if the confessional walls could talk

deera
10 min readDec 18, 2024

--

2014.

ALICE IN WONDERLAND

Shinsuke, yang tengah berbaring di atas ranjangnya, langsung tersentak dan bangkit dari posisinya ketika melihat pesan baru yang dikirimkan oleh Aran. Confession letter. Jemarinya bergerak cepat membuka pesan yang terpampang di bagian notifikasi, dan matanya membaca tiap kata yang ada secara berulang-ulang. Sesuatu yang asing menyeruak di dalam perutnya, bergejolak seperti ombak yang seketika membuatnya mual. Tugas geografi yang awalnya menjadi alasan menghubungi Aran kini terlupakan, menguap begitu saja.

Namun, sebagai teman yang baik, Shinsuke berusaha terlihat suportif. Ia mengetik balasan seadanya, walaupun rongga dadanya terasa penuh akan sesak—terutama setelah membaca isi surat yang begitu romantis, begitu tulus.

Malam itu, Shinsuke tetap terjaga, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, pikirannya berputar, mencari jalan keluar. Ia harus menemukan cara untuk memutar keadaan, untuk mencegah sesuatu yang tidak ia inginkan.

.

.

.

Sepanjang kelas, perhatian Shinsuke terus tertuju pada Aran yang bergerak dengan gelisah di atas kursinya. Pandangan laki-laki itu tak henti-hentinya berpindah di antara pintu kelas dan jam dinding yang tergantung di atas papan tulis, seolah waktu bergerak terlalu lambat untuknya.

Pasti dia gak sabar mau ngasih suratnya, pikir Shinsuke, mendapati dirinya menghela napas panjang. Sebuah dengusan lirih lolos dari bibirnya, sementara rahangnya mengatup erat, menahan iritasi yang tiba-tiba menyeruak tanpa permisi, meninggalkan jejak resah yang membuat suasana hatinya seketika buruk.

Ketika bel pulang berbunyi, Aran dengan tergesa-gesa membereskan barang-barangnya, kemudian berlari keluar kelas. Shinsuke mengumpat di dalam hatinya, lalu berusaha menyusul laki-laki tersebut.

“Aran! Aran!” Ia berteriak dengan lantang, memanggil nama temannya hingga sosoknya berhenti. Dengan napas yang terengah-engah, Shinsuke bertanya sebagai basa-basi. “Aran, mau ke mana, sih? Kok buru-buru banget?”

“Mau ke Warung Biru, yang dekat SMP itu. Mau ngasih surat yang kemarin itu, lho.” jawab laki-laki itu, kegugupan yang samar tampak hadir di wajahnya.

Di dalam hatinya, Shinsuke melemparkan tantrum layaknya anak kecil. “Ngasih sendiri?” Ugh, ngapain, sih?

“Ya, iyalah.”

Shinsuke mendengus kecil, bibirnya melengkung seakan menyimpan cibiran. “Kalau gitu, kenapa gak langsung tembak aja? Surat-surat segala, ribet amat.” la menggeleng pelan seolah tidak percaya. “Kenapa gak titip aja ke orang lain? Biar gak kaku nanti. You know, to avoid awkwardness.” lanjutnya, secara halus menanamkan sebuah ide yang akan menguntungkannya.

“Benar juga lu.” Aran pun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. “Tadinya gue mau tunggu di Warung Biru terus baru deh chat dia buat ketemu. Tapi, kayaknya mendingan suratnya dititipin, sih, kayak apa yang lu bilang.”

.

.

.

Shinsuke melangkah pelan, menjaga jarak agar tak terlihat oleh Aran yang kini berjalan menuju Warung Biru. Melewati dua pertigaan dan sekitar sepuluh menit berlalu, akhirnya ia tiba di sebuah warung kecil yang ramai oleh anak-anak berseragam sekolah. Dari balik bayang pohon trembesi, Shinsuke mengintip ke arah Aran yang sedang berbincang dengan seorang bocah laki-laki berseragam SMP. Nama bocah itu adalah Atsumu, begitu yang ia curi-curi dengar dari percakapan mereka.

Pikirannya berputar cepat, memikirkan bagaimana cara merebut surat yang kini ada di tangan Atsumu. Kata bagaimana terus bergema di dalam kepalanya, menari-nari dan berulang tanpa henti layaknya kaset rusak. Bahkan hingga akhirnya Aran pergi meninggalkan warung, sementara Atsumu tetap tinggal, sibuk memesan minuman.

