“Kamu kenapa, sayang?”
Suara Daichi meniupkan kabut lamunan yang menyelimuti Hanamaki. Wanita itu, yang masih tersesat dalam amukan badai di pikirannya, perlahan mengangkat kepalanya yang tertunduk lemah, kemudian menoleh ke arah suaminya yang duduk di balik kemudi. Pria itu memandangnya lekat-lekat, seolah sedang berusaha menelanjangi kegelisahan yang bersemayam di hati istrinya. Jemarinya melingkupi setir dengan, sementara tangan satunya turun untuk menyentuh lutut Hanamaki dengan sentuhan yang hampir seperti bisikan, berusaha meredakan entah apa yang sedang mengacaukan pikiran Hanamaki.
“Hana? Kenapa diam aja?”
Hanamaki berkedip, dengan gugup ia melemparkan senyuman simpul ke arahnya. “Gak apa-apa, Mas. Tadi cuma ketemu … kenalan pas anterin Si Kakak beli spidol.”
“Oh, ya? Kenalan kamu yang mana?”
Yang aku harap jadi Ayahnya anakku. “Pas kuliah. Gak penting.” jawab Hanamaki sekenanya. Ia menepuk pelan punggung tangan Daichi yang masih bertengger di lututnya, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil, isyarat bahwa percakapan mereka telah ditutup dan ia kembali ke dalam mode jangan ganggu aku.
Perjalanan pulang ke rumah bagaikan sebuah siksaan batin yang tak berkesudahan. Dinding-dinding sempit mobil yang mengelilinginya seolah menghimpit tubuhnya hingga rongga dadanya terasa sesak. Suara Daichi dan anak mereka mengisi ruang kosong di udara, sementara Hanamaki berusah keras menahan tangis dan jeritan yang menggumpal di tenggorokannya.
“Bunda, bunda … bengong?” Anak perempuan berusia genap empat tahun itu menepuk pelan lengan Ibunya. Hanamaki sontak menoleh ke arah putrinya, mendapati kebingungan yang terlukis di wajahnya. “Bunda, gak mam?”
Malam itu ketiganya tengah berkumpul di meja makan untuk menyantap makan malam. Dentingan peralatan makan memantul di dinding, diiringi dengan suara tawa serta celotehan suami dan anaknya, sementara Hanamaki duduk diam sambil menatap kosong ke arah piringnya. Asap yang mengepul dari nasi dan lauk pauk tak lagi hadir, bahkan hingga hidangan tersebut berubah dingin, rasa lapar tak kunjung mampir ke perutnya.
“Ini Bunda mam kok, sayang.” Hanamaki mengelus lembut puncak kepala putrinya sambil melemparkan senyuman kecil. Ia pun menyendokkan sesuap nasi beserta ayam ke mulutny, kemudian menyantapnya di hadapan putrinya. “Tuh, ‘kan, Bunda makan.”
“Otai, Bunda. Mam yang banyak!”
“Iya, Nak, kamu juga habiskan makanannya. Ini sayurnya dimakan, dong.”
Hanamaki terus menyantap makanannya dengan setengah hati. Di sisi lain meja, Daichi terus memandanginya dengan menelisik. Rahangnya keras, namun, sorot matanya sendu. Ia meremas sendok hingga buku-buku harinya memutih, menahan hasratnya untuk menggenggam jemari Hanamaki yang bergetar. Seperti hari-hari lainnya, wanita itu terasa jauh—amat jauh—seolah ia memiliki dunia lain di dalam kepalanya dan Daichi tak pernah bisa menafsirkannya.
Issei bangkit perlahan dari atas ranjang, gerakannya hati-hati agar tak mengusik Koutaro yang terbaring di sisinya. Gadis itu tenggelam dalam lelap, napasnya teratur dengan bibir yang setengah terbuka. Sesekali dalam sela tidur nyenyaknya, terdengar dengkuran halus yang mengisi keheningan malam. Issei tak kuasa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya, bahkan kekehan pelan lolos dari belah bibirnya tanpa ia sadari.
Pria itu pun melangkah menuju dapur guna membuka sebotol anggur yang tersimpan di dalam kabinet. Jemarinya dengan bergetar berusaha memutar tutup botol anggur, gerakannya yang sembrono membuat beberapa tetes minuman berwarna merah pekat itu jatuh menuruni meja makan. Tanpa memusingkan kekacauan kecil yang ia sebabkan, Issei pun meraih sekotak rokok dan pemantik dari ruang tengah, lalu ia mengunci diri di dalam kamar mandi.
“Matsukawa?”
