Atsumu melirik ke arah Osamu lewat ekor matanya sementara ia menyimpulkan tali sepatunya. Ia terus memperhatikan pergerakan wanita itu yang berjalan mengitari dapur, memastikan daging untuk barbecue pesta perayaan akhir tahun telah dimasukkan semuanya ke dalam tas plastik besar. Osamu tampak lebih gugup dari biasanya, gerakannya kikuk dan wajahnya mengernyit. Bola matanya juga bergerak liar ke sekeliling dan ia sesekali menggigiti kukunya secara refleks.
Malam itu, keduanya diundang ke pesta tahun baru di kediaman keluarga Ojiro. Sementara Ibu mereka, yang merupakan seorang perawat, harus menghabisi malam pergantian tahun di rumah sakit karena shift jaga yang tidak bisa diganggu gugat.
“Sam? Kenapa?” Atsumu bertanya, nada suaranya kentara akan kekhawatiran. Pria itu pun menoleh sepenuhnya ke arah Osamu yang kini berdiri di lorong apartemen, ponsel di tangan kanan, totebag berisi daging di tangan kiri, dan kecemasan di wajah. Ia memandang Atsumu lekat-lekat, ragu-ragu dan cemas.
“Tadi Kak Aran chat gue. Terus dia ngomong sesuatu yang bikin gue kepikiran, gak tahu dia bercanda atau gak.” katanya dengan bibir yang melengkung ke bawah. Wajahnya ditekuk dan bahunya melorot.
“Dia ngomong apa?”
“He said something about wanting me to be his girlfriend.” Ia menjawab. Bunyi click clack akibat benturan lantai apartemen dengan sepatu hak tinggi miliknya bergema di sepanjang lorong ketika ia berjalan menghampiri Atsumu. “Dia pasti bercanda, ‘kan?” Osamu mencebikkan bibirnya, matanya berkilau di bawah cahaya lampu, memancarkan kecemasan dan kesedihan, namun, ketika Atsumu menelisik lebih dalam, ada harapan di balik iris sewarna bajanya.
Di dalam imajinasinya, Atsumu menepuk keningnya—facepalm—sambil mengerang kencang dan mengutuk Aran dengan rentetan kalimat sumpah serapah. Menyatakan cinta dan mengikat Osamu dalam sebuah hubungan sepasang kekasih seharusnya adalah sebuah kejutan, tapi pria itu malah membeberkan rencananya dengan gamblang tanpa pikir panjang. Buruknya lagi, Osamu tampak tidak percaya dengan Aran dan malah menganggapnya sebuah lelucon semata.
“Dia bilangnya gimana?”
“Gue tanya dia udah siapin 12 anggur itu belum buat new year’s wishes. Katanya udah, terus dia bilang, “Spoiler alert! One of my wishes would be you saying yes to be my girlfriend.”. Pokoknya begitu.” Jawaban Osamu sontak membuat Atsumu menghela napas lelah.
Stupid Aran. “Yaudah tungguin aja. Mungkin dia emang mau nembak lo.”
“Ya, kali, Tsumu. Dia gak mungkin punya perasaan kayak gitu ke gue. Mungkin dulu iya, tapi gak tahu sekarang. It’s all too late now.” ucap Osamu sembari merogoh tasnya, mencari kartu akses yang langsung ia gunakan untuk membuka pintu apartemen. Setelah pintu terbuka, ia melangkah keluar diikuti oleh Atsumu yang mengekor di belakangnya.
Laki-laki berambut pirang itu mendengus, ia berusaha keras untuk tidak meyakinkan Osamu kalau malam ini akan ada kejutan yang membuatnya bahagia layaknya memenangi lotre. “Ya, tapi lo gak pernah tahu, Sam. Siapa tahu dia sebenarnya juga masih suka sama lo?”
