mimicry

deera
5 min readJul 19, 2024

--

mimicry : (n.) an act of imitating someone or something in order to entertain, survive, or fit in.

Atsumu pertama kali bertemu dengan Kiyoomi di sebuah acara amal yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat. Acara itu ditujukan untuk wanita-wanita yang menjadi tulang punggung keluarga – ibu tunggal, wanita yang berperan sebagai ibu dan ayah sekaligus, mereka yang membawa rezeki ke rumah meskipun tercekik oleh biaya hidup yang semakin membelenggu. Atsumu ingat betul siapa pendiri dari lembaga tersebut; Sakusa Mito, ibu dari Kiyoomi.

Wanita berambut ikal itu berdiri di atas podium dengan setelan pakaian seharga biaya hidup dan sewa rumah wanita lainnya yang duduk di hadapannya. Perhiasannya yang menyilaukan mata adalah sesuatu yang hanya bisa diimpikan oleh mereka yang hadir. Dia berdiri di sana seperti sebuah ironi yang berjalan, mengenakan semua barang mewah di depan orang-orang yang berjuang hanya untuk sesuap nasi. Sebuah ejekan yang menyamar dalam altruisme.

Bundanya hadir di sana dengan harapan yang menggantung di antara tumpukan sembako gratis yang dibagikan saat acara selesai.

Lalu ia melihat Kiyoomi. Berdiri di luar aula dengan wajah masam dan tubuh yang menempel di dinding, seolah tidak ingin terlihat oleh orang yang lalu lalang, seolah tidak ingin berada di sana. Atsumu yang datang dengan tujuan menjemput bundanya pun duduk terpaku di atas motornya, wajahnya melongo dan matanya menatap lekat-lekat ke arah Kiyoomi. Atsumu never seen someone so beautiful. Beautiful is such a humble word to describe Kiyoomi, he’s ethereal.

Wajahnya seputih kapas dengan pipi yang bersemu merah karena terik sinar matahari, rambut hitamnya yang kontras dengan warna kulitnya jatuh di atas wajahnya yang kecil dan tajam, helaian ikalnya membingkai rautnya yang masam dan tidak ramah, tubuhnya tinggi menjulang – lebih tinggi dari Atsumu – layaknya seorang model, pakaiannya rapi tanpa kerut atau noda sedikit pun, dan tubuhnya dibalut wangi-wangian mahal.

Posisinya masih terduduk di atas jok motornya yang telah usang ketika Kiyoomi mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Atsumu karena merasa diperhatikan. Ketika pandangan mereka bersirobok, Atsumu merasakan jantungnya berdegup lebih kencang hingga telinganya berdengung. Sementara itu, kerutan di wajah Kiyoomi semakin dalam.

“Kenapa, ya?”

Anjing, bahkan suaranya cakep banget.

“G-gak apa-apa.” Suara Atsumu tercekat di tenggorokan. Ia tahu, pasti sekarang ia terlihat seperti orang bodoh; tampang melongo, masih dalam posisi duduk di atas motor, mengenakan seragam SMA-nya yang berantakan. “Halo, ngapain di sini?” tanya Atsumu seraya memarkirkan motornya di dekat Kiyoomi. Atsumu itu paling handal kalau diminta untuk sok akrab dengan orang asing, kata Kuroo kelakuannya ini sangat membantu, tapi kata Suna justru malu-maluin.

“Berdiri.” jawab Kiyoomi sekenanya.

“Ya iya, dong, masa ngaduk dodol.”

Atsumu tersentak saat respons main-mainnya yang ia selipi dengan humor dihadiahi oleh tawa dari laki-laki dengan wajah paling rupawan yang pernah ia lihat itu. Kiyoomi tergelak, pelan namun menular. “Nungguin ibuku selesai. Kamu sendiri ngapain?”

“Sama. Ibumu ikut acara ginian juga?”

Maksud Atsumu adalah, penampilan Kiyoomi yang meneriakkan uang rasanya tidak memungkin bahwa ibunya hadir di antara mereka yang kesulitan ekonomi. Tapi tentu saja orang yang ia maksud adalah wanita yang berdiri di atas podium, dengan pembawaan seorang yang terdidik bila dinilai dari tutur kata dan sikapnya, baju designer mahal, dan struktur wajah yang sama persis dengan laki-laki di hadapannya ini.

Mereka pun saling bertukar kata dalam obrolan, bertukar nomor di daftar kontak, dan tanpa Atsumu sadari, ia menitipkan keseluruhan hatinya di atas telapak tangan Kiyoomi tanpa diminta. Secara sukarela membiarkan laki-laki itu menjaganya, mendekapnya dalam kehangatan, meletakkannya tepat di samping hatinya sendiri, kemudian menjatuhkannya ke atas lantai hingga pecah berkeping-keping.

