lovers on a leash

deera
12 min read5 days ago

--

Derap langkah kaki Daichi terdengar di lorong sepi rumah, menghantam lantai yang dilapisi veneer kayu, dan mengarah ke ruang tengah. Hanamaki menutup buku yang semula sedang ia baca sebelum bangkit dari posisi lalu melangkah meninggalkan ruang tengah menuju kamar putrinya.

Menghindari Daichi sudah seperti menjadi kebiasaannya, sebuah refleks yang diingat tiap sendi tubuhnya, dan pergi menghampiri putrinya adalah satu-satunya pelarian di mana ia bisa merasa seolah tidak sedang dicekik oleh tangan tak kasat mata yang membelenggu pernikahannya.

Hanamaki memutar knob pintu kamar putrinya dengan perlahan serta penuh kehati-hatian, kepalanya melongok ke dalam dan menemukan anaknya tertidur lelap ditemani sebuah boneka beruang di dalam pelukannya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam, detik jarum jam menggema di kamar yang sepi dan temaram, hanya diterangi lampu tidur yang duduk di atas meja nakas.

Wanita itu menghela napasnya pelan. Malam adalah waktunya untuk sendirian tanpa suami dan anaknya, untuk membaca buku, atau sekedar termenung di depan televisi sambil mendengar suara jangkrik yang seringkali mengantarkannya ke alam mimpi. Di siang hari ia harus mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah sekaligus mengurus Ishana, putrinya, yang sedang aktif-aktifnya—selalu ingin tahu banyak hal dan tak pernah meninggalkan Hanamaki barang sedetik saja.

Selepas makan malam dan menunaikan ibadah sholat isya, Hanamaki biasanya berdiam diri di ruang tengah hingga fajar menyingsing. Terkadang terlelap di sofa depan televisi, namun, seringkali ia menemukan dirinya terbangun di atas ranjangnya sambil dilapisi selimut hangat yang memeluk dirinya dengan nyaman. Daichi selalu menggendong tubuhnya yang terlelap menuju kamar tidur keduanya, tanpa Hanamaki minta.

“Bunda numpang sebentar, ya, sayang.” Ia berkata dengan pelan seraya duduk bersandar di kaki tempat tidur Ishana. Buku yang semula ia baca masih berada dalam genggamannya, dan telinganya terus fokus mendengar tiap pergerakan suaminya di luar kamar.

Hanamaki tidak tahu kenapa ia selalu menghindari Daichi. Pria itu tidak pernah berlaku kasar kepadanya, namun, tubuhnya seolah memiliki pikiran sendiri tiap kali Daichi datang menghampiri. Kabur. Pergi. Sembunyi.

Derap langkah Daichi terus terdengar, memutari ruang tengah dan dapur, kemudian digantikan dengan suara air yang bergejolak di dalam dispenser, lalu diikuti denting gelas kaca yang menghentak meja makan, berakhir dengan pintu kamar yang ditutup—menandakan pria itu telah kembali ke kamar untuk beristirahat. Hanamaki memejamkan matanya sebelum melirik ke arah putrinya dan berjalan keluar kembali ke ruang tengah.

Wanita itu duduk memeluk lututnya sendiri di selagi membaca novel fantasi berjudul The Midnight Library karya Matt Haig ditemani oleh kesunyian malam yang mungkin bagi kebanyakan orang terasa mencekam. Namun, bagi Hanamaki, ketika bulan duduk di singgahsana langit dan sinar kebiruannya menerangi bumi, itu adalah satu-satunya waktu di mana keriuhan dalam kepalanya berubah menjadi sunyi.

Paragraf demi paragraf ia baca hingga kantuk menggantungi kelopak matanya dan lelap hinggap di tubuhnya.

Ketika adzan subuh berkumandang, Hanamaki menemukan dirinya bergelung dengan nyaman di atas tempat tidur. Selimut tebal melilit tubuhnya, dan suara pergerakan Daichi terdengar samar-samar. Matanya masih terpejam dan kesadarannya baru kembali setengah ketika ia merasakan sebuah kecupan singkat di dahinya.

“Bangun, sayang, udah subuh. Mas ke masjid dulu, ya.”

Hanamaki terus pura-pura terlelap hingga Daichi tak lagi berada di kamar. Perut wanita itu bergejolak akan sesuatu yang membuatnya geli, dan wajahnya berubah panas meskipun suhu pendingin ruangan berada di angka 18 derajat.

