mas jawa mangan blueberry

deera
21 min readJan 5, 2025

--

Tags : Vaginal sex, vaginal fingering, pussy spanking, blowjob, cunnilingus, squirting, orgasm denial, mirror sex, praise kink, degradation kink, breeding kink.

“Kak Wakatoshi orangnya kayak gimana?” Tobio bertanya dengan gugup. Matanya dengan liar bergantian memandang ke luar jendela mobil, dashboard, dan wajah kekasihnya yang duduk di balik kemudi. Gadis itu memilin ujung lengan bajunya dengan kikuk, menarik-narik benangnya guna menyalurkan perasaan gugup yang merajainya. Matanya yang sebulat buah beri pun bersirobok dengan milik kekasihnya sebelum pria itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah jalan.

“Baik, kok, Bi. Kamu udah pernah ketemu juga, ‘kan?” Hajime menjawab, nada bicaranya santai, seolah ia tidak dalam perjalanan mengirimkan kekasihnya ke kamar hotel untuk ditiduri sahabatnya sendiri. “Gak usah takut. Tapi, kalau kamu takut kita bisa pulang lagi.”

Tobio menggigit bibir bawahnya yang dilapisi lipbalm berperisa ceri, secara tidak sadar menghapus warna merah muda yang awalnya terpoles di sana. “I-iya, sih, udah pernah ketemu. Tapi ‘kan cuma ngobrol sebentar. Jadi, aku gak tahu.” Suaranya berubah pelan di akhir, diikuti dengan kepalanya yang menunduk. Keningnya berkerut, dan pandangannya terpaku ke arah sepatu Adidas Samba berwarna merah muda yang merupakan hadiah mensiversary dari Hajime beberapa bulan lalu. “Aku takut, tapi cuma sedikit, Kak. Soalnya, aku gak terlalu kenal.” ujarnya dengan bibir yang mencebik lucu.

Mendengarnya, Hajime sontak terkekeh pelan. Ia melepaskan salah satu genggaman tangannya dari kemudi untuk mengusak puncak kepala Tobio dengan main-main, membuat helaian segelap malamnya berubah berantakan. “Tenang aja, Bi, dia orangnya gak macam-macam, kok. Aku percaya sama dia.” Perkataan Hajime pun membuat kegugupannya seketika sirna. Punggungnya yang awalnya tegak dan kaku pun ia sandarkan di kursi penumpang selagi ia menghembuskan napas, berharap kegugupannya ikut hilang dalam setiap hembusannya.

Suasana kembali hening, hanya diisi dengan suara lantunan lagu yang terdengar dari radio, juga deru mesin mobil yang melaju membelah keramaian kota. Tobio tengah sibuk berselancar di halaman media sosialnya ketika satu kekhawatiran kembali muncul di dalam kepalanya.

“Kakak nanti beneran gak bisa temenin aku? Kayak pas sama Kak Issei?” tanyanya sambil melemparkan tatapan memelas ke arah Hajime selagi bibir bagian bawahnya menjuntai ke bawah, merajuk dan berharap Hajime mau mengubah pikirannya.

Ketukan jemari Hajime di atas kemudi terdengar konstan sebelum pria itu membuka mulut untuk menjawab. “Gak bisa, sayang. Aku ada urusan kerjaan.” jawabnya diikuti dengan pandangan mata yang seolah berkata ‘maaf’. “Aku mau temenin kalau gak ada kerjaan. Tapi, aku ada urusan. Gini aja, deh, kalau kamu takut dan ragu kita pulang lagi, oke? Aku bisa bilang ke Wakatoshi buat reschedule.”

Tobio menggeleng pelan, menolak tawaran Hajime, meskipun raut wajahnya masih merengut dan gelagat merajuk layaknya anak kecil tetap hadir.

Hajime mendengus geli, ia melirik Tobio sekilas dari ekor matanya. “Aku jemput kamu nanti jam 11, oke?”

“Oke, Kakak.”

Lampu merah berpendar di pertigaan, dan roda mobil berhenti melaju. Hajime merenggangkan jemarinya di atas kemudi, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Tobio. Pria itu mengecup pelan pipi bulat miliknya, kemudian bibirnya turun menyusuri lehernya, menghirup aroma bunga dan vanili yang menguar dari kulit gadis itu. “Kakak, geli.” Tobio terkekeh pelan, tangannya mendorong tubuh Hajime tanpa benar-benar mau mengusir wajah pria itu dari ceruk lehernya.

Hela napas hangat milik Hajime menyapu kulit sensitifnya layaknya mesin uap. Pria itu pun mendekatkan bibirnya ke telinga Tobio, membisikkan sesuatu yang membuat sekujur tubuh gadis itu meremang dan pahanya secara refleks dirapatkan. “Aku udah sering ajarin kamu enakin cowok, nanti kamu praktekin ke Wakatoshi, oke? Kamu enakin dia kayak apa yang udah aku ajarin.”

Tobio mengerjap, kemudian mengangguk. Napasnya tercekat di tenggorokan begitu ia merasakan telapak besar dan kasar milik kekasihnya menyelinap masuk di antara pahanya, kemudian masuk ke balik rok berwarna putih yang ia kenakan. Jari-jari Hajime menari di atas paha dalamnya, mengirimkan sentuhan seringan kapas yang mengantarkan gelenyar geli. “Anak baik, anak pintar, sayangnya Kakak.” Hajime melontarkan pujian disertai gigitan keras di sisi lehernya yang nantinya pasti akan meninggalkan bekas.

Tobio meringis, lalu memandang Hajime dengan tajam. “Kakak! Kenapa aku digigit?”

