my boy only breaks his favourite toys

deera
15 min readDec 5, 2024

--

TAGS : Vaginal sex, vaginal fingering, cunnilingus, squirting, pussy spanking, bondage, degradation, dacryphilia, orgasm denial, crying while having sex, rough but emotional sex, FIRST KISS

Aran terdiam sambil menatap layar ponselnya. Gelembung obrolan yang dikirimkan Shinsuke seolah melotot balik ke arahnya. Jemarinya meremas ponsel hingga buku-bukunya memutih.

So, my love, why should I choose you over my faith when I’m not even the only one in your heart?

Pria itu mendengus, seolah tidak percaya dengan kata-kata Shinsuke yang terasa seperti tuduhan kosong. Delapan tahun mereka bersama, Aran tidak pernah membayangkan mencintai orang lain selain Shinsuke, cintanya kepada gadis itu telah tertanam begitu dalam, mengakar hingga ia yakin tak ada ruang untuk orang lain. Tapi, benarkah begitu?

Bayangan samar mulai menyelinap, menghantui pikirannya, mengusik relung hatinya. Siapa lagi yang mungkin memiliki hatinya? Apa mungkin selama ini ia tidak sepenuhnya jujur, bahkan pada dirinya sendiri? Pertanyaan itu menggantung seperti kabut di pikirannya, menjalar hingga menghimpit dadanya, membuat napasnya terasa berat.

Aran menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba mengusir pikiran yang tak ingin ia akui. Dengan gerakan serampangan, ia melempar ponselnya ke atas dashboard mobil, menolak untuk repot-repot membalas pesan mantan kekasihnya. Namun, meski ia mencoba menepis, suara Shinsuke terus bergema di dalam benaknya, seperti bisikan dosa yang tak bisa ia hindari.

“Ngapain di sini?”

Osamu muncul dari balik pintu apartemen yang baru saja Aran ketuk. Gadis itu menggulung rambutnya ke atas dan hanya mengenakan gaun tidur tipis warna salem yang bahkan tidak menyentuh setengah pahanya. Aran membiarkan pandangannya jatuh ke arah wajah polos Osamu yang tidak dilapisi riasan seperti biasanya, turun ke leher jenjangnya yang dihiasi warna kuning hasil dari kegiatan mereka empat hari lalu, hingga ke payudaranya yang menggantung berat tanpa dalaman—bulat dan penuh dengan puting yang tercetak jelas di gaun tidurnya.

“Ehem,” Gadis itu berdeham, sukses mengembalikan perhatian Aran kembali kepada wajahnya yang merengut. “Kakak ngapain ke sini? Udahan reuninya?”

Aran mengangguk seperti orang dungu. Seketika lupa apa tujuannya mendatangi Osamu saat gelapnya malam sudah menggantung dengan sunyi di atas langit. “Iya, baru aja selesai.” Jawaban singkatnya dihadiahi putaran mata malas dari Osamu. Brat.

“Terus ngapain ke sini?”

“Aku gak boleh masuk?”

Osamu menarik napas panjang, seakan mencoba meredam gejolak yang bergulung di dadanya. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mundur, menggeser tubuhnya dari ambang pintu untuk memberi jalan. Aran mengangguk kecil, lalu menginjakkan kakinya ke dalam apartemen dengan langkah yang terasa ragu, diikuti Osamu yang membisu di belakangnya.

Pintu tertutup dengan bunyi klik yang menggema, memantul di sepanjang dinding kosong, memenuhi ruangan dengan sunyi yang mengirimkan sensasi tidak nyaman di antara keduanya. Sunyi itu menggantung di udara, mengisi jarak yang aneh di antara mereka—seperti jurang yang tak terlihat namun begitu nyata. Aran berdiri di tengah ruangan, pandangannya menyapu tempat yang seolah terasa asing, sementara Osamu tetap di dekat pintu, mengunyah kata-kata yang tak sanggup ia ucapkan.