“Aku hari ini ada perintah buat awasin demo.” ucap Daichi ketika ketiganya duduk memutari meja makan saat sarapan. Sepiring nasi goreng dan telur mata sapi yang masih mengepulkan asap terhidang di keluarga kecil tersebut.

Mendengar perkataan Daichi, Hanamaki yang sedang menyuapi putrinya sontak menoleh ke arah pria tersebut. “Di mana, Mas?” tanyanya, nada khawatir terselip di antara ucapannya tanpa ia sadari. Matanya terus memandang ke arah Daichi sementara tangannya sibuk menyendokkan sesuap nasi goreng untuk Ishana—Hanamaki sendiri belum menyentuh piringnya sama sekali.

“Di istana, Dek.” jawab Daichi sebelum meneguk segelas air mineral. “Jadi, Mas nanti pulang lebih telat dari biasanya.”

Hanamaki mengalihkan pandangannya, “oh, oke, Mas. Hati-hati, ya.” ujarnya singkat, tidak tahu harus merespons apa.

Suara alat makan yang ditaruh di atas piring membuat wanita itu kembali menatap Daichi. Wajah suaminya tampak lebih lelah dari biasanya, guratan-guratan di dahinya yang semula halus terlihat lebih kentara, dan sorot matanya yang redup membuat Hanamaki merasa tidak nyaman. “Kenapa, Mas?”

“Dek,” Daichi menghela napasnya. “Mas ada pikiran mau keluar dari instansi, gak mau jadi polisi lagi.” Ia menghela napas dengan lelah, keningnya yang seketika berdenyut ia usap dengan jemarinya. “Udah kacau, Dek, negara ini. Mas gak mau terus-terusan di gaji pakai uang rakyat yang marah dan ditindas rezim. Mas gak mau selalu berdiri di sisi yang salah pas demonstrasi. Lemparin gas air mata padahal orang-orang yang dianggap lawan cuma bawa almamater dan aspirasi.”

Hanamaki mengelap ujung bibir anaknya yang belepotan dengan nasi, sebelum kembali menyuapkan makanan. “Aku bakalan dukung setiap keputusan Mas. Tapi, gimana sama Bapaknya Mas? Dia ‘kan yang paling kekeuh supaya Mas jadi aparat.”

“Iya, Na. Mas bakalan ngomongin itu sama Bapak nanti. Buat sekarang, sebelum ngundurin diri, Mas mau pikirin dulu soal kerja apa sebagai gantinya.”

“Aku bisa cari kerja kalau Mas izinin.”

Daichi mengangkat kepalanya dari piring, pria itu menelan nasi yang ia kunyah sebelum menjawab. “Kamu di rumah aja, ya, sayang? Sama Si Adek.” Bukan persoalan mengenai Daichi yang menginginkan Hanamaki menjadi istri penurut yang sepenuhnya di rumah, apalagi soal patriarki. Namun, karena kondisi mental istrinya yang terkadang tidak stabil, ia khawatir—amat khawatir—kalau dunia kerja membuat Hanamaki merasa kewalahan.

Bibir Hanamaki sedikit melengkung ke bawah, relung dadanya terasa agak sesak akan kesedihan. “Tapi aku mau bantuin Mas.” Aku gak mau hidup sepenuhnya bergantung sama kamu dan nantinya jadi balas budi.

Daichi tersenyum ke arahnya, dan wanita itu h arus buru-buru mengalihkan wajahnya akibat rasa panas yang tiba-tiba menjalar naik dari tengkuk sampai pipinya. “Makasih, ya, Na, udah mau bantuin Mas. Tapi, buat sekarang Mas lebih mau kamu di rumah aja, oke? Adek juga masih kecil, masih 4 tahun. Terus kamu sendiri pun gak percaya sama orang lain buat urus dia, jadi kita gak bisa pakai nanny.” Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Ishana, kemudian mengusap puncak kepalanya dengan gemas. “Iya, gak, Dek Ina?”

“Iya, Ayah!” Anak itu menjawab sambil terkikik geli, tidak tahu kedua orang tuanya sedang membahas apa, tapi usapan sayang Ayahnya di kepalanya membuatnya riang.

