i would’ve died for your sins

deera
23 min readSep 22, 2024

--

♫ You might want to listen to :

• The Smallest Man Who Ever Lived – Taylor Swift

• loml – Taylor Swift

• The Prophecy – Taylor Swift

• How Did It End? – Taylor Swift

• Crack Baby – Mitski

• Please Please Please Let Me Get What I Want – Deftones

• Waiting Room – Phoebe Bridgers

• Bintang di Surga – Noah

Was any of it true?

Were you sent by someone who wanted me dead?

Did you sleep with your gun underneath our bed?

I would’ve died for your sins

Instead, I just died inside

Kiyoomi terlonjak dari posisinya saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia mengangkat kepalanya dari tumpukan buku yang sedang ia baca, menemukan Atsumu berada di sebelahnya dengan senyuman secerah matahari yang tergantung di langit. “Omi! Aku cariin kemana-mana, di-chat dan telepon gak dijawab. Tahunya di sini.”

Siang itu, Kiyoomi memutuskan untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus. Beberapa buku yang berhubungan dengan materi kuliahnya bertebaran di sekitarnya, laptopnya yang mulai terasa panas terduduk di hadapannya. “Sorry, aku belum check HP. Kelasmu udah selesai?”

Atsumu menjatuhkan tubuhnya di sebelah Kiyoomi lalu mengangguk. “Iya. Ugh, dosennya hari ini nyebelin banget. Banyak omong, capek aku dengarnya.”

That’s how I feel everyday when I’m with you.”

“Woah,” Atsumu memajukan bibirnya. “Omi, that’s mean!”

Perkataan Atsumu dibalas dengan kekehan kecil dari Kiyoomi, tanpa ia sadari tangannya terangkat dan mengacak rambut Atsumu dengan main-main. Setelahnya, tangannya pun turun menuruni tengkuk Atsumu, merabanya dengan sentuhan seringan bulu kemoceng. Menerima perlakuan manis Kiyoomi, Atsumu sontak mengalihkan padangannya, berusaha menyembunyikan bagaimana wajahnya berubah merah layaknya kepiting rebus. Atsumu mengutuk Kiyoomi di dalam batinnya. Di dalam buku sejarah hidupnya, tercatat bahwa Atsumu adalah seseorang yang percaya diri, a natural born flirt, seseorang yang membuat pasangannya bersemu dan salah tingkah. Tapi kini dirinya berubah menjadi putri malu hanya karena Kiyoomi mengacak rambutnya.

“Omi, kalau kamu jadi manis dan romantis gini lama-lama aneh juga.”

“Aneh apa kamunya gak sanggup? Gak kuat?”

“Omiii … stop.”

Kiyoomi meletakan pulpennya di meja. Ia melirik ke arah pacarnya dengan senyuman miring yang terukir di wajahnya. “Atsumu, I think you’re a masochist. You like me mean, don’t you?”

Atsumu mengerang mendengarnya, ia membenamkan wajahnya di lipatan tangannya, bersembunyi dari tatapan mata Kiyoomi yang menelisik. Ia bisa merasakan bagaimana semburat merah mulai menjalar hingga ke tengkuknya, tubuhnya seketika panas, dan kepalanya pening. “Stop ngomong kayak gitu, Omiii.”

“Atsu, I’m not done yet.”

Atsumu menggeser kursinya agar menjauh dari Kiyoomi, menghindar bagaimana laki-laki itu menelanjanginya lewat tatapan mata di tengah perpustakaan yang ramai dengan pengunjung. Perpustakaan! Di area kampus! “Kiyoomi, kamu kesambet apa, sih?”

“Sini, dengerin dulu.” Kiyoomi menarik kursi Atsumu agar kembali mendekat ke arahnya dalam sekali tarikan, seolah beban yang duduk di atasnya bukanlah seorang laki-laki setinggi 187 cm dengan berat 80 kg. “Aku baru sadar juga sebenarnya. You like me mean. Even when we’re in bed, your cock jumped when I said something cruel, when I degraded you, when I look at you like a filth, when I broke you into pieces, when I fucked you like you’re a mere sex doll. Bener gak?” bisik Kiyoomi, suara dan hembusan napasnya terasa panas saat menerpa wajah Atsumu.

Dengan terburu-buru, Atsumu bangkit dari posisinya. “Toilet! Aku mau ke toilet! Bye!” Kemudian sosoknya hilang begitu saja, seolah tidak pernah hadir sebelumnya. Kiyoomi terkekeh kecil, Atsumu is so easy.

You want to get dicked down tonight?

Atsumu yang tengah sibuk menyeruput es jeruk sontak tersedak mendengar perkataan Kiyoomi. “Omi! Ini di kantin kampus?!” Suaranya melengking, wajahnya berubah merah dan matanya terbelalak.

“Ya, masa di kantin? Nanti lah di tempatmu.”

“Bukan gitu maksud aku!” Atsumu memekik. Ia melirik ke sekitar, berusaha memastikan bahwa tidak ada yang mendengar obrolan mereka. Mendengar bagaimana Kiyoomi berbicara dengan vulgar di tengah keramaian, ketika jam makan siang. “Omi, what’s gotten into you?”

I … make peace with myself and everything just combust. Kayak semua yang aku tahan akhirnya lepas, keluar, I don’t know what to do. What I want is to be with you.” jawab Kiyoomi dengan enteng. Jemarinya menelusup di bawah meja besi kantin yang berkarat, meraba dan sesekali meremas paha Atsumu yang dibalut dengan celana denim warna hitam. “Atsumu, what did you do to me?”

“Mana aku tahu! Anjir, aku gak tahu kalau kamu akhirnya bilang cinta sama aku jadi bikin kamu sangean gini.” sungutnya seraya menghentakan gelas berisi es jeruk ke atas meja. Matanya memicing tajam ke arah Kiyoomi, “I want you to keep your hands to yourself. We’re in public!” Suaranya keluar di antara gertakan giginya. Melihatnya, Kiyoomi tergelak pelan, kemudian menarik tangannya kembali, meninggalkan paha Atsumu yang sedikit bergetar.

“Maaf, baby.”

“Tuh! Kamu gak pernah panggil aku begitu! Aku gak biasa kamu kayak gini, Omi.”

Get used to it then.”

