“Sepi banget, Sam.”
Keduanya melangkah perlahan memasuki kediaman keluarga Miya. Osamu, dengan gerakan yang sudah terbiasa, melepas sepatunya lalu meletakkannya dengan rapi di atas rak. Aran mengikuti di belakang, gerak-geriknya kikuk, seperti tamu yang merasa canggung di rumah orang yang baru ia kenal, padahal sudah ribuan kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Jemari Osamu tiba-tiba menggamit tangan Aran dan mengajaknya melangkah menuju dapur dengan senyum tipis yang manis nan menenangkan, namun, tetap membuat detak jantung Aran bertalu tak beraturan.
“Iya, Kak, Mama masih di kantor, terus Atsumu tadi katanya mau jajan seblak.” Osamu berbicara santai sambil melangkah ke arah rak cuci piring guna mencari gelas. Rambutnya yang panjang dan disemir warna abu-abu bergoyang setiap kali ia bergerak. “Kakak mau minum apa?”
Aran menelan ludah, mencoba merangkai kata di dalam kepalanya yang kacau balau. “Gak usah, Sam.” jawabnya, suara bergetar ditekan gugup. Ia memalingkan pandangan, berusaha keras mengabaikan pikiran-pikiran kotor yang mulai merayap ke dalam kepalanya. Faktanya, hanya ada mereka berdua di rumah ini. Hanya mereka, tanpa gangguan, tanpa orang lain. Dan di usianya yang baru saja menginjak 18 tahun dengan hormon yang bekerja, pikiran-pikiran tersebut terasa mustahil untuk diabaikan.
Namun, seperti hukum gravitasi, matanya tetap tertarik kembali pada Osamu. Gadis itu berdiri di balik meja dapur sambil memegang gelas kaca di tangannya. Gelas itu tepat berada di hadapan payudaranya, dan Aran harus berpikir keras untuk meyakinkan dirinya bahwa niatnya semula hanyalah untuk melihat gelas tersebut. Ya, hanya gelas.
“Masa gak minum?” Suara Osamu kembali memecah lamunannya. “Air putih? Es teh? Sirup?”
Aran menggeleng, mencoba tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Gak usah, air di botolku masih ada, kok.” jawabnya pelan, berharap Osamu tidak menyadari kegugupannya.
Osamu mengangkat bahunya ringan, lalu meletakkan gelas itu kembali ke rak cuci piring. “Yaudah,” katanya santai. Tapi kemudian, tanpa memberikan waktu bagi Aran untuk berpikir, ia berkata, “Ayo ke kamarku.”
Aran sontak tertegun. “Eh? Ngapain ke kamarmu? Di sini aja, di ruang TV.”
Osamu berbalik, menatapnya dengan ekspresi bingung bercampur heran. “Tidur siang, Kakak! Biasanya kita juga tidur siang bareng, ‘kan?”
Ya, tapi biasanya kan ada Atsumu juga! Aran menjerit di dalam hati, namun, tidak mampu untuk menyuarakan secara verbal alasan yang cukup kuat untuk menolak. Sebelum ia sempat kembali protes, tangan Osamu sudah menggenggamnya lagi lalu menariknya menaiki tangga, menuju kamar gadis itu yang berada di lantai dua.
Tiap anak tangga yang diinjaknya terasa berat, seakan ia melawan gravitasi. Aroma khas rumah keluarga Miya—campuran kayu tua dan wangi bunga dari pengharum ruangan otomatis—menguar di sepanjang lorong lantai dua. Osamu berhenti di depan sebuah pintu dengan plakat kecil bertuliskan namanya. Ia membuka pintu kamar itu dengan gerakan tenang, seolah-olah ini hanyalah hal biasa yang sering mereka lakukan. Tapi bagi Aran, semua ini terasa seperti sesuatu yang melampaui batas-batas nyaman yang selama ini mereka jalani.
Kamar Osamu terkesan hangat, dindingnya dihiasi foto-foto masa kecil dan beberapa lukisan buatannya dari kelas Seni Budaya yang dibingkai rapi. Di sudut ruangan, tempat tidur dengan kelambu warna putih berada, ditemani sebuah meja belajar dengan setumpuk buku yang disusun secara asal-asalan di atasnya. Osamu berjalan ke arah tempat tidurnya tanpa ragu, lalu duduk di atas ranjang sambil menatap Aran yang masih berdiri canggung di ambang pintu.