Melihat pemandangan di hadapannya, Hana mengulum senyumnya. Dadanya terasa hangat. “Adek gak mau sama nanny?”

No! Mau sama Bunda! Dan Ayah! Yah!”

“Oh, gitu? Tapi, Bundanya nanti capek gimana? Nanti Adek— ”

Hanamaki berhenti mendengarkan ketika percakapan di hadapannya ditelan lamunan. Obrolan dan gelak tawa suami serta anaknya larut hingga tak terdengar setelah sebelumnya menggema di dalam pikiran Hanamaki. Wanitaitu diam sambil memangku piring putrinya, pandangannya terus terpaku ke arah Daichi, dan perasaan asing tapi juga familiar yang selama beberapa minggu terakhir mengusiknya kembali hadir.

“Aku berangkat dulu, ya, Na.”

Daichi membungkuk sedikit saat mengikat tali sepatunya, jemarinya cekatan menyelesaikan simpul sebelum meraih kunci mobil yang tergantung di dekat pintu masuk. Hanamaki, yang sedari tadi duduk bersisian dengan Ishana di ruang tengah lantas perlahan bangkit dan melangkah mendekat, meninggalkan suara tawa dari serial kartun favorit putrinya yang masih bergema di balik punggungnya, hingga akhirnya berhenti di hadapan suaminya.

Ia pun meraih tangan Daichi, menggenggamnya sebentar sebelum mengecup punggungnya. “Hati-hati, Mas.” ucapnya pelan, suaranya mengawang di udara, lirih tapi terselip doa agar suaminya dapat pulang dengan selamat.

Lelaki itu tersenyum tipis, lalu membalas perlakuan Hanamaki dengan kecupan ringan di pelipisnya, sekejap tapi cukup untuk meninggalkan kehangatan yang bertahan lebih lama dari sentuhannya. “Iya, Dek. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Mas.”

Hanamaki tetap berdiri di tempatnya, memandangi pintu yang kini tertutup rapat hingga langkah kaki Daichi memudar diganti dengan deru mesin mobil yang memecah keheningan pagi. Ia tetap di sana, mendengarkan suara roda yang perlahan menjauhi garasi, menghilang di ujung jalan—seperti selalu, seperti setiap hari, tapi entah kenapa, kali ini meninggalkan jejak rindu yang mengusik Hanamaki.

“Kata Bapak, kamu sama Daichi gak mau tambah anak?”

Pertanyaan Ibunya membuat pergerakan Hanamaki terhenti. Pisau yang semula bergerak dengan cepat memotong sayuran sebelum berakhir di atas wajan untuk ditumis berhenti di udara, Hanamaki menghela napas, lalu menghentakkan pisau yang ia genggam hingga membentur talenan. Suara rebusan air mendidih yang berada di dalam panci pun mengalihkan perhatiannya, dengan cekatan ia memasukkan kentang yang sudah dikupas sebelum menjawab pertanyaan Ibunya. “Ina ‘kan masih kecil tho, Bu. Nanti takut kewalahan.”

“Ya, kamu pakai nanny dong, nduk.” balas Ibunya selagi menemani Ishana bermain dengan setumpuk boneka Barbie.

“Aku gak percaya orang asing buat urus anakku, Bu.” Hanamaki menghela napas, berusaha meredakan rasa iritasi yang menimbulkan riak-riak kemarahan di dalam dirinya. Mata pisau yang tajam membentur talenan dengan ritme konstan, memotong buncis menjadi beberapa bagian. “Mas Dai juga gak ada omongan apa-apa soal nambah anak.”

“Kamu inisiatif dong, nduk. Jadi istri kok pasif banget?”

Kalimat itu jatuh ke telinganya seperti embun di atas mata pisau. Dingin, tajam, dan menusuk. Hanamaki menunduk, kepalanya terkulai lemas di bahunya, sementara tangannya dengan erat menggenggam pisau, seolah mencari pegangan di tengah gelombang perasaan yang selalu datang tanpa aba-aba bila ia bertukar obrolan dengan orang tuanya.

Aku jadi penurut dibilang pasif, padahal ini yang kalian mau. Nurut apa kata suami, manut sama suami. Dulu aku bela diriku sendiri dan punya inisiatif dibilang anak durhaka. Kalian maunya apa?!” Hatinya bergejolak, kata-kata yang sangat ingin ia lontarkan hanya menggumpal di tenggorokan, berat, pahit, ia menelannya dengan paksa.