“Kamu kenapa minta pergi temanin beli kado sama Suna?” Pada akhirnya Aran membuka suara. Memberikan jalan bagi obrolan yang mengganjal keduanya. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Osamu, matanya memandang gadis itu lekat-lekat.

Iris kelabu milik Osamu memicing tajam ketika mendengar ucapannya. “Ya, emangnya kenapa? ‘Kan dia temanku.” sungutnya. Kalimatnya keluar dengan nada suara yang ketus. “Kakak juga tadi pergi reuni sama Kak Shin, ‘kan? Aku lihat di SG Kak Ren.” lanjut Osamu, masih sama ketusnya, masih dengan wajah merengut. Gadis itu melangkah melewati Aran menuju ke arah dapur untuk mengambil air.

“Aku udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama Shin.”

“Ya, Kakak kira aku ada hubungan sama Rin? ‘Kan gak. Kenapa, sih? Katanya no strings attached, tapi kok marah-marah kalau aku keluar sama yang lain? Marah-marah kalau aku upload foto seksi?” Osamu mendengus, gelas diletakan dengan kasar ke atas meja makan. Matanya mendelik ke arah Aran dan sesuatu di dalam diri pria itu seakan tersulut api emosi.

Aran mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seketika mati kutu, seolah kehilangan kemampuan untuk berbicara. Lidahnya kelu, tak ada kalimat yang mampu ia susun sebagai balasan atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Osamu. Maka dari itu, tubuhnya diam mematung layaknya orang dungu, sementara matanya bergerak gelisah, namun, tak sanggup sepenuhnya menatap Osamu. Di tengah kebisuannya, gadis itu dengan perlahan melepaskan gaun tidurnya yang tipis dan tembus pandang. Kain transparan itu melorot dengan anggun dari bahunya, meluncur turun seperti aliran air hingga akhirnya tergeletak tak berdaya di atas lantai.

Tubuh Osamu kini hanya dibalut oleh thong tipis berwarna senada dengan gaunnya, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang membuat napas Aran tersendat di tenggorokan. Osamu mendelik tajam ke arahnya. “Ayo, aku udah buka baju. Kakak pasti ke sini cuma buat seks, ‘kan?”

Gak, bukan! Aran berteriak di dalam hati. Namun, kalimatnya tertahan di lidahnya yang kelu, hingga sebuah anggukan lah yang keluar sebagai respons.

Remember your safe words?”

Gadis itu mengangguk. “Yep. Red for full stop, yellow for slow down, and green for okay. Why?”

Because tonight, I won’t stop—even if you’re crying or begging me to. You’ve pushed me too far, Osamu.”

Alih-alih takut, Osamu, dengan gerakan kenes dan menantang, malah menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Ia merentangkan tangannya, memamerkan tubuhnya, dari garis bahunya yang halus hingga lekukan pinggulnya yang menggoda, tampak seolah-olah diciptakan untuk membakar logika Aran menjadi abu. Manik keabuannya mengerling nakal ke arah Aran, bibirnya membentuk sebuah seringaian yang memporak-porandakan isi lelaki itu. “Do your worst.”

Permukaan tali yang melintang dan membelenggu tubuh Osamu terasa seperti membakar kulitnya. Tali berwarna hitam tersebut tampak kontras di atas kulitnya yang putih, mengikatnya mulai dari pinggul, melingkari payudaranya hingga kedua gundukan tersebut mencuat, naik ke lengannya, dan berakhir di kepala ranjang. Tangannya direntangkan dan gerakannya terbatas, jemarinya meremas tali di sekitar pergelangannya, mendesah pelan ketika Aran, yang kini berada di antara pahanya berkata, “diam, Osamu. Atau kamu mau kakimu juga diikat?” Suaranya keluar dengan tajam diiringi tamparan keras di paha bagian dalam Osamu.