“Kamu mau ditidurin sama Wakatoshi, seenggaknya pas lihat bekas di leher kamu jadi semacam reminder kamu itu punya siapa.” jawab Hajime dengan enteng sebelum ia kembali ke posisi awalnya.

Lampu lalu lintas yang menggantung berubah hijau, dan mobil kembali melaju di tengah hiruk-pikuk ibu kota, namun, riuhnya debar jantung Tobio mengalahkan bunyi klakson di luar sana.

Berdiri di hadapan pintu hotel membuat Tobio seolah kembali ke situasi beberapa bulan lalu ketika ia kehilangan keperawanannya di tangan Hajime dan Issei. Gadis itu memperhatikan interior hotel dalam diam selagi kekasihnya mengetuk pintu, menunggu jawaban dari Wakatoshi yang berada di baliknya. Tobio terlalu sibuk memperhatikan lampu di lorong hotel yang memancarkan cahaya kekuningan sampai ia tidak menyadari pintu kamar telah terbuka di ketukan ketiga.

Gadis itu mengerjap, kepalanya mendongak guna melihat sesosok pria yang berdiri 20 senti lebih tinggi darinya. Bahkan, pria itu berdiri menjulang, kira-kira satu kepala, di hadapan Hajime yang terhitung tinggi. Tubuhnya besar dan tegap layaknya tentara yang tergabung dalam sebuah batalion. Dadanya bidang dan bahunya lebar, hampir menutupi keseluruhan jalur masuk ke kamar. Pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan motif garis-garis samar, dipadupadankan dengan celana kain berwarna hitam yang memeluk kaki jenjangnya. Rambutnya yang terlihat agak kehijauan di bawah pendar lampu tampak basah di bagian dahinya, seolah ia baru saja membasuh wajahnya.

Tobio pernah bertemu dengan Wakatoshi, tidak terlalu sering, hanya sesekali ketika Hajime mengajaknya berkumpul dengan teman sejawatnya. Namun, ia tidak pernah begitu mengamati pria itu terlepas dari gelagatnya yang seringkali diam ketika berkumpul dengan yang lain. Yang jelas, ia tidak pernah sadar betapa tinggi dan besar tubuh pria itu. Untuk seorang perempuan, Tobio tidak tergolong pendek, namun, di hadapan Wakatoshi ia merasa kerdil.

“Oi, Shi. Lama banget buka pintunya.” kata Hajime begitu pintu dibuka.

Yang diajak bicara menggaruk tengkuknya dengan kikuk, kemudian ia melemparkan senyuman kecil ke arah Hajime, walaupun sorot matanya tampak datar dan tanpa ekspresi. “Maaf, tadi di kamar mandi. Ayo, masuk.” Ia pun menggeser tubuhnya dari pintu, mempersilahkan Hajime dan Tobio untuk melangkah masuk.

Kamar hotel yang dipilih bertipe suit, dengan ruang tengah dan kasur ukuran king size. Tobio tidak mengerti kenapa Wakatoshi memilih kamar semewah ini dengan sofa, lemari kaca yang berjejer, juga balkon, kalau keduanya hanya akan menggunakan tempat tidur selama beberapa jam.

“Minum? Gak ada apa-apa, sih. Cuma ada air putih. Ada teh sama kopi tapi harus bikin dulu.” katanya menawarkan dengan sopan, seolah kedatangan Hajime dan Tobio adalah untuk catch up sesama teman tanpa agenda seksual.

Hajime menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, kemudian menggelengkan kepalanya. “Gak usah, Shi. Gue bentar doang, kok. Cuma mau antar Tobio.”

“Oh, oke. Lo gak stay?”

Tobio, yang duduk di samping Hajime, terus mengamati Wakatoshi. Ia menyadari adanya dialek daerah yang terkesan agak medhok ketika pria itu berbicara, namun, terdengar samar, seolah tersapu waktu karena terlalu lama menetap di Jakarta. Intonasi yang digunakan pria itu selalu sopan, tenang, dan terkesan datar, berbanding terbalik dengan bagaimana Hajime biasa berbicara.

“Gak, Shi. ‘Kan gue udah bilang ada urusan.”

“Iya, gue pikir lo berubah pikiran.” Wakatoshi mengalihkan pandangannya dari Hajime ke arah Tobio. Matanya yang tajam layaknya elang bertabrakan dengan milik Tobio, membuat gadis itu meremas jemarinya dengan gugup. “She’ll be alone with me, and it must be scary for her. You should stay.” katanya diiringi sebuah senyuman lembut yang ditujukan untuk Tobio.

“A-aku gak apa-apa, kok, ditinggal.” Tobio berkata dengan spontan. Matanya membulat begitu menyadari ia telah melibatkan dirinya sendiri ke dalam obrolan tanpa diminta.

Di sampingnya, Hajime tergelak pelan. “Tuh, anaknya aja gak masalah. Kamu beneran oke ‘kan ditinggal, sayang?”

Tobio mengangguk mantap, walaupun jantungnya terus berdentum dengan riuh hingga ia seakan bisa mendengarnya bergema di gendang telinganya.

If you say so. Gue mau biar dia nyaman aja.”

“Dia fine-fine aja, Shi. Santai.” Hajime pun mulai beranjak dari duduknya. Ia melihat ke arah arloji yang melingkari pergelangan tangannya. “Eh, gue udah harus pergi. Bi, kamu beneran gak apa-apa, ‘kan?”

Tobio mengangguk seraya bangkit dari posisinya untuk menghampiri Hajime dan membenamkan tubuhnya dalam kehangatan pria itu. Lengan kokoh milik Hajime melingkari pinggangnya, dan pria itu mengecup pelan puncak kepala Tobio. “Oke, aku pergi dulu, ya.” katanya, kemudian ia melirik ke arah Wakatoshi. “Pokoknya, lo gak boleh cium dia di bibir. Terus safe word-nya dia ‘blueberry’. Kalau dia udah sebut itu, lo stop. Langsung dan gak pakai ba-bi-bu. Kalau dia gak bisa ngomong, dia bakalan tepuk paha lo. Sekali buat pelan, dua kali buat full stop.”