Keduanya kembali saling melontarkan lelucon sambil sesekali diselipi rayuan. Atsumu merasakan pipinya pegal karena terus menyunggingkan senyuman, matanya berbinar dan Kiyoomi rasanya sedang melayang di langit saat melihatnya. Tak lama, dering ponselnya menarik perhatiin Kiyoomi dari pacarnya. Sebuah pesan singkat dari kakak perempuannya. Kiyoomi mengernyitkan dahinya keheranan, karena ketiga kakaknya jarang sekali menghubunginya.

Pesan yang terpampang di layar ponselnya membuat darah Kiyoomi seolah membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dunianya seketika runtuh dan rata dengan tanah.

Kakak 3 [13.35]

Dek, pulang. Mami nemu fotomu ciuman sama cowok.

Sebuah tamparan telak melayang dan mendarat di pipinya begitu ia menginjakkan kaki di dalam rumah. Kepala Kiyoomi otomatis terlempar ke samping, pipinya berdenyut nyeri hingga ia bisa merasakan darah dari sela-sela bibirnya. Kepalanya tertunduk ke dalam, menahan rasa takut dan malu yang menguasai raganya. Tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat Ibunya kembali siap untuk melayangkan tamparan. Tapi rasa sakitnya tidak pernah datang. Napasnya tercekat saat menemukan Kakaknya berusaha menahan amukan Ibunya.

“KIYOOMI!! KIYOOMI ANAK SETAN GAK TAHU DIUNTUNG! KIYOOMI UDAH GILA KAMU, HAH?!” Suara Ibunya menggema memenuhi seisi rumah, memantul dari dinding-dinding seperti badai yang tak terbendung. Keadaan rumah berubah mencekam, udara di sekitarnya terasa menyesakkan, penuh akan ketegangan. Kakaknya masih berusaha keras menenangkan wanita yang memberinya kehidupan itu. Wajah Ibunya merah seperti tomat, matanya menyala penuh emosi, dan racun terus keluar dari belah bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah terang. Merah, semerah amarahnya yang mendidih.

“Kiyoomi! Dosa kamu! Apa-apaan ini, hah?!” Suaranya melengking, memecah ketenangan rumah. Wajah Kiyoomi memucat, merasa seolah-olah seluruh dunia sedang runtuh di sekelilingnya. Ia melemparkan selembar foto ke arah Kiyoomi. Foto dirinya dan Atsumu yang diambil saat perayaan hari jadi mereka. Foto di mana Kiyoomi menatap Atsumu dengan penuh cinta, juga foto di mana ia mengecup bibir pacarnya itu. Lembarannya sudah robek di beberapa bagian, dan hati Kiyoomi rasanya diremas hingga berdarah.

“Mi –”

“Buat apa kamu ibadah kalau kelakuanmu begini! Anak gak tahu diuntung! Sialan! SIALAN!”

“Mi, udah! Biarin Kiyo jelasin dulu!” Kakaknya tampak kelimpungan menahan tubuh Ibunya yang berontak. “Mami! Mbak, bantuin aku, Mbak!” katanya, meminta pertolongan kepada beberapa ART yang mengintip dengan takut dari balik pintu dapur.

Ibunya mendorong Kakaknya hingga jatuh terjerembab ke atas sofa. “Diam kamu, Kiko! Ini urusan Mami sama Adikmu yang gak normal ini!” Ia menyalak. “Tunggu sampai Papimu tahu kelakuanmu, Kiyo! Gila! Bener-bener gila!”

Kiyoomi terdiam di tempatnya. Tidak ada kalimat pembelaan yang keluar dari bibirnya, karena tak ada yang bisa ia elak. Di foto itu jelas-jelas terdapat dirinya, mencium sesama laki-laki tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Matanya memanas dan raungan menyakitkan terancam keluar. Kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa saat ia sedang merasa di puncak kebahagian bersama Atsumu? Kenapa saat ia sudah mulai menerima dirinya sendiri? Kenapa saat ia masih bergantung kepada orang tuanya? Kenapa?

“Siapa ini, Kiyo?! Pacarmu, hah?! Jawab!” desak Ibunya dengan suara yang parau. Wanita itu mencengkram kerah bajunya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Saat Kiyoomi bertatapan dengannya, hatinya seakan diinjak-injak lalu diludahi. Fitur wajah Ibunya yang amat persis dengan dirinya membuat Kiyoomi seolah bertatapan dengan versi lain dari dirinya sendiri, layaknya sebuah pengingat bagi Kiyoomi bahwa wanita ini lah yang memberikannya kehidupan dan tidak sepantasnya ia menyakitinya.

Kedua iris yang berlinangan air mata itu mencerminkan kekecewaan, amarah, rasa jijik, dan kebingungan. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi menjadi sebuah mozaik perasaan yang membuat Kiyoomi merasa kecil serta ketakutan. “Jawab, Kiyo!”

“A-aku … a-aku… hhh,” Napasnya tersengal. Kepalanya berputar. Tubuhnya bergetar. Di dalam kepalanya, Kiyoomi kembali memutar ingatan soal bagaimana psikiaternya menyarankan sebuah metode pernapasan saat panik membelenggu. “Aku … minta maaf, Mi. Kiyo minta maaf, Mami … maaf, Mami. Maaf.” Perkataannya berubah menjadi racauan yang tak beraturan, tak berarti, ia terus merapalkan kata maaf dan Mami bagaikan seorang terdakwa saat dihadapkan dengan vonis hukuman. Tubuhnya jatuh bersimpuh di hadapan Ibunya, kepalanya menempel di lantai, dan racauannya makin santer terdengar.

“Mami maaf Mami, Mami … Kiyo minta maaf, hhh … Mami, maaf. Mami.”

Tangisnya pecah. Ia meraung, ia berteriak, hingga paru-parunya rasanya ingin lepas. Hingga napasnya sesak dan air matanya membanjiri lantai ruang keluarga.

“Gila! Anak gila! Kenapa bisa kayak gini?!”

Sebuah pukulan menghantam tubuhnya yang masih bersimpuh. Pukulan yang seharusnya tidak begitu menyakitkan, namun rasa sakitnya terasa 10 kali lipat lebih sakit ketika pelakunya adalah orang yang Kiyoomi sayangi, orang yang sudah membesarkannya selama 22 tahun hidupnya. “Mami salah apa sama kamu, Nak? Sampai kamu kayak gini? Hah?! Jawab! Ini pacarmu?!”