Gadis itu menjerit lalu menggeleng kuat-kuat. Pahanya bergetar karena rasa sakit dan nikmat yang bersatu padu, menariknya ke dalam pusaran nafsu yang membuat otaknya seolah berhenti bekerja. Jemari panjang dan besar milik Aran masih berada di dalam vaginanya, keluar-masuk dengan cepat dan tanpa ampun, serta menggaruk dinding sensitifnya dengan kuku yang tumpul. Akan tetapi, rasanya tidak pernah cukup, kenikmatan yang diberikan pria itu tidak dapat membawa putih ke atas pangkuan Osamu. Klitorisnya yang mencuat dan memerah sengaja diabaikan oleh pria itu dan Osamu berubah frustrasi.

“Nggh, Kak … touch me, please.” Osamu merengek, suaranya keluar dengan menyedihkan. “Touch my clit, please. I wanna come.” Ia memohon dan memohon dan memohon, tapi semuanya seolah jatuh ke telinga yang tuli.

No. You can come when I let you come.” Aran berkata dengan kejam dan Osamu merasakan air mata mulai memenuhi kelopaknya. Ia sudah kepalang nafsu, namun, klimaksnya terasa jauh dari jangkauannya.

Bunyi becek yang memantul di dinding terdengar vulgar dan kotor, semu merah melukisi wajahnya dan turun hingga ke dadanya. Bondage selalu membuat Osamu merasa begitu kecil, begitu terekspos, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menutupi dirinya sendiri karena pergerakannya yang dibatasi. Gadis itu menekan tumitnya di punggung Aran, tidak tahu harus melakukan apa dengan kakinya—satu-satunya bagian tubuhnya yang bebas bergerak.

Aran masih sibuk menyiksanya lewat jarinya yang bermain-main di dalam lubangnya yang basah dan berkedut, tapi tidak sama sekali berniat untuk mengirimnya ke puncak kenikmatan. “Baby, kamu basah banget. Kamu mau keluar?”

Yes! Yes! Please!”

Nah, I don’t think so.”

Osamu merengek begitu puncaknya hampir berada dalam jangkauannya, namun, Aran menarik jarinya keluar. Meninggalkannya dengan napas putus-putus juga vaginanya yang berkedut hebat—seakan memohon untuk diisi dan dibawa ke langit ketujuh. “Kak, please.”

Permohonannya dibalas dengan tamparan keras tepat di atas kemaluannya. Rasa perih menjalar dari permukaan bibir vaginanya hingga ke seluruh tubuhnya layaknya aliran listrik. Telapak kasar milik Aran kembali mendarat dengan keras, klitorisnya yang mencuat bagaikan sasaran empuk dari tamparan lelaki itu. “Shut up. Stop whining.”

Osamu menjerit, suara nyaring menggema di dinding kamar yang temaram. Air mata mengalir perlahan dari pelupuknya hingga ke pipinya yang bersemu, seperti hujan yang merintik di tengah badai emosi. Tamparan lain mendarat di lembah kenikmatannya yang begitu sensitif, memicu rasa perih yang membakar, bercampur dengan aliran kenikmatan yang menghanyutkan.

Tubuh gadis itu terjerat dalam situasi penuh paradoks yang tidak tertahankan—antara rasa sakit yang menggigit dan manisnya gelombang gairah yang memabukkan. Kepalanya berubah pening, seolah dunia di sekitarnya runtuh dan hanya menyisakan ruang sempit yang penuh dengan rasa.

Ia menggigit bibirnya untuk menahan erangan yang semakin sulit untuk dibendung, sementara jari-jarinya menggenggam erat tali di pergelangannya. Getaran halus menyelinap di sepanjang kulitnya, setiap tamparan terasa seperti hukuman sekaligus hadiah, di tengah panasnya gejolak api nafsu, Osamu terjebak, tidak tahu apakah ia harus memohon belas kasih atau meminta lebih.

