Aran melirik Osamu dari sudut matanya, memperhatikan wanita itu yang tengah larut dalam perbincangan bersama Atsumu dan Ibu mereka, juga beberapa jemaat yang hadir. Suara Osamu terdengar samar, tawa kecilnya sesekali pecah, dan pandangannya tak pernah terlalu lama tertuju pada Aran. Hanya sesekali mata mereka bertemu—tatapan sekilas, singkat, hampir tak berarti, sebelum Osamu kembali memalingkan wajahnya, seakan lebih tertarik pada percakapan di sekelilingnya dan pura-pura mengabaikan Aran.
Aran menghela napas perlahan, berusaha menahan apa pun yang bergemuruh di dadanya. Saat keluarga Miya akhirnya melangkah keluar gereja, Osamu dan Atsumu menghilang ditelan kerumunan jemaat lainnya, membaur hingga pandangan Aran tak lagi dapat menemukan mereka.
“…Ran, Aran!” Suara milik Ibunya menariknya dari dalam lamunan. Ia menoleh dengan cepat, mendapati sang ibu dan Shinsuke berdiri tidak jauh darinya. Ibunya masih tersenyum ramah, berbincang amat dengan akrab pada Shinsuke, seolah tidak ada catatan buruk di antara mereka. Seakan-akan ingatan tentang lamaran Aran yang pernah ditolak mentah-mentah oleh wanita itu telah menguap tanpa bekas, atau mungkin tidak pernah terjadi.
“Ini katanya Shinsuke mau ngobrol sama kamu.” ujar sang ibu dengan nada ringan, seraya melirik ke arah Shinsuke yang tersenyum kecil.
Aran mengangguk tanpa banyak berkata, rasa enggan terpancar samar di matanya. “Iya, Ma. Cuma sebentar kok. Mama tunggu di mobil aja sama yang lain.”
Shinsuke pun pamit dengan sopan kepada keluarga Aran, lalu memberi isyarat ke arah Aran lewat pandangannya, mengirimkan kode untuk mengikutinya. Namun, sebelum langkah Aran benar-benar beranjak, Ibunya telah lebih dulu menarik lengan bajunya, membuat pria itu berhenti di tempat. “Mau ngobrolin apa? Balikan, ya?” tanya Ibunya dengan nada yang menggoda, wanita paruh baya itu melemparkan senyumnya penuh arti, dan matanya mengerling pada Aran.
“Ma, udah, deh. Udah berapa kali aku bilang Shinsuke mau kesusteran.” Aran mengerang malas, matanya mengisyaratkan rasa lelah karena pembicaraan ini seperti rekaman yang diputar berulang kali. Ia menghela napas singkat sebelum menggerakkan langkahnya, meninggalkan Ibunya yang kini mendengus pelan, wajahnya berubah merengut.
Bunyi daun kering yang hancur di bawah pijakannya mengisi kesunyian. Angin dingin khas musim hujan berhembus, seolah membawa serta kenangan-kenangan yang tak lagi ingin Aran pikirkan. Langkahnya membawa dirinya mendekati Shinsuke, namun, pikirannya terus melayang, menyentuh kembali fragmen-fragmen masa lalu yang perlahan mencuat ke permukaan.
Saat akhirnya mereka berhenti di sudut gereja yang lebih sepi, Shinsuke menatapnya dengan lembut, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak mampu diucapkan dengan kata-kata. Tapi Aran tidak lagi ingin berbasa-basi. “Mau ngomongin apa?”
Wanita itu mengerjap, helaiannya yang seputih salju berterbangan tertiup angin hingga menutupi setengah wajahnya dan Aran harus mati-matian menahan refleksnya untuk menyibak helaian tersebut, karena melakukannya akan membawa dirinya terlalu dekat dengan sesuatu yang kini terasa asing.
“Aku mau kesusteran.” Suara Shinsuke akhirnya terdengar di antara desiran angin. “Abis Natal tahun ini aku mau lanjut ke tahap berikutnya.” Ia menundukkan kepala, tampak seperti sedang mengumpulkan keberanian sekaligus menghindari tatapan mata Aran yang menelisik. “Aku gak tahu apa kita bakalan bisa ketemu lagi, makanya aku mau sampaiin sesuatu, karena temanku bilang kalau mau mendedikasikan hidup buat Tuhan, aku harus selesai sama urusan duniawiku—yaitu kamu.”
