Suara batuk-batuk yang terdengar dari kamar bundanya membuat Atsumu mengangkat kepalanya yang tadinya terkubur di antara buku-buku tebal pemberian Kiyoomi. Dengan tergopoh-gopoh, Atsumu menghampiri wanita setengah abad itu yang terduduk lemas di lantai. Punggungnya bengkok ke dalam, telapak tangannya berusaha sekeras mungkin meredam suara batuk yang memekakkan telinga, dan wajahnya hampir seputih kertas.
“Bun, bun, kenapa? Bentar … Tsumu ambilin air, ya?”
Riuh yang terdengar dari dalam rumah seketika menarik perhatian Osamu yang tadinya tengah menyiram tanaman di depan rumah mereka. “Bunda kenapa?”
“Batuk-batuk terus, tapi parah banget.” jawab Atsumu sambil menyodorkan segelas air putih ke arah wanita yang telah membesarkannya itu. Punggung bundanya yang selalu kuat layaknya tembok besi kini tampak rapuh, Atsumu menggigit bibir bawahnya dengan cemas. “Bun, ayo minum dulu.”
“Makasih, Nak. Maaf, bunda ngerasa kurang sehat – uhuk uhuk – akhir-akhir ini. Nanti bunda minum obat lagi.”
“Obat apa, bun? Jangan minum sembarangan obat di warung. Bunda ke dokter, ya?” kata Atsumu. Telapak tangannya membuat pola abstrak di punggung bundanya, berusaha menawarkan sedikit rasa nyaman di antara sakit yang ia rasakan.
“Besok, ya, bun? BPJS-nya udah bisa kok. Samu anter, ya? Ke dokter?” timpal Osamu. Bunda tersenyum lirih, lalu mengangguk dengan lemas. “Iya, Nak.”
– — – — – —
“Tsum. Bunda sakit. Kata dokter ada cairan di paru-parunya.”
Perkataan Osamu bagai petir di siang bolong. Atsumu terpaku di tempatnya, tenggorokannya tercekat, dan seketika keringat dingin membanjiri tubuhnya. “Terus … gimana, Sam?”
“Dikasih obat, tapi BPJS gak cover semuanya. Jadi, gue … minjem duit ke encing dulu buat obat.” Kembarannya itu terduduk lemas di atas tempat tidur mereka. Kepalanya yang tertunduk ke bawah ditopang kedua telapak tangannya. “Dokter ngasih surat rujukan buat ke RS gede. Besok katanya udah bisa ke sana. Tapi besok gue janji mau bantuin encing di toko … lu bisa anter bunda, ‘kan?” Suara Osamu terdengar lirih dan sesuatu di dalam diri Atsumu terasa diremas hingga berdarah.
“Bisa, Sam. Nanti gue temenin bunda.”
“Naik Grab atau Gocar, ya, Tsum. Jangan naik motor kasian bunda, takut polusi juga.” ucap Osamu, lalu ia menyerahkan selembar uang seratus ribu ke arahnya. “Buat ongkos ke RS besok dari encing. Katanya gak usah diganti.”
Atsumu cuma bisa mengangguk. Malam itu, keduanya tertidur dengan punggung yang saling berhadapan dan raga yang terjaga semalaman. Sementara itu, suara batuk masih sesekali terdengar dari dalam kamar bundanya.
– — – — – —
Atsumu [15.30]
omi sayang, aku gabisa jemput kamu di inten hari ini ya maafff. mau anter bunda ke rs
Tanpa menunggu balasan pesan singkat dari pacarnya, Atsumu memasukkan ponselnya ke kantong celana yang ia kenakan. Ia berbalik badan lalu menghampiri bundanya yang duduk di salah satu kursi tunggu rumah sakit. Wanita itu menyenderkan kepalanya ke dinding di belakangnya, lantunan doa yang samar-samar sesekali keluar dari bibirnya yang membiru. “Bunda, haus gak?”
“Nggak, Nak. Tadi ‘kan bunda udah minum.” Walaupun kesakitan, bunda tetap melemparkan senyuman manis ke arah putranya tersebut. Rasanya, Atsumu ingin melemparkan dirinya ke luar dari jendela terdekat, at least it will hurt less than seeing his mother suffer in agony.
“Bu Miya?” Suara perawat yang memanggil nama bundanya sontak menarik Atsumu dari badai yang berkecamuk di dalam kepalanya. Atsumu menoleh ke arah perawat tersebut. “Bu Miya, sudah boleh masuk, ya.”
Setelah mengucapkan terima kasih, keduanya pun melangkah menghampiri sebuah pintu dengan plakat nama yang membuat tubuh Atsumu seketika membeku.