Osamu tertawa kecil, namun, getir menyelinap di ujung suaranya. “I wish.” gumamnya pelan, hampir seperti angin yang berbisik, menyembunyikan sesuatu di antara nada suaranya yang nyaris tersamarkan oleh suara langkah keduanya yang menyusuri lorong panjang menuju elevator. Matanya memandang jauh ke depan, seolah sedang mencari jawaban yang ia tahu mungkin tak akan ia temukan.
Namun, tanpa ia tahu, malam itu keinginannya akan terwujud ketika kembang api menghiasi langit malam dan bulan Januari bertengger di kalender.
Sudah tidak terhitung berapa kali Si Kembar menyambangi kediaman keluarga Ojiro. Osamu ingat betul keduanya seringkali mampir setiap pulang sekolah, meminta Aran untuk membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah atau hanya sekedar bersantai di ruang TV sambil menonton film yang kasetnya mereka sewa dengan sisihan uang jajan. Selama belasan tahun, rumah tersebut tidak berubah sedikit pun. Berdiri dengan cat yang didominasi warna putih dan cokelat, dihiasi beberapa ornamen keagamaan, figura foto, dan pekarangan rumah yang kini ramai dengan keluarga Aran.
Beberapa orang, termasuk Osamu, menyiapkan makanan, dan sebagian lainnya mengobrol sambil membuka satu per satu botol alkohol yang dibawa oleh salah satu kakak dari Aran. Di sisi lain, beberapa keponakan Aran tampak berlarian sambil tertawa riang dengan kembang api yang menyala di tangan mereka.
Hawa panas dari panggangan menerpa wajah Osamu, namun, tatapan Aran yang duduk di belakangnya terasa lebih panas dari api manapun. Tatapan pria itu seolah menembus punggungnya layaknya sebuah alat las yang membolongi besi. Osamu menyisir pandangannya, berusaha mencari Atsumu, dan memutar matanya malas begitu melihat kembarannya malah sibuk berwain kembar api dengan keponakan-keponakan Aran.
“Okay, stop it. Whatever you’re doing. Stop it.” Osamu menggeram seraya membalikkan tubuhnya untuk bisa menatap Aran. Ia berkacak pinggang dan nada bicaranya sarat akan konfrontasi. “Ngapain, sih, ngelihatin aku terus kayak gitu?”
Pria itu terkesiap, ia mengalihkan tatapannya dengan kikuk, merasa malu karena sudah tertangkap basah tengah memperhatikan Osamu.
“Kak?”
“Let’s talk somewhere else.” Begitu Aran merasa Ibunya memperhatikannya dari jauh, ia pun bangkit dari posisinya, lalu dengan lembut menarik tubuh Osamu untuk berjalan ke area rumah yang lebih sepi. “Privately. Di sini ramai banget.”
“Eh? Tapi aku masih masak—”
“Biarin aja nanti diterusin yang lain. Kamu ikut aku.”
Osamu memilih untuk mengalah dan membiarkan tubuhnya digiring memasuki area rumah. Genggaman tangan Aran yang melingkupi jemarinya membuatnya bersemu, rasa hangat merayap dari pipi hingga ke sekujur tubuhnya, lalu kehangatan berubah menjadi gugup yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Pria itu membawanya melintasi ruang keluarga, menaiki tangga, kemudian berakhir di balkon lantai dua yang berhadapan pekarangan di bawah.
Aran berdeham untuk menutupi dirinya yang salah tingkah, ia kemudian menyandarkan tubuhnya di teralis balkon. “Kamu masih ingat ‘kan sama suratku yang hilang itu?”
Surat lagi, Osamu mencibir di dalam hati. “Iya, Kak. Yang dihilangin Atsumu, ‘kan?” Osamu merespons dengan ala kadarnya. Pembahasan mengenai surat selalu membuatnya merasa jenuh, karena ia setuju dengan apa yang Atsumu katakan beberapa hari lalu—sesuatu yang telah terjadi di masa lalu ada baiknya tidak terus-terusan diungkit.
“Ternyata bukan salah Atsumu.”
Perkataan Aran sontak mencuri perhatian Osamu, rasa penasarannya dipancing keluar dan tanpa disadari tubuhnya mencondong mendekati Aran. “Terus salah siapa?”
