Jarum jam bertengger di angka 8 malam, Osamu tengah bergegas untuk tidur setelah mengaplikasikan produk perawatan wajahnya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Bunyi ketukannya konstan, namun, terdengar ragu-ragu. Ada jeda cukup lama di tiap ketukannya, seolah seseorang di sisi lain pintu enggan dan takut untuk mengetuk. Osamu, yang sudah berbaring dengan piyama hangat dan sleep mask yang menutupi matanya, sontak bangkit dengan keadaan setengah bersungut-sungut.
Wanita itu pun melepas penutup matanya, kemudian melangkah menuju pintu. Ada dua nama yang terlintas di kepalanya ketika suara ketukan pelan menggema di kamarnya, padahal jelas-jelas esok pagi ia harus bangun lebih awal daripada matahari; Ibunya atau Atsumu. Osamu menghela napas lelah, namun, tetap memutar kunci dan membukakan pintu—yang mana langsung disambut dengan sosok saudara kembarnya. Atsumu berdiri dengan kikuk di ambang pintu, wajahnya tertekuk, matanya sendu, dan rambutnya berantakan layaknya sarang burung walet.
“Mau ngapain?” Osamu bertanya dengan malas. Ia bersandar di kusen pintu sambil bersidekap, salah satu alisnya naik ke atas menunggu jawaban Atsumu. “Tsumu, udah malam tahu. Besok gue harus bangun jam 3 pagi buat makeup dan baju, abis itu—”
“Samu, gue tidur sama lo malam ini boleh gak?” tanya Atsumu memotong perkataan Osamu. Pertanyaan pria itu keluar dengan nada yang memelas dan ragu-ragu. Ia berdiri beberapa inci lebih tinggi dari Osamu, namun, malam itu ia tampak kecil dengan posturnya yang sedikit membungkuk serta bahunya yang melorot. “Samuuuu, boleh gak?” Bak anak kecil, sebuah rengekan yang familiar di telinga Osamu pun terdengar.
Osamu mendengus geli, ia memutar bola matanya malas, tapi tetap menggeser tubuhnya dari pintu guna memberikan jalan bagi Atsumu untuk melangkah masuk. Tanpa harus disuruh, laki-laki itu pun memasuki kamar Osamu layaknya dia lah pemiliknya. Ia langsung merebahkan dirinya di atas ranjang dengan posisi tangan dan kaki yang terbuka lebar seperti bintang laut, memakan keseluruhan tempat hingga Osamu harus mendorong tubuh Atsumu sebelum ia ikut berbaring di sampingnya. “Tsumu, yang benar, ah, tidurnya. Jangan kayak gini.” kata Osamu setengah menggertak.
Atsumu pun menggeser tubuhnya, memberikan ruang bagi kembarannya di atas ranjang yang dilapisi sprei berwarna merah muda dengan motif bunga lili di beberapa sisinya. Wanita itu hendak memejamkan matanya—kakinya tinggal sejengkal lagi untuk menyentuh dunia mimpi di mana ia merupakan seorang juru masak terkenal sekelas Gordon Ramsay—ketika pergerakan Atsumu mengusik lelapnya. Ia kembali menyingkirkan sleep mask dari pandangannya, lalu melirik ke arah Atsumu lewat ekor matanya.
Pria itu terbaring dengan posisi menyamping dan menghadap Osamu. Ia diam seribu bahasa, namun, sorot matanya seolah merefleksikan keriuhan di dalam kepalanya. “Samu.” Ia bersuara, pelan dan lirih, hampir ditelan bunyi dengung pendingin ruangan di pojok kamar. “Besok lo nikah.”
“Iya, Tsumu.” Osamu memutar tubuhnya ke arah Atsumu, membuat keduanya kini berbaring sambil berhadapan dengan satu sama lain. “Makanya gue harus tidur lebih awal.”
“Samu,” Atsumu mengangkat tangannya yang semula mencengkeram selimut untuk mengelus pelan helaian rambut yang jatuh di atas paras jelita Osamu. Sentuhannya seringan kapas, selembut sutra, dan sesendu senja di bulan Desember. “After you got married, don’t forget about me.”
“Tsumu, we share the same blood. You always live within me. Forever.”
Osamu memandang pantulannya di cermin, ke arah refleksi dirinya yang dipoles riasan wajah. Beberapa bagian rambutnya ditata dengan kepang-kepang kecil yang membentuk cepol, sementara sisanya dibiarkan tergerai menjatuhi lekukan bahu sampai punggungnya. Sebuah selubung putih transparan dengan aksen renda dan bordir dipasangkan di kepalanya, menutupi wajah hingga menjuntai menyapu lantai. Ia meremas tangannya sendiri yang berada di pangkuannya, berusaha menyalurkan kegugupan yang menggerogotinya dari dalam.
Ruang tunggu tampak sepi dan hanya menyisakan dirinya. Keempat dinding di sekitarnya terasa menyesakkan, kegugupan menghimpit tubuhnya hingga bulir-bulir keringat keluar dari pori-porinya, tubuhnya yang dibalut gaun tanpa lengan sontak bergidik begitu hawa dingin dari pendingin ruangan menerpa kulitnya yang lembab. Ia berusaha mengatur napasnya, meredakan jantungnya yang berdegup dengan cepat, juga menenangkan pikirannya yang riuh dan kalang kabut. Dalam beberapa menit ke depan, ia akan berjalan di altar menuju calon suaminya—menuju bagian baru dalam kehidupannya.