Beberapa menit berlalu, Shinsuke keluar dari tempat persembunyiannya, ikut memesan minuman sebagai alasan untuk tetap berada di sana. Ia terus mencuri pandang ke arah tas milik bocah itu lewat sudut matanya, mencari celah, memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian Atsumu atau bahkan membuatnya menyerahkan surat itu dengan sukarela. Namun, sebelum rencana apa pun terbentuk sempurna, Atsumu tiba-tiba bangkit dan berjalan menuju toilet, meninggalkan tasnya yang tergeletak begitu saja di samping Shinsuke.

God must love me.

Sore itu, Shinsuke berjalan pulang ditemani segelas Pop Ice rasa bubblegum dengan topping keju juga secarik surat di dalam saku roknya.

.

.

.

But I love her.”

It’ll pass.”

Because you’ll love me instead.

Tiga bulan sebelum kelas dua berakhir dan keduanya naik ke kelas tiga, Aran menyatakan cintanya pada Shinsuke. Lalu, keduanya menjalin hubungan romansa.

Aran fell into Shinsuke’s scheme, just like Alice fell into the rabbit hole. Shinsuke looked at him with the Cheshire Cat smile and Aran mistook it for a genuine smile.

2015.

MASTERMIND

Ketika tahun ajaran baru bertengger di kalender dan Shinsuke serta Aran naik ke kelas tiga, saat itulah pertama kalinya Shinsuke melihat Osamu. Berdiri jauh lebih tinggi darinya meski usianya terpaut dua tahun lebih muda, sepasang mata keabuannya tampak mengintimidasi, namun, wajahnya begitu jelita, mencuri perhatian setiap pasang mata yang melewati kehadirannya.

“Shin, ini Osamu sama Atsumu. Teman kecilku.” ujar Aran, memperkenalkan dua saudara kembar itu kepadanya. Shinsuke membalas dengan senyuman ramah, yang hanya disambut pandangan tajam dan sikap dingin dari Osamu. Sementara itu, Atsumu menatapnya dengan sorot mata yang seakan menelisik, penuh rasa ingin tahu, meski bibirnya memilih untuk tetap bungkam. Anak itu seperti tidak ingat kalau keduanya pernah bertemu di Warung Biru sekitar satu tahun lalu.

“Salam kenal. Aku Shin, pacarnya Aran.”

.

.

.

Osamu adalah gadis menyebalkan yang dengan terang-terangan menunjukkan bahwa ia menaruh hati pada Aran. Entah bagaimana, laki-laki itu tetap tak bisa melihatnya. Shinsuke mendengus pelan, rasa muak memenuhi dadanya setiap kali Osamu muncul di saat ia sedang berduaan dengan Aran. Gadis itu selalu berhasil mencuri perhatian Aran—dan hal serupa terjadi lagi dan lagi, seolah-olah Shinsuke hanya bayang-bayang di tengah gemerlap keduanya.

You did this to yourself, Shinsuke. You know you’re just a rebound. You’re willing to be a rebound. You have sabotaged someone else’s life.

Tiap kali rasa kesal itu menguasainya, sebuah suara hadir di dalam pikirannya. Lirih namun tajam, sebuah pengingat akan konsekuensi dari pilihan yang telah ia buat—seperti duri yang menancap dan tak pernah bisa dicabut.

“Kakak, besok bisa temani ke toko buku?”

But, Osamu was still an annoying little bitch.

.

.

.

Tiap kali melihat Osamu dan Aran, rasa bersalah menyeruak di dalam diri Shinsuke. Kalau saja ia tidak mengintervensi perihal surat satu tahun lalu, mungkin keduanya sudah menjalin hubungan.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, rasa bersalah itu seolah dilahap oleh sesuatu yang lebih buruk dan kotor. Keegoisan dan rasa puas begitu melihat amarah serta kesedihan hadir di wajah Osamu tiap kali Shinsuke memamerkan kemesraannya dengan Aran.

Waktu terus berjalan dan Shinsuke merasa bahwa Aran sudah benar-benar mencintainya. Mungkin tidak sebesar cintanya terhadap laki-laki itu, namun, tetap ada dan akan terus tumbuh.

.

.

.

Nyatanya, meskipun Aran tampak mencintainya, laki-laki itu tak pernah bisa berkata tidak pada Osamu, atau pun mengalihkan perhatiannya dari gadis itu.

I’m better than her, aren’t I?” Shinsuke berkata, suaranya parau dan tidak lebih dari sebuah bisikan. “I prayed to God. She barely even steps into a church. I am betterbetter in God’s eyes, in Father’s eyes, in Aran’s eyes. Everyone must think so, right? She’s nothing but a girl who throws herself at someone else’s boyfriend.”

Napasnya tercekat di tenggorokan, hela napas tajam memecah pusaran pikirannya yang kian menggila. “I’m better than herSo he should love me. He does love me. He loves me more than her. He has to.