“Mami …”

“Jawab! Kiyoomi! Jangan minta maaf terus kayak orang bego! Jawab!”

“Mami, udah. Biarin Kiyoomi jelasin dulu, tenang.” Suara Kakaknya kembali hadir di antara teriakan Ibunya. “Diam, Kiko! Mending kamu telepon Papimu, biar tahu kelakuan anaknya udah gak normal! Biar dihajar dia ini sama Papimu! Sana!” Ketika Kiyoomi mendengar langkah kaki Kakaknya yang meninggalkan area ruang keluarga, ia rasanya sudah kehilangan pertahanan terakhirnya. Jantungnya merosot jatuh hingga ke lutut. Tangisannya semakin kencang.

“Mami jangan telepon Papi, Mi … Kiyo mohon. Kiyo minta maaf.”

“Stop! Stop! Stop! Minta maaf sama mami! Harusnya kamu minta maaf sama Tuhan! Dasar gila!” Pukulan lainnya kembali mendarat di tubuhnya. “Jawab, Kiyoomi! Siapa ini?! Siapa namanya?!”

“Maafin Kiyo … jangan telepon Papi, please? Kiyo mohon …”

“KAMU MAU BIKIN MAMI MATI HAH?!”

Kiyoomi mengangkat kepalanya lalu menggeleng keras-keras. Ia meraih kedua tangan Ibunya yang sama bergetarnya dengan miliknya untuk ia genggam. “Gak, Mi … Kiyo minta maaf.”

Tangannya pun ditepis dengan kasar.

“LEPAS! Anak gak tahu diuntung! Udah dibesarin tanpa kekurangan gedenya malah jadi kayak gini?! Gaul di mana kamu?!” sentaknya seraya memungut robekan foto yang berceceran di lantai. Kiyoomi meringis kesakitan saat jari-jemari Ibunya menarik rambutnya agar kepalanya mengadah. Matanya membola saat wanita itu menunjukkan sobekan dari potret wajah Atsumu, masih dengan senyuman manis yang membuat tangisan Kiyoomi semakin kencang. “Pasti gara-gara dia ‘kan kamu jadi begini?! Iya?! Dihasut kamu sama dia?!”

“G-gak … Mi, jangan nyalahin dia.”

“Masih bisa-bisanya kamu belain ini anak?! Kiyo, otak kamu itu di mana?!”

“Mi … maaf, Mi. Maafin Kiyo …”

“Kamu ke kamar! Jangan keluar sampai Papimu pulang dari rumah sakit! Anak gila!”

Dengan tergopoh-gopoh, Kiyoomi berlari memasuki kamarnya, dengan sobekan foto Atsumu di dalam genggamannya.

Kiyoomi kabur melalui jendela. Ia tidak bisa, tidak sanggup, kalau harus berhadapan dengan Ayahnya. Sama saja seperti divonis mati, Kiyoomi menolak untuk menghadapinya hari ini. Tungkainya bergerak dengan cepat membawanya menjauh dari rumah, dari amukan Ibunya, dari badai yang akan dibawa Ayahnya, dari kenyataan yang menghantamnya. Dengan gemetar, ia merogoh ponselnya dari dalam saku celana, kemudian menekan tombol panggilan yang tersambung ke nomor Atsumu.

Kiyoomi terduduk lemas di sisi jalan, detak jantungnya seirama dengan nada sambung panggilan. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam erat ponselnya, berharap Atsumu akan segera mengangkat teleponnya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. Di sekelilingnya, suara kendaraan yang sesekali lewat terasa jauh, seakan-akan dunia di sekitarnya memudar menjadi latar belakang yang samar. Hanya ada dia dan panggilan yang berdering, menggantungkan harapannya di antara nada sambung telepon.

Halo, Omi?”

Kiyoomi feels like he could finally breathe, as if the weight of a thousand storms had been lifted from his chest, allowing him to bask in the peacefulness that is his lover. “Atsu.”

Kenapa, Omi?”

“Kamu di kost? Boleh aku ke sana?” tanyanya. Kiyoomi berusaha keras menahan tangisnya saat suara tawa Atsumu terdengar di saluran seberang. “Mau ngapain, Omi?” Kiyoomi bisa mendengar senyuman di suaranya, suara yang begitu indah seperti nyanyian paduan suara yang menggema di dalam gereja.

I told you I wanted to do it tonight.”

“Do what?”

You.”

Atsumu mengerang dengan keras, sukses membawa sebuah senyuman ke wajah Kiyoomi yang berantakan. “Oke, kamu ke sini aja. Aku mau … bersih-bersih.”

Setelahnya, sambungan telepon mereka terputus. Kiyoomi bangkit dari posisinya, kembali melangkah menjauhi area perumahannya. Malam ini, Kiyoomi tidak ingin melakukan apapun kecuali terkubur di antara kehangatan yang ditawarkan Atsumu. Malam ini, ia akan kembali memasang topengnya di hadapan Atsumu, menolak menarik laki-laki itu ke dalam pusaran masalahnya. Apa yang akan terjadi di esok hari bisa ia pikirkan nanti.

Atsumu mengerang dan melenguh, manik karamelnya terus mengikuti pergerakan Kiyoomi yang menelusuri tubuhnya dengan lidahnya. Laki-laki bersurai ikal itu mengecupi setiap jengkal tubuhnya, mengabsen setiap tanda lahir di tubuhnya dengan gigitan-gigitan kecil, dan mengelus permukaan kulitnya dengan sentuhan seringan kapas. Ia bertingkah layaknya seorang pelukis dan tubuh Atsumu adalah kanvas kosong di mana ia melukiskan tanda-tanda cinta berwarna merah dan biru.

Kedua kaki Atsumu tersampir di bahu pacarnya, bergetar dan mengenjang setiap kali Kiyoomi memberikan perhatian lebih ke titik-titik sensitifnya. Lidahnya naik ke atas, berputar di antara kedua areola Atsumu, menghisap inti dadanya sambil sesekali memberikan gigitan kecil yang sukses membuat kepala Atsumu berputar keenakan. Jari-jemarinya yang tenggelam di antara rambut Kiyoomi menari dengan luwes, menekan kepala laki-laki itu agar semakin terkubur di dadanya. Seolah ia ingin Kiyoomi merasuki raganya, tinggal selamanya di sebelah jantungnya yang berdetak cepat.