Pandangannya berpendar menyusuri ruangan yang sepi. Ibunya pasti di luar bersama sanak saudara mereka yang hadir, sementara Atsumu mungkin saja menangis di toilet seperti seorang pecundang. Memikirkannya membuat Osamu terkekeh pelan, namun, tawanya reda begitu gugup kembali hadir menyelimutinya. Ia menunduk dan memandangi jari manisnya yang polos tanpa dihiasi apa pun. Perutnya bergejolak akan antisipasi begitu memikirkan bahwa hari ini akan berakhir dengan sebuah cincin pernikahan yang melingkarinya.
Ia terpaku dalam lamunannya, membiarkan pikirannya melayang hingga suara pintu yang tiba-tiba terbuka dengan keras membuyarkan segalanya. Bunyi pintu kayu yang menghantam dinding diikuti oleh suara langkah kaki yang gaduh, suara click clack dari beberapa pasang sepatu hak tinggi yang membentur lantai marmer terdengar seperti melodi riuh yang mengisi ruangan sepi. Osamu memutar tubuhnya perlahan, menoleh ke arah pintu yang kini terbuka lebar. Di sana, ia melihat lima sosok yang tak asing baginya—teman-teman dekatnya, para bridesmaids yang telah menemaninya bahkan sejak matahari masih terlelap.
“Osamu! Osamu! Astaga, ya Tuhan, you look so pretty! So gorgeous. 10 out of 10, serius. Sumpah.” Rentetan pujian terus dilayangkan kepadanya oleh salah satu sahabatnya, Tooru, yang kini berjalan menghampirinya dengan langkah yang kelewat riang. “The makeup! Guys, lihat makeup-nya. Bagus banget, endolita mantulita.”
“Tooru, ini MUA yang lo rekomendasiin itu, lho. Makasih, ya. Cocok makeup-nya sama gue, sesuai yang gue mau.” kata Osamu yang direspons dengan acungan jempol dari sahabatnya itu.
“Cantik banget kamu, Sam. Ya, tapi dari awalnya juga udah cantik, sih.” Keiji ikut menimpali, perempuan itu menyentuh selubung yang menutupi wajah Osamu dengan hati-hati. “Ini veil-nya kostum, ya, Sam? Cantik banget bordiran bunganya.” Pertanyaan Keiji pun menyita perhatian temannya yang lain. Empat kepala pun mengerubungi Osamu guna melihat detail bordir bunga marigold yang menghiasi beberapa sisinya.
“Iya. Ini bunga marigold, my birth flower. Oktober. Kak Aran yang request costum made.” Osamu menjawab dengan malu-malu. Memikirkan pria itu saja sontak membuat pipinya memanas.
“Aw, such a romantic.” Tetsuro mendorong pelan bahunya dengan main-main. Matanya mengerling menggoda Osamu yang melengos malu-malu.
“Udah romantis, ganteng lagi. Mirip siapa tuh yang jadi Mufasa.” Eita tiba-tiba berkata, Ryu yang berada di sampingnya sontak menjentikkan jarinya. “Ta, bener banget! Aduh, gue gak suka laki, but I gotta say Samu, your man is gorgeous.” ucap Ryu yang langsung dihadiahi anggukan dari yang lainnya.
Ryu lalu melirik ke arah Tooru dari sudut matanya, “bagus, Sam, udah cakep, baik, lo nikahin. Daripada nih orang,” Ia menusuk dengan main-main pipi Tooru dengan ujung jemarinya. “Malah putus. Diajak balikan gak mau, terus sekarang malah kayak hubungan tanpa status.” cibir Ryu dengan nada meledek.
Tooru sontak menepis tangan Ryu yang masih bertengger di wajahnya. Wanita itu mengerutkan keningnya dan bibirnya mengerucut seperti anak bebek. “Diem! Gak usah bawa-bawa gue.”
Mendengar temannya saling berceloteh dan meledek satu sama lain sukses membuat Osamu merasa lebih tenang. Gugup perlahan pamit dari raganya, digantikan oleh antisipasi yang terasa manis akan kebahagiaan. Kemudian, pintu kembali dibuka, menampilkan Atsumu yang berdiri dengan setelan jas berwarna hitam. Wajah pria itu tampak dilapisi riasan tipis, matanya sedikit memerah (“Tuh, ‘kan. Dia nangis di toilet.” Osamu berkata di dalam batinnya.) dan kehadirannya pun membuat setiap pasang mata di ruangan menoleh ke arah pintu.
“Samu, it’s time.”
“Bukannya seharusnya lo jalan bareng ke altar sama Osamu?” Wakatoshi bertanya sambil meluruskan dasinya yang dirasanya miring. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah Aran yang bersandar di kusen jendela. Temannya itu tampak gugup, dapat dilihat dari kakinya yang terus mengetuk lantai dengan konstan, juga tangannya yang tak bisa diam—sesekali merapikan posisi dasinya, lalu beralih membetulkan lengan bajunya.
