga. Tubuh gadis itu menggelinjang nikmat, bola matanya bergulir ke belakang hingga hanya tersisa putih, dan bibirnya menganga mengeluarkan jeritan sunyi.
Melihat pemandangan di depannya, Aran menggeram rendah. “Fuck, princess, kamu squirting lagi.” Ia mengusap klitoris Osamu yang memerah, memancing lebih banyak cairan cinta Osamu.
Suasana berubah sunyi. Osamu telentang seperti bintang laut di atas ranjang. Napasnya memburu, dadanya naik-turun dengan cepat, dan tatapan matanya kosong. “Look at you, did I already fuck your brains out?” Aran berujar lalu kembali memasukan penisnya dalam sekali hentakan. Jeritan kembali keluar dari belah bibir Osamu. Kata-kata koheren tidak lagi hadir di sana, digantikan oleh racauan seperti orang hilang akal.
“K-Kakak … udah, aku—nghhh—gak kuat.”
“No, baby. Aku belum keluar.”
Aran terus menggerakan pinggulnya dengan cepat. Menghentak-hentak dan menabrakan kepala penisnya di titik sensitif Osamu. Tangannya mencengkram paha gadis itu hingga meninggalkan bekas, sementara bibirnya terus melontarkan pujian-pujian yang membuat Osamu seolah melayang ke langit ketujuh. “F-fuck, aaahh, Samu, aku mau keluar.”
“Hhh, keluar di dalam.”
“Ya sure, baby?”
Osamu mengangguk kuat-kuat. “I-iya. Make me a mommy.”
“Who would’ve thought you have breeding kink?” Aran berkata dengan nada mengejek yang dihadiahi rengekan manja dari Osamu. Gerakannya semakin serampangan, dan napasnya memendek begitu orgasme menghantamnya dengan kuat. Aran menggeram kencang, pinggulnya menghentak Osamu hingga penisnya terkubur semakin dalam di dalam lubang gadis itu, melukiskan dindingnya dengan putih, memenuhinya dengan mani.
Di bawahnya, Osamu ikut mendesah kencang. Cairan kental yang hangat memenuhi lubangnya yang berkedut. Ia terus memandangi Aran yang hilang dalam arus klimaksnya, pinggul pria itu terus bergerak dengan pelan, mengeluarkan cairannya hingga ke tetes terakhir. Walaupun sudah mencapai klimaks, Aran terus menggerakan pinggulnya, tangannya memutari klitoris Osamu yang membengkak.
“Aaah, K-kakak, udah!”
“Give me one more, baby. Cmon.”
Osamu memejamkan matanya, ia memekik ketika Aran kembali memancing keluar klimaksnya. Tidak sehebat sebelumnya, namun, friksi-friksi nikmat tetap membuat tubuhnya lemas. Dengan lembut dan perlahan, Aran menarik keluar penisnya. Cairan mani ikut keluar dan menghiasi bibir vagina Osamu dengan warna putih.
Osamu memekik begitu tubuhnya tiba-tiba diputar hingga membelakangi Aran. Pria itu menarik pinggulnya agar bokongnya berada di atas sementara bagian atas tubuhnya menempel dengan ranjang. Osamu menoleh ke belakang, memandang pria itu dengan heran. “Ngapain, Kak?”
“Baby, if you want to be a mommy, we have to do it again and again, aren’t we?”
Osamu menyandarkan tubuhnya di dada Aran, membiarkan napas hangat pria itu menyapu tengkuknya. Keduanya berendam dalam bathtub yang penuh dengan air hangat, uap tipis mengepul di sekitar keduanya, membungkus ruangan dengan keheningan yang nyaman. Air yang hangat meresap hingga ke setiap sendi Osamu yang protes karena kelelahan, meluruhkan semua ketegangan dalam tubuhnya.
“Baby, jangan tidur di sini,” bisik Aran dengan lembut, suaranya serupa dengung rendah yang membelah kesunyian.
Osamu mengangguk pelan, matanya setengah terpejam. “Iya, Kakak,” balasnya dengan suara kecil. Namun, beberapa detik kemudian, ia membuka matanya sedikit lebih lebar dan berkata, “Kakak nanti hari Jumat bisa nemenin aku ke mall, gak? Aku mau beli kado buat ultah Mama, tapi Atsumu ada kerjaan hari itu, jadi gak bisa nemenin.”
Aran menghela napas pelan, tangannya bergerak membelai lengan Osamu yang masih bersandar padanya. “Gak bisa, sayang. Maaf. Hari itu aku ada reuni SMA kelasku.”