“Omi … aah.” Desahannya yang terdengar vulgar dan kotor memantul ke dinding tipis kamar indekosnya. Matanya terpejam erat saat Kiyoomi memelintir putingnya di antara jari-jari kurusnya, menekannya, memutarnya, hingga peluh membanjiri kening Atsumu. “Omi …”

“Shush. I’m worshipping your body.” ucap Kiyoomi. Matanya menghunus tajam ke arah Atsumu, suaranya serak akan napsu, dan napasnya yang panas menerpa wajah Atsumu layaknya mesin uap.

Atsumu terkekeh kecil. Ia menarik kepala Kiyoomi dan mendekapnya dengan sayang, menekannya tepat di atas jantungnya. “Ironic, isn’t it? Pas pertama kali kita lakuin ini, I was the one who worshipped your body and you called me ridiculous. Tapi, sekarang malah kamu yang kesetanan gini.”

Mendengarnya, Kiyoomi tertawa pelan. Ia memejamkan matanya, menikmati bagaimana detak jantung Atsumu yang konstan membawa tubuhnya melayang layaknya sebuah latunan pengantar tidur. “I was a fool back then.”

Obrolan mereka terhenti di sana karena Kiyoomi kembali melanjutkan tugasnya. Menghujani tubuh Atsumu dengan kecupan basah sambil membisikkan kalimat-kalimat cinta yang diucapkan dengan suara selembut sutra. Atsumu merasakan napasnya keluar dengan pendek-pendek, nafsu sudah memenuhi kepalanya, dan ereksinya terasa seperti mau meledak.

On your hands and knees, please, sweetheart.”

Suara Kiyoomi layaknya sebuah komando yang terucap dari seorang pemimpin batalion, dan Atsumu hanya lah tentara berpangkat rendah yang harus menurutinya. Walaupun ia bisa merasakan lututnya yang lemas seperti jeli, Atsumu tetap berbalik dan memposisikan dirinya membelakangi Kiyoomi. Tangannya meremas sprei di bawahnya saat ia merasakan kedua telapak Kiyoomi menyentuh pipi bokongnya, membelahnya, dan lubangnya berkedut tanpa ia sadari.

Atsumu merintih dan mengerang, tiba-tiba ia merasakan rasa malu mulai menjalar di tubuhnya. Sebelumnya, dia tidak pernah terekspos seperti ini hadapan Kiyoomi. Laki-laki itu selalu membiarkan Atsumu mempersiapkan dirinya sendiri, satu-satunya hal yang membuat kontak dengan pusat tubuh Atsumu adalah ereksi milik Kiyoomi, bukan jari, apalagi wajahnya. Tapi sekarang, wajah Kiyoomi berada tepat di hadapan lubangnya, dan Atsumu bisa merasakan tatapan sarat akan nafsu di sana.

“Omi … ngapain? Aku aja yang siap-siap. Give me the lube, would you?”

“Shush.”

Lagi- lagi perkataannya dibalas dengan titah untuk membungkam mulutnya.

Atsumu menjerit ketika ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat memutari lubangnya. Tangannya menyerah untuk menopang tubuhnya, mengakibatkan bagian atas tubuhnya terjatuh di atas ranjang. Kepalanya terbenam di dalam bantal, ia berupaya untuk menahan jeritannya di sana. Atsumu seketika pening ketika sensasi basah dan hangat itu mulai menjilati setiap inci permukaan lubangnya yang berkedut.

Sakusa fucking Kiyoomi is currently eating his ass.

Bola mata Atsumu rasanya hampir keluar dari kepalanya saat kenyataan tersebut menghantamnya. Tidak mungkin. Tidak pernah ada kemungkinan di dunia ini di mana Kiyoomi mau menaruh lidahnya di tempat paling kotor di tubuh seorang manusia. Tidak mungkin.

Fuuck! Omi … aaah, what the fuck?!”

And then, Kiyoomi fucking laughed at him. Atsumu could felt how he smiled against his arsehole. That man dared to laughed at him.

“Hmm, I always wanted to do this to you.” Gumamannya terasa bergetar di antara bokong Atsumu dan laki-laki pirang itu kembali menjerit.

Bohong! Kiyoomi selalu memiliki keinginan untuk menjilati inti tubuhnya? Dia bahkan tidak mau makan di kantin kalau mejanya belum disirami desinfektan!

Tidak ada lagi kata-kata koheren keluar dari bibirnya, hanya lenguhan, desahan, rintihan, dan tangisan. Atsumu tenggelam di dalam pusaran kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, menariknya jatuh ke dalam dan menyanderanya di sana. Tubuhnya terbakar oleh napsu, otaknya lumer dan berubah menjadi bulir-bulir keringat yang menuruni wajahnya. Tangan Kiyoomi yang menganggur menelusup di antara kedua paha Atsumu dan menggenggam kenjantannya yang mengacung tegak. Desahan Atsumu semakin terdengar santer dibuatnya.

Telapak tangan Kiyoomi yang kasar mulai mengurut ereksinya, berputar dengan nikmat di kepala penisnya, sementara mulutnya masih sibuk berciuman dengan lubangnya. Kali ini ditemani oleh tiga jari Kiyoomi yang menyelip masuk, mengorek dinding-dindingnya yang sensitif, dan menekan prostatnya tanpa pengampunan.

“O-omi … aaah, fuck, Omi I’m close. Omi ..” racau Atsumu. Tanpa ia sadari, ia menggerakan pinggulnya seirama dengan gerakan keluar masuk jari dan lidah Kiyoomi. Mengejar kenikmatan, mengejar pelepasan.

Come for me, sayang.”

Lagi-lagi, layaknya sebuah komando, Atsumu menuruti perkataan Kiyoomi. Ia bisa merasakan bagaimana cairan putih kental itu tersembur keluar dari ereksinya dan mengotori sprei. Tubuhnya langsung lemas dan jatuh sepenuhnya ke atas ranjang. Napasnya tersengal, bola matanya berputar ke belakang kepalanya, dan pelepasannya terus bergulung layaknya ombak yang tanpa henti membanjiri sprei.