“Shinsuke, mantanku.”
“HAH?!”
Aran memijat pelipisnya ketika suara Osamu yang memekik sontak membuatnya pening. “Samu, tenang dulu. Gak usah teriak-teriak begitu.”
Wanita itu menatap Aran dengan mata yang membola, bibirnya megap-megap layaknya ikan yang dibawa ke daratan. “What the—? Hah? Maksudnya?! Gimana bisa?!”
Kemudian, Aran menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk menjelaskan rangkaian kejadian yang diceritakan oleh Shinsuke, juga soal pertemuan mereka setelah misa natal. Di sela-sela penjelasannya, pria itu harus menenangkan Osamu yang mencak-mencak karena emosi, wajah gadis itu memerah dan matanya menyalak dengan menyeramkan. “Samu, calm down. It’s okay.” ucapnya dengan nada yang ia buat selembut mungkin, menyiramkan air di atas api emosi milik gadis itu.
“It’s not okay, Kak! Kok dia kurang ajar banget gitu, sih?! Terus—hahaha,” Ia tertawa getir. Kepalanya menggeleng tidak percaya. “Terus Kakak maafin dia gitu aja? Gila kali?”
“Samu, it’s no use to hold grudges. Apalagi, Shin juga udah minta maaf.” Aran menangkap tangan Osamu dalam genggamannya, lalu mengelus buku-buku jemarinya dengan penuh kelembutan. “She regrets it so much, baby.”
“Kakak gak marah emangnya?” Wanita itu bertanya diikuti pandangannya yang menelisik.
“Aku marah awalnya, tapi aku belajar buat terima aja. Karena kayak apa yang aku bilang, gak ada gunanya juga buat marah, gak bakal mengubah apa pun, ‘kan?”
Osamu menundukkan kepalanya, bibirnya masih mengerucut layaknya bebek, dan keningnya masih berkerut karena rasa kesal. “Yaudah kalau Kakak udah legowo, tapi aku gak.”
Mendengarnya, Aran hanya bisa menghela napasnya. Ia pun menarik Osamu ke dalam dekapannya, mengunci wanita itu di dalam sana, menawannya sementara ia mengecek arloji di tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam lewat 47 menit. “Sayangku, mungkin kamu masih butuh waktu buat proses semuanya. Tapi. gak bisa kita selamanya hidup ada dendam ke orang lain, gak enak, tahu. Always be the bigger person.” katanya sambil mengelus lekukan bahu Osamu yang tegang.
Ucapannya tidak direspons oleh Osamu, wanita itu memilih untuk mengabaikannya dan menganggap perkataannya hanya angin lalu.
“Baby?”
“Hm?”
“Udah mau jam 12. Gak jadi makan anggurnya?”
Kepala Osamu yang terbenam di dada Aran bergerak membentuk sebuah gelengan. “Gak mau. Udah gak mood.” Jawaban Osamu pun dihadiahi sebuah kekehan pelan dari pria tersebut. Tangan Aran bergerak mengelus surai segelap malam milik Osamu, sentuhannya yang kelewat lembut dan menenangkan hampir membuat Osamu jatuh dalam kantuk.
“Shinsuke ada ngomong satu hal yang bikin aku kepikiran beberapa bulan ini.” Aran kembali membuka suara, matanya menerawang jauh menembus malam.
“Apa?”
“She said, when I was still with her, I love someone else other than her.” katanya, suaranya pelan nyaris hilang terbawa angin malam. “At first, I thought she was being stupid and just wanted to accuse me of cheating. But then I realized, she might be right.”
Osamu terdiam, ekspresi wajahnya kaku, dan perutnya bergejolak dengan tidak nyaman. Dengan ragu-ragu, ia mengangkat kepalanya dan menatap Aran dari balik bulu matanya. “Maksudnya?”
“Osamu, beberapa hari ini aku sibuk mikirin perasaanku ke kamu. Aku mikirin semua kelakuanku selama bertahun-tahun, dan aku sadar kalau … kalau aku gak pernah benar-benar sepenuhnya move on dari kamu. Pas aku pacaran sama Shin, aku pikir aku udah lupa soal kamu, tapi ternyata kamu gak pernah benar-benar pergi. Aku masih suka mikirin kamu, aku masih suka ngomongin kamu, dan gak sekali dua kali aku prioritasin kamu daripada Shin.” katanya dengan suara yang agak bergetar. Ia menatap dalam-dalam ke arah Osamu yang pupilnya melebar.
“I loved Shin, but I was also a bad boyfriend to her because,” Aran terdiam, ia menangkup pipi Osamu di antara telapaknya. “Because I also love you. All this time, and I was too dumb to realize. I always disguise my affection towards you as a brother looking out for his little sister, it’s like a pathetic excuse. Truth is, you’re so much more than that. You’re not just a friend, or sister, you’re the one that I always want—since I put that cheese ring on your finger when I was eleven.”
Air mata menggenang di pelupuk Osamu, gadis itu mengerjap, dan Aran seolah bisa melihat ribuan emosi yang menari-nari di manik keabuannya. “Kakak …?”
“Osamu, I love you. I love you so much and I’m sorry I didn’t realize it sooner.” Ia menempelkan kening keduanya, hela napas Osamu menerpa wajahnya, dan perutnya geli akan kupu-kupu yang berterbangan. “So, would you be mine—”
“Yes! Yes! Yes!” Osamu memotong perkataan Aran dengan kelewat antusias. Wajahnya yang basah akan air mata tampak berseri-seri, pipinya yang bulat memerah seperti delima matang, dan matanya ikut tersenyum layaknya bulan sabit.
Aran sontak terkekeh, “Samu, aku belum selesai ngomongnya, lho? Aku udah siapin speech buat nembak kamu!”
“Ugh, aku gak peduli! Pokoknya jawabanku iya! Iya! Iya!” katanya dengan riang. Tangannya pun ia kalungkan di sekitar leher Aran, lalu ia menarik kepala pria itu agar mendekat.
Bibir keduanya pun bertemu diiringi suara letupan kembang api yang meledak di langit malam. Setelah lebih dari satu dekade menginginkan satu sama lain tanpa bisa melakukan apa pun, tersesat dalam labirin perasaan yang memicu isak, keduanya resmi menjadi sepasang kekasih tepat ketika jarum jam berhenti di angka 12 dan Januari melengserkan Desember.
Para tamu, termasuk Osamu dan Atsumu, telah pamit pulang dan keadaan rumah kembali sepi. Aran tengah menaruh gelas kotor di tempat cuci piring ketika Ibunya berdiri di sampingnya sambil bersidekap. “Nak.” panggilnya.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu jadian, ya, sama Osamu? Mama dengar dari Kakakmu.”
Aran menghela napasnya lelah. “Ma, apa pun yang—”
Sebelum ia bisa melanjutkan sepatah dua patah kata, Ibunya sudah terlebih dahulu memotong perkataannya. “Nak, Mama gak menentang. Kalau kamu pikir dia yang terbaik buat kamu, ya, silahkan. Mama percaya sama pilihan kamu. Ini ‘kan hidupmu, Mama gak seharusnya mendikte kamu soal pasangan hidup.”
“But you don’t like her.”
“I like her as your friend, not your soon-to-be wife. Gimana pun juga Mama udah kenal sama dia dari kecil, tapi Mama masih skeptis soal gimana kalau dia jadi istrimu nanti. Tapi, Mama gak menentang, my judgment shouldn’t be affecting you in any way. Agree to disagree.” katanya. “Mama juga mau minta maaf karena udah ngomong jelek soal Osamu. I’d like to know her better, not as your friend, but as an in-law, if I may.”
Senyuman terpatri di wajah Aran, ia pun menarik Ibunya ke dalam dekapannya. “Mama, you’re gonna love her. I promise.”