Color, baby?” tanya Aran, suaranya lembut dan pengertian, betolak belakang dengan tangannya yang semula mendaratkan tamparan di atas bibir vaginanya.

G-green, Kak.” jawab Osamu dengan suara bergetar dan terputus-putus. Kalimat yang terlontar dari bibirnya terasa berat, seperti tersangkut di tenggorokannya, sementara otaknya seakan malfungsi, tak lagi mampu merangkai kalimat yang masuk akal. Bagai mendapatkan lampu hijau, pria itu kembali mengayunkan telapaknya dengan keras.

Suara tamparan menggema di kamar yang remang, disusul dengan jeritan panjang Osamu yang melesak keluar seperti lolongan serigala yang merindukan bulan purnama. Rasa nyeri menjalar di kulitnya, seperti bara yang diletakkan langsung di atas area intimnya, membakar hingga kulitnya berubah merah menyala. Tubuhnya bergetar hebat, kakinya lunglai, tak lagi mampu bertengger di bahu pria itu.

Namun, seiring dengan rasa sakit yang menusuk, gelombang kenikmatan yang membingungkan menyapu dirinya. Cairan bening terus mengalir dari dalam lubangnya, membasahi sprei di bawahnya, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti perpaduan manis antara neraka dan surga. Pandangan gadis itu kabur, dan pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok pria yang berlutut di antara pahanya, yang beberapa jam lalu bersama dengan seorang wanita yang telah Osamu benci sepanjang hidupnya. Mengingat wanita tersebut, amarah dalam dirinya seolah tersulut.

Osamu menggertakkan giginya, suaranya dipenuhi amarah ketika ia berteriak tepat di hadapan wajah Aran. “Fucking fuck me and be done with it. A-aku lagi gak mau lama-lama lihat kamu, Kak—hhh.” Kata-katanya meluncur keluar dari bibirnya yang memerah akibat digigit. Matanya yang keabuan menyalak, menyimpan lebih dari sekadar amarah—ada rasa sakit yang tak ia dapat akui, ada luka yang tak terucap. Bibirnya gemetar, menahan isakan yang mengancam keluar. Ia tidak tahu lagi apa yang lebih menyakitkan, apakah rasa terbakar di tubuhnya karena tamparan tangan Aran, atau denyut nyeri di hatinya tiap kali bayangan Shinsuke menghantui pikirannya.

Aran terdiam selama beberapa detik, wajahnya mengeras, rahangnya terkatup seakan mencoba menahan sesuatu yang ingin ia katakan. Akhirnya, ia membuka mulutnya dengan nada dingin dan ketus, “don’t tell me what to do.”

Fuck you!” Osamu menjerit, suaranya memecah udara di antara mereka, tajam seperti kilat di tengah badai. Kemarahan yang sebelumnya tertahan meledak tanpa kendali. Kakinya yang bebas menendang keras bahu Aran, membuat pria itu kehilangan keseimbangan sesaat lalu terhuyung ke belakang. “Lo datang ke sini cuma buat ngentot, ‘kan?! Pakai alasan gak suka gue pergi sama Rin, padahal lo cuma mau ngentot! Make your dick wet! Apa lo setakut itu bakalan ada orang ngambil mainan lo, huh? Kalau lo ke sini emang cuma buat ngentot dan pakai gue kayak lonte—hhh, nghh—k-kayak biasanya, yaudah, just fuck me already!”

Suaranya pecah menjadi tangisan, setiap kata seperti bom yang meledakkan semua yang telah ia tahan selama ini. Isakannya keras, menyayat hati, dan air mata mengalir deras membasahi pipinya yang memerah. Ia menangis tanpa kendali, tubuhnya bergetar hebat, tapi bibirnya terus mengeluarkan kata-kata yang penuh akan amarah dan rasa sakit. “Cepetan! Gue udah ngangkang! Udah kayak lonte, tinggal masukin aja! Fuck me already and leave me alone!”