“Iya, Wa. Gue ngerti, kok.”

Tobio menatap dalam-dalam ke arah Hajime sambil mengulas senyum. “Kakak, hati-hati di jalan, ya.”

“Iya, sayang. Have fun.” Hajime menurunkan bibirnya tepat di telinga Tobio, berbisik pelan, seakan perkataannya selanjutnya hanyalah untuk keduanya. “Inget, enakin Wakatoshi, ya. Kayak apa yang aku ajarin.”

Setelah itu, sosok Hajime menghilang dari balik pintu kamar hotel, suara langkahnya lenyap seiring dengan bunyi beep tanda bahwa pintu terkunci otomatis.

Setelah mengantarkan Hajime hingga ke pintu, Wakatoshi pun berbalik menghampiri Tobio yang berdiri dengan kikuk di belakangnya. “So, Tobio, shall we?”

Wakatoshi diam memandangi Tobio yang berdiri di hadapannya. Tinggi gadis itu yang bahkan tidak menyentuh dagunya membuatnya harus mendongak ketika berbicara dengannya. Matanya bulat seperti kelereng, dan pipinya merah sewarna delima matang. Malam itu ia mengenakan rok ruffle warna putih yang bahkan tidak menutupi setengah pahanya, juga sebuah atasan model off-shoulder berwarna merah muda yang menunjukkan lekuk bahu, tulang selangka, dan leher jenjangnya (Wakatoshi tidak sabar ingin melukiskan kulit gadis itu dengab warna merah menggunakan giginya). Sementara itu, kaus kaki berwarna putih memeluk kakinya hingga ke lutut.

Wakatoshi berusaha menyembunyikan senyumannya, merasa gemas karena penampilan Tobio amat berbeda dengan para pria maupun wanita yang biasa ia bawa ke ranjang.

Tobio berdeham, memecah kesunyian yang berlangsung terlalu lama untuk kenyamanannya. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan Wakatoshi yang menelisik. “Kak—”

“Mas. Panggilnya Mas aja.”

“Oh, oke. Umm, Mas, aku mandi dulu atau … gimana?”

Pria itu berjalan melewati Tobio ke arah ranjang. “Gak usah, Dek. Mas gak masalah. Kita langsung aja.” jawabnya seraya melepas arloji di pergelangannya dan menaruhnya di atas meja nakas. Ia menggulung lengan bajunya hingga ke siku, memperlihatkan tangannya yang kokoh dan ditutupi bulu tipis di sepanjang kulitnya.

Oh. So, they’re going to call each other like that.

Tobio bisa merasakan darahnya berdesir, memompa kinerja jantungnya hingga membuat keringat mulai merembes melalui pori-porinya yang kemudian diterpa hawa dingin akibat pendingin ruangan. “Mas, mau mulai dari mana?” Tobio bertanya dan ia langsung menyesalinya karena sekarang ia terlihat seperti seorang amatir—walaupun kenyataannya ia memang amatir, satu-satunya orang selain Hajime yang pernah menidurinya hanya Issei.

Pria berumur 30 tahun itu pun menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, kakinya terbuka lebar—manspreading—dan sebuah senyuman terpatri di wajahnya. Ia menepuk kedua pahanya, mengirimkan kode bagi Tobio untuk duduk di atasnya. “Sini, Dek.” titahnya. Nadanya lembut, namun, penuh akan otoritas, seolah tidak meninggalkan ruang bagi Tobio untuk menolak.

Gadis itu pun meletakkan tas selempangnya ke atas sofa, lalu perlahan menaiki paha pria itu seperti apa yang diperintahkan. Ia melingkarkan kakinya di sekeliling pinggang Wakatoshi, dan bokongnya mendarat tepat di atas paha kokoh miliknya.

Comfortable?” Wakatoshi bertanya, sorot matanya lembut saat menatap Tobio, seolah gadis itu adalah barang pecah belah. Telapaknya yang besar bertengger di pinggang Tobio, menyelinap masuk ke balik baju yang ia kenakan, dan membuat kontak langsung dengan kulit telanjangnya. Jari-jemari Wakatoshi membuat pola lingkaran di atas kulit Tobio yang meremang, mengusapnya dengan lembut dan sesekali meremas pinggulnya.

“Iya, Mas.” jawabnya singkat, tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi karena kegugupan yang sekarang seakan naik ke tenggorokannya dan membuatnya kesulitan bernapas.

“Karena Hajime bilang gak boleh cium di bibir, Mas cium kamu di tempat yang lain, ya.” ucapnya seraya menyelipkan rambut Tobio yang tergerai ke belakang telinganya, lalu pria itu memajukan wajahnya dan menenggelamkannya di ceruk leher Tobio. Gadis itu bisa merasakan kecupan basah di atas kulitnya, menyusuri tulang selangka, leher, hingga bagian belakang telinganya. Wakatoshi sesekali memberikan gigitan kecil di sepanjang leher Tobio, diikuti dengan usapan lidahnya yang hangat dan basah.

Tobio mendesah pelan, matanya perlahan tertutup, menikmati stimulasi nikmat yang mengirimkan gelenyar aneh ke pusat tubuhnya. Tangan Wakatoshi tidak tinggal diam. Telapaknya yang besar dan kasar terus menelusup masuk ke balik pakaiannya, mengusap perut telanjangnya, lalu naik dan menangkup payudaranya yang masih ditutupi oleh bra. “Aaah, nghh … Mas.”

