Kepala gadis itu terkulai lemas di bahunya yang melorot. Bibirnya mencebik menyerupai kerucut, sementara pandangannya kosong ke depan, ke arah dinding kamarnya yang dicat biru muda, seolah mencari jawaban di antara kekosongan yang ada. Ponselnya yang berkedip tanda notifikasi pesan masuk menyita perhatiannya, ia pun meraihnya dan menemukan pesan singkat yang dikirimkan oleh kekasihnya terpampang jelas di layar.
Bi, aku OTW ke tempatmu.
Tobio menghela napasnya, kemudian melempar ponselnya ke sisi lain ranjang tanpa repot-repot memberikan pesan balasan. Kesedihan yang bertransformasi menjadi amarah masih duduk memberatkan perutnya, membuatnya mual dan sesak. Entah mengapa, suara jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya, diikuti suara langkah kaki penghuni lain yang lalau-lalang di lorong. Terlalu berisik, terlalu menganggu, menyebabkan sebuah kekesalan baru tumbuh di dalam dirinya.
“Aarrgh!” Gadis itu menggeram kesal seraya melemparkan bantal di sisinya hingga menghantam dinding. Dadanya panas, sesuatu bergumul di dalamnya, dan kepalanya ditutupi oleh suatu kabut bernamakan emosi.
Orang-orang memanggilnya amarah, Tobio mengenalnya sebagai teman lama.
Hajime memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri ketika kembali mengingat pertikaiannya dengan Tobio kemarin. Berawal dari hal sesederhana bermain gim bersama berakhir menjadi gadis itu mogok bicara padanya. Kali ini, ia mengakui bahwa kesalahan ada di sisinya, tidak seharusnya ia melampiaskan kefrustrasiannya karena kalah saat bermain gim kepada Tobio, ketika gadis itu jelas-jelas masih tidak terbiasa dengan gimnya.
Pria itu meremas kemudi hingga buku-buku jarinya memutih, sesekali matanya melirik ke arah ponselnya yang berada di dashboard, menunggu pesan balasan yang tak kunjung datang. Ketika lampu merah hadir, rem diinjak, dan roda mobilnya berhenti bergerak, ia meraih ponselnya hanya untuk menemukan fakta bahwa Tobio telah membaca pesannya tanpa repot-repot mengetikan sebuah balasan.
Ponsel pun terlempar hingga menghantam kaca mobil, stir mobil dipukul sebanyak tiga kali, dan erangan frustrasi lolos dari bibirnya. Di atasnya lampu lalu lintas masih menyala merah, semerah amarah yang bergumul di dalam dadanya.
Tobio menarik knob pintu hingga terbuka, menampilkan sosok Hajime yang berdiri di baliknya. Pria itu berdiri di hadapannya sambil menenteng sebuah kantung plastik dengan logo bakery kegemaran Tobio, gadis itu tahu jelas apa isinya—donat kentang yang ditabur gula halus. Ekspresi wajah Hajime tampak kaku, rahangnya keras, dan keningnya berkerut. Di sisi lain, Tobio juga tidak menampilkan sedikit pun keramahan di wajahnya.
Tanpa mengatakan sepatah kata apa pun, Tobio menggeser tubuhnya dari pintu, sebuah isyarat bahwa ia memperbolehkan Hajime untuk masuk. Pria itu lantas melangkah memasuki kamar Tobio, sementara gadis itu melengos pergi dan membiarkan Hajime yang mengunci kembali pintu kamarnya.
“Bi, ini aku bawain donat gula.” kata Hajime, memecah keheningan di antara keduanya. Pria itu menaruh plastik berisikan donat di atas meja makan, pergerakannya luwes seolah ia memang merupakan residen permanen di sana.
Tobio mencuri pandang ke arah Hajime melalui sudut matanya, memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu dalam diam. “Iya, simpan aja di meja.” jawabnya singkat, nada suaranya terdengar sekenanya, meski ada sesuatu yang terselip di dalamnya—ketidaknyamanan, kesedihan, dan kekesalan yang ia coba untuk sembunyikan.
Gadis itu duduk di atas sofa dengan tubuh yang meringkuk layaknya janin, lengannya memeluk lututnya, dan kegugupan kecil tergambar dari caranya menggenggam remote televisi. Jemarinya bergerak tanpa arah, menekan tombol-tombol secara acak, beralih dari satu saluran ke saluran lain tanpa benar-benar peduli apa yang sedang ia cari. Apa pun rasanya lebih baik daripada menghadapi tatapan Hajime yang begitu tajam dan intens.
“Bi, ayo kita ngomong dulu soal yang kemarin.” Pria itu berjalan mendekati kekasihnya kemudian menjatuhkan dirinya ke atas sofa, duduk tepat di samping Tobio. Hajime menarik napas pelan, guna meredakan pergolakan batin yang membuncah di dadanya. “Bi, lihat aku dong.” katanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras, bermaksud untuk menarik perhatian gadis itu.
Namun, Tobio tidak menggubrisnya sama sekali. Pandangannya tetap terpaku pada layar televisi tanpa benar-benar menonton acara talkshow yang ditayangkan, jemarinya dengan kukuh menggenggam remote televisi, seakan-akan benda itu adalah jimat yang bisa menyelamatkannya dari percakapan yang tak ingin ia hadapi.