“O-omi … hhh, what the fuck was that?”

I don’t know baby, you tell me.” balas Kiyoomi. Dengan lembut dan hati-hati, ia mengecupi tengkuk dan wajah Atsumu. “Did you just come from my tongue and fingers? So good for me, Atsu, so good. Such a good boy for me. Perfect.”

Kiyoomi whispered sweet nothings while Atsumu’s world is crumbling before him.

Mendengarnya, Atsumu bisa merasakan nafsu kembali merayapi tubuhnya. “Omi, fuck me, please. Right now.” Suaranya keluar dengan lirih bagaikan sebuah permohonan saat persidangan.

Kiyoomi tersenyum lembut dan mengangguk. Dengan cekatan, ia merobek bungkus pengaman di sampingnya, membalut ereksinya dengan benda tersebut, dan membalurinya dengan pelumas. Tak lupa, ia juga mengaplikasikan cairan lubrikasi ke area bawah Atsumu sambil jarinya kembali keluar masuk di dalamnya. Atsumu pun merintih dibuatnya.

Ketika Atsumu hendak memposisikan tubuhnya untuk bersimpuh membelakangi Kiyoomi, laki-laki itu membalikkan tubuhnya hingga kini Atsumu berbaring menghadapnya. Perlakuannya sukses membuat Atsumu keheranan. Saat berhubungan badan, Kiyoomi selalu menyuruhnya untuk membelakanginya, tangannya menekan wajah Atsumu agar tenggelam di bantal, seolah tidak ingin melihat wajahnya, seolah Kiyoomi ingin melupakan fakta bahwa ia melakukannya dengan seorang pria.

Bahkan ketika berciuman, Kiyoomi selalu menutup matanya sementara Atsumu tidak. Kiyoomi pernah bertanya kepadanya, soal mengapa ia selalu membuka matanya ketika mereka berciuman. Dan Atsumu ingat dengan jelas akan jawabannya, “You shut your eyes from the overwhelming rush, to prevent yourself from running away. I kept mine open because it’s not enough, because I want to record everything you do and store it forever inside my mind.” Hubungan mereka dibangun di atas sehelai benang tipis yang bisa putus kapan saja, maka dari itu, Atsumu ingin mengabadikan setiap detik kebersamaan mereka.

Tapi kini, mereka saling berhadapan. Seakan Kiyoomi lah yang ingin merekam ekspresi Atsumu di dalam kepalanya.

“Omi?”

“Aku mau lihat kamu. Jangan belakangin aku, ya?”

Atsumu rasanya mau menangis. Air mata menggenang di pelupuk matanya ketika ia melihat Kiyoomi menatapnya dengan sayang. “Kenapa?” tanyanya dengan lirih. Suaranya tercekat di tenggorokan. Atsumu loves this man so fucking much it physically pains him.

Because I love you, Tsumu. I always wanted to see you.”

Ketika panggilan masa kecilnya keluar dari bibir Kiyoomi, tangis Atsumu pecah. Dia tidak pernah merasa dicintai seperti ini oleh Kiyoomi, atau siapapun. “Omi, you done made me cry during sex.” kekehnya, berusaha menyelipkan humor atau Atsumu bisa-bisa mati karena perasaan yang menyesakkan.

I’ll make you cry in another way.”

Kemudian, Atsumu bisa merasakan Kiyoomi mendorong penisnya memasuki tubuhnya dengan perlahan, seolah ia takut untuk menyakiti Atsumu, takut kalau ia akan hancur dalam genggamannya. Atsumu melempar kepalanya ke belakang dan mengalungkan lengannya di leher Kiyoomi. Ia melenguh dengan panjang saat sensasi perih namun nikmat yang familiar mulai merasuki tubuhnya. Di atasnya, Kiyoomi mengernyit saat merasakan ereksinya seperti diremas dalam kehangatan. Laki-laki itu menggeram ketika ia sepenuhnya terbenam di dalam tubuh Atsumu.

“Ugh … you always feel so good.” desah Kiyoomi. Ia terdiam agar Atsumu terbiasa dengannya. Memberikannya waktu, sementara Atsumu ingin Kiyoomi segera menghajarnya dengan kasar. “Omi, bergerak, please.”

“Sebentar, sayang. I don’t want to hurt you.”

“Omii … gak apa-apa. Please bergerak. Please, please, please.”

Kiyoomi menggeram ketika mendengar bagaimana Atsumu memohon kepadanya dengan begitu manis. “Oke. Hold onto me, yeah, sayangku?”

Atsumu mengangguk, ia mengencangkan pegangannya di leher Kiyoomi. Desahan mereka saling bersautan ketika Kiyoomi mulai bergerak di atasnya. Keluar masuk dengan cepat, menekan dengan presisi ke arah prostatnya, sementara ereksi Atsumu yang terhimpit di antara tubuh keduanya bergesekan dengan perut Kiyoomi. Mereka pun larut dalam kenikmatan, mengejar pelepasan.

Kiyoomi membenamkan wajahnya di ceruk leher Atsumu, menghirup aroma yang familiar dan menenangkan. Atsumu tersentak, keheranan saat merasakan sesuatu yang basah dan hangat membasahi lehernya. Kiyoomi menangis dalam diam, air mata jatuh satu per satu, dan Atsumu tidak tahu apa sebabnya. Namun, yang jelas, Atsumu menambah erat dekapannya.

Mereka melakukannya hingga fajar menyingsing.

Oh, great heavens.

Atsumu bisa merasakan bagaimana sinar matahari mengusik tidurnya, menyelinap masuk melalui tirai jendelanya yang sedikit terbuka. Ia menguap dan menarik selimutnya, menolak untuk bangun setelah melalui malam paling nikmat yang pernah ia rasakan. Namun, tubuhnya tersentak saat ia tidak merasakan kehadiran Kiyoomi di sampingnya. Sisi tempat tidur di mana Kiyoomi terbaring semalam terasa dingin, tanda bahwa pria itu sudah pergi sejak lama. Atsumu mengerang kesal, bisa-bisanya Kiyoomi pulang tanpa membangunkannya?