Suara Hanamaki yang menyapanya tadi sore saat keduanya bertemu di antara rak penuh dengan cat minyak dan kuas lukis kembali berputar di dalam kepalanya. Berulang-ulang layaknya sebuah radio rusak. Mengusik pikirannya, memacu jantungnya hingga berdetak lebih cepat, membuat keringat merembes dari pori-porinya, dan mengubah napasnya menjadi putus-putus.
“Matsukawa?”
Tubuhnya meringkuk di dalam bathtub yang dingin, sebotol anggur berada di tangannya, nyaris terlepas dari cengkeramannya yang lemah. Di bibirnya terjepit sebatang rokok, namun, upayanya untuk menyalakannya terhalang oleh getaran tak terkendali di jemarinya. Korek api di tangannya berulang kali gagal, tugas sesederhana menyalakan api kecil kini terasa seperti sebuah kemustahilan. Napasnya memendek, ia seolah berada di tengah laut dan air pasang perlahan menelan dirinya.
Dengan gerakan kasar penuh frustrasi, ia menghempaskan korek itu ke dinding, suaranya membentur keramik dengan dentingan yang tajam, memantul di ruang sepi kamar mandi. Rokok yang tak lagi diinginkannya ia lempar ke sisi lain bathtub.
“Matsukawa?”
“FUCK!” teriaknya, suaranya meledak dengan keras bagai letupan senjata api, menggema di ruang sempit yang menyaksikan kehancurannya. Getaran di tubuhnya semakin hebat, menyeretnya lebih dalam ke jurang kepanikan. Ada sesuatu yang berat, yang mencengkeram dadanya, seolah-olah udara pun bersekongkol untuk menghilang dari sekitarnya.
Ia meremas botol anggur dalam genggaman, dinginnya kaca terasa menusuk telapak tangannya yang berkeringat. Kepalanya menunduk, rambut basah menempel di wajah yang dipenuhi peluh dan luka batin. Sesaknya semakin menjadi, seperti luka lama yang terbuka kembali tanpa peringatan, membawa bayang-bayang yang selama ini ia coba lupakan. Segala yang pernah ia pendam kini menyeruak tanpa kendali—rasa takut, marah, rindu, duka.
“Issei, aku dijodohin sama Bapakku.”
“Hana, Hana, Hana.” Jantungnya bertalu dengan keras.
“Issei, aku gak bisa kabur sama kamu. Aku takut.”
“Hana, Hana, Hana.” Ia meneguk anggur langsung dari botolnya, namun, sebagian besarnya jatuh menetesi pakaiannya dan keramik bathtub.
“Issei, tolong, jangan ke rumahku! Nanti kamu diapa-apain sama Bapakku!”
“Hana, Hana, Hana.” Pandangannya mengabur. Air mata turun menuruni pelupuknya.
“Pak! Bapak berhenti pukulin Issei! Stop! Aku udah terima lamarannya, Bapak mau apa lagi?! Issei, please, pulang. Udah, udah, jangan lagi.”
“Hana …” Tangisnya pecah, menggaruk keheningan malam yang sendu. Isaknya menggema, merangkak di antara dinding-dinding dingin, sementara lukanya kembali menganga. Cairan merah pekat merayap di atas keramik, serpihan botol anggur berserak di sekitarnya—seperti hati yang dilemparkan ke lantai, hancur berkeping-keping dan terus mengucurkan darah.
Tubuh Hanamaki jatuh merosot di balik pintu kamar mandi. Lampu rumah telah dimatikan, suami dan anaknya tenggelam dalam lelap, dan ia kembali meringkuk ke dalam lubang kesengsaraannya. Wanita menangis dalam diam, isakan kecil sesekali lolos, namun, berhasil ditahan oleh telapak tangannya.
“Makki.”
Suara Issei yang memanggil namanya sore tadi kembali menghantui pikirannya. Menggoreskan belati di atas lukanya yang setengah kering, membuatnya kembali terbuka dan berdarah. Ia menenggelamkan kepalanya di antara lututnya, dadanya sesak dan kepalanya pening.
He called me Makki, like we’re strangers who just exchanged names.
“Makki.”
“I-Issei,” Ia berusaha mengatur kembali napasnya, namun, tangisnya malahs semakin menjadi.
“Makki, ayo kita lari. Kabur sama aku.”
Kalau aku bilang iya apa kita sekarang bahagia? Apa aku gak harus hidup dengan cita-cita mau mati setiap hari? Kalau aku bilang iya apa aku gak akan hidup di dalam peti mati selama tujuh tahun?
Tubuhnya terus meringkuk di atas keramik dingin kamar mandi hingga gema adzan subuh terdengar dan membelah kesunyian malam.