Aran mengerutkan alis, ekspresinya berubah dari marah menjadi sesuatu yang lebih rumit—kebingungan, mungkin sedikit terluka, tapi amarah masih hadir di wajahnya. “What’s with the sudden outburst?!” Aran membalas, suaranya ikut naik beberapa oktaf, memenuhi ruangan dan memantul di dinding.

Osamu membeku, tubuhnya yang bergetar perlahan merapat ke kepala ranjang di belakangnya. Ketegangan memenuhi udara, menggantung berat di antara mereka. Aran, dengan tatapan tajam seperti belati, mengulurkan tangannya dan menangkup pipi Osamu dengan satu tangan. Jemarinya yang besar dan kokoh menjepit wajah Osamu, memaksanya mendongak, memaksa gadis itu untuk menatapnya langsung ke mata. Tatapan keduanya bertemu, kehangatan yang biasanya hadir tampak absen, hanya tersisa amarah dan sesuatu yang lebih rumit.

“Kenapa tiba-tiba marah, huh? Throwing tantrum like a fucking child,” Aran berkata dengan nada penuh ejekan. “Is it because I went with Shin—”

“Jangan sebut nama dia!” Osamu memotong dengan teriakan yang melengking. Tangisannya kembali pecah, dan suaranya terdengar layaknya sebuah protesan anak kecil.

Shut up!” Aran membentaknya, suaranya lebih keras dari sebelumnya, membuat Osamu mencicit pelan. Mata gadis itu terpejam rapat, seolah berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Does little Osamu get jealous over me going out with Shin? Is that it? What are you? Fifteen?” Suaranya keluar dengan tajam tanpa bisa ia tahan. “Remember? When you used to following me and Shin around like a lost puppy, like a stupid fucking child.” Detik itu juga, Aran menyesali perkataannya. Ia terkesiap, memandang Osamu yang isakannya berubah semakin kencang.

Osamu merasa hatinya seperti dihantam palu. Kata-kata itu begitu dingin, begitu menusuk, dan ia tidak tahu apakah Aran masih bermain peran dalam kegiatan seksual mereka atau benar-benar berbicara dari lubuk hatinya. Ia menelan ludah dengan susah payah, rasa sakitnya semakin tak tertahankan.

“Kamu mau cemburu kayak sepuluh tahun lalu? Why, Osamu? Fucking grow up.”

Osamu tidak bisa menjawab. Ucapan Aran menggantung di udara, berputar-putar di dalam kepalanya layaknya sebuah kutukan mantra yang tak bisa ia hindari. Tubuhnya gemetar hebat, tangisnya tidak bisa berhenti, dan di dalam dadanya, ada sesuatu yang retak, pecah berkeping-keping, sama seperti sepuluh tahun lalu. Ia merasa kecil, tidak berdaya, dan lebih sendirian dari sebelumnya. Aran berada di depannya, tubuhnya besar, suaranya keras, dan kehadirannya sekarang hanya membawa rasa takut dan luka.

B-because I love you … I love you so much it hurts! I have loved you since I was ten!” Ketika kalimat tersebut keluar, bendungan emosi di dalam diri Osamu seakan dibuka. Matanya mengerjap guna mengusir air mata yang menggenang dan mengaburkan pandangannya. Ia ingin melihatnya—ingin tahu bagaimana pria itu merespons pengakuan yang selama ini ia simpan rapat di dalam hatinya, ingin tahu ekspresi apa yang hadir di wajahnya. Namun, pandangannya kabur, dan ia hanya bisa meraba-raba bayangan wajah Aran di hadapannya.