Kata-katanya tersendat, bergetar dan basah oleh isak. “He does love me,” Ia menatap cermin seakan di sana tersimpan semua jawaban, namun, bayangannya sendiri lah yang balas menatap dengan penuh amarah. Wajah gadis itu semerah krimson dilukiskan amarah. Matanya berkilau, menyimpan air mata yang enggan jatuh, sementara seragam sekolahnya yang basah melekat erat pada tubuhnya layaknya kulit kedua. “Doesn’t he?”

.

.

.

I’ve known her since we were kids, okay? She doesn’t have a father figure or an older brother—Atsumu doesn’t count, they’re twins. She relies on me a lot. She’s just a kid.”

Well, I don’t have a father either, or any parental figure except my grandma, but you don’t see me whoring around somebody else’s boyfriend.

“Shin, that’s not a very nice thing to say.”

Quite fitting assumption for someone who shows up to morning prayers dressed like she belongs in a brothel or something.

“Shin, love, enough! Watch your goddamn mouth!”

.

.

.

Menginjak hari-hari terakhir di SMA, Shinsuke memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Aran dengan alasan ingin fokus ujian masuk perguruan tinggi. Ia berpikir, tak ada gunanya mempertahankan suatu hubungan yang dipaksakan.

In the end, all her plans crumbled, offering her no joy. She, the mastermind of all, had manipulated someone into a relationship, yet no matter the tricks she had, his gaze always seemed to linger on another.

2016.

NUN

Waktu terus bergulir dengan cepat tanpa ia sadari. Tahun pertamanya di perkuliahan berjalan dengan lancar, hari-harinya diisi oleh kegiatan sukarelawan maupun kebaktian di gereja. Sosok Aran masih rutin mampir di dalam pikirannya. Keduanya masih berteman di media sosial dan sesekali bertukar pesan. Meskipun di dalam dirinya masih ada secercah harapan untuk memulai kembali sesuatu dengan Aran, gadis itu tidak mengatakan apa pun. Berteman dengannya sudah lebih dari cukup. Lagi pula, rasa bersalah itu masih sering menghantuinya.

“Shin? Sini, Nak!”

Suara neneknya sontak menarik Shinsuke dari dalam lamunannya. Ia pun melangkah ke arah dapur, menemukan wanita paruh baya itu tengah mengupas kentang untuk makan malam. “Shin, tolong potong wortelnya, nak. Bantuin Oma.”

“Oke, Ma.”

Suasana hening menyelimuti keduanya, yang terdengar hanya suara dentuman pisau yang menghantam talenan. Namun, Shinsuke bisa merasakan pandangan neneknya yang terus terpaku ke arahnya. “Ma, kenapa lihatin aku terus?”

Neneknya terkekeh pelan. “Gak apa-apa. Cuma lagi ngebayangin kalau kamu jadi biarawati.”

Sontak Shinsuke tergelak hingga potongan wortelnya berubah tidak simetris. “Hah? Biarawati? Aku? Ya, kali, Ma!”

“Lho, memangnya kenapa, Nak? Kamu udah sering kebaktian di gereja, udah cocok.”

Shinsuke hanya meresponsnya dengan gelengan, tawa sesekali masih lolos dari bibirnya. Perkataan neneknya melayang di udara tanpa ditemani balasan apa pun.

2017.

BACK TOGETHER

Di awal tahun 2017, Shinsuke kembali berhubungan dengan Aran. Setelah menghabiskan waktu berbulan-bulan saling bertukar pesan dan telepon, laki-laki itu mengajaknya untuk kembali menjadi sepasang kekasih. Shinsuke, yang masih menyimpan rasa padanya, lantas menjawab ya tanpa bisa ia tahan.

Rasa bersalah mengenai surat tersebut masih ada dan mengintainya, namun, kali ini perasaan itu tak lagi mengusiknya. Berbeda dengan masa SMA, kini Aran terlihat benar-benar tulus.

.

.

.

Father, aku gak bisa selamanya merasa bersalah karena soal surat, ‘kan? Aku berhak juga buat ada di hubungan ini. Aku gak rebut punya siapapun. Iya, ‘kan?” Suaranya bergema dan memantul di permukaan kayu bilik pengakuan.

“Hatimu bilang apa?”

That I’m not in the wrong.”

2018.

FALSE HAPPINESS

Hubungannya dengan Aran berjalan tanpa hambatan. Keduanya memadu kasih dan bahkan sesekali membicarakan soal masa depan. Berbeda dari masa SMA, Osamu tak pernah lagi mengusik keduanya karena gadis itu sedang berada di belahan dunia lain untuk menimba ilmu sebagai juru masak.