“Kamu wangi sekali, Dek. Wangi bunga dan vanili.” tuturnya lembut, masih sambil menciumi tiap jengkal kulit leher Tobio.

Alih-alih merespons perkataan Wakatoshi, Tobio justru mengalungkan lengannya di leher pria itu dan makin merapatkan tubuh keduanya. Secara refleks ia menggerakan pinggulnya, membuat selangkangan keduanya bergesekkan dan desisan terlempar keluar dari bibir Wakatoshi. Pria itu mencengkeram pinggul Tobio sebelum berkata, “sayang, coba gerakin badanmu kayak tadi.”

Tanpa bisa menolak perintah Wakatoshi, Tobio pun mulai menggerakan pinggulnya dalam gerakan maju-mundur yang membuatnya bisa merasakan kejantanan pria itu yang masih terkurung di dalam celana. Tangan Wakatoshi ikut memandu pergerakan pinggul Tobio, menggesekkan penisnya ke area pelvis gadis itu. Ia pun menyingkap rok yang Tobio kenakan, matanya dengan jelalatan memandangi panties yang dipakai oleh Tobio, berwarna putih susu dengan aksen renda yang manis.

Wakatoshi kembali menggerakan pinggul Tobio, kali ini dengan lebih cepat dan presisi. Tobio mendesah pelan begitu sensasi nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya akibat gesekkan antara penis milik pria itu dengan klitorisnya, walaupun keduanya masih dibalut pakaian masing-masing. “Nghh, Mas.” Ia menggigit bibirnya, masih terus menggerakan pinggulnya, maju dan mundur diselingi gerakan memutar yang diajarkan oleh Hajime. Ia bisa merasakan Wakatoshi bernapas dengan berat di lehernya, dan cengkeramannya di pinggulnya mungkin akan meninggalkan bekas.

Selama beberapa menit tubuh keduanya bergerak dalam sebuah keselarasan, sebelum pada akhirnya Tobio berhenti akibat rasa lelah yang perlahan hadir dan menyelinap ke setiap sendinya. Napasnya memburu dan matanya sayu ketika ia menatap Wakatoshi. Pria itu tidak nampak lebih baik darinya. Wajahnya yang pada awalnya selalu tampak datar dan minim ekspresi berubah; kini matanya sayu, bibirnya setengah terbuka, dan rona merah samar menghiasi tulang pipinya yang tinggi.

Inget, enakin Wakatoshi kayak apa yang udah aku ajarin.

Perkataan Hajime tiba-tiba mampir di kepalanya tanpa permisi. Ia pun mengerjap pelan, menimang-nimang apa yang harus ia lakukan, sebelum pada akhirnya ia turun dari pangkuan pria itu dan bertekuk lutut di hadapannya. Dengan gemetar, jemarinya menelusuri paha Wakatoshi dan berlabuh di resleting celananya. “Mas, aku isep, ya?” Ia memandang Wakatoshi dari balik bulu matanya, memasang ekspresi wajah kenes yang seringkali membuat Hajime kewalahan.

Wakatoshi mengangkat sebelah alisnya, bibirnya naik sedikit menyunggingkan senyum geli. “Kamu mau isep kontol Mas?” Baritonnya melemparkan sebuah pertanyaan vulgar yang membuat wajah Tobio seketika panas.

“Iya, Mas. Boleh?”

“Boleh, sayang.” Pria itu pun melepaskan ikat pinggang yang ia kenakan, disusul dengan resleting celananya yang ditarik turun, menampilkan gundukan kejantannya yang masih berada di balik dalaman. Tobio otomatis menegak liurnya, matanya membulat lucu begitu menyadari Wakatoshi mungkin yang terbesar di antara kekasihnya dan Issei. Pria itu menurunkan karet dalamannya lalu membebaskan batang keras dan tegang miliknya. Kepalanya yang seperti jamur memerah dan mengeluarkan bulir cairan pra ejakulasi seolah melotot balik ke arah Tobio dan membuat nyalinya seketika ciut.

“Ayo, Dek. Katanya mau isep? Buka mulutnya.” kata pria itu dengan nada setengah menggoda. Penisnya ia arahkan ke wajah Tobio, lalu layaknya sedang syuting film porno, ia menamparkan benda panjang dan tegang itu ke pipi Tobio, mengoleskan cairan pra ejakulasinya ke wajah gadis itu. “Dek Bio, jangan bengong aja.”

Tobio mengerjap, kemudian tanpa mengatakan apa pun ia mulai memasukkan penis Wakatoshi ke dalam mulutnya secara perlahan. Bibirnya terbuka lebar, mungkin hingga mencapai batas yang ia bisa, dan matanya terpejam erat. Penis pria itu melesak masuk ke dalam rongga mulutnya hingga menabrak pangkal lidahnya, namun, Tobio bahkan tidak memasukkan keseluruhan batang tersebut.

“Aarghh, ssshh.” Geraman rendah terdengar dari Wakatoshi, pria itu melemparkan kepalanya ke belakang, sementara jarinya menggenggam sejumput rambut Tobio. “Ayo, Dek—hhh, isep kontol Mas yang bener.”

Secara perlahan, Tobio mulai menggerakan mulutnya, walaupun sebenarnya ia masih agak kewalahan dengan ukuran Wakatoshi. Kepalanya bergerak maju-mundur, diiringi dengan lidahnya yang memutari kepala penis Wakatoshi, menjilati sisi bawahnya yang ia tahu sensitif (Hajime memberitahunya), lalu melakukan gerakan menghisap tiap ia menarik mundur kepalanya. “Aaah, sayang. Enak banget, Dek, can you take it deeper?” Wakatoshi menunduk untuk menatap Tobio yang berkedip pelan lalu menggeleng. Pria itu terkekeh pelan, suaranya keluar dengan serak. “Ayo, Dek, dicoba dulu, hm? Adek cantik, Adek sayang.”