Prof. Dr. dr. Sakusa Mito, SpPD-KP
– — – — – —
Sakusa Mito adalah seorang wanita yang terlihat jauh lebih muda dari umur aslinya. Rambut ikalnya yang hitam legam digulung ke atas dengan beberapa anak rambut membingkai wajahnya yang tirus dan seputih susu. Pipinya yang tinggi dihiasi sentuhan riasan make-up yang tidak terlalu berlebihan, matanya bulat seperti mata rusa, namun terlihat tajam dan menohok. Tubuhnya yang diselimuti jas putih terlihat tinggi semampai dengan sepasang kaki jenjang yang dibalut stocking warna hitam. Setiap ia melangkah, bunyi hak sepatu dengan logo YSL yang berbenturan dengan lantai marmer rumah sakit, terdengar nyaring ke seluruh penjuru ruangan.
Sakusa Mito adalah gambaran bila Sakusa Kiyoomi terlahir sebagai perempuan. Atsumu memandang wanita itu lekat-lekat, bergidik ngeri ketika menemukan begitu banyak kemiripan di antara keduanya.
Sakusa Mito adalah wanita dengan aura yang mengintimidasi, walaupun ia melemparkan senyum ke arah Atsumu dan bundanya, senyuman itu tidak mencapai matanya.
“Bu, saya sudah baca diagnosa dokter sebelumnya. Sudah lihat juga hasil rontgen ibu dan di sini bisa dilihat di paru-paru ibu ada cairannya. Cairan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, termasuk infeksi, gagal jantung, atau kondisi lainnya seperti penyakit paru obstruktif kronis dan kanker. Untuk memastikan penyebabnya, kita perlu melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, seperti analisis cairan pleura atau CT scan. Setelah hasilnya keluar, kita baru bisa menentukan langkah penanganan yang tepat, apakah itu pengobatan dengan obat-obatan, tindakan drainase cairan, atau terapi lainnya.”
Suara Sakusa Mito terasa berdengung di telinga Atsumu. Wanita itu sibuk berbincang dengan bunda, sementara Atsumu merasa was-was. Dia ngenalin gue gak, ya? Dia nyadar gak gue yang macarin anaknya? Ini dia haters nomor wahid gue. Bunda sendiri sepertinya tidak mengenali wanita di hadapannya, karena Atsumu tidak pernah memberikan informasi jelas mengenai Kiyoomi maupun keluarganya.
Waktu terasa bergulir dengan sangat lambat. Bunda melakukan beberapa pemeriksaan sementara Atsumu duduk diam dengan rasa cemas yang seolah menggerogoti jiwa dan raganya. Setelah semua prosedur yang diperlukan telah selesai dilalui, keduanya pun dipersilahkan untuk pamit dengan janji check-up beberapa hari lagi.
“Bu Miya bisa tunggu di luar. Saya mau bicara sebentar sama anaknya.”
Tangan Atsumu yang tadinya ingin meraih knob pintu seketika terhenti. Dengan kaku ia berbalik badan, keringat dingin turun membanjiri wajahnya. Bunda tersenyum lalu mengangguk, “Bunda tunggu di tempat tadi, ya.”
Tuh kan, mati gue, fiks ini mah.
Atsumu berusaha keras menghindari tatapan Sakusa Mito. Tatapannya persis seperti bagaimana Kiyoomi dulu saat mereka masih PDKT. Sinis, tajam, seolah belati terpancar dari kedua obsidian gelap tersebut. “Miya Atsumu … akhirnya kita ketemu juga. Kamu pasti tahu siapa saya, ‘kan?”
“I-iya … dok.”
“Urus ibumu dengan benar, ya. Rawat dia, jangan sampai terlalu capek. Always keep an eye on her,” katanya dengan nada suara monoton yang memuakan itu. Atsumu terdiam keheranan mendengar tutur kata baik keluar dari bibir wanita yang menurut Kiyoomi lebih seram dari wewe gombel.
Namun, kalimat selanjutnya membuat Atsumu menelan mentah-mentah rasa terima kasih yang tadinya mau ia tuturkan.
“Fokus aja rawat ibumu sampai sehat, gak usah gangguin anak saya lagi. Jangan mengharapkan apapun dari hubunganmu sama Kiyoomi. Ngerti?”
Tai kucing kali.
– — – — – —
kiyooo [16.13]
Iya, Atsu.
Gimana bunda? Kamu ke RS mana? Apa kata dokter?
kiyooo [16.48]
Kabarin aku pls
kiyooo [17.12]
Atsu kamu kemanaaa is everything okay?
Atsumu memandang rentetan pesan singkat yang dikirim Kiyoomi dengan nanar. Tanpa membalas satu pun pesannya, ia kembali menonaktifkan ponselnya. Suara Sakusa Mito yang memuakkan masih berputar di kepalanya, sementara ponselnya yang berisi pesan tak terjawab dari Kiyoomi terasa berat di saku celananya.
– — –
Encing = Paman/om
gusy maaf kalau dialog diagnosa penyakitnya ngaco… hasil gugling… aku bukan dokter apalagi anak kedokteran :]