Aran mengangkat kepalanya, ia menoleh ke arah Wakatoshi lalu menggeleng. “Yes, traditionally. But, Osamu wants to walk with Atsumu.” Jawabannya kemudian dihadiahi oleh anggukan singkat dari Wakatoshi. “Terus juga mereka berdua pasti bakalan nangis. Osamu would pretend she doesn’t care, but she does. I want to make fun of her.”
“Why would you make fun of your wife?” Suara Issei terdengar dari sisi lain ruangan. Pria dengan rambut agak ikal itu duduk sambil berpangku tangan. Berbanding terbalik dengan Wakatoshi yang tampil rapi dengan jas dikancingkan secara penuh, Issei membiarkan miliknya terbuka dengan kemeja yang dua kancing teratasnya dibiarkan tak terpasang, tak hanya itu, simpul dasinya pun terlihat kendor dan tidak diikat sepenuhnya.
“You’ll understand if you marry your best friend, Tsun.” jawab Aran dengan nada suara setengah meledek. Ia membiarkan perkataannya menggantung di udara dengan penuh keambiguitasan, ditambah pandangan matanya yang beralih ke arah Koutaro (wanita itu tampak sibuk dengan dunianya sendiri, mengagumi interior katedral yang sepertinya memanjakan otak senimannya). Mendengar hal tersebut, Issei lantas berdeham, lalu wajahnya melengos ke arah lain, menghindari tatapan Aran.
“Gue sering ngeledekin Bio kok. Emang kenapa?” Suara lain terdengar dalam perbincangan, kali ini Hajime yang melemparkan pertanyaan. Issei yang mendengar perkataan sahabatnya itu lantas mencibir. “You’re just a jerk.” Yang mana direspons dengan tepukan di belakang kepalanya oleh Hajime.
“Tobio apa kabar, Wa?” Koutaro yang semula sibuk memperhatikan pahatan di dinding pun akhirnya ikut bergabung ke dalam obrolan. Wanita itu melangkah menghampiri Issei dan Hajime, gaunnya yang berbahan shiffon dan berwarna senada dengan setelan jas temannya yang lain bergerak dengan indah di tiap langkahnya, seolah terbang ditiup angin dan memberikan kesan anggun.
Mendengar nama kekasihnya disebut, Hajime pun langsung menoleh ke arah Koutaro. Ekspresi wajahnya berubah menjadi riang—bisa dibilang, terlalu riang—matanya berkilat akan sesuatu, campuran antara kebahagiaan, rasa bangga, juga cinta. “Kabarnya baik. Karirnya lagi lumayan banyak progress, dia banyak pemotretan gitu, terus juga banyak brand yang ajak kerja sama.”
“That’s good to hear! Berarti dia sibuk banget, ya? Makanya lo udah jarang ajak dia tiap kita ngumpul.” Koutaro kembali bertanya selagi menjatuhkan tubuhnya di lengan kursi tempat Issei duduk. Secara otomatis, pria itu melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Koutaro, mengunci wanita itu di tempatnya. Jemarinya tidak tinggal diam, ia meremas-remas pinggang dan pinggul Koutaro secara pelan layaknya sebuah muscle memory.
Hajime mengangguk lalu menjawab, “iya, Kou. Terus kalau pun dia senggang gue mau dia istirahat. Soalnya, dia suka sakit gitu. Udah dirawat dua kali gara-gara asam lambung.”
“Tooru juga suka begitu dulu. Kayaknya, susah banget buat jadi model.” Wakatoshi ikut menimpali. Hajime baru saja akan melanjutkan perkataannya, namun, pintu secara tiba-tiba dibuka, membuat obrolan mereka terhenti.
Salah satu kakak dari Aran muncul di baliknya, “guys, it’s time. Siap-siap, ya.”
Jika saja pada awalnya kegugupan yang dirasakan Aran membuatnya sedikit kesulitan untuk bernapas, kali ini rasanya ia bisa saja memuntahkan jantungnya sendiri.
Wakatoshi, Hajime, Issei, dan Koutaro melangkah menyusuri lorong gereja menuju ruang pemberkatan yang telah dipenuhi cahaya temaram dan harum lilin. Suasana yang sakral terasa menyelimuti setiap sudut, namun, atensi Koutaro justru terdapat pada pria yang berada di sampingnya. Ia mendengus geli begitu memperhatikan penampilan pria itu dengan seksama.
Koutaro menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, membuat Issei otomatis menoleh dengan bingung. “Kenapa, sih, berantakan kayak gini?” Pertanyaannya ditujukan pada dirinya sendiri, lebih terdengar seperti gumaman yang keluar dengan nada setengah menggerutu. Ia lantas menarik lengan Issei dan memaksanya untuk berhenti.
Dengan cekatan, Koutaro membuka simpul dasi milik pria itu yang terikat asal-asalan, lalu mengulanginya dengan gerakan terampil hingga tampak jauh lebih rapi. Tidak cukup sampai sana, tangannya bergerak membenahi jas yang dikenakan Issei, menyingkirkan kerutan-kerutan halus yang membuatnya terlihat kurang formal. “Kamu, sih, tadi datang pas MUA-nya udah pergi. Dasar ngaret. Nah, kalau rapi begini, ‘kan, bagus.” ujarnya dengan puas sambil memiringkan kepala, memastikan setiap detail penampilan Issei kini terlihat sempurna.