Tobio melenguh begitu mendengarkan pujian yang Wakatoshi lontarkan. Ia secara refleks merapatkan pahanya, mendesah ketika bisa merasakan kelembaban di area kewanitaannya.

“Ayo, ditelan semua pelan-pelan. Iya, kayak gitu—aahh, anak pintar, anak baik, sayangnya Mas.” Kalimat-kalimat pujian terus diberikan oleh Wakatoshi dan dalam tiap pujiannya Tobio bisa merasakan lubang vaginanya mulai mengeluarkan cairan lubrikasi.

Tobio memejamkan matanya, menikmati sensasi penuh dan menyesakkan yang menyumpal mulutnya akibat kepala penis milik Wakatoshi yang menabrak uvulva dan pangkal lidahnya. Sementara tangannya yang menganggur melingkari pangkal penis pria itu yang tidak bisa masukan seluruhnya, memijatnya seirama dengan gerakan mulutnya.

Wakatoshi itu menggeram rendah ketika dinding tenggorokan Tobio yang hangat dan basah menjepit batang lehernya dan mengantarkan rasa nikmat hingga ke ujung jarinya. Ia mengusap kepala Tobio dengan penuh sayang, pujian terus terlontar keluar dari bibirnya di antara napasnya yang berderu. “Nggh, Dek, enak banget kamu. Pintar banget kamu, iya terus begitu—aahh, anjing.” desahnya seraya menekan kepala belakang Tobio, membantu gadis itu untuk menelan miliknya lebih dalam lagi. “Such a good girl, my precious, beautiful girl.”

Tak sekali dua kali Tobio tersedak hingga membuatnya kesulitan bernapas, namun, Wakatoshi terus menekan kepalanya agar tetap menghisap batang penisnya. “Mmhh, nghh.” Tobio mendesah di antara mulutnya yang tersumpal, gadis itu merapatkan pahanya, menjepit vaginanya yang basah dan berkedut karena tiap kata yang diucapkan oleh pria di atasnya.

Air mata jatuh menuruni pipi Tobio, bercampur dengan liur yang turun membasahi rahang dan dagunya. Bunyi kecipak basah menyatu dengan desahan dan geraman Wakatoshi, menciptakan suara vulgar yang membuat celana dalam Tobio terasa semakin basah hingga bibir vaginanya menempel dengan tidak nyaman di kainnya.

Melihat Tobio yang terus menggesekkan pahanya membuat Wakatoshi menyelipkan kakinya di antara gadis itu. “Go baby, hump my leg like a dog.”

Desahan gadis itu semakin santer terdengar walaupun mulutnya tersumpal penis. Dengan gerakan yang serampangan, Tobio menjepit kaki Wakatoshi, lalu menggesekkan vaginanya di sana, mengejar kenikmatan layaknya anjing yang sedang birahi. Selang beberapa menit, Wakatoshi menarik mundur kepalanya dengan cara menjambak rambutnya, membuat gadis itu meringis sakit. Tobio mengerjap keheranan. “Kenapa, Mas?” tanyanya dengan suara serak.

“Mas gak mau keluar sekarang. Sini, Dek.” Lalu dengan lembut dan perlahan, Wakatoshi membantu Tobio untuk kembali berdiri. Lututnya berdenyut nyeri karena terlalu lama bertumpu di atas lantai dan tungkainya terasa lemas seperti jeli. “Cantik banget kamu, Dek.” pujinya lagi, kali ini diikuti dengan tangannya yang perlahab melucuti tiap helai pakaian yang menempel di tubuh Tobio.

Atasan, rok, hingga pakaian dalamnya pun berakhir mengenaskan di atas lantai, menyisakan Tobio tanpa sehelai benang pun. Tubuh polosnya sedikit bergetar di bawah dinginnya suhu ruangan, atau mungkin karena tatapan penuh nafsu milik Wakatoshi yang seolah melubangi kepalanya. “Look at you, baby. Aren’t you the prettiest? Mas suka banget lihat kamu, ramping, kecil, it’s so easy for me to break you apart.”

Mendengarnya Tobio menggigit bibir bawahnya guna menahan desahan memalukan yang mengancam untuk keluar. Tobio selalu suka dipuji saat berhubungan seksual, kalimat pujian bisa mengirimkannya melambung tinggi ke atas langit, dan membuat vaginaya semakin basah. “Nggh, Mas, touch me.”

Touch you where, sayang?”

Wakatoshi pun memanuver tubuh keduanya hingga Tobio berbaring di atas ranjang. Ia membuka lebar pahanya, jemarinya turun untuk membelai bibir vaginanya, sebelum jari telunjuk dan tengahnya membuka labianya, memperlihatkan lubangnya yang basah dan berkedut kepada Wakatoshi. “Mas, ayo, enakin aku. Touch me here.” pintanya tanpa tahu malu.

“Oh, Adek sayang mau dienakin memeknya? Iya?” Pria itu pun merangkak ke atas tubuh Tobio, jarinya menggantikan milik Tobio yang berada di vaginanya, membelai labianya yang basah lalu turun untuk menggoda lubangnya. Tobio mendesah, napasnya berubah cepat ketika Wakatoshi perlahan memasukan jari telunjuknya. Jari pria itu yang lebih besar dari milik Hajime membuat Tobio meringis pelan, apalagi sudah hampir sebulan semenjak ia dan Hajime terakhir berhubungan seksual, membuat vaginanya seakan terasa lebih rapat.