Lengannya pun meraih ponsel, berniat untuk mengirimkan rentetan kalimat makian ke pacarnya. Di layar ponselnya, terdapat sebuah notifikasi pesan singkat dari Kiyoomi yang dikirim tiga jam lalu. Ketika membacanya, Atsumu merasakan bagaimana jantungnya seolah berhenti berdetak, keringat dingin seketika membanjiri tubuhnya, dan napasnya tercekat di tenggorokan.

Kiyoomi [06.18]

Atsumu, kita putus. Delete my number, don’t try to contact me again. Please, just disappear from my life. I love you and I’m sorry. I love you forever and always. I’m sorry. I love you.

Sakusa Kiyoomi pergi begitu saja dari hidupnya tanpa pamit, tanpa penjelasan, seolah dia tidak pernah hadir sebelumnya.

Say it once again with feeling how the death rattle breathing

Silenced as the soul was leaving, the deflation of our dreaming

Leaving me bereft and reeling, my beloved ghost and me sitting in a tree

D-Y-I-N-G

Atsumu panik. Dia mondar-mandir di kamarnya dengan air mata di wajahnya dan kemarahan yang mendidih di dalam dirinya. Seluruh pesan singkat yang ia kirimkan dibalas dengan centang satu, pertanda bahwa Kiyoomi sudah memblokir nomornya. Atsumu tidak mengerti, kenapa hal ini bisa terjadi? Mereka baik-baik saja sebelumnya. Apa ia berbuat suatu kesalahan dan menyinggung perasaan Kiyoomi? Ia kebingungan dan kepalanya seakan mau pecah karena mencari-cari jawaban.

Tanpa ia tahu, keresahan dan rasa sedihnya akan terus memakannya dari dalam hingga hari berganti minggu.

Miya Atsumu tidak pernah lagi melihat Sakusa Kiyoomi.

Kiyoomi terduduk lemas di kamarnya dengan tubuh yang bersandar di kaki ranjang. Ia meringis sakit saat luka lebam akibat pukulan Ayahnya berbenturan dengan lantai kamarnya yang dingin. Kepalanya yang berdenyut nyeri terkubur di antara lututnya. Dalam diam, ia kembali menangis. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya derai air mata yang terus turun menghujani wajahnya. Isi kepalanya kosong, ia bagaikan manusia yang hanya tersisa raganya, jiwa beserta hatinya sendiri sudah ia tinggalkan di kamar kost ukuran 4x4 milik Atsumu. Mengingat laki-laki itu, air matanya turun semakin deras.

Atsumu. Atsumu. Atsumu.

Ia terus merapalkan nama laki-laki itu layaknya sebuah mantra. Seolah menyebutnya sebanyak tiga kali bisa memunculkan sosoknya di kamar Kiyoomi. Saat ini, Atsumu pasti sangat membenci dirinya. Bagaimana tidak? Ia memutuskan hubungan mereka secara sepihak tanpa penjelasan apapun setelah sebelumnya ia menghujani Atsumu dengan afeksi dan kenikmatan. Tapi, dibenci Atsumu jauh lebih baik daripada menarik laki-laki yang begitu ia cintai itu ke dalam pusaran permasalahannya. Keluarganya itu nekat dan gila, ia tidak ingin Atsumu tertangkap radar mereka, ia tidak ingin keluarganya menyakiti Atsumu lebih dalam lagi.

Ultimatum Ayahnya terus berputar di dalam otaknya, mengatakan bahwa ia tidak boleh hadir di kampus untuk beberapa waktu terdekat. Karena itulah, sudah satu minggu lebih ia tidak datang ke kampus, sudah satu minggu pula skripsinya ia biarkan berdebu di dalam laptopnya. Kiyoomi tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun, termasuk menata hidupnya kembali. Tubuhnya lemas dan rasanya dikubur di dalam tanah adalah opsi terbaik yang ia miliki.

Ayahnya itu sudah gila. Membawanya ke gereja, meminta petinggi di sana untuk mensucikannya kembali, seolah ia adalah yang paling suci dan Kiyoomi adalah orang paling hina di dunia. Di hadapan orang lain, ia berperan sebagai seorang Ayah yang putus asa, ingin anaknya kembali ke jalan Tuhan, melakukan segalanya atas dasar kasih sayang orang tua. Namun, ketika mereka kembali ke rumah, ia seketika menjadi ringan tangan. Memukuli Kiyoomi layaknya samsak tinju. Menambah lebam baru di atas bekas yang mulai menguning.

Kiyoomi berpikir kepada dirinya sendiri. Bukankah Tuhan selalu mengajarkan tentang kasih sayang? Merengkuh sesama dalam balutan cinta dan perdamaian? Lantas, kenapa keluarganya terus menyakiti dirinya tanpa mengidahkan kalimat permohonan maaf dan ampun yang keluar dari bibirnya? Keluarganya lah yang harusnya kembali ke jalan Tuhan dan disucikan di gereja.

Kiyoomi terlonjak dari posisinya saat mendengar pintu kamarnya diketuk sebelum sosok Kakaknya muncul dari baliknya. “Dek, keluar sebentar. Ada tamu.”

“Gak ada urusannya sama gue.”

Kakaknya mendecak kesal. “Keluar. Justru ini ada urusannya sama kamu.” katanya. “Oh iya, kata Mami kamu pakai sweater sama celana panjang. Buat nutupin lebam. Malu dilihat tamu.”

Daripada ditutupi, Kiyoomi lebih ingin semua lebamnya dikecupi oleh Atsumu. Persis ketika ia menemukan luka goresan di pergelangan tangannya beberapa bulan lalu.

Menolak untuk terlibat dalam perdebatan dengan Kakaknya, ia pun memaksakan tubuhnya untuk bangkit. Setiap sendi di tubuhnya protes dan menjerit kesakitan saat dipaksa bergerak. Dengan langkah yang agak terhuyung, ia berjalan ke luar kamarnya setelah berganti pakaian. Whoever this guest is, it better be important. Because Kiyoomi is currently on a brink of death – at least mentally.

Ketika ia mencapai ruang tamu, kedua obsidiannya menangkap dua sosok asing duduk dan bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Satu di antaranya adalah wanita seumuran Ibunya yang mengenakan setelan kerja formal, sementara satunya lagi adalah seorang gadis dengan rambut pirang yang diikat satu. Ia tampak takut-takut melihat ke sekelilingnya, matanya bergerak dengan kikuk, dan saat ia menyadari keberadaan Kiyoomi, gadis itu dengan cepat menundukkan kepalanya.