Aran tetap diam mematung mencerna tiap kata yang Shinsuke lontarkan. Ia tidak tahu harus merespons apa, tidak tahu harus bagaimana ia menyikapi semuanya.
“Aran, say something. I’m dying here.” Shinsuke berkata lagi, suaranya hampir seperti bisikan, penuh dengan putus asa yang ia coba sembunyikan.
“Aku,” Aran membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan karena frustrasi. “Aku gak tahu harus bilang apa! Aku tahu kamu mau kesusteran. Kamu udah bilang soal itu, kayak, ratusan kali, Shin! Aku harus bilang apa lagi?” Nada suaranya meninggi, terdengar lelah, sementara napasnya mulai berat. “Just spit it out. What do you want?”
Kemudian, Shinsuke mengulurkan sebuah amplop dari dalam tas kecilnya. Warna kertasnya sudah memudar, menguning digerogoti waktu, tanda bahwa telah terkurung waktu selama bertahun-tahun. Matanya tidak menatap langsung ke arah Aran, justru memilih untuk menunduk dan menyembunyikan ekspresi wajahnya. “Ini.” ujarnya pelan.
Dengan ragu, Aran mengambil amplop tersebut. Meski ragu dan keheranan, ia membolak-balik benda kecil itu, hingga matanya terpaku pada tulisan tangannya sendidi. “To: Osamu. From: Aran,” tertulis di bagian depan amplop, dan tubuhnya langsung menegang kaku. “Ini—” Suaranya tercekat. Ia menatap Shinsuke, mencoba menemukan jawaban dari wajah wanita itu.
“Your confession letter for Osamu.” Shinsuke akhirnya menjawab, penyesalan hadir dalam tiap katanya.
“Kok bisa ada di kamu?” Aran kembali bertanya dengan nada setengah tak percaya. “Atsumu bilang, surat ini hilang. Kamu yang nemu suratnya, kah?”
Shinsuke menghela napas panjang, matanya terpejam sesaat sebelum terbuka kembali. “Aku gak nemuin surat itu, Ran. Aku yang ambil.”
“Hah? Maksudnya?” Aran mengerutkan kening, rahangnya mulai mengeras, tahu persis kemana arah pembicaraan ini akan membawanya.
“Aku yang ambil, Aran. I stole it from Atsumu. Aku ikutin kamu waktu kamu mau nitipin surat itu ke Atsumu. Terus, pas dia gak sadar, aku curi suratnya.” ucapnya jujur nada dengan suara yang bergetar.
Aran membeku. “Tapi … kenapa? Why did you do this?” Aran merasakan rahangnya mengeras dan amarah mulai memenuhi dirinya. “Shin! Jawab!”
“Because I was dumb and selfish!” jawab Shinsuke dengan lantang, suaranya memecah keheningan dan bergema di lorong sepi gereja. Wajahnya memerah, entah karena malu atau tangis yang tertahan. “Karena aku suka sama kamu, Ran! Dari hari pertama masuk SMA. I loved you and I’m angry, I’m jealous, of Osamu! You loved her, you always have! Terus kamu bilang mau nembak dia lewat surat dan … dan aku gak terima! So, I stole it. Dan aku juga yang ngusulin ke kamu untuk gak bahas surat itu sama Osamu kalau misal gak dibalas, ingat, ‘kan?”
Ia menarik napas berat, tubuhnya bergetar. “Jadi aku curi surat itu. Aku sembunyiin, dan aku merasa menang karena kamu lakuin apa yang aku bilang—gak bahas soal surat itu lagi.”
Kata-katanya menghantam Aran seperti petie di siang bolong, mengguncang seluruh persepsinya mengenai Shinsuke yang selama ini ia pikir telah ia pahami. Rahangnya mengeras, suaranya meninggi saat ia berkata, “kamu udah gila, ya?! Jadi selama delapan tahun kita pacaran, kamu sembunyiin ini?!”