Fuck, Adek, memekmu rapat banget.” katanya, “apalagi kalau Mas udah masukin kontol Mas ke sini. You must feel like heaven.” Ia terus berkata dengan vulgar dan kotor, membuat Tobio semakin mabuk kepayang. Telunjuk miliknya terus keluar-masuk di dalam lubang Tobio, sementara ibu jarinya memutari klitorisnya yang mencuat meminta perhatian. Ketika ia merasakan rangsangan pada klitorisnya, Tobio sontak memekik, pahanya semakin ia buka agar memberi ruang yang lebih leluasa untuk Wakatoshi.

Ketika merasa lubang milik Tobio telah lebih rileks dari sebelumnya, secara perlahan Wakatoshi pun menyelipkan jari keduanya lalu menukikkan kedua jarinya ke atas, menekan titik sensitif milik gadis itu yang pinggulnya sontak naik dan kakinya mengejang. “AAAHHH! Nghh, Mas … ugh, Mas Toshi.”

“Ssshh, sayang, baru jari aja, tapi kamu udah kelojotan kayak gini.” Wakatoshi berkata dengan nada setengah meledek. Jarinya terus menyiksa g-spot Tobio sekaligus menggaruk dinding vaginanya dengan kukunya yang tumpul. Kemudian, tanpa peringatan, Wakatoshi memasukkan jari ketiga yang direspons dengan lenguhan manja dari Tobio. “Aaahh, Mas … Mas, nghh. Enak.” Gadis itu menggeliat centil di bawah Wakatoshi, jemarinya ia bawa naik untuk memelintir putingnya sendiri, memberikan penampilan penuh sensualitas yang membuat penis Wakatoshi seolah akan meledak.

Pria itu menggeram, kemudian menarik dirinya dari Tobio. Ia berdiri di tepi ranjang untuk melepas kemejanya, lalu menarik turun celananya yang tersangkut di lutut. Kini, Wakatoshi pun sama polosnya dengan Tobio dan gadis itu terus memandangnya penuh nafsu. Manik gelapnya menelusuri wajah rupawan Wakatoshi, turun hingga ke dadanya yang bidang dan dipenuhi beberapa helai bulu, lalu ke perutnya yang berotot, dan berakhir di penisnya yang mengacung tegak layaknya tiang.

Like what you see, baby?”

Tobio mengangguk, “iya, Mas.”

“Aku juga suka lihat kamu, Dek. So small and pretty like a doll.” ujarnya seraya kembali menyentuh vagina Tobio. “But your cunt—your cunt tells me you’re not a doll. You’re a fucking whore, aren’t you?”

“Aaah! Nghh!”

Tobio mendesah keras ketika Wakatoshi memasukkan tiga jarinya tanpa aba-aba. G-spot-nya terus menjadi sasaran empuk pria itu, dan ia terasa amat penuh, padahal Wakatoshi baru memberikan jari-jarinya. “Di sini? Enak, ya, pas Mas mainin kamu di sini? Apalagi kalau tambah sambil dimainin itilnya kayak gini. Iya?” Pertanyaannya lebih terdengar seperti pertanyaan retoris karena pria itu tahu betul kenikmatan macam yang sedang dirasakan Tobio.

“Aaah aahh, Mas—Mas, ugh, aku mau keluar.” kata Tobio memperingati. Ia bisa merasakan puncaknya sudah dalam jangkauannya, dan satu putaran nikmat di atas klitorisnya akan membawanya jatuh ke dalam putaran orgasme yang memabukkan. Namun, sensasi itu tak pernah datang, dan lubangnya seketika kosong tanpa stimulasi apa pun. Tubuhnya yang sudah melayang tinggi seakan kembali dijatuhkan karena klimaksnya yang tak kunjung datang.

Tobio berkedip dengan kebingungan, ia memandang Wakatoshi yang melemparkan senyuman jahil ke arahnya. “Mas? K-kenapa berhenti?”

“Adek dilarang keluar kecuali Mas bolehin.” katanya, lalu dengan kejam telapaknya mendaratkan tamparan keras di atas vaginanya yang sensitif. Rasa panas dan perih menjalar ke sekujur tubuhnya dan ia memekik dibuatnya. “Tonight, this cunt belongs to me. Not to you or Hajime. You can come when I let you come. Understand?”

Gadis itu merasa kepalanya berputar dan pandangannya kabur. Perkataan Wakatoshi terasa semakin angin lalu karena otaknya yang mendadak malfungsi. “Huh?”

“Mas tanya, Adek ngerti, gak?” Tamparan lainnya kembali pria itu layangkan di atas vaginanya. Kali ini lebih keras hingga bunyinya memantul di dinding. “Kalau ditanya itu dijawab.”

Tobio bisa merasakan air mata perlahan merembes dari sudut matanya. Ia mengatur napasnya sebelum menjawab, “i-iya, Mas.”

Good girl, Adek. Such a good girl.”

Lalu, Wakatoshi memutar tubuh keduanya hingga kali ini Tobio lah yang berada di atas. Gadis itu mengerutkan keningnya bingung, ia menunduk guna melihat ke arah Wakatoshi yang kini berbaring di bawahnya. “Mas mau aku yang di atas?”

“Adek, sekarang kamu dudukin muka Mas, ya. Mas mau nyicip memekmu.” Tanpa basa-basi, ia pun menarik paha Tobio agar lubang gadis itu yang basah dan menganga tepat berada di atas wajahnya.

Menyadari posisi mereka saat ini, rona merah sontak hadir di pipi Tobio, merambat turun hingga ke tengkuk dan dadanya. Tobio berpegangan erat pada kepala ranjang saat Wakatoshi perlahan membawa turun tubuhnya agar mulut pria itu dapat mencumbu vaginanya. Jilatan pertama di labianya yang naik hingga ke klitorisnya membuat desahan lolos dari bibir Tobio. “Nghh … aahh, Mas.”