Aran berdiri mematung, ekspresi wajahnya membeku seperti patung marmer yang dingin dan tak bernyawa. Matanya membola karena keterkejutan, dan rahangnya mengeras. “No, you don’t. Stop talking nonsense.” Suaranya tajam, seperti cambuk yang menghantam telinga Osamu, membuat dadanya seolah. diremas. Pria itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menghapus pengakuan cinta Osamu dari pikirannya. Gak, gak mungkin, batinnya menjerit. Ia memaksa dirinya untuk tidak memikirkan pengakuan itu, memaksa dirinya untuk tidak melihat makna di balik air mata dan suara gemetar Osamu. Tapi hatinya berdebar keras, seolah-olah tubuhnya sendiri menolak untuk mempercayai kebohongan yang ia ucapkan.

Osamu hanya bisa terisak pelan, rasa malunya, sakitnya, dan cintanya bercampur menjadi satu. “I-I love you …” Ia berkata dengan parau, hampir seperti bisikan. Namun, bagi Aran, ucapannya terdengar seperti petir yang menyambar di tengah malam yang tenang.

No, you don’t.” Aran membalas dengan lebih keras, hampir seperti teriakan, mencoba menenggelamkan suara kecil di dalam dirinya yang ingin mendengar dan percaya. “Stop fucking talking.” Suaranya keluar dengan kasar, hampir putus asa, seolah-olah ia berusaha keras untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Sebagai gantinya, tangannya bergerak, menyusuri tubuh Osamu dengan cara yang seharusnya membuat gadis itu merasa diinginkan, tapi kali ini terasa seperti hukuman. Jarinya menarik simpul-simpul kecil yang menghiasi tubuh Osamu, memaksa erangan pelan dipukul keluar dari bibir gadis itu.

Aran merasa semakin tenggelam dalam kekacauan yang ia buat sendiri. Layaknya seorang pengecut, ia mendistraksi dirinya sendiri. Jemarinya mencengkram paha Osamu, kasar namun penuh intensi, lalu membukanya lebih lebar, menempatkan dirinya di antara tubuh gadis itu. Namun, pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya ada pada kata-kata Osamu yang terus bergema di kepalanya, I love you I’ve loved you since I was ten.

Osamu menggigit bibirnya, menahan isak yang terus mendesak keluar dari tenggorokannya. Hatinya terasa seperti dihancurkan berkali-kali, tapi ia tidak bisa berhenti. “I-I love you.” Ia mengulanginya lagi, meskipun ia tahu tidak ada gunanya, meskipun ia tahu Aran akan terus menyangkal. Kata-kata itu keluar dari bibirnya seperti doa yang putus asa, seperti seorang pendosa yang memohon pengampunan.

Stop it,” Suara Aran pecah, lebih seperti bisikan. “Just stop.”

Kemudian, tanpa aba-aba, Aran mendorong masuk keseluruhan kejantannya hingga Osamu seolah dapat merasakan batang keras dan kaku itu hingga ke lehernya. Jeritan sunyi dipukul keluar dari dadanya, bibirnya membulat, dan bola matanya berputar ke belakang hingga hanya menyisakan putih. “Color, baby?” tanya Aran, intonasinya lembut dan halus layaknya bulu kemoceng. Osamu rasanya ingin meraung karena bagaimana bisa pria itu menorehkan luka lalu masih bersikap lembut kepadanya?

Fucking green. Stop asking and fuck me like a man—” Sebelum ia bisa menuntaskan kalimatnya, pinggul Aran mulai bergerak tanpa menyisakan waktu bagi Osamu untuk menyesuaikan diri. Pria itu bergerak dengan cepat dan serampangan, tiap hentakan pinggulnya mendorong ranjang hingga membentur dinding. Osamu mendesah keras, tiap inci penis Aran menghantam titik sensitifnya tanpa ampun, membawa kembali hasrat yang sebelumnya padam.

Puncaknya kembali merambat naik, dan ia menatap Aran dengan tatapan memelas. “Kakak, please, let me come.”

Not yet.”

Osamu kembali menangis. Isakannya santer terdengar menenggelamkan suara desahan dan geraman yang dihasilkan Aran. Pria itu mencengkram keras pinggul Osamu hingga meninggalkan bekas berbentuk jari di permukaan kulitnya, pinggulnya terus bergerak cepat mengejar kenikmatan, tidak peduli bagaimana Osamu terus memohon untuk dibiarkan mencicipi orgasmenya yang telah absen terlalu lama.