“Thank you, darling,” jawab Issei pelan, ia menyunggingkan senyuman manis ke arah Koutaro. Ada nada canda dalam suaranya, namun, sorot matanya terlihat tulus. “Maaf, aku emang gak pernah bisa pasang dasi.”
Koutaro pun mendengus, ia memutar bola matanya seolah kesal, meski ada senyum tipis yang bermain di bibirnya. “Dasar anak manja.” ledeknya, sebelum kembali merapikan kerah jas Issei dengan sentuhan ringan. “This place is so beautiful for wedding. Kayak di dongeng-dongeng.” ujar Koutaro secara tiba-tiba. Suaranya pelan dan samar, Issei hampir saja melewatkannya.
“Rumahku juga bagus, kok.” balas Issei tanpa ragu, suaranya lembut, namun, ada senyum menggoda yang terbit di sudut bibirnya. Komentar itu sukses membuat wajah Koutaro memanas seketika, rona merah muda menjalar hingga ke telinganya.
Wanita bersurai abu-abu itu buru-buru menepuk bahu Issei, tawa kecil yang kikuk meluncur dari bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah muda. “Udah, deh, jangan ngelantur.” gumamnya, masih dengan tawa yang menutupi kegugupannya.
Suara Hajime yang tiba-tiba menyela, memecahkan momen di antara mereka. “Eh, ayo, kita udah dipanggil ke posisi nih.” serunya sambil melambaikan tangan. Pria itu berada beberapa langkah di depan mereka.
“Wa, jangan gangguin orang pacaran. Eh, tapi gak pacaran, ya?”
Issei mengerang dengan kesal. “Wakatoshi, fuck off!”
Osamu meremas buket bunga yang berada di tangannya, berharap bahwa gerakannya tersebut dapat meredakan gugup yang merajai tubuhnya. Wanita itu berusaha mengatur napasnya, pandangannya terpaku ke arah pintu yang akan mengarahkannya pada altar, sementara di sisinya terdapat Atsumu yang tampak tidak jauh lebih baik. Pria itu berkali-kali mengusak rambut pirangnya, membuat beberapa helainya mencuat dan memberikan kesan berantakan.
“Kenapa lo kayak jauh lebih nervous daripada gue?” tanya Osamu seraya merapikan rambut Atsumu dengan jemarinya. “I’m the one who’s getting married, you know?”
“Shut up, Samu.”
“Loser.”
“Says you, stupid Samu.”
Lalu, keduanya pun tertawa pelan. Atsumu tersenyum ke arah kembarannya, pipinya naik hingga kedua matanya yang sewarna madu membentuk bulan sabit. “You look pretty by the way. Cantik banget. Jarang-jarang, ‘kan? Soalnya biasanya lo kayak monster.” Tentu saja pujiannya harus diakhiri dengan sebuah ejekan, sesuatu yang selalu mereka lakukan bahkan sejak keduanya hanya bisa menghitung sampai angka 20.
“Hey, Tsumu.”
“Ya, Samu?”
“Thank you for taking Dad’s place on walking me down the aisle. I love you.”
Denting lembut piano berpadu dengan alunan biola melantunkan instrumental lagu Young and Beautiful milik Lana Del Rey, alunannya mengisi setiap sudut katedral dan menambah kesan sakral yang mendalam. Cahaya lilin yang berpendar dari altar memantulkan keemasan pada dinding gereja, menciptakan suasana magis yang begitu syahdu.
Pintu besar di hadapan altar pun terbuka perlahan, menampilkan sosok Osamu yang melangkah masuk dengan anggun. Gaun putihnya memanjang hingga menyapu lantai, berkilau memantulkan cahaya di bawah sinar matahari yang masuk melalui celah-celah kaca jendela. Di sampingnya, Atsumu berjalan dengan langkah yang sama pelannya, wajahnya berusaha keras menahan air mata, ada guratan haru yang tak terbendung, namun, ekspresinya yang dibuat seserius mungkin membuat siapa pun yang mengenalnya pasti tersenyum geli. Aran, yang berdiri di altar, berusaha menjaga keseriusannya, kalau bukan karena suasana penuh khidmat, ia mungkin sudah tertawa terbahak-bahak hingga bergulingan di atas lantai akibat melihat ekspresi konyol Atsumu.
Langkah Si Kembar begitu selaras mengikuti setiap denting melodi yang mengalun. Para tamu undangan yang memenuhi kursi serentak berdiri, memandang takjub pada sosok mempelai wanita. Ibu dari Si Kembar tampak sudah banjir air mata, senyuman haru melukiskan wajahnya yang dipoles tipis oleh riasan. Dari sisi lain, Ibu Aran menatap Osamu lekat-lekat, seolah menyimpan perasaan campur aduk yang tak bisa dipahami. Senyum tipis mengembang di bibirnya, sementara sorot matanya memancarkan haru yang samar.