Kata-katanya menggantung di udara, membuat Osamu terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, merenung dalam hening. Suara tetesan air dari keran yang belum sepenuhnya tertutup menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.
“Reuni SMA? Angkatan Kakak?” tanyanya, akhirnya memecah kebisuan, suaranya terdengar datar, hampir seperti gumaman.
“Iya.” jawab Aran singkat, tanpa banyak berpikir.
Osamu mengangkat kepalanya sedikit, menatapnya dari ekor matanya. “Berarti ada Kak Shin juga?” tanyanya, nada suaranya kini berubah sedikit lebih tajam tanpa bisa ia tahan.
Aran hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk mengonfirmasi pertanyaan Osamu, meninggalkan percikan ketegangan yang mulai merayap di antara uap hangat di ruangan itu.
Osamu merapatkan handuk yang membalut tubuhnya, ia menggigil saat udara dingin dari pendingin ruangan menyapu kulitnya yang masih lembap. Langkahnya pelan menuju lemari pakaian, tapi ekor matanya terus mengikuti Aran yang sibuk berpakaian. Setiap gerakan pria itu terasa seperti pengingat bahwa kehangatan yang baru saja menyelimuti mereka perlahan memudar, berganti dengan jarak yang tak terlihat namun begitu nyata.
Tangannya meremas kain handuk, jemarinya mencengkeram erat, seolah ingin mencari pegangan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang mendesak ingin keluar. “Kakak gak mau stay? Kita bisa cuddle.” Ia berkata diiringi gelak ringan yang riang di akhir kalimatnya. Suaranya keluar dengan lembut, hampir seperti permohonan yang terbungkus dalam tawa kecil untuk menyamarkan rasa gugupnya.
Aran menggelengkan kepalanya, tetap fokus mengancingkan celana yang ia kenakan. “Gak, Samu. Aku ada kerjaan besok pagi banget.” jawabnya datar, seakan-akan kata-kata itu sudah dipersiapkan jauh sebelum Osamu bertanya.
Osamu mendesah pelan, matanya masih menatap punggung pria itu dengan tatapan penuh harap yang tak terucapkan. “Kantor Kakak dekat dari sini, ‘kan? Harusnya gak masalah, ya?” Ia memaksa, kali ini bibirnya mencebik kecil, dan matanya memicing, mencoba terlihat manja meskipun ada gemetar halus di ujung suaranya.
Namun, Aran tetap pada pendiriannya. “Gak bisa, Samu.” tolaknya tegas. Ia berjalan ke meja nakas, mengambil dompet, ponsel, dan kunci mobilnya. Gerakannya cepat dan mekanis, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang terasa terlalu rumit jika dibiarkan lebih lama. “Aku ada urusan lain juga.”
“Urusan apa?” Osamu berbisik, suaranya kini lebih pelan, hampir tak terdengar. “Selesaiin di sini aja … Kakak gak perlu pergi.”
Aran berhenti. Napasnya terdengar berat saat ia mendengus dengan kasar. Langkahnya membawa dirinya mendekati Osamu, menatapnya dengan pandangan yang penuh peringatan, seperti sebuah pengingat bahwa mereka tak boleh melangkah lebih jauh. “Don’t be too demanding, Samu. Remember what we are and what we’re doing.”
Osamu menggigit bibirnya dengan keras hingga ia bisa merasakan besi di ujung lidahnya. Matanya mencari sesuatu—apa pun—di wajah Aran yang bisa memberikan jawaban berbeda, jawaban yang lebih ia inginkan. “What even are we?” tanyanya, suaranya nyaris pecah, seperti retakan kecil di cermin yang akhirnya menjalar ke seluruh permukaannya.
Aran tidak langsung menjawab, ia menatap Osamu lebih lama, tapi kehangatan absen dari tatapannya. “Friends. What else?”
Jawabannya menggantung di udara, seperti pisau yang melayang di antara mereka, siap jatuh dan menghujam kapan saja. Tanpa sepatah kata lagi, Aran berbalik, lalu tubuhnya menghilang di balik pintu. Suara klik pintu yang tertutup terdengar nyaring di ruangan yang kini terasa kosong, dan Osamu tetap berdiri di sana, mematung dengan hati yang berdenyut pilu. Di sekitarnya, hanya suara gemuruh pendingin ruangan yang menemani keheningan, dingin menyusup hingga ke tulang, menggantikan semua kehangatan yang baru saja lenyap bersama kepergian Aran.