“Kakak? Ngapain berdiri di situ? Ayo masuk.” Osamu menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, yang mana malah membuat Aran semakin salah tingkah.
“Sam, mending kita di ruang TV aja.” kata Aran pelan, hampir berbisik. Tapi tungkainya tetap melangkah maju, seakan ada magnet yang menariknya ke arah gadis itu.
Osamu mengerutkan alis, tampak bingung dan keheranan. “Kenapa emang? Udah di sini aja, aku malas di bawah gak bisa tiduran.”
Aran tidak tahu harus menjawab apa, di dalam kepalanya, ia berusaha keras mengatur napas dan pikirannya, mencoba fokus pada apa pun selain keberadaan Osamu yang kini hanya berjarak beberapa kaki darinya. Akan tetapi, semakin ia mencoba, semakin sulit rasanya untuk mengabaikan kenyataan bahwa mereka sedang berada di kamar dengan tempat tidur, hanya berdua, berdua.
Osamu merebahkan diri di atas ranjang sambil memainkan ponselnya dengan santai, seolah tidak ada yang istimewa dari situasi ini. Tapi bagi Aran, waktu seakan melambat, dan udara di dalam kamar terasa semakin tipis.
Aran akhirnya duduk di pinggir tempat tidur, punggungnya kaku dan pandangannya terpaku pada lantai. “Sam,” Ia memulai, tapi tidak tahu harus melanjutkan dengan apa, kosa katanya mati di tenggorokan dan suaranya tertelan dalam lautan pikiran yang semakin tidak karuan.
Osamu terkekeh pelan. “Kakak aneh banget sih hari ini,” ucapnya ringan, sebelum menutup matanya. “Udah, ayo tidur siang. Aku ngantuk.”
Osamu mengerjap pelan, kelopak matanya refleks menyipit ketika sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah tirai jendela menerpa wajahnya. Ia menghela napas panjang, kemudian melirik ke arah jam digital yang duduk di meja belajarnya. Baru 20 menit berlalu sejak ia memutuskan untuk memejamkan mata dan rasa kantuk masih begitu lekat. Gadis itu hampir memutuskan untuk kembali menyerah pada tidur ketika sebuah sensasi aneh menyentaknya dari kantuk. Sesuatu yang keras dan kaku menempel di punggung bawahnya, menyentuh bokongnya dengan kehangatan yang asing.
Osamu berkedip cepat, mencoba mengumpulkan kesadaran di dalam otaknya yang masih tercecer akibat kantuk. Di belakangnya, kekasihnya tertidur lelap, lengannya yang kokoh melingkari pinggang ramping Osamu, dan napas hangatnya menyapu tengkuk gadis itu. Dengkur halus terdengar samar dari dadanya, menciptakan getaran lembut yang terasa hingga ke tulang punggung Osamu.
Oh. Oh.
Ketika menyadari apa yang sedang terjadi, mata gadis itu membesar seiring dengan semburat merah yang menjalar naik dari tengkuk hingga ke wajahnya. Ia berusaha menjaga agar napasnya tetap stabil, meskipun benda kaku di balik tubuhnya membuat jantungnya berlomba seolah ingin keluar dari rongga dadanya.
Dengan hati-hati, Osamu mencoba memberi jarak di antara keduanya. Akan tegapi, pergerakannya justru membuat bokongnya bergesekan dengan ereksi milik kekasihnya. Seketika, suara erangan pelan keluar dari bibir Aran, suaranya yang serak dan rendah mengirimkan gelombang panas yang menyebar dari perut hingga ujung jari kakinya. Gadis itu hanya bisa mematung dengan pipi yang bersemu merah hingga ke telinga.