Aran berdiri menunggu dengan ritme jantungnya yang berdegup kencang di bawah balutan jas rapi yang ia kenakan. Ia meremas lengannya dengan gugup, sementara matanya yang mulai memanas karena air mata tak pernah lepas dari Osamu, sosok wanita yang begitu ia cintai sejak keduanya masih dua bocah ingusan yang membangun tenda dengan selimut di kamarnya. Osamu, yang dalam beberapa waktu ke depan akan berstatus sebagai istrinya dan menyandang nama belakangnya.
Ketika akhirnya Osamu dan Atsumu tiba di hadapan Aran, waktu terasa seolah berhenti untuk sesaat. Atsumu menoleh ke arah Osamu, lalu dengan penuh kehati-hatian menyerahkan tangan saudara kembarnya kepada Aran. Gerakan itu, kecil namun bermakna dalam, menjadi simbol bahwa keluarga mereka kini mempercayakan Osamu pada pria yang akan menjadi pendamping hidupnya.
“Take care of her.” bisik Atsumu lirih, suaranya bergetar, namun, penuh ketegasan. Aran menerima tangan Osamu dengan lembut, menggenggamnya seakan berjanji tak akan pernah melepaskannya. Ia menoleh ke arah Atsumu, kemudian mengangguk.
“Saya, Aran Ojiro, mempersunting engkau, Osamu Miya, sebagai seorang istri, di hadapan Tuhan, imam, dan saksi. Saya berjanji akan setia kepadamu dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dan untuk menjagamu dari sekarang hingga selama-lamanya. Saya berjanji untuk mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Prosesi pernikahan berlangsung selama kurang lebih satu jam. Dimulai dari doa pembuka, liturgi sabda, homili, pengucapan janji pernikahan, pemberkatan, hingga pertukaran cincin.
Jemari Aran yang gemetar perlahan mencoba menyematkan cincin pada jari manis Osamu. Getaran di tangannya menggambarkan luapan emosi yang tak mampu ia sembunyikan—kebahagiaan dan haru bercampur menjadi satu, membuncah di dadanya dan membuat tugas sesederhana memasangkan cincin terasa lebih berat dari biasanya. Detik demi detik berlalu, cincin pernikahan tersebut pun sukses melingkari jari manis Osamu.
Di sisi lain, Osamu berusaha menahan gelombang emosi yang mendesak isaknya untuk keluar. Ia menggigit pipi bagian dalamnya, mencoba mengendalikan air mata yang hampir jatuh. Pandangannya terpaku pada jari manisnya, yang kini dilingkari oleh cincin emas dengan kilauan batu permata di sekelilingnya.
Kemudian, gilirannya pun tiba, dengan jemari yang sama gemetarnya, ia mengangkat tangan Aran, perlahan menyematkan cincin ke jari pria yang berdiri di hadapannya. Sahabatnya. Cintanya. Suaminya. Ketika kedua cincin akhirnya tersemat dengan sempurna, waktu seolah berhenti, bumi berhenti berputar, dan suara dari pendeta yang menikahkan keduanya menjadi satu-satunya yang mereka dengar.
“You may kiss the bride.”
Selubung yang menutupi wajah Osamu pun disibak perlahan oleh Aran, lalu pria itu menunduk untuk mengecup pelan bibirnya, diselingi kalimat ‘aku cinta kamu’ yang dibisikkan tepat di sela kecupan mereka. Riuh tepuk tangan terdengar, dan tangis haru milik Atsumu memantul di dinding, mengundang tawa dari beberapa tamu undangan.
Osamu berdiri di pekarangan gereja dengan buket di tangannya, di belakangnya beberapa teman dan sanak saudara dari kedua belah pihak keluarga tampak membentuk sebuah kerumunan. “Lempar bunganya, Sam!” Suara Ryu terdengar lantang di belakangnya. Kemudian, tanpa ragu-ragu, ia melemparkan buketnya dengan asal.
Suasana yang semula sudah riuh menjadi lebih riuh begitu seseorang berhasil menangkap buket yang dilempar oleh Osamu. Wanita itu pun berbalik lalu tergelak begitu melihat salah satu sahabat Aran, Hajime, berdiri dengan buket di tangannya.
“Bro, pertanda ini, mah!” celetuk Aran disertai tawa dari tamu lainnya. Sementara Hajime hanya bisa menggaruk tengkuknya dengan kikuk dan malu-malu.
Bunyi denting gelas yang diketuk dengan sendok secara perlahan membuat suasana di ballroom hotel seketika sepi. Para tamu undangan pun berhenti bercelotoh dan memfokuskan perhatian mereka ke arah Atsumu yang berdiri ditemani secarik kertas dan mikrofron di tangannya. Seluruh pasang mata memperhatikannya, dan Atsumu seketika merasa gugup. “Ehem,” Ia berdeham, berusaha mengusir kering di tenggorokannya. “Aku di sini mau nyampein sepatah dua patah kata buat mempelai di sana—hey, Samu, Samu! Dengerin! Taro kuenya, kenapa? Stop makan dulu!”
Ucapan Atsumu sontak mengundang tawa dari para hadirin. Osamu, yang pada awalnya tengah sibuk menyantap berbagai macam makanan manis pun otomatis cemberut begitu mendengar perkataan kembarannya. Aran yang duduk di sampingnya pun terkekeh, ia meraih tissue kemudian menyeka ujung bibir Osamu yang dikotori oleh krim cokelat. “Sampai belepotan gini makannya, sayangku.”