Shinsuke menikmati kehidupannya bersama Aran, afeksinya terhadap pria itu yang meluap-luap terkadang menyesakkan dirinya dan berubah menjadi asfiksia.

Ia tidak pernah lagi merasa bersalah soal surat yang masih tersimpan di dalam lemarinya hingga saat ini.

.

.

.

Shinsuke kembali bertemu dengan Osamu di pertengahan tahun 2018 saat acara reuni akbar SMA-nya. Aran masih menatap gadis itu dengan binar afeksi yang sama seperti saat empat tahun lalu. Namun, keinginan untuk memiliki absen dari manik segelap arangnya.

Dan entah kenapa, hal tersebut mengusik Shinsuke.

2019.

FEARS TO FATHOM

Shinsuke tidak tahu sejak kapan pembicaraan masa depan dengan Aran menjadi sebuah momok yang mengerikan baginya. Pria itu tampak begitu tulus mencintainya, tidak meninggalkan celah bagi Shinsuke untuk menganggap keduanya sama-sama menyimpan dusta.

Shinsuke menggunakan perasaan Aran terhadap Osamu untuk membenarkan tindakannya—bagaimana ia menyembunyikan surat milik Aran dan merasa selalu lebih baik dari Osamu. Itu membuatnya berpikir, “Oh, aku bisa jadi orang jahat karena bahkan pacarku pun punya perasaan pada gadis lain!” Namun, seiring berjalannya waktu, Aran justru semakin jatuh cinta padanya, dan hal tersebut membuatnya takut.

.

.

.

“Ini tahun terakhir. Habis itu semuanya selesai.” Shinsuke berkata pada bayangannya yang terpantul di dinding. “I can’t be with someone that I tricked into loving me. I can’t.”

2020.

FIRST CRACK

Sore itu, ia kembali duduk di dalam bilik pengakuan.

Father, aku gak bisa terus-terusan sama dia. Aku gak merasa tenang. Aku merasa bersalah, aku gak mau kayak gini lagi.”

“Kenapa masih dipertahankan?”

One more year. I still want to be with him, one more year.”

2021.

AGAIN

I can’t let him go, Father. One more year is all I need, one more year.”

“Kamu mengulur waktu, untuk apa?”

Lidahnya kelu tak bisa menjawab. Untuk apa? Ia bahkan tidak tahu.

.

.

.

“Oma, gimana kalau aku jadi biarawati?” tanya Shinsuke pada suatu malam. Kepalanya terbaring di atas pangkuan neneknya, dan jemari wanita paruh baya itu mengelus rambutnya dengan sayang.

“Kenapa tiba-tiba ngomong begitu, Nak?”

“Gak tahu, Oma. Beberapa tahun terakhir aku selalu merasa gak tenang, aku juga udah ngelakuin banyak kesalahan dulu, dan akhir-akhir ini aku cuma merasa tenang pas kita lagi ke gereja.”

2022.

HUMAN

Ketika Aran berlutut di hadapannya sambil menyodorkan sebuah cincin, dunia Shinsuke seakan runtuh. Semuanya terasa lebih nyata dan yang bisa lakukan hanya lah melangkah pergi meninggalkan ruang makan yang membeku dalam kengerian. Shinsuke bisa mendengar langkah kaki Aran yang menyusulnya ke halaman belakang, pria itu terus bersikeras meminta jawaban hingga adu mulut tak bisa dihindari.

“Aku … aku mau jadi biarawati!” Ia tidak tahu dari mana jawaban itu berasal, namun, pada saat itu otaknya seakan malfungsi dan hanya jawaban itu yang keluar secara spontan.

“Hah? Jangan bercanda, Shin. Don’t play with me right now.”

“Aku serius!”

Malam itu, segalanya berakhir. Sesuatu yang seharusnya bisa ia tinggalkan sejak lama, tapi ia terus menunda, membiarkan waktu terus mengalir dan menghancurkan keduanya.

.

.

.

I tricked someone into loving me. I stole something from him and snatched away a life he could have lived. I thought I was better than the girl he was in love with because she wasn’t very religious and wore revealing clothes. I called her a bitch and a hooker. I enjoyed her sadness and anger every time she saw me with the man of her dreams—who was my boyfriend at the time. But years later, I still feel guilty for everything I’ve done. So, I ended our relationship the night he proposed to me. Does that make me a sinner?” Shinsuke bersandar di dinding gereja yang dingin, sementara pertanyaan tersebut ia lontarkan kepada seorang gadis rekan masa aspirannya yang bernama Koushi.

Gadis dengan mata penuh kehangatan itu menoleh ke arahnya. “I think, it makes you human.”

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (12)