Osamu bukanlah seorang remaja yang naif dan polos. Ketika sunyi menggantung di langit malam dan pintu kamarnya terkunci rapat, saat hanya ditemani oleh kegelapan dan cahaya ponselnya, ia kerap kali terkubur di balik selimutnya dan menonton video-video tak senonoh hingga kain celana tidurnya basah akan nafsunya. Tak sekali dua kali juga ia curi-curi pandang pada kekasihnya ketika lelaki itu bertelanjang dada di ruang ganti klub voli, dan bayangan tersebut selalu membuatnya merapatkan kedua pahanya.
Selama menjalin hubungan, keduanya memang belum pernah melampaui batas dari sekadar pelukan hangat dan kecupan singkat. Namun, di dalam diamnya, Osamu menyimpan keinginan yang lebih besar. Ada rasa ingin tahu yang menggeliat, rasa ingin mengalami apa yang teman-temannya sering bicarakan—tentang keintiman, juga tentang hasrat yang tak hanya sekadar kata-kata maupun sentuhan polos.
Osamu menguburkan wajahnya di atas bantal, berusaha mengusir pikiran kotor yang mulai membuat bagian bawahnya terasa geli.
“Samu … stop moving so much.” Aran tiba-tiba berkata tepat di telinganya. Suara laki-laki itu yang serak dan kental akan kantuk sukses membuatnya terkesiap.
“Maaf, Kak.” Osamu menjawab dengan suara yang lebih menyerupai cicitan tikus kecil. Tubuh gadis itu berubah kaku dan kantuk tidak lagi menggantungi kelopaknya.
Waktu terasa melambat. Detik-detik yang bergulir terasa seperti menit yang panjang. Osamu bisa merasakan detak jantungnya yang bertalu dengan kencang, sementara sesuatu yang berdentum di belakangnya memberi tanda bahwa Aran mungkin sama gugupnya dengannya.
“Argh, Samu, baby, I said stop moving.” Perkataannya keluar dengan tegas, lebih menyerupai sebuah peringatan, dan bulu kuduk Osamu seketika berdiri. Lengan Aran tak lagi melingkari pinggangnya, kini telapak besar laki-laki itu meremas pinggulnya, bermaksud untuk menahan pergerakannya, namun, malah mengantarkan gelenyar geli di antara kaki Osamu, menyisakan sensasi nikmat yang membuat bagian intimnya berkedut pelan.
Osamu menggigit bibirnya, tak tahu harus bagaimana. Ada keinginan untuk menjauh, tapi juga ada dorongan untuk terus menggerakan pinggulnya agar merasakan ereksi milik kekasihnya. Napas mereka berdua terdengar jelas dalam keheningan kamar, berderu dengan kasar akibat nafsu yang datang tanpa permisi.
“Kakak,” Osamu menelan liurnya kuat-kuat, menelan gugup yang menggumpal di tenggorokannya. “You’re hard.”
“I know, Sam. So, you have to stop moving.”
“What if I help you?”
“Huh?”
Aran tidak tahu kebaikan macam apa yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya hingga ia bisa melihat Osamu terbaring di bawahnya dengan kancing seragamnya yang setengah terbuka, memperlihatkan sedikit kulit porselen yang merona di baliknya. Wajah gadis itu dilumuri semburat merah yang mengingatkannya pada delima matang, dan sepasang iris keabuan yang biasanya terlihat dingin kini tampak membesar, nyaris menelan seluruh putih di matanya.
Osamu menggeliat dengan kikuk, gadis itu mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Aran yang seolah menelanjanginya. Mata laki-laki itu, tajam dan penuh perhatian, memindai tiap lekuk wajah kekasihnya dengan hasrat yang jelas hadir di kedua obsidian gelapnya.
“Kak … jangan lihatin aku kayak gitu.” bisik gadis itu pelan, hampir seperti sebuah rengekan. Bibirnya yang penuh membentuk cemberut kecil, memperlihatkan sisi manja yang jarang ia tunjukkan. Pipinya yang bulat dan memerah tampak menggembung dengan menggemaskan. Aran, tanpa bisa menahan dirinya, tertawa kecil sebelum menunduk untuk menghujani wajah Osamu dengan kecupan seringan kapas.