“Aku lapar, Kakak.”
“Iya, tapi dengerin dulu itu Atsumu mau ngomong, oke?”
Atsumu menarik napas perlahan, lalu mulai berkata. “Pertama-tama, aku mau ucapin selamat dulu kepada mempelai, ya, Osamu dan Aran. Akhirnya, setelah banyak drama kalian jadi suami istri. Siapa sangka aku ternyata udah jadi third wheel dari kecil, pantas aja tiap ulang tahun kado dan ucapan selamat ke Osamu selalu lebih bagus.” katanya yang lagi-lagi memancing tawa dari orang-orang yang hadir.
Aran mendengus geli, bahunya bergetar karena tawa, dan Osamu terkikik pelan di sampingnya.
“Aku masih gak nyangka kalau ada yang mau nikahin Osamu karena dia suka habisin makanan, pelit, tukang pukul, dan jutek banget—”
“Bohong! Aku gak kayak gitu.”
“—dan ternyata yang jadi suaminya satu-satunya orang yang selalu jagain aku dan Osamu dari kecil. Orang yang selalu jadi sosok Kakak buat kita, karena kita gak punya siapa-siapa. Orang yang mau-mau aja selalu diikutin kita kemana pun. Orang yang bersedia direpotin selalu sama kita. Dan sekarang, bakalan direpotin Osamu sampai tua. Good luck with that, Bang.” Atsumu menatap ke arah Aran, sebuah senyuman lebar terpatri di wajahnya. Aran pun mengacungkan jempolnya ke arah Atsumu, jawaban bahwa ia siap sedia direpotkan oleh Osamu bahkan hingga rambutnya berubah putih.
“Please, take care of my sister. Love her with all your heart, because she’s all I have and … and I–I trust her with you. She loves you very much, too much it makes her dumb, but it’s sincere. I don’t you’ll ever find love anywhere like her, Bang, so appreciate her, love her, treasure her, worship her. I–I love you both, and I’m so grateful you’re the one who married her.” Pria itu berkata di sela tangis yang mengancam untuk keluar. “Aku senang karena akhirnya bisa anggap Bang Aran sebagai Kakak, karena kita sekarang beneran keluarga. Dan buat Osamu, tolong jangan lupain aku, walaupun nama kita udah gak berdampingan di kertas kartu keluarga yang sama lagi.”
“Hahaha, baby, lihat Atsumu mulai nang—” Perkataan Aran tercekat di tenggorokannya begitu ia menoleh dan menemukan istrinya juga dalam keadaan setengah terisak. Pria itu tersenyum lembut. “Dasar anak kembar.”
“You look ridiculous with tears.” Kiyoomi berkata dengan nada datar yang setengah meledek begitu Atsumu selesai dengan pidatonya. Laki-laki dengan rambut ikal itu tersenyum geli melihat wajah Atsumu yang memerah dan basah akan air mata. “Such a baby.”
“Diem, deh, Omi!” Atsumu berkata dengan bersungut-sungut. Ia meraih tissue di atas meja kemudian menyeka wajahnya. “Sorry if I have a heart and feelings unlike you.”
“Want me to kiss you better?”
Mendengar perkataan Kiyoomi, sontak Atsumu menoleh ke arahnya dengan mata yang membola. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang dan otaknya seketika malfungsi. Dengan tergagap, ia berusaha mengomeli Kiyoomi. “Gi–gila, ya?! Banyak orang begini!”
Seperti tidak tahu malu, Kiyoomi malah lanjut menggoda Atsumu. “Berarti kalau sepi boleh?” Perkataan Kiyoomi pada akhirnya pun diabaikan oleh pria itu, namun, ia bisa melihat bagaimana kedua pipi Atsumu berubah semerah gincu yang dipoles di bibir Osamu.
“How is it, darling?” Issei menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang berada tepat di samping Koutaro. Wanita itu duduk di hadapan kanvas, jemarinya dengan lihai menggerakan kuas yang perlahan membentuk potret Aran dan Osamu. “Ada kendala gak?”
“Gak ada, Sei.” balasnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Issei. Pandangannya terus fokus ke mahakarya yang sedang ia buat, tangannya sibuk menorehkan warna di atas kanvas.
“Aku bawain kamu makanan.” Ketika mendengar kata makanan, Koutaro pun akhirnya menoleh. Matanya seketika berbinar begitu melihat piring berisikan nasi, daging bistik, dan salad. “Aku suapin, ya? Kamu ngelukis aja.”
“Okay, babe. Thank you.”
Issei duduk diam sambil memperhatikan Koutaro melukis dengan lihai dan luwes. Sesekali ia menyendokkan sesuap nasi ketika diminta, lalu menyodorkan segelas minuman. Pandangannya lama-lama beralih dari kanvas ke wajah jelita wanita itu. Sesuatu di dalam rongga dada Issei terasa diremas begitu ia dengan lamat memperhatikan tiap lekukan di wajah Koutaro. “The painting is beautiful.”
“Yeah? Di nikahan kamu mau aku live painting juga?” Koutaro menawarkan dengan nada riang, senyuman terdengar di kalimatnya.