Wakatoshi terus menjilati vagina milik gadis itu. Lidahnya ia jentikkan di atas klitoris Tobio yang membengkak, giginya sesekali menggaruk bibir vaginanya hingga Tobio meringis, dan jemarinya perlahan kembali memasuki lubangnya. Laki-laki itu menghisap klitorisnya tanpa ampun, sementara jari-jarinya terus memberikan stimulasi pada g-spot di dalam lubangnya, hingga bola mata Tobio berputar ke belakang dan air liur keluar menuruni dagunya akibat bibirnya yang menganga.

“Aaahh, Adek, enak banget memekmu. I could eat you out all night.” Pria itu berkata sembari memutari klitoris Tobio dengan lidahnya. “Dek, sayang, gerakin badanmu. Ride my face.”

Wakatoshi mencengkeram paha Tobio, membawa tubuh gadis itu agar semakin merapat padanya, lalu meraup keseluruhan vaginanya dengan mulutnya—menghisap, menjilat, selagi terus mengeluarmasukkan jemarinya. Suara becek akibat perpaduan air liur dan cairan lubrikasi Tobio memenuhi ruang yang temaram, diiringi suara desahan gadis itu yang menandakan puncaknya di depan mata. “Aaah! Aaah, Kakak, aku mau keluar—aaah!”

Lalu, sama seperti sebelumnya, orgasmenya direbut secara paksa, meninggalkannya di ambang frustrasi dan tangis. Wakatoshi mengeluarkan jarinya dan menjauhkan wajahnya dari vagina Tobio, membuat gadis itu merengek manja. Pahanya bergetar dan air mata kembali menuruni wajahnya yang jelita.

“Mas, nghh, Mas aku mau keluar, please.”

“Belum, Dek. Nurut apa kata Mas.”

Tobio hanya bisa pasrah begitu tubuhnya kembali didorong ke atas ranjang. Wakatoshi meraih sebungkus kondom yang terletak di atas nakas, yang mana membuat Tobio merengut kecil. Menyadari perubahan ekspresi wajah Tobio, Wakatoshi pun mengulum senyumnya.

“Kenapa, Dek? Kok cemberut tiba-tiba?”

Tobio mencebikkan bibirnya. “Mas kenapa pakai kondom? ‘Kan kita udah sama-sama ngasih lihat hasil tes dan kita berdua bersih.”

Well, better safe than sorry. Atau kamu mau Mas entot gak pakai apa-apa biar Mas keluar di dalam kamu, iya?”

Tobio mendesah begitu mendengar kalimat kotor yang diucapkan Wakatoshi. Dinding vaginanya otomatis berkedut, seolah mendambakan diisikan mani hingga penuh. “Nggh, Mas … mau.”

“Mau apa?”

“Adek—hhh, Adek mau pejunya Mas.”

Wakatoshi sontak menggeram, ia pun melempar bungkus kondom yang semula hendak ia buka. “Udah gak tahan, ya, mau Mas masukin?” Pertahanannya runtuh seketika begitu mendengar perkataan Tobio, apalagi gadis itu mengucapkannya dengan nada kenes dan raut wajah manja. Dengan kasar, ia pun membuka paha Tobio selebar mungkin, kemudian inci demi inci mulai melesakkan penisnya ke dalam lubang gadis itu yang berkedut hebat.

F-fuck,” Wakatoshi mengumpat, keningnya berkerut ketika kepala penisnya langsung dipijat oleh lubang lapar yang terus berkedut dan menariknya masuk. Matanya memicing memandangi batang penisnya yang perlahan-lahan ditelan oleh tubuh gadis itu.

“AAAHH! S-so big, ugh, Mas … gede banget.” Tobio merengek. Rasa perih tapi nikmat menyelubungi tubuhnya, kemudian tanpa bisa ia tahan, orgasme yang semula selalu diusir pergi, datang tanpa bilang permisi. “AAAAH! NGGHH!” Gadis itu menjerit, tubuhnya kelojotan di atas ranjang, dan Wakatoshi menggeram dibuatnya.

Orgasme Tobio yang datang tiba-tiba otomatis meremas batang penisnya yang tertanam di dalam tubuh gadis itu. “Anjing, Dek, Mas bahkan belum bergerak dan kamu udah keluar? Padahal, Mas juga bilang kamu cuma boleh keluar kalau Mas bolehin!” Wakatoshi menggeram, lalu tanpa memberikan waktu bagi Tobio untuk menyesuaikan diri dengan ukurannya, pria itu langsung menggerakan pinggulnya dengan cepat dan brutal.

“Aaah! Mas! T-tunggu sebentar! Nggh!”

Satu tamparan Wakatoshi layangkan tepat di atas klitoris Tobio, membuat gadis itu menjerit dan menangis. Rasa nikmat berubah menjadi sakit akibat ransangan terus-menerus, namun, tubuhnya tetap bergerak seiring dengan gerakan pinggul pria di atasnya.

“Suka yang cepat kayak gini, huh? Iya? Adek suka dientot kasar kayak gini?”

“Haahh, aahh, nghh! Mas Toshi …” Tobio seolah kehilangan kemampuan untuk berbicara. Otaknya lumer dan berubah bentuk menjadi peluh yang membanjiri pelipisnya.

Wakatoshi mengerang kencang, gerakan pinggulnya semakin serampangan, sementara tangannya terus melayangkan tamparan di atas vagina Tobio yang memerah. “Sayangnya Mas, cantik banget kamu kalau kayak gini. Hajime, what a lucky bastard.”

Kemudian, Wakatoshi menurunkan kepalanya dan membawa puting Tobio yang sejak tadi diabaikan ke dalam mulutnya. Dindingnya berkedut hebat, sensasi seolah ingin buang air kecil bergelojak di bagian bawahnya, jemarinya meremas sprei hingga buku-bukunya memutih, tubuhnya seolah kembali berada di ambang klimaks. “Mas, aaah, Mas Toshi nghh! Aku mau keluar lagi!”

Fuck, no.”

Kemudian tanpa aba-aba, ia mengangkat Tobio tanpa kesulitan apa pun, seolah tubuh gadis itu seringan kapas. Tobio memekik begitu ia merasa tubuhnya melayang di udara, sementara kejantanan Wakatoshi yang terbenam di dalam tubuhnya terasa masuk semakin dalam. Pria itu beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju lemari kaca yang di awal mencuri perhatian Tobio.

“Nggh, Mas mau ngapain?” Tobio bertanya dengan suara yang mencicit kecil. Ia mengalungkan lengannya di leher Wakatoshi erat-erat.

Wakatoshi tidak menjawab pertanyaannya, namun, tindakan pria itu selanjutnya memberikan jawaban yang cukup jelas bagi Tobio. Ia memutar tubuh gadis itu hingga menghadap cermin, lalu menuntun gadis itu agar mencuatkan bokongnya ke belakang. Tobio sontak terkesiap ketika melihat refleksinya yang terpantul di cermin, namun, belum sempat ia memproses segalanya, Wakatoshi sudah kembali melesakkan penisnya ke dalam lubangnya.

Tobio menjerit, desahan keras dipukul keluar dari rongga dadanya yang kembang kempis. “Lihat, Dek, mukamu pas aku entot. Gak usah malu, Cantik.” Wakatoshi yang berada di belakangnya berkata. Salah satu lengannya ia kaitkan di belakang lutut Tobio, lalu menarik kakinya ke atas sehingga sekarang posisi Tobio layaknya seekor anjing yang ingin buang air kecil.

“Dek, lihat itu di kaca, kontolku keluar-masuk memekmu.” Lagi-lagi perkataan kotor Wakatoshi hanya bisa ia balas dengan serangkaian desahan yang tidak koheren. “Does Hajime fuck you like I do? Hm?”

“M-mas … Mas! Aku mau keluar, p-please. Let me come. Please, please, please.”

Wakatoshi mendengus geli, dengan kejam ia memelankan ritme pinggulnya hingga gerakannya berhenti total, meninggalkan Tobio yang jatuh dalam tangis. Gadis itu meraung karena frustrasi. “Mas! Aku mau keluar, please.”

Beg.”

But I did! I beg—aaah!” Tamparan keras kembali mendarat di atas vaginanya.

Watch your tone when you’re speaking to me. Beg, baby.

Tobio menggigit bibir dan mengatur napasnya sebelum memutuskan untuk memohon di hadapan Wakatoshi layaknya binatang yang sedang birahi. “Mas, Adek mau keluar, please? Let Adek come, please.”

Good girl.” Lalu pria itu kembali bergerak dengan serampangan, menabrakkan kepala penisnya di g-spot milik Tobio, sementara ibu jarinya terus memutari klitorisnya. Pria itu menggeram, merasakan putihnya yang perlahan juga menghampirinya.

“Aaah! Aaah! Ahh! Mas, aku mau keluar!”

Wakatoshi terus memainkan klitoris gadis itu, lalu menarik keluar penisnya agar cairan orgasme Tobio dapat keluar dengan deras layaknya selang air yang sebelumnya macet. Putihnya keluar dengan hebat, cairan bening mengucur keluar dari lubangnya yang terus berkedut, tubuhnya menggelinjang hingga Wakatoshi harus menahan pinggulnya agar tidak terjatuh ke atas lantai. “AAAHH!”

Fuck, baby.” Pria itu pun kembali melesakkan penisnya untuk mengejar kenikmatannya. Tobio yang sudah setengah sadar terus merengek, “Mas, udah, s-sensitif. I can’t anymore.”

“Sebentar, ya, Adek. Mas belum keluar.”

Tobio otomatis mengatupkan bibirnya, dahinya mengernyit begitu nikmat kembali berubah menjadi nyeri. Namun, ia tetap diam membiarkan Wakatoshi menggunakan tubuhnya. “Anjing, Dek! Mas mau keluar, aahh, f-fuck!”

Kemudian, Tobio bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dalam tubuhnya dan melukiskan dinding vaginanya dengan putih. Gadis itu melenguh keras, ia terus memijat batang penis Wakatoshi yang berkedut di dalamnya. “Nghhh, Mas.” Ia melihat pantulan dirinya di cermin, wajahnya basah karena air mata dan liur, sementara di belakangnya Wakatoshi tampak hanyut dalam kenikmatan. Pandangannya turun ke arah tautan tubuh mereka berdua, otomatis wajahnya memanas begitu melihat bagaimana penis pria itu merenggangkan lubangnya hingga kemerahan dan bibirnya membengkak.

Ketika puncaknya sirna, Wakatoshi menarik dirinya keluar dari Tobio. Ia mendesah puas begitu melihat cairan maninya mengalir keluar dari lubang gadis itu. “Dek.”

“Ya?” Tobio membalas seadanya, ia bisa merasakan rasa kantuk mulai menggantungi pelupuk matanya.

“Kamu dijemput sama Hajime jam 11, ‘kan? Masih ada satu setengah jam. I want to fuck you in the bathroom.”

“Huh? Mas! Aku udah capek.”

“Ayo, sayang, sekali lagi. Mas belum puas.”

Malam itu terasa lebih panjang dari sekedar 4 jam. Dan ketika Hajime datang menjemputnya, Tobio bahkan tidak bisa berdiri di atas kakinya.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (11)