Aran menatap Osamu yang tergeletak tak berdaya di bawahnya. Napas gadis itu tersengal, sementara bibirnya yang basah mengeluarkan suara kecil, ah-ah-ah, layaknya melodi patah yang mengisi ruang di antara mereka. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam diri Aran, sesuatu yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam, namun, kini mendesak keluar tanpa bisa ia kendalikan. Matanya tetap terpaku pada wajah Osamu, pada bibir merah muda yang tampak memanggilnya, memintanya untuk mendekat.

Aran tidak lagi berpikir rasional. Ia menyerah di hadapan perasaan yang membuncah seperti air bah yang tak dapat dibendung. Dengan gerakan yang perlahan namun pasti, ia menurunkan wajahnya, membawa bibirnya bertemu dengan bibir Osamu untuk pertama kalinya.

Osamu terkesiap, tubuhnya menegang untuk sesaat, namun, ia tidak melawan. Ia hanya menyerah pada sentuhan pria itu, membiarkan Aran menguasai dirinya. Aran dapat merasakan kelembutan bibir Osamu, napas hangat gadis itu menerpa wajahnya layaknya mesin uap, dan rasa asin bisa ia rasakan di lidahnya akibat air mata yang sebelumnya jatuh membasahi wajah Osamu.

Aran tidak hanya mengulum bibir gadis itu, melainkan juga menjelajahinya, mengabsen deretan giginya dengan lidahnya. Ketika lidah mereka akhirnya bertemu, ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini terkunci rapat di dalam hatinya. Lidah Osamu bergerak ragu pada awalnya, tapi ketika mereka mulai berdansa bersama, keraguan itu sirna, digantikan oleh sesuatu yang liar, penuh keinginan. Aran meminum setiap desahan yang terlontar dari bibir Osamu, seperti seorang pengembara yang akhirnya menemukan mata air di tengah padang pasir yang gersang.

Ketika pada akhirnya Aran melepaskan tautan bibir mereka, napasnya terengah, hampir sama seperti Osamu. Ia melihat wajah gadis itu, matanya setengah terbuka, bibirnya sedikit membengkak akibat ciuman yang begitu intens. Sesaat, waktu terasa berhenti. Namun, tubuhnya tidak memberikan kesempatan bagi pikirannya untuk memproses. Di dalam dirinya, klimaks mulai merambat naik.

Fuck, Samu, aku mau keluar.” Aran berkata di antara gertakan giginya. Ia melipat tubuh Osamu menjadi dua, mengangkat kedua kaki gadis itu hingga menyentuh kepala ranjang, sementara tangannya yang menganggur kembali menampar vagina Osamu dengan begitu kejamnya. Ketika tamparannya mendarat, dinding hangat yang melapisi kejantanan Aran otomatis meremasnya dengan lebih ketat, dan bintang-bintang seolah meledak di balik pelupuknya. “Fuck, aaarghh, Samu!”

Orgasmenya ditarik keluar dan ia memuntahkan maninya di dalam tubuhnya, menghiasi dindingnya dengan putih, dan mengirimkan benihnya ke dalam rahim gadis itu.

Please, please, please let me come! K-kakak … nghh, a-aku mau keluar, tolong. Nghh, please.” Permohonan Osamu berubah menjadi racauan yang tidak koheren. Dengan napas tersengal, juga penis yang masih berada di dalam tubuh gadis itu, Aran kembali menggerakan pinggulnya dengan perlahan. Jemarinya ia bawa untuk memutari klitoris gadis itu yang sejak awal sengaja ia abaikan. Ia menjepit titik sebesar kacang polong itu di antara telunjuk dan ibu jarinya, sementara penisnya mengantarkan kenikmatan melalui lubangnya.