Issei sontak terkekeh, ia pun kembali menyuapkan nasi sebelum membalas perkataan Koutaro. “Emang mempelai perempuannya boleh, ya, melukis di pernikahan sendiri?”
Sontak, perkataan Issei membuat Koutaro salah tingkah. Kuas yang berada di dalam genggamannya jatuh ke atas lantai, diikuti dengan palet berisikan cat warna yang juga ikut berakhir di lantai karena tersenggol. Beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah keduanya, dan Koutaro harus mati-matian berusaha menyembunyikan wajahnya yang semerah kepiting rebus. Sementara di sampingnya, Issei tergelak tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Easy there, darling.”
Tooru memutar-mutar pasta di atas piringnya dengan garpu tanpa sama sekali berniat memakannya. Pesta pernikahan selalu membuatnya merasa sendu, di antara ramainya tamu undangan dan suka cita yang berterbangan di udara, Tooru selalu merasa sedih dan sendirian. Matanya yang menyapu ke sekeliling ruangan ballroom pun jatuh kepada Osamu dan Aran yang tampak berbagi tawa. Beberapa hari ke depan, mereka pasti akan pergi bulan madu. Lalu, beberapa bulan setelahnya, mengumumkan kabar baik bahwa Osamu tengah mengandung. Kemudian, sama seperti malam ini, Tooru akan duduk di antara tamu undangan tanpa cincin di jari, tanpa pasangan di sisinya, dan masih dengan tubuhnya yang rusak serta perlahan luruh.
Di sampingnya, Wakatoshi memandangnya dengan heran. “Tooru, kenapa gak dimakan?” Pria itu bertanya dengan pelan, seolah enggan membuyarkan lamunan Tooru. Telapaknya yang besar dan hangat mengelus pelan lengan wanita itu, merasakan bagaimana kulitnya bergidik di bawah sentuhannya.
“Gak apa-apa, Mas. Aku cuma capek aja.” Tooru menjawab dengan sekenanya. Ia melemparkan senyuman tipis yang seolah berkata ‘aku baik-baik aja, kamu gak usah khawatir’. Di sisi lain meja, Tetsurou duduk sambil diam-diam memperhatikan keduanya.
“Kalau kamu ada apa-apa, bilang sama aku, ya, Dek.” Wakatoshi membawa tangan Tooru ke dalam genggamannya, kemudian mengecup buku-buku jemarinya dengan lembut. “Jangan pendam semuanya sendiri, Dek. Mas sayang kamu.”
Tooru lebih memilih untuk menunduk tanpa merespons perkataan Wakatoshi. Perutnya bergejolak dengan tidak nyaman, dan tatapan Tetsurou seakan melubangi kepalanya.
“Yah, maaf, Mbak. Salad buahnya udah habis.”
Keiji merengut, wajahnya tertekuk dan bibirnya melengkung ke bawah. “Oke, Mas. Makasih, ya.” ucapnya dengan sopan kepada salah satu petugas katering yang menjaga stand salad buah.
Langkahnya yang semula hendak berbalik kembali ke mejanya seketika terhenti begitu seseorang menepuk bahunya dari belakang. Keiji pun menolehkan kepalanya, menemukan seorang pria yang berdiri jauh lebih tinggi darinya dengan mata yang menyerupai kucing. “Mbak? Mau salad buah? Ini kebetulan saya tadi ambil … tapi, buat Mbaknya aja.” katanya sambil menyodorkan sepirinh salad buah ke arah Keiji.
Gadis itu pun lantas menggelengkan kepalanya dengan heboh, “eh? Gak usah, Mas. Gak apa-apa, ini ‘kan punya Masnya.” tolaknya dengan nada bicara yang ia buat sesopan mungkin. Namun, pria itu tetap bersikukuh dan terus menyodorkan piring salad buah kepadanya. “Udah ambil aja. Saya mau makan zuppa soup soalnya. Daripada kebuang.”
“Oh, oke. Makasih banyak, Mas.” Dengan malu-malu, Keiji pun menerima pemberian pria asing tersebut. Ketika jari keduanya dengan tanpa sengaja bersentuhan, gadis itu sontak bersemu, lalu dengan salah tingkah ia membetulkan posisi kacamatanya yang melorot di hidungnya.
“Sama-sama. Enjoy.” kata pria itu sebelum berbalik pergi.
“Eh, Mas! Tunggu. Siapa namanya?”
“Um, Rin. Rintarou. Kalau kamu siapa?”
“Aku … aku Keiji. Salam kenal.”
Tobio mengerjapkan matanya, ia terus-terusan memandang ke arah Osamu yang duduk tepat di hadapannya. Lalu, di samping wanita itu duduk Tooru—Tooru fucking Oikawa, yang wajahnya banyak terpampang di pusat-pusat perbelanjaan besar sebagai seorang model dari berbagai brand ternama.
Bintang-bintang seolah menari di bola matanya karena pandangannya dimanjakan oleh kehadiran Osamu dan Tooru, dua orang yang menurut Tobio sangat lah rupawan, keren, sukses di bidang masing-masing, dan apakah ia sudah bilang soal betapa cantiknya kedua wanita tersebut?
“Kak Samu dan Kak Tooru cantik banget.” Tobio berbisik kepada Hajime yang tengah sibuk melahap ayam panggang. Kekasihnya itu pun mengangkat wajahnya dari piring untuk melihat Osamu dan Tooru, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Tobio. “Cantikan kamu, ah.”