Osamu terkejut, kemudian terkekeh kecil, mencoba menghindar dari serangan kecupan itu dengan memalingkan wajah. “Kakak, stop! Geli! You’re so silly.” Ia protes, tapi tawanya yang meluncur bebas menghilangkan keseriusan dalam ucapannya. Tubuhnya menggeliat di bawah Aran, tapi laki-laki itu malah semakin mendekat, seperti magnet yang tidak bisa menjauh dari kutub yang menariknya.
“And you’re so beautiful.” gumam Aran lembut, suaranya rendah dan terdengar seperti bisikan yang hanya diperuntukkan untuk gadis itu.
Osamu membuang pandangannya ke samping, mencoba menyembunyikan rasa malunya, tetapi lengannya terangkat secara otomatis, melingkari leher Aran dengan gerakan yang tampak ragu dan malu-malu. Ia menarik kekasihnya lebih dekat, cukup hingga jarak di antara mereka hanya diisi oleh napas hangat yang saling bertukar. Aran menatapnya dengan mata setengah tertutup, sayu dan penuh nafsu, kilauan di iris gelapnya memancarkan emosi yang sulit diartikan—campuran kekaguman, rasa sayang, dan sesuatu yang lebih mendalam, lebih intens.
Senyuman kecil menghiasi bibir Osamu sebelum ia berbisik dengan lembut, “Kakak, kiss me?” Ada tawa kecil di ujung kalimatnya, dan rona di pipinya semakin kentara.
“Gladly.” Ia tidak memberi Osamu waktu untuk membalas ucapannya ketika wajahnya perlahan-lahan mendekat. Napas mereka menerpa satu sama lain, dan detik berikutnya, Aran menyatukan bibir keduanya dalam sebuah pagutan lembut.
Ciuman tersebut sederhana, tidak terburu-buru, namun, mengandung banyak hal yang tidak terucapkan. Ia memagut bibir merah Osamu yang menyerupai sebuah ceri matang yang siap dipetik, dan Aran dapat merasakan rasa manis samar dari lip balm yang gadis itu pakai. Ia menggigit pelan bibir bawah gadis itu sebelum melanjutkan, membiarkan lidahnya menyapu permukaan bibir Osamu dengan penuh kehati-hatian. Osamu, yang semula terkejut, akhirnya membuka bibirnya sedikit demi sedikit, membiarkan kekasihnya menjelajahi rongga mulutnya yang basah dan hangat.
Laki-laki itu mengabsen tiap gigi Osamu dengan lidahnya yang menari-nari dengan lihai, menjerat milik Osamu yang berusaha mengimbangi ciumannya dengan malu-malu. Aran makin memperdalam pagutan keduanya ketika Osamu melingkarkan kakinya di pinggangnya, menyebabkan penisnya yang keras bersinggungan dengan lembah keintiman Osamu yang masih terbalut rok kotak-kotak warna abu-abunya.
Ciuman tersebut makin dalam, semakin menuntut, seiring dengan tangan Osamu yang mulai mengusap lembut tengkuk Aran, menariknya lebih dekat, seakan jarak yang ada masih terlalu jauh. Suara lenguhan dan kecipak basah yang keduanya hasilkan mengisi kesunyian kamar, memantul di dinding, dan makin menyulut api nafsu dalam diri masing-masing.
Ketika dirasa bahwa pasokan oksigennya menipis, Aran melepaskan tautan bibir keduanya, menyisakan seutas benang air liur yang menghubungkan bibir mereka, sesaat sebelum Aran menghapusnya dengan ibu jarinya. Napasnya terengah-engah, dan pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Osamu yang kini semerah tomat.
“Aku buka, ya?” Aran bertanya dengan suaranya yang setengah tercekat. Matanya tertuju pada kemeja seragam Osamu. Gadis itu mengangguk singkat tanpa mengatakan apa pun, wajahnya sarat akan rasa gugup. Aran, dengan jari yang gemetar, pun mulai melucuti kancing kemeja Osamu satu per satu. Napasnya makin tak beraturan begitu kemeja dan tank-top yang gadis itu kenakan berhasil di lepasnya, menyisakan bra berwarna putih yang menangkup payudaranya yang bulat dan penuh.