Shinsuke terdiam, mulutnya setengah terbuka, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya berdiri di sana, menatap Aran dengan ekspresi yang penuh penyesalan, sementara pria itu merasa seperti seluruh hidupnya telah dibangun di atas kebohongan.
“Maaf, maaf, maaf banget. Aku tahu mungkin permintaan maafku gak ada artinya, tapi aku beneran nyesel banget, Ran.”
Aran menggeleng tidak percaya, kepalanya menunduk seolah mencoba memproses semuanya, sebelum akhirnya tawa sumbang—yang lebih terdengar seperti ledakan frustrasi—terlontar keluar dari bibirnya. “This has to be a joke.” katanya dengan nada getir. “Astaga, Shin. Terus kenapa baru sekarang kamu ngaku?”
Wanita itu hanya berdiri mematung. Matanya berkilat di bawah sinar matahari akibat genangan air mata yang berkumpul di pelupuknya, mengancam jatuh kapan saja. “Because the guilt is eating me alive.” jawabnya pada akhirnya. “Hidupku jadi gak tenang. Setiap kali aku sama kamu, aku selalu ingat kalau aku udah sabotase setengah hidupmu. Makanya, waktu kamu ngelamar aku, aku bilang gak. Karena aku tahu aku gak layak. Aku gak bisa bayangin hidup sama kamu setelah apa yang aku lakuin. You deserve to be with someone that isn’t manipulating their way into your life.”
Aran mengangkat wajahnya, menatap wanita di depannya dengan mata yang berkilat oleh campuran amarah dan kebingungan. “This is bullshit.” Ia menggeram pelan, nyaris seperti bisikan, takut suara tingginya memecah ketenangan di halaman gereja. “Demi Tuhan, Shinsuke. Kamu lakuin semua ini cuma karena … apa? Karena kamu cinta sama aku?”
Shinsuke mengangkat bahu dengan pasrah, bibirnya gemetar. “People who are in love tend to do the craziest thing.” ucap Shinsuke menimpali. “Tapi itu gak membenarkan perbuatanku. I’m sorry, Aran. I don’t know what else to say.”
Angin bertiup lembut, menghempaskan daun-daun kering yang berguguran di sekitar mereka, menciptakan bunyi gemerisik yang mengisi kekosongan di antara keduanya. Baik Aran maupun Shinsuke memilih untuk bungkam. Ia hanya menatap wanita itu, melihat sosok yang dulu ia pikir ia kenal begitu dalam, namun, kini berubah layaknya orang asing.
Matanya menyapu amplop di tangannya, benda kecil yang menjadi saksi dari kebohongan bertahun-tahun yang baru saja terbongkar. Ia ingin berkata sesuatu—mungkin memaki, mungkin berteriak, mungkin merobek amplop itu menjadi serpihan—tapi tidak ada kata-kata yang mampu menggambarkan apa yang ia rasakan.
Shinsuke menunduk, seolah tidak sanggup lagi menahan beratnya tatapan Aran. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir, menuruni pipinya seperti hujan kecil di musim kemarau. “Aku tahu aku salah. Tapi tolong percaya, aku gak pernah benar-benar mau nyakitin kamu.”
Aran mengalihkan pandangannya ke arah gedung gereja di belakang mereka. Bayang-bayang salib tampak membentang panjang di tanah, seperti pengingat akan sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka berdua. “Shin … you—you’re something.” katanya, suaranya nyaris tenggelam di tengah gemerisik daun. “Aku gak tahu harus respons kayak gimana lagi.”
“Kamu gak mau maki-maki aku? Teriak dan marahin aku?”
“Aku gak mungkin lakuin itu ke kamu. Semarah apa pun aku.”
Suasana kembali senyap, hanya diisi oleh desiran angin yang berlalu membawa aroma lembap tanah dan bayang-bayang kesalahan yang tak bisa dihapus.
“Selama dua hari ini aku banyak mikir.”
“Soal apa?”