Suara batinnya menjerit, menggema dalam rongga dadanya, memaksa untuk keluar dan meledak. Namun, ia tahu, tak ada gunanya. Suaranya tak pernah cukup nyaring untuk melawan ekspektasi yang telah dilimpahkan kepadanya layaknya vonis mati. Maka, yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat pendek yang telah ia hafalkan dengan baik—sebuah respons yang diharapkan darinya, bukan yang ingin ia berikan. “Iya, Bu. Maaf.”

Hening. Tak ada balasan, tak ada kata-kata yang berusaha meredakan, menenangkan, atau menambah bara. Hanya keheningan yang begitu berat, menggantung di udara seperti awan mendung yang menggumpal di langit.

Di antara keduanya, dapur tetap hidup dalam sunyi. Suara air yang mendidih dalam panci terdengar, uapnya mengepul ke langit-langit sebelum hilang dibawa angin dari jendela yang terbuka. Minyak di dalam wajan berdesis nyaring, diiringi gelak tawa Ishana yang ceria dan lepas, kontras dengan suasana menyesakkan antara Ibu dan Neneknya yang seolah menekan dari segala arah.

Hanamaki menarik napas dalam-dalam meskipun pada akhirnya tetap terasa sesak. Seperti biasa, seperti selalu, seperti seharusnya.

Ketika Ibunya pamit pulang, Hanamaki seolah dapat kembali bernapas dengan normal. Kepalanya terkulai lemas di sandaran sofa, sementara Ishana terlelap di pangkuannya setelah kelelahan bermain. Wanita itu memejamkan mata sejenak dan mengambil napas dalam-dalam sebelum menggendong putrinya menuju kamar. Pergerakannya pelan dan hati-hati, sebisa mungkin tak menimbulkan suara yang dapat mengusik tidur Ishana.

“Tidur dulu, ya, Nak. Bunda mau beres-beres dan nyuci.” ucapnya selagi membaringkan anaknya di atas ranjang. Ia mengecup pelan pipi gembil Ishana sebelum melangkah keluar meninggalkan kamar.

Ada keinginan besar untuk ikut berbaring di sisi Ishana, menyelubungi tubuhnya dengan kehangatan selimut, dan membiarkan dirinya melayang ke dalam dunia mimpi. Tempat di mana lelah tidak menghantui, di mana luka tak lagi terasa, dan di mana riang masih bersemayam dalam dirinya.

Tapi kenyataan menahannya di sini, di ambang batas antara istirahat dan kewajiban. Di luar kamar, tumpukan baju kotor menanti untuk segera dicuci, lantai yang dingin menunggu sentuhan kain pel, dan sisa-sisa piring serta gelas kotor masih menumpuk di tempat cuci piring.

Daichi pasti akan membantu jika ia pinta, pria itu bahkan seringkali berinisiatif untuk ikut menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun, bagaimana mungkin Hanamaki tega? Lelaki itu adalah satu-satunya yang keluar setiap hari mencari rezeki, memikul tanggung jawab yang tak ringan.

Ia menarik napas, membiarkan keluhan yang nyaris lolos menguap bersama udara yang dihembuskannya. Seperti biasa, ia memilih untuk bangkit. Untuk melangkah. Untuk tetap bergerak, meski tubuh dan jiwanya sama-sama mendamba jeda. Rasa lelahnya konstan dan tak juga menemukan akhir.

This is the least I can do. I do not love you. I do not bring bread to our table. But I can wash your clothes and sweep the floor—keep the house from gathering dust.

Jarum jam menunjukkan pukul 3 sore ketika seluruh baju telah selesai dicuci dan berakhir di jemuran. Dengan ditemani alat penyedot debu, Hanamaki berjalan menuju ruang tengah untuk membersihkan karpet yang di beberapa sisinya terdapat remahan biskuit putrinya.

Selagi membereskan kekacauan di sekitarnya, Hanamaki meraih remot televisi, bermaksud untuk memutar berita pengenai aksi demonstrasi yang dimaksud Daichi tadi pagi. Namun, keningnya malah berkerut begitu ia tidak menemukan satu liputan pun di saluran televisi lokal.