“Eh, ini anaknya. Kiyo, ayo duduk.” titah Ibunya begitu ia melihat Kiyoomi memasuki ruang tamu. Memilih untuk menurut, Kiyoomi pun duduk di salah satu sisi sofa. “Kiyo, kenalin ini Tante Madoka sama anaknya, Hitoka. Tante Madoka ini teman dekat Mami sekaligus rekan kerjanya Papi di rumah sakit. Kalau Hitoka ini anak kedokteran, mau jadi kayak Mamanya katanya.”

Kiyoomi melemparkan anggukan singkat sebagai respons. Ia masih tidak mengerti apa tujuan pertemuan ini dan mengapa keberadaannya diperlukan.

“Gak usah basa-basi, lah ya? Jadi, kami rencananya mau jodohin kamu sama Hitoka. Hitoka udah setuju, lho. Cantik ‘kan Hitoka?” kata Ibunya dengan enteng. Kiyoomi rasanya ingin mati saat mendengar kata perjodohan keluar dari mulut wanita itu. Bumi tempat ia terpijak seakan runtuh seluruhnya. Kepalanya dengan cepat menengok ke arah Ibunya, bola matanya yang terbelalak menangkap sebuah senyuman yang terpatri di wajah wanita itu. Walaupun ia melemparkan senyuman ke arah Kiyoomi, senyumannya tidak mencapai matanya. Pertanda bahwa tidak ada ruang bagi Kiyoomi untuk menolak. “Pirang lagi rambutnya … tipemu, ‘kan?” Nada suaranya terdengar mencemooh, seakan sengaja mengingatkan Kiyoomi kepada sosok Atsumu.

Kiyoomi stood before the devil. The devil is not a little red man with horns and a tail, he could be in the form of a nurturing mother.

Di minggu kedua, Atsumu menemukan sosok Kiyoomi berjalan di koridor gedung fakultas. Kepalanya tertunduk, bahunya merosot ke bawah, langkahnya agak terhuyung, dan sesekali pria itu meringis ketika tubuhnya berbenturan dengan orang lain. Atsumu bisa merasakan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya, giginya bergemeletuk, dan tanpa ia sadari, tungkainya berjalan dengan cepat ke arah Kiyoomi.

“Sakusa Kiyoomi!” Atsumu menjerit, beberapa kepala menoleh ke arah mereka dengan tanda tanya besar di atasnya. Oknum yang dipanggil namanya pun mengangkat kepalanya, matanya membola saat menemukan sosok Atsumu berdiri dengan amarah yang terlukis di wajahnya. Manik keemasan yang biasanya memancarkan kehangatan kini berubah gelap, menghunus ke arah Kiyoomi, merajamnya dengan belati. Tungkainya bergerak dengan otomatis ke arah berlawanan, menolak konfrontasi langsung dengan Atsumu. Namun, sebelum ia bisa pergi menyelamatkan dirinya, Atsumu sudah terlebih dahulu menariknya masuk ke salah satu ruang kelas yang kosong.

Laki-laki itu mengunci pintu dengan gerakan sembrono. Wajahnya merah akan murka, langkahnya yang memutari ruangan terhentak-hentak, dan cengkraman tangannya membelenggu Kiyoomi agar ia tidak bisa kabur kemana pun.

“Kiyoomi! Jelasin sekarang! Kamu kemana aja dua minggu terakhir?! Apa maksudnya putus?! Kiyo –”

My parents found out about us.”

Rentetan kalimat Atsumu sontak tercekat di tenggorokannya, telinganya berdengung, dan tubuhnya seketika lemas. “A-apa?”

You heard me.” Kiyoomi berkata dengan intonasi yang sama saat mereka pertama kali bertemu. Datar, menohok, dingin, seakan bertukar kata dengan Atsumu adalah sebuah tindak pidana. “Atsu, we’re done. Please, just … let me go.” Kali ini, suaranya keluar dengan menyakitkan, lirih dan kecil. Kiyoomi tampak menyedihkan dan hati Atsumu rasanya dipotong menjadi jutaan keping.

“O-omi … omi, jangan ngomong gitu, ya? We can work this out! Aku janji, Omi, please jangan tinggalin aku? Tinggalin kita?” Atsumu memohon. Ia menjatuhkan dirinya di hadapan Kiyoomi, bertekuk lutut di hadapannya dengan menyedihkan, menggantungkan harapannya di antara lututnya yang bersimpuh dan bibirnya yang terus meracaukan permohonan. Atsumu bisa merasakan matanya mulai memanas dan pandangannya kabur, dengan gemetar, ia meraih kedua tangan Kiyoomi dan menggenggamnya dengan erat. “Omi, aku cinta banget sama kamu. Omi, aku bakalan perjuangin kamu, perjuangin kita. Kalau bisa aku ketemu orang tuamu? Omi, please, jangan tinggalin aku.”

Kiyoomi mengalihkan pandangannya. Ia tidak mau, tidak sanggup, melihat Atsumu saat ini. Melihat bagaimana orang yang memiliki keseluruhan hatinya tampak putus asa dengan air mata yang berlinangan akibat dirinya sendiri. Ia menelan air liurnya kuat-kuat, seakan menelan kembali seluruh kalimat yang sebenarnya ingin ia katakan. “Udah, Miya. Stop.”

Miya. Miya.

Atsumu merasakan bagaimana jantungnya jatuh merosot dan pecah di atas lantai.

“O-omi, I love you –”

Please, let me go. Let us go.”

Atsumu menggeleng dengan heboh, napasnya mulai tersengal karena panik dan tangis. “Gak! Omi, kita bisa kayak Osamu dan Suna, ‘kan? Iya, ‘kan? Kamu gak bakal nyerah gitu aja, ‘kan?!” Ia meracau di antara tangisannya.

Kiyoomi menepis tangan Atsumu, “Aku bukan Suna! Dan kamu bukan Osamu! Stop! Udah! I’m tired, I wanted to die everyday, every second, when I’m with you. Aku gak bisa, maaf kalau aku pengecut gak kayak Suna, maaf, I can’t do it. I can’t … I don’t want to be a sinner … I don’t want to go to hell.”

Bullshit!”