“Semuanya. You hurt me, but Shin, I also hurt you.” Aran menatap Shinsuke dengan sendu. “Pas kita masih pacaran dulu aku biarin Osamu bertingkah seenaknya. Dia penting buatku—selalu penting, tapi waktu itu kamu pacarku dan kamu seharusnya jauh lebih penting. Harusnya aku lebih bijak, harusnya aku ngerti kalau yang aku lakukan itu salah. Bukannya cuma sekali atau dua kali, aku lebih prioritasin dia daripada kamu. I loved you, Shin, but I wasn’t loving you enough to set some boundaries. I’m sorry, I was a fool.”
Shinsuke mencoba membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi Aran mengangkat tangannya, menghentikannya dengan lembut. “Biar aku selesai dulu.” katanya. “Aku kira dulu aku begitu tuh gak masalah, karena aku udah dekat sama Osamu dari masih kecil. Padahal, aku jelas-jelas pernah naksir dia, walaupun aku ngira aku udah gak ada perasaan apa pun semenjak aku akhirnya sama kamu. Aku kira aku akhirnya bisa anggap Osamu sebagai adik aja, tapi nyatanya gak begitu, ya?”
Udara di antara mereka terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak terlihat yang menekan keduanya.
“You stole that letter to be with me. It’s bad, but what I did to you is just as bad.” katanya. “Aku hidup dengan rasa bersalah yang sama. Aku tahu aku gak pernah benar-benar jadi pasangan yang kamu butuhin. Aku tahu aku lebih sering bikin kamu merasa kesepian, bahkan jadi kayak nomor dua. I’m sorry, for not loving you the way you loved me.”
Shinsuke menggeleng, air matanya mengalir deras. “Please, jangan minta maaf—”
“Aku ‘kan juga salah, Shin.” potong Aran, suaranya lembut tapi tegas. “We were both wrong, we were both hurt, and we also hurt each other.”
Keduanya merupakan korban dari ketidakmampuan diri mereka sendiri untuk mencintai dengan cara yang benar. Angin sore kembali bertiup, membawa aroma bunga-bunga yang mulai layu di pekarangan gereja. Untuk sesaat, hanya bunyi gemerisik dedaunan yang mengisi keheningan. Aran melirik amplop yang masih ada di tangannya, sebelum akhirnya kembali berkata. “Makasih udah mau jujur, Shin. Aku marah, tapi, aku ngerasa marah juga gak ada gunanya. It’s all in the past, both the incident and us.”
“Aran …”
“Udah 10 menit, keluargaku nungguin. Kamu take care, ya, Shin. Good luck.” Aran pun memutar tumitnya, bersiap untuk melangkah pergi sebelum perkataan Shinsuke menghentikan langkahnya.
“I’m sorry for wasting your time.” Wanita itu berkata dengan suara yang mencicit kecil. Aran berbalik, menatapnya dengan sendu. “Gak, Shin. ‘Kan cuma sepuluh menit.”
“Bukan itu maksudku. Yang aku maksud soal delapan tahun kita bareng. Maaf udah buang waktumu sia-sia.”
“You know, over the years, I’ve learned a lot of things. Sure, there were moments that made me sad and hurt, but do they erase the times I was the happiest with you? No. So, Angel, you didn’t waste my time, because I don’t think I’d be the man I am today if it weren’t for you.”
“Makasih, Aran.”
Aran pun berbalik, namun, baru selangkah ia sudah kembali dihentikan oleh Shinsuke. “Oh, satu lagi. Aku dengar dari Ren kalau kamu sekarang dekat sama Osamu. Please, treat her right. Make up for the lost time. You two—you really look good together, you know? I’d like to talk to her someday. To apologize, or maybe to warn her that you never put your dirty clothes in the laundry basket.”
Mendengarnya, Aran tergelak kencang diikuti oleh tawa yang sama dari Shinsuke. Ia pun melangkah pergi meninggalkan pekarangan gereja, langkahnya ringan menyusuri lorong, seolah beban berat yang selama ini menekannya diangkat bersamaan dengan berkah Natal yang turun.
On December 25th 2024, Shinsuke offered a peace treaty, which Aran gladly accepted.