“Fuck, Osamu.” Laki-laki itu mengerang, celananya terasa semakin sempit, dan ereksinya seolah menjerit protes untuk segera dikeluarkan. Masih dengan jemari yang bergetar dan kikuk, ia melepaskan kaitan bra, lalu melempar pakaian dalam itu hingga jatuh dengan mengenaskan ke atas lantai. “Fuck, cantik banget kamu, Sam, I can’t believe you’re mine.”
Osamu mendesah ketika telapak besar dan kasar milik Aran menangkup kedua payudaranya, kemudian meremasnya dengan hati-hati, sementara itu ibu jarinya memutari puting Osamu yang mencuat menantang udara. “Aaah, Kakak, geli.” Desahannya makin santer terdengar begitu Aran membawa salah satu putingnya ke dalam mulutnya untuk dilumat. Gadis itu melempar kepalanya ke belakang akibat nikmat yang secara tiba-tiba menyelubungi raganya.
Aran pun menurunkan tangannya untuk menyibak rok yang gadis itu kenakan, kemudian menyapu jemarinya di atas vaginanya yang basah dan berkedut. “A-aah! Nghh, Kak.”
“Have you touched yourself here, Osamu?”
Yang ditanya hanya sanggup menggeleng, otaknya seolah berhenti bekerja dan tidak bisa merangkai kata-kata koheren. Tiap sapuan jari Aran di atas klitorisnya membuat gadis itu mendesah kencang dan mengantarkan sensasi seolah ingin pipis. “Aaah, Kakak, udah pernah …. nghh, begini?” tanyanya dengan susah payah.
“Gak pernah, tapi sering nonton.” jawab Aran singkat, masih sibuk memainkan area intim Osamu dari balik celana dalamnya yang kainnya berubah transparan akibat cairan cintanya. “Sam, aku lepas, ya?”
He was so sweet, always asking for consent and Osamu felt like she was flying in cloud 9.
“Iya, lepas aja.”
Aran meneguk liurnya kuat-kuat. Ia tidak pernah melihat vagina selain dari buku pelajaran biologi dan video porno di ponselnya, namun, ia yakin bahwa milik Osamu adalah yang tercantik di dunia. Bibir vaginanya mengkilap basah, beberapa helai rambut tipis tumbuh di atasnya, dan lubangnya sesekali berkedut di bawah tatapan intens laki-laki itu. Dengan terburu-buru, ia beranjak dari kasur guna melepas celananya yang makin terasa menyesakkan.
Pandangan Osamu tak pernah lepas darinya, dan bola mata gadis itu sontak membulat begitu melihat kejantanannya yang mengacung tegak menampar perutnya.
“Kak, besar banget.” Gadis ity mencicit takut, secara refleks ia merapatkan pahanya. “Emang muat? Nanti sakit, gak?”
“Aku gak tahu, Sam.” Aran kembali naik ke atas ranjang dan mengukung Osamu di antara lengannya. “Coba kamu pegang.” ucapnya seraya membawa tangan mungil Osamu untuk menyelimuti batangnya yang keras. Gadis itu terkesiap begitu merasakan kontak langsung dengan kulit telanjang kekasihnya. “Jilat tangan kamu, Sam, terus kocok punyaku.”
Menuruti instruksi kekasihnya, Osamu pun menjilat telapaknya sebelum kembali membawa penis Aran dalam genggamannya. Gadis itu dengan perlahan mengurut batang penis tersebut, yang mana sukses membuat Aran mendesis nikmat. Pemuda itu menggeram rendah ketika Osamu semakin cepat menggerakan tangannya. “Ssshh, baby, stop.”
“Kenapa, Kak? Gak enak, ya?”
“Bukan gitu, aku kayak mau keluar, and I don’t want to come right now.” katanya, kemudian dengan lembut ia kembali mendorong tubuh Osamu agar berbaring. “Open your legs, baby, let me prepare you.”
Osamu tidak tahu bagaimana mendeskripsikan sensasi yang sedang ia rasakan saat ini. Tiga jemari Aran yang besar dan panjang berada di dalam vaginanya, menggaruk dindingnya yang sensitif, dan mengantarkan sensasi yang membuat kakinya berubah layaknya jeli. Rasa sakit dan ngilu yang semula hadir hilang entah kemana, digantikan oleh nikmat yang membuatnya ingin buang air kecil. Laki-laki itu masih terus mengeluarkan-masukan jemarinya dengan penuh kehati-hatian, memukul keluar desahan kencang dari bibir Osamu tiap kali ujungnya jarinya menyenggol sesuatu yang amat sensitif.
