Tiga hari. Tiga hari yang dibutuhkan oleh Atsumu untuk sadar kalau dia sudah berbuat suatu kesalahan besar. Berteriak di hadapan Kiyoomi padahal laki-laki itu bermaksud baik, mengatakan kata-kata kasar yang sukar untuk dimaafkan, dan mengusirnya untuk enyah dari pandangannya. Tiga hari tanpa saling berkomunikasi. Tiga hari Atsumu rasanya seperti tenggelam di kubangan kesedihan yang ia gali sendiri.
Saat jam istirahat di antara proses KBM yang berjalan, Atsumu duduk di kelas dengan kepala yang ia topang di telapak tangan dan ponsel di telinga. Deringan nada sambung telepon terdengar konstan, dan Atsumu bisa merasakan rasa cemasnya mulai naik ke permukaan. Ia hanya ingin Kiyoomi mengangkat panggilannya, ia ingin Kiyoomi kembali padanya.
“Halo … Atsu?”
Atsumu menghela napas lega, tidak menyadari bahwa ia telah menahannya selama menunggu panggilannya untuk diangkat. “Kiyo, maaf.” Dia tidak tahu harus mulai dari mana, permintaan maaf menggantung dengan berat di bibirnya. “Maafin aku.”
Tidak ada respons selama kurang lebih dua menit. Hanya terdengar suara helaan napas Kiyoomi dan juga ramainya ruang kelas saat jam istirahat. “Kiyo –”
“Iya, Atsu. Aku juga minta maaf. We’re both in the wrong for this, okay?”
Atsumu rasanya mau menangis, kalau bukan sedang berada di kelas di mana banyak mata yang memandang ia pasti sudah jatuh di atas lantai, bergelung di sana dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Atsumu merasa Kiyoomi tidak berbuat kesalahan apapun, laki-laki itu cuma mendorongnya agar menjadi lebih baik yang mana direspons oleh Atsumu dengan makian dan ledakan. Tapi, kenapa dia juga meminta maaf? “Kiyo, kamu gak salah, please.”
“Salah, Atsu. I also said mean things to you dan gak coba lihat kondisi kamu dari perspektifmu sendiri. Aku harap kamu kayak aku padahal kamu punya prioritas yang lain.” Suara Kiyoomi terdengar lirih dan kental akan penyesalan. “Maaf, ya. Mulai sekarang aku mau kamu cerita ke aku soal semuanya. Kondisimu, keluargamu, rencana kamu ke depannya … please don’t leave me in the dark. How am I supposed to understand if you don’t tell me things? Aku tahu kamu bisa apa-apa sendiri, tapi bukan berarti kamu harus benar-benar sendirian. Atsumu, kamu punya aku, at least use me a bit.”
“Kiyo …”
“Aku bakalan bantuin kamu, apapun itu. I’m serious when I say I want to make this works, make us work. Aku juga mau kamu berhasil, entah itu jadi atlet atau apapun. Terserah kamu, sayang. Maaf aku udah bilang kamu pemalas dan sebagainya, aku tahu kamu gak kayak gitu. Maaf banget. Aku tahu kamu juga punya mimpi yang tinggi kayak orang lain, dan aku percaya kamu pasti bisa gapai itu semua.” Perkataan Kiyoomi terputus saat Atsumu mendengar suara lain di saluran seberang sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya. “Maaf tadi Tooru ajak aku ngomong. Anyway, soal mimpi kamu itu, aku mau aku ada di sana pas kamu udah berhasil. Aku mau bantu kamu bangun jalannya dan temanin kamu pas sudah sampai tujuan.”
Atsumu mengangguk mendengarnya, tidak mempercayai dirinya sendiri untuk tidak menangis kalau ia buka suara. Tapi tentu saja, anggukkannya tidak bisa dilihat Kiyoomi. Dengan suara bergetar, ia membalas perkataan Kiyoomi, “Aku ngerti, aku minta maaf banget. Aku juga mau minta maaf gak hubungin kamu selama tiga hari, aku bodoh banget soal itu, maaf.”
“Iya, Atsu. Please, stop minta maaf.”
“I-iya … bisa gak kita ketemu?”
“Bisa. Nanti aku kabarin ya, kelasku udah mau mulai lagi. Aku gak mau berantem lagi kayak kemarin, oke? It was tiring.” katanya. “Atsumu, I love you, no matter what happens.”
“I love you too, Omi.”
Panggilan telepon mereka terputus, dan Atsumu rasanya baru bisa bernapas lega setelah selama tiga hari dibekap oleh perasaan bersalah.
Saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan Atsumu, Kiyoomi langsung menarik laki-laki itu ke dalam pelukannya. Menyanderanya di sana, mendekapnya dengan erat seolah ingin Atsumu untuk merasuki raganya dan tinggal selamanya di dalam tubuhnya, di samping jantungnya yang berdetak dengan cepat, di bawah lapisan kulitnya yang meremang karena rindu, dan di aliran darahnya yang berdesir geli. Laki-laki bersurai pirang itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kiyoomi, menghirup aroma parfumnya yang familiar. “Aku kangen, Omi …”
“Aku juga.” balas Kiyoomi. Ia menopang dagunya di atas kepala Atsumu yang bau matahari. Mataharinya.
Mereka bertemu setelah Kiyoomi selesai dengan bimbingan belajarnya. Seperti biasa, Atsumu menjemputnya dengan senyuman yang selalu membuat Kiyoomi merasa hangat, senyuman yang sudah absen selama tiga hari dan saat mengingat hal tersebut, Kiyoomi rasanya mau berteriak frustrasi. Mereka pun singgah di Indomaret, Kiyoomi bilang ingin membeli sesuatu. Atsumu, dengan langkah santai, mengikuti Kiyoomi yang menyusuri rak-rak penuh barang.
“Kenapa, Omi? Mau beli apa?” tanya Atsumu, sambil mengambil satu bungkus permen favoritnya dari rak. “Omi … aku mau ini, nanti aku ganti uangnya.”
Kiyoomi berhenti sejenak, matanya mengamati deretan produk di depannya sebelum ia memasukkan permen pilihan Atsumu ke keranjang belanjaannya. “Gak usah diganti. Aku cuma mau beli wafer, kok.” jawabnya.
Sambil menunggu Kiyoomi memilih camilan, Atsumu memerhatikan gerak-geriknya. Baginya, setiap gerakan Kiyoomi, sekecil apapun, selalu menarik. Bagaimana Kiyoomi menyisir rambutnya ke belakang, cara ia mengangkat alis saat menemukan sesuatu yang menarik, semuanya tampak seperti bagian dari sebuah tarian yang hanya ia bisa nikmati. Setelah beberapa menit, Kiyoomi akhirnya melangkah ke kasir dengan beberapa barang di keranjang. Atsumu mengikutinya, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Di dalam hadapan kasir, di bawah cahaya lampu yang menyilaukan dan dingin, ada kehangatan yang hanya bisa mereka rasakan.
Setelah membayar barang belanjaan mereka, keduanya pun duduk di deretan kursi yang tersedia di pelataraan toko, memperhatikan bagaimana kendaraan lalu lalang saat jam pulang kerja. Sambil memakan camilannya, Kiyoomi mengalihkan pandangannya ke arah Atsumu, memperhatikan bagaimana laki-laki itu sibuk menguyah permen sambil melamun.
“Atsu, kamu tahu gak? Aku pernah nulis puisi buat kamu.”
Atsumu sontak menengok ke arahnya dengan mata membola. “Hah? Puisi gimana? Aku mau baca dong!” desaknya. Kiyoomi melengos lalu menggeleng kuat-kuat, “Gak mau ah. Malu.”
Ia bisa mendengar rengekkan Atsumu yang memekkan telinga, memaksa Kiyoomi untuk menunjukkan puisi buatannya. Angin malam menerpa wajahnya yang masam dan cemberut, dan Kiyoomi tidak pernah melihat seseorang terlihat begitu menggemaskan. “Curang! Ngapain kamu kasih tahu aku kalau gak mau nunjukkin puisinya! Please, please, please, Omi aku mau lihaaat!”
Kiyoomi tergelak melihat bagaimana Atsumu memohon di hadapannya. “Maybe in the next ten years.”
“Jahat! Tega!” Atsumu pun menyerah. Ia kembali menyenderkan tubuhnya di kursi, tidak mau lagi memohon dan merengek di hadapan Kiyoomi. Sambil menguyah permen dan melihat sibuknya jalanan, ia berkata, “Sepuluh tahun, ya? Kita masih sama-sama gak, ya, nanti? Kamu pasti udah jadi dokter. Apa aku udah bisa jadi atlet? Aku mau banget bisa tanding di Olympics, aku bisa gak, ya, ke sana? Pasti keren banget. Apa mimpiku ketinggian?”
Pertanyaan Atsumu ia biarkan menggantung di udara tanpa ditemani satu pun jawaban.
Puisi yang ditulis Kiyoomi tapi menolak untuk membiarkan objek dalam tulisannya untuk membacanya.
LITTLE PRINCE
Why do you dream so big, love?
In this vast world, so high above?
You, a mere speck in the grand scheme
Yet your ambitions gleam like a sunbeam.
I wonder at your audacity
Chasing dreams with such tenacity
In a world where giants roam
Why do you dare to build your own home?
But perhaps it’s your size that fuels your fire
A spark of defiance, a burning desire
For in your heart, you hold the key
To unlock the greatness that others can’t see.
So dream on, my little prince, and aim for the sky
Even the smallest stars can shine bright.