“Ih, Kakak, gombal.” Tobio memajukan bibirnya, berusaha menyembunyikan senyum yang mengancam untuk tampil. Semenjak pertengkaran hebat mereka beberapa bulan lalu, Hajime berubah menjadi sosok yang lebih lembut, pengertian, dan penyabar. Walaupun pertengkaran-pertengkaran kecil masih terjadi di antara keduanya, Tobio merasa tidak masalah, karena ia merasa lebih dicintai daripada sebelumnya.
“Tobio, hai.” Suara Osamu membuat Tobio tersentak di tempat. Ia buru-buru menyeka bibirnya dengan tissue, takut jikalau sisa-sisa makanan mengotori wajahnya. “I–iya, Kak?”
“Ini Tooru di sini. Katanya mau kenalan sama Tooru.”
Mata Tobio teralihkan kepada Tooru. Wanita duduk diam dengan sebuah senyuk tipis di wajahnya. “Hai, Tobio, ya? Aku sering lihat kamu wara-wiri jadi bintang iklan sama model buat brand baju gitu. You’re much prettier in person.” Pujian yang Tooru lontarkan seolah mengirimkan Tobio ke langit ketujuh.
Gadis itu berusaha keras untuk menahan jeritannya, namun, wajahnya tak bisa menyembunyikan betapa antusiasnya ia bisa bertukar kata dengan Tooru. Senyuman lebar terpatri di wajahnya, membuat Hajime yang duduk di sampingnya terkekeh gemas. “Kakak tahu aku?!”
Tooru mengangguk. “Tahu dong.”
“Wah, aku nge-fans sama Kakak. Aku sering lihat Kakak di majalah sama mall. Keren banget!” Ia berkata kelewat antusias. Orang-orang yang duduk melingkari meja pun tertawa melihat tingkah menggemaskan Tobio.
Denting piring dan gelas yang beradu pun terus terdengar, diikuti suara celotehan dari tamu yang hadir. Tobio tak bisa menyembunyikan tawanya tiap kali Hajime berdebat dengan Koutaro soal suatu hal konyol, atau pun ketika Wakatoshi dan Issei terlibat dalam debat yang tak berujung.
“Bi? Ini karinya gak kamu makan?” Pertanyaan Hajime menyita atensinya yang semula terpaku pada Atsumu yang kini sedang sibuk menceritakan kisah masa kecilnya bersama Osamu dan Aran. Tobio melirik ke arah piringnya yang masih menyisakan setengah porsi nasi dan kuah kari, kemudian mengggeleng. “Gak mau, Kak. Buat Kakak aja.”
“Kenapa, Bi? Biasanya kamu suka banget sama kari.”
“Gak tahu. Aku gak nafsu aja.” Tobio mendorong piringnya ke arah Hajime. Perutnya bergejolak dengan tidak nyaman, dan terasa kembung seolah dipenuhi gas. “Kayaknya aku aslam lagi deh, Kak.”
“Tuh, ‘kan. Makanya dijaga pola makannya dong, sayang.” kata Hajime dengan penuh perhatian. “Habis ini kamu minum obatmu, ya?”
Tobio pun mengangguk, kemudian menyenderkan kepalanya di bahu Hajime, merasakan kantuk tiba-tiba menggelantungi kelopaknya. Di seberang, Atsumu terus berceloteh, dan kisahnya bagaikan sebuah dongeng pengantar tidur.
“Guys, ayo foto dulu. Semuanya kumpul, ya.” Aran berkata sambil menepukkan tangannya. Ia pun mengarahkan teman-temannya untuk berkumpul melingkari meja. “Nah, ini fotografernya temen gue pas dulu kuliah di Aussie. Dia ini juga suka foto-foto model buat majalah gitu. Vogue, Bazaar, ELLE, gitu-gitu.”
Aran menepuk pelan bahu seorang pria dengan perawakan tinggi besar. Wajahnya yang lebih terlihat seperti orang asing ketimbang lokal muncul dari balik kamera yang ia genggam. “Dia base-nya di luar, tapi tahun ini mutusin buat balik ke Indo. Katanya mau motret cewek-cewek Indo aja.” kata Aran dengan nada bicara setengah menggoda. Ia dengan akrab merangkul temannya tersebut.
“Aran, don’t make me sound like a pervert in front of your friends and wife.”
“Dude, I’m just kidding.” Pria itu tertawa pelan. “Kenalin semuanya, ini temen gue, Nico.”
Pria yang disebut Nico itu perlahan mengedarkan pandangannya ke sekeliling meja, matanya yang tajam—terbiasa menangkap cerita di balik wajah manusia melalui lensa—secara naluriah memindai setiap lekukan ekspresi yang ada di hadapannya, hingga pandangannya berhenti tepat pada sosok Tobio. Dengan senyuman kecil yang nyaris tersembunyi dari balik kameranya, pria berusia 33 tahun itu akhirnya membuka suara, “I’m Nicolas. Nicolas Romero. But, you can call me Nico. Nice to meet you all. Now get in your positions, and let me take your photo. Stand near that lamp, yes, that shades of red would look good in pictures.”