“Aaah, Kakak, enak.” Gadis itu terus meracau. Wajahnya yang merah banjir akan peluh, payudaranya naik turun dengan cepat akibat napasnya yang terengah-engah, dan Aran tidak bisa lagi menahan dirinya. “Sam, aku masukin kontolku, ya? Sekarang, please.”
Mendengar perkataan vulgar kekasihnya, Osamu hanya bisa mengangguk singkat. Wajahnya berubah tegang begitu ia merasakan kepala penis Aran yang besar seperti jamur menempel di depan lubangnya yang berkedut hebat. Laki-laki itu mengoleskan cairan Osamu ke kepala penisnya, sebelum dengan perlahan mendorong masuk miliknya ke dalam liang hangat kekasihnya.
“AAAH! NGHH, sakit!” Osamu menjerit kencang, matanya membulat menatap langit-langit kamar. Pandangannya seketika berubah kabur akibat air mata yang menggenang di pelupuknya. Rasanya jauh berbeda dengan jemari yang sebelumnya bersarang di dalam kemaluannya, kali ini terasa jauh lebih sakit, lebih penuh, lebih nikmat.
“Fuck, aku keluarin, ya? Maaf sayang, maaf, maaf—”
“J-jangan! Gak usah dikeluarin, nghh, lanjut aja tapi pelan-pelan.”
Aran, dengan kendali diri yang nyaris lepas, pun kembali fokus memasukan penisnya yang senti demi senti tenggelam dalam lubang basah Osamu. Laki-laki itu menggeram, napasnya berubah pendek, dan kepalanya terasa pening akan nafsu. Kehangatan yang terasa seratus kali lipat lebih nikmat daripada tangannya sendiri menyelubungi kejantanannya, memijat lembut batangnya, dan menghisap kepalanya seolah ia adalah sapi perah.
“Aaaah, Kakak … nghh.” Di bawahnya, Osamu terus mendesah, suaranya putus-putus, bola matanya bergulir ke belakang menyisakan putih.
Aran mulai menggerakan pinggulnya, menghentakkan penisnya di dalam lubang Osamu, membawa tubuh gadis itu bergoyang sesuai dengan irama yang ia atur. Tubuhnya terhentak-hentak dan sesekali menghantam kepala ranjang. “Aaah, Samu, anjing. Fuck.”
Ia menunduk, menatap setengah penisnya yang keluar masuk dengan cepat di dalam lubang Osamu. “Aaah, Sam, gak masuk semua tapi udah enak banget.” Gadis di bawahnya hanya merespons dengan desahan yang kian santer terdengar.
Menit terus bergulir, udara beraroma peluh diisi oleh suara pertemuan kulit telanjang yang basah bergema di dalam kamar, diiringi suara benturan kepala ranjang yang menghantam dinding.
“Kakak, aku mau pipis.”
“Iya, sayang, gak apa-apa. Fuck, aaah, keluarin aja.”
“Tapi, nghh, tapi aku mau pipis!”
“Iya, Samu, gak apa-apa. Gak usah ditahan.” Aran makin mempercepat gerakan pinggulnya, lalu membawa ibu jarinya untuk memutari klitoris gadis itu yang sedari tadi ia abaikan. “Just let it go, baby.”
Kemudian, tubuh Osamu mengenjang begitu orgasme pertama di hidupnya menghantamnya layaknya sebuah ombak yang bergulung tanpa henti. Ketika merasakan dinding vagina Osamu berkedut hebat dan seolah memijat batangnya, laki-laki itu pun menarik keluar penisnya dan menyemburkan cairan maninya di atas perut telanjang Osamu. Desahan keduanya bersautan, diikuti dengan suara napas yang berderu hebat.
“Aaah, Kakak, I’ll take all of you. Gak cuma setengah batang kayak tadi.”
And then, they both giggled.