Kiyoomi mengabaikan Atsumu. Langkahnya yang hendak pergi meninggalkan ruangan terhenti saat Atsumu berpegangan erat di salah satu kakinya, menahannya di sana, masih sambil menatapnya dengan mata yang basah akan air mata. “Omi … aku mohon, Omi.”

We’re done, Miya. I’m done.”

Atsumu’s heart was glass. He put it on Kiyoomi’s palm only for his lover to dropped it until it shattered. Their love was a tapestry, Atsumu spent his time crafting it thread by thread, only for Kiyoomi to tear it apart with a dagger.

Halo, Tsumu?”

Suara Osamu yang terdengar dari speaker ponselnya membuyarkan lamunan Atsumu. Saat ini ia sedang terduduk lemas di atas ranjangnya dengan ponsel di tangan yang ia genggam erat-erat. “Samu …”

Eh? Kunaon? Kenapa kamu kedengeran sedih gitu?” Suara Osamu terdengar khawatir dan Atsumu rasanya hanya ingin dipeluk olehnya hingga fajar menyingsing, persis ketika mereka masih anak-anak.

“Omi … putus. Aing putus.”

HAH?!”

“Sam, he left. He said he’ll never leave. But he left, Sam.” Suaranya terputus karena tangisnya yang kembali mengancam untuk keluar, menggantung di bibirnya yang bergetar. “Sam, he was never mine.” Ada jeda dalam kalimatnya ketika Atsumu menyadari betapa bodoh dan naif dirinya karena telah percaya sepenuhnya kepada Kiyoomi, orang yang jelas-jelas tidak mau berjuang sedikit pun, orang yang menyerah bahkan sebelum perang dimulai. “Nevermind, Sam.”

Bandung rasanya tidak pernah berubah. Oke, mungkin berubah di beberapa aspek, seperti misal bertambah banyaknya mobil dengan plat B yang lalu lalang. Namun, sisanya sama. Suasana yang familiar ketika Atsumu masih duduk di bangku SMA, menghabiskan waktunya dengan Osamu dan Aran, atau hangatnya pelukan Ibunya saat ia sampai di rumah. Seperti saat ini.

“Aa, sini, sayang.”

Atsumu memutuskan untuk kembali pulang. Karena kalau kata orang, obat patah itu pulang ke kampung halaman.

“Mama … Samu pasti udah cerita.”

“Iya, sayang. Aa, kalau mau nangis terus gak apa-apa, ya? Mama di sini. Peluk Aa sampai gak sedih lagi.” Suara Ibunya yang lembut seolah menghancurkan pertahanan terakhirnya. Ia kembali menangis di pelukan wanita itu seperti seorang bayi. Minggu itu, Atsumu menangis lebih banyak daripada sepanjang hidupnya.

“Tsumu, sayang, Mama mau tanya.”

“Iya?”

“Kamu ini mau sampai kapan mewajarkan luka yang kamu alami cuma karena kamu sayang dan cinta sama orang yang pegang pisaunya?”

Kiyoomi terduduk dengan kaku di ruang keluarga, bayang-bayang makan malam antara keluarganya dan Hitoka beberapa jam lalu masih membekas di benaknya. Tatapannya kosong menembus layar televisi yang berpendar terang, namun pikirannya mengembara jauh ke kejadian siang tadi. Atsumu bersimpuh di hadapannya, air mata berlinangan bagaikan hujan yang tak kunjung reda, membuat Kiyoomi merasa seolah menjadi tokoh antagonis dalam kisah hidup mereka. Ia teringat bagaimana suara Atsumu bergetar, seakan-akan setiap kata yang keluar adalah belati yang menancap di hatinya sendiri.

Dalam bayangan pikirannya, Kiyoomi ingin merengkuh Atsumu, menenangkannya, menghapus air mata yang jatuh. Namun, realita kembali menghantamnya – seperti sebuah cermin yang memantulkan kebenaran pahit – bahwa ia telah melukai orang yang paling ia cintai. Sambil terus memandang layar televisi yang semakin buram, Kiyoomi merasa dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang tidak berujung, di mana setiap ingatan tentang Atsumu adalah paku yang menancap semakin dalam di hatinya. Siang itu, Atsumu berdiri di hadapannya layaknya sebuah lilin yang berjuang untuk tetap menyinari kisah mereka berdua, cahaya yang rapuh dan penuh harapan. Dan Kiyoomi mengambil peran sebagai hembusan angin yang memadamkan cahaya tersebut.

Lamunannya seketika buyar ketika sosok Ibunya datang menghampiri. Ia berdiri di hadapan Kiyoomi, menghalangi televisi, dan menatap Kiyoomi lekat-lekat. Cahaya dari layar televisi membentuk sebuah halo di sekeliling kepalanya.

Kiyoomi membalas tatapannya tanpa mengatakan apapun.

“Sebagai seorang Ibu, momen paling bahagia dalam hidup Mami itu adalah air matamu yang paling tidak bahagia. Itu berarti, Kiyo, anakku, bahkan ketika kamu tenggelam dalam kesedihanmu sendiri, itulah ukuran kebahagian Mami. Karena sebagai seorang Ibu, Mami sudah menyerahkan sebagian besar diri ini, memberikannya padamu di atas telapak tanganmu, dengan nampan perak. Ketika Mami mendorongmu keluar dari dalam rahim, Mami kehilangan separuh diri sendiri. Kebebasanku, identitasku, karena Mami bukan lagi seorang yang merdeka – aku menjadi ibu seseorang dan istri seseorang.”

“Mami tahu kamu pasti benci sama mami sekarang, karena Mami juga begitu. Sejak lahir, kemudian menikah, dan punya anak. Benci sekali rasanya dengan diri sendiri. Dulu, rasanya, Mami mau sekali meninggalkan organ ini, rahimku, di gang gelap yang berbau urine dan mayat. Tapi, Mami tidak melakukannya, karena Mami sayang sama kamu. Sayang dan cinta sekali. Sebagai seorang Ibu, atau orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama denganmu.” Ibunya berkata dengan kriptik, membuat Kiyoomi keheranan. “Tuhan mencintaimu, nak, tapi mungkin, itu tidak cukup untuk menyelamatkanmu. Jadi, selamatkan dirimu sendiri.”

Setelahnya, wanita itu kembali masuk ke kamar tidur.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (1)