Hajime, dengan gerakan yang tiba-tiba dan sedikit kasar, merebut remote dari tangan Tobio. Laki-laki itu menekan tombol off hingga layar televisi berubah hitam, hanya menyisakan bayangan samar wajah keduanya di permukaannya. “Apa, sih, Kak?” Tobio akhirnya bersuara, meski nadanya terdengar enggan.
Hajime mendecak kecil, nada iritasi jelas kentara dalam napasnya yang pendek. Keningnya berkerut, mencerminkan frustrasi yang mulai tumbuh. “Aku ke sini biar kita ngobrol, Bi. Aku mau minta maaf. Tapi kamu perhatiin aku dong, jangan kayak gini.”
Hening sesaat menyelimuti mereka, hanya suara samar detik jam di dinding yang terdengar di antara ketegangan yang menggantung. Tobio akhirnya menyerah, mengembuskan napas panjang sebelum memutar tubuhnya untuk menghadap Hajime. Gerakannya kikuk dan enggan, tapi ketakutan juga tersirat di antaranya.
“Yaudah, cepat mau ngomong apa.” Perkataannya keluar dengan nada yang datar, ia menatap Hajime dengan sorot yang penuh kewaspadaan, seolah menerka-nerka apa yang akan keluar dari mulut pria itu.
Hajime menghela napas panjang, kedua tangannya terlipat di depan dada, otot lengannya bergerak karena pergerakannya dan Tobio harus mengalihkan wajahnya agar tidak bertingkah sesuai insting (menguburkan wajahnya di antara lengan Hajime). Ia menatap Tobio sejenak, mempelajari ekspresi gadis itu, sebelum akhirnya mulai angkat suara. “Bi, aku minta maaf banget soal yang kemarin. Gak seharusnya aku marahin kamu kayak gitu padahal kamu juga gak begitu paham game-nya.”
“Kalau aku gak marah, Kakak juga gak bakalan minta maaf, ‘kan?” Tobio berkata dengan sinis, matanya memicing dan bibirnya melengkung karena amarah. “Kayak biasanya kalau aku gak marah Kakak gak pernah minta maaf.”
Perkataan Tobio bak bensin yang disiram ke atas api kemarahan Hajime yang sejak tadi berusaha ia padamkan. Ekspresi wajah pria itu sontak menggelap, sebelah alisnya menukik naik dan tatapan matanya setajam belati. “Maksud kamu? Aku sering kok minta maaf kalau ada salah.” katanya membela diri. Sesuatu di dalam dirinya menggeliat dengan tidak terima begitu dituduh oleh kekasihnya.
“Oh, ya? Tapi jarang, ‘kan? Karena Kakak gak selalu merasa bersalah. Padahal kerjaan Kakak marahin aku terus.”
“Apaan, sih, Bi?” Hajime berkata dengan suara yang naik beberapa oktaf, sukses menyentak Tobio yang kini bangkit dari posisinya dan berjalan menuju sisi lain kamar indekosnya. “Eh, kalau lagi diajak ngomong tuh diam bukannya malah ngacir. Sini!”
Gadis itu memilih untuk menulikan dirinya dan menuangkan segelas air untuk diminum. “Aku haus mau minum.”
“Alah, alasan.”
Tobio menghantam gelas di genggamannya ke atas meja hingga suara memantul di dinding. “Alasan, apaan, sih?!” gertaknya. Ia berbalik menghadap Hajime, wajahnya merah karena emosi. “Kakak kalau mau ngomong ya lanjutin aja! Aku dengar, kok!”
“Di mana-mana kalau orang lagi ngomong tuh diperhatiin!” Hajime balas membentak. “Kayak gitu aja masa harus dikasih tahu?!”
Tangan Tobio terkepal di sisi tubuhnya, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menelan kembali segala macam kalimat sumpah serapah yang mengancam untuk keluar. “Tuh ‘kan marah-marah lagi! Selalu aja narik urat kalau ngomong sama aku! Kayak aku tuh bego, atau setiap hal yang aku lakuin tuh salah di mata Kakak makanya aku pantas buat dimarahin!”
Sebuah tawa getir keluar dari bibir Hajime, pria itu menggeleng seolah tidak percaya begitu mendengar perkataan Tobio. “Bi, aku datang ke sini baik-baik. Aku minta maaf tulus dan baik-baik, tapi kamu malah nuduh aku ABCD lah, terus gak dengarin aku juga! Ya, gimana orang gak marah?!”
“Aku gak nuduh. Aku ngomong fakta!”
“Aku marah, ya, pasti ada sebabnya lah!” Hajime kembali menyalak. “Gak sekali dua kali kelakuan kamu emang nyebelin.”
“Kakak yang nyebelin!” Tanpa bisa ia tahan, kalimatnya keluar sebagai sebuah teriakan lantang, diiringi lemparan boneka My Melody yang menghantam wajah Hajime dengan keras. Boneka itu melayang dengan cepat dan tanpa aba-aba, menyentak kaget pria itu hingga tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Napas Tobio berubah tersengal dan matanya seketika memanas karena air mata yang mengancam tumpah. “Lo yang nyebelin, Hajime! Gak pernah ngehargain gue! Selalu anggap gue anak kecil, anak tolol, anak bego! Ngerasa lo lebih segala-