Perasaan tak nyaman hadir tanpa aba-aba, kekhawatiran menyelinap masuk, menyesakkan dada tanpa permisi. Dengan gerakan tergesa, Hanamaki meraih ponselnya yang semula tergeletak di atas sofa, jemarinya refleks membuka layar, mencari-cari sesuatu yang seharusnya ada di sana — sebuah pesan, sebuah panggilan, atau bahkan sekadar tanda bahwa Daichi mencoba menghubunginya. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan. Tak ada nama suaminya di kolom notifikasi ponselnya, tak ada jejak yang bisa meredakan debar cemas di dadanya. Kecewa merayapi raganya seperti bayangan sore hari di luar jendela yang perlahan merambat menuju senja.

Sore itu, Hanamaki menghabiskan waktunya dengan menggulir layar media sosial, berselancar di internet, memantau berita yang tidak ditayangkan di televisi — aksi unjuk rasa yang ia tahu melibatkan suaminya. Harap dan cemas berkelindan, membuat kakinya bergerak berulang-ulang dan telapak tangannya berkeringat.

Namun, di tengah semua hal yang terjadi, tanpa Hanamaki sadari, hari itu — di pertengahan Februari — untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade, sosok Issei absen dari dalam pikirannya. Seperti debu yang tersapu angin, seperti coretan nama yang perlahan-lahan memudar dari kertas yang menguning.

Ketika tengah malam dan angka 0.30 terpampang di layar ponselnya, deru mobil Daichi baru terdengar memasuki garasi. Hanamaki lantas buru-buru bangkit dari ranjang kemudian melangkah keluar menghampiri suaminya. Ia menemukan pria itu bersandar di pintu masuk, masih mengenakan seragam dan sepatu yang belum dilepas. Matanya terpejam, napasnya teratur, tapi bahunya tampak kaku dan guratan lelah melukisi parasnya.

“Mas?” Wanita itu termenung di hadapan Daichi. Gerakannya kikuk dan suaranya keluar dengan ragu-ragu. “Mas gak apa-apa?”

Suara Hanamaki sontak membuat Daichi tersentak. Ia memandangi istrinya dalam diam sebelum melemparkan senyuman kecil. “Gak apa-apa, Dek. Mas capek aja. Capek banget tadi agak — “ Ia mengusap pelipisnya yang berdenyut. “Agak chaos.” ucapnya selagi membuka simpul tali sepatu sebelum melepasnya dan menaruhnya di rak sepatu.

“Iya, Mas, aku khawatir soalnya gak diliput di televisi — “

“Hana, kita ngomong lagi besok, ya? Mas capek mau istirahat. Kamu juga istirahat.” Daichi memotong ucapan istrinya, membuat Hanamaki sedikit terkesiap. Wanita itu mengerjap begitu Daichi melangkah melewatinya tanpa kecupan di kening, berganti dengan singgungan bahu yang terkesan dingin.

Dua hari semenjak unjuk rasa, Daichi seolah menarik diri dari Hanamaki. Ia tidak banyak bicara, lebih sering melamun, dan tak ada lagi kecupan di kening yang mulai Hanamaki sukai. Sesuatu seperti menganggu Daichi, tapi pria itu tidak mengatakan apa pun. Mungkin sesuatu terjadi antara ia dan atasannya, dan Hanamaki rasanya khawatir setengah mati.

Malam itu keduanya tengah bersantai di kamar setelah Ishana terlelap. Daichi bersandar di kepala ranjang sambil membaca sesuatu melalui ponselnya, sementara Hanamaki duduk di hadapan cermin rias sambil mengaplikasikan produk perawatan kecantikan di wajahnya.

“Mas, kemarin Ibu pas ke sini tanya kenapa kita gak tambah anak.”

“Hm?” Pandangan Daichi beralih dari ponsel ke wajah Hanamaki yang menatapnya balik melalui cermin. “Kamu mau tambah anak?”

“A-aku terserah Mas aja.”

“Yaudah kalau gitu. Sini.”

Erangan dan desahan yang terus keluar dari bibir Hanamaki teredam karena wajah wanita itu yang sepenuhnya terbenam di atas bantal. Punggungnya meliuk dengan indah layaknya kucing sementara bokongnya mencuat tinggi menantang langit-langit. Di belakangnya Daichi terus bergerak dengan ritme konstan dan menghantam titik sensitifnya dengan kepala penisnya. Gerakan pria itu lebih cepat dan kasar dari biasanya. Serampangan. Tidak hati-hati. Sangat bernafsu.