“AAAH!” Osamu menjerit begitu pelepasannya datang tanpa aba-aba. Orgasmenya bergulung dengan kuat, cairan bening mengucur keluar dengan deras seperti keran air ketika Aran menarik keluar penisnya.

Pikiran Osamu seketika kosong. Gelombang orgasme terus menerpa tubuhnya ketika kesadarannya perlahan terlepas dari jemarinya. Belaian lembut Aran di pipinya adalah hal terakhir yang ia ingat sebelum segalanya berubah hitam.

Ketika Osamu kembali membuka matanya, tubuhnya tak lagi dijerat tali. Sebuah piyama berbahan silk memeluk tubuhnya yang bergelung nyaman di balik selimut. Ia mengerjap, membiarkan kesadarannya kembali perlahan. Suara napas yang nyaris tak terdengar menarik perhatiannya. Ia menoleh, matanya menangkap sosok Aran yang duduk di tepi ranjang sambil berpangku tangan. Tatapannya terpaku pada sesuatu yang jauh—sebuah bayangan di pikirannya yang tak terjangkau oleh Osamu.

“K-Kakak?” Suara Osamu pecah, serak.

Aran menoleh pelan, lalu ia mengulurkan sebuah gelas ke arah Osamu tanpa basa-basi. “Ini. Minum dulu.”

Osamu mengangkat tubuhnya perlahan lalu mengambil gelas disodorkan ke arahnya. Ia meneguk air dengan perlahan, membiarkan sensasi dingin mengalir membasahi tenggorokannya yang kering. “Kakak kok masih di sini?” tanyanya, nada bingung menyelinap di antara kata-katanya.

Tatapan Aran bergerak ke arahnya, dan Osamu merasa tertusuk oleh sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang getir, hampir menyakitkan dalam cara Aran menatapnya. “Baby,” Aran berkata dengan parau, “don’t look at me like you’re hurting.”

Osamu mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Like I hurt you since we were just kids.” Aran mengalihkan pandangannya, suaranya mengandung beban yang sulit Osamu pahami. “You can’t do that to me when you’re the one who turned me down.”

Osamu menatapnya, bingung dan terkejut sekaligus. “Huh? Turned you down? Nolak Kakak maksudnya? Kakak jangan ngomong ngaco. Gak mungkin aku pernah nolak Kakak. I have loved you since I was ten, remember?”

Aran tertawa kecil, tapi tawanya pahit, kosong. “Samu, kamu gak pernah balas suratku. Di situ jelas-jelas aku tulis kalau kamu gak terima—”

Woah, wait, wait!” Osamu memotongnya, alisnya bertaut. “Kakak ngomong apa, sih? Surat apa?”

Confession letter!” jawab Aran, suaranya mulai meninggi dengan campuran frustrasi dan rasa sakit yang tak terungkapkan. “Yang aku kasih pas kamu kelas 3 SMP. Aku tulis kalau kamu gak mau jadi pacarku, suratnya gak usah dibalas dan kita gak usah bahas soal ini lagi biar gak jadi awkward.”

Osamu menatapnya dengan kaget, matanya melebar. “Kelas 3? Kak, aku gak pernah dapat surat apa-apa.”

“Osamu,” Aran mendesah, nada suaranya mencerminkan kelelahan yang dalam, “don’t joke around right now.”

I’m not!” Osamu hampir berteriak, matanya mencari-cari jawaban di wajah Aran. “Kak, kalau Kakak pernah nembak aku lewat surat, aku pasti tahu! Tapi, aku gak pernah terima surat apa pun!”

Aran menatapnya, ragu dan marah bercampur jadi satu. “Osamu,” katanya pelan tapi tegas. “I gave the letter to Atsumu to give it to you.”

Waktu seakan berhenti. Osamu membeku, mulutnya terbuka tanpa suara. Kata-kata itu bergema di kepalanya. “Apa?”

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (2)