Ketika Atsumu pertama kali berjumpa dengan lingkarangan pertemanan Kiyoomi, ia duduk diam seperti orang dungu. Mereka semua hampir sama dengan Kiyoomi – dibalut pakaian mahal, ponsel pintar keluaran terbaru di genggaman masing-masing, dan mimpi setinggi langit yang digantung di antara bintang-bintang. Dokter, politisi, hakim, bahkan representasi suatu bangsa di lembaga internasional. Berbicara soal mimpi seakan mereka yakin pasti akan terwujud, karena strata sosial yang berperan sebagai karpet merah yang digelar di atas jalur mimpi-mimpi mereka. Mereka berbicara mengenai hal-hal yang tak bisa Atsumu gapai, tergelak karena lawakan yang Atsumu tidak mengerti, dan meledek orang-orang dengan latar belakang yang sama sepertinya.

Atsumu diam seperti orang dungu. Raganya ada di sana, tapi ia merasa dikucilkan. Mereka semua berdiri di atas khayangan yang dibangun di atas langit dan tidak menapak tanah, sementara tungkai Atsumu terpaku di atas tanah, dibelenggu oleh akar-akar kemiskinan struktural.

Saat Kiyoomi memperkenalkan Atsumu sebagai pacarnya, ia menangkap kernyitan dan lirikan penuh ejekan dari beberapa wajah yang terpampang di hadapannya. Atsumu berkedip dan raut wajah mereka seketika berubah ramah. Memberikan kesan bahwa mereka ikut berbahagia dengan Kiyoomi, menyambutnya dalam lingkungan mereka. Munafik. Sekumpulan orang kaya yang munafik.

Ketika Atsumu mengatakan soal mimpinya untuk menjadi seorang atlet profesional, mereka terbahak. Kencang dan mengejek. Respons seperti “Gak kuliah dong?” “Emang kalau jadi atlet ngapain, sih?” “Bukannya rawan pensiun muda, ya?” “Kalau cedera gimana? Gak bisa kerja lagi dong?” “Gajinya emang berapa, sih? Bukannya gak nentu, ya?” Mereka langsung lompat ke kemungkinan-kemungkinan buruk, tanpa repot-repot menapakkan kaki di hal-hal yang positif. Atsumu hanya bisa melemparkan senyum kecil, tidak tahu harus membalas apa, apalagi melihat bagaimana Kiyoomi ikut tertawa dengan mereka.

Tapi Atsumu tidak ambil pusing, yang penting Kiyoomi menyayanginya. Semoga.

Saat perjalanan pulang, Atsumu duduk di samping kursi kemudi di mobil Kiyoomi dengan pikiran yang berkecamuk. Menyadari akan absennya obrolan dari Atsumu, Kiyoomi meliriknya sekilas sambil bertanya, “Kenapa diam aja?”

“Kenapa kamu ikut ketawa pas mereka ledekin aku?”

“Ledekin gimana?”

Atsumu menggigit pipinya dari dalam, berusaha menahan kata-kata kasar dan merombaknya kembali agar bisa diterima dengan baik oleh Kiyoomi, agar tidak ada perdebatan yang tersulut. “Pas aku bilang mau jadi atlet, atau jokes mereka soal orang-orang yang kesusahan.”

“Tuh, you said it yourself.”

“Hah?”

Kiyoomi mengedikan bahunya. “Kamu bilang jokes, and it’s true. It was just a joke.” jawabnya dengan enteng. Atsumu sontak terdiam, menahan kalimat; “Jokes itu harusnya lucu, bukan nyakitin. Bukan juga soal ngetawain orang yang berjuang buat makan.” yang tergantung dengan berat di bibirnya. Menolak konfrontasi langsung, menolak berdebat dengan seseorang yang sudah jelas tidak pernah menapak tanah dan makan dengan sendok emas sejak bayi.

Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, Atsumu mempelajari tingkah polah mereka, berpura-pura mengerti akan pembahasan yang keluar dari mulut mereka, dan melemparkan lelucon yang mereka suka. Atsumu layaknya seekor bunglon, menggunakan mimikri untuk beradaptasi dan diterima di lingkungan Kiyoomi. Atau mungkin, seorang jester dari abad medieval – melucu agar para raja yang duduk di atas tahta bisa tertawa dan menyukai keberadaannya. Mereka tertawa akan lawakannya, namun, sebenarnya Atsumu tahu kalau yang sebenarnya mereka tertawakan adalah dirinya sendiri.

Saat Atsumu bercerita mengenai hal mengganjal yang ia rasakan terhadap teman-teman Kiyoomi kepada temannya sendiri, mereka mengutuk lingkaran pertemanan tersebut. Kata-kata kasar keluar dari bibir Tanaka, Osamu marah hingga wajahnya memerah karena tidak terima, sementara Suna mendoakan agar karma menghantam mereka di suatu hari nanti. Tiap kali pembahasan tersebut muncul di permukaan, Atsumu selalu membalas dengan; “Yaudah, gak apa-apa, sih. Yang penting Omi sayang sama gue.” Dia tidak tahu kenapa kalimat itu selalu ia ucapkan. Dia juga tidak tahu apakah ia mengatakannya untuk meyakinkan teman-temannya atau dirinya sendiri.

Atsumu merasa seperti orang dungu.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

No responses yet