“Nghh, a-aaahh! Mas!” Hanamaki mengangkat wajahnya dari bantal. Matanya terpejam dan bintang-bintang seolah meledak di balik kelopaknya. “Masss … ngghh. Ah! Ah! Ah!” Desahannya keluar selaras dengan tiap hentakan pinggul Daichi yang membuat pikirannya lumer dan bola matanya berputar ke belakang kepalanya.

Jemari kasar dan besar milik Daichi menyusuri punggung telanjang Hanamaki yang basah akan keringat, lalu berakhir di bahu wanita itu, menariknya untuk bangkit hingga dada Daichi menempel dengan punggung Hanamaki. “Dek, hhh. Adek sayang, adek cantik, isriku. Arghh.” Pria itu terus membisikkan kata-kata manis dengan intonasi lembut, berbanding terbalik dengan cengkeraman jemarinya di pinggul Hanamaki yang meninggalkan bekas.

“Aaahh! Mas … Mas Dai, hmm. Nghh.”

“Hana, sayang, Hana lihat aku.” Daichi meraih rahang istrinya kemudian memaksakan wanita ittu untuk menoleh ke arahnya. Hanamaki hanya bisa menurut, wajahnya merah layaknya kepiting rebus dan beberapa helaian rambut menempel di kulitnya yang basah. Namun, bagi Daichi, ia adalah perempuan paling cantik yang pernah dilihatnya. “Hana, kamu punyaku. Punyaku sampai kapan pun, hm? Bukan punya siapa pun, apalagi—hhh, apalagi mantanmu itu.”

Kening Hanamaki berkerut keheranan, namun, manuver pinggul Daichi yang lagi-lagi menghantam telak g-spot miliknya membuat pikirannya seketika kosong.

“Mas mau tambah anak lagi? Yang kata Bapak—”

“Nambah anak gak bisa menyelamatkan pernikahan kita, Hana.” Daichi mengulum senyum seraya menyodorkan sebotol pil pencegah kehamilan ke tangan Hanamaki. “Maaf tadi Mas gak pakai pengaman. Kamu minum ini dulu, ya. Dan jangan dengerin omongan Bapak.”

Hanamaki diam seribu bahasa sementara Daichi pergi memasuki kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke masjid, meninggalkan istrinya dengan seribu pertanyaan di kepalanya.

Pagi menjelang, hari Sabtu bertengger di kalender, sarapan baru saja dilahap, dan Ishana sudah merengek meminta es krim ketika mendengar suara gerobak penjual keliling. “Yuk, beli es krim. Ayah juga mau.” Daichi pun menggendong putrinya yang langsung bersorak-sorai. “Hana, Mas belum ambil uang cash, pakai punyamu dulu, ya?”

Hanamaki yang tengah mencuci piring bekas sarapan pun mengangguk. “Oke, Mas. Bentar aku ambil dompetku.” ucapnya kemudian melangkah menuju kamar tidur untuk mecari dompetnya. Keningnya berkerut ketika benda berbentuk persegi panjang itu tak ia temukan di tempat biasanya, laci nakas samping tempat tidur.

Lalu, ingatannya kembali ke tiga hari lalu di mana ia pergi survery sekolah untuk Isahan. “Duh, pasti ketinggalan di mobil.” sungutnya di dalam hati, namun, tetap meraih kunci mobil dan berjalan menuju garasi.

Benda berwarna merah muda itu ia temukan di atas dashboard, lengkap dengan KTP, kartu ATM, tiga lembar uang 50 ribu, dan fotonya dan Issei yang terpampang dengan jelas. Di sana, laki-laki berambut ikal itu memeluknya dari belakang sambil mengecup pipinya, sementara Hanamaki tersenyum lebar dengan rona merah yang kentara di wajahnya. Ia terus memandangi foto tersebut hingga realita menghantamnya dengan telak dan bulir-bulir keringat muncul di pelipisnya.

Perlakuan aneh Daichi selama beberapa hari ke belakang mulai terasa masuk akal. Suaminya pasti melihat isi dompetnya. “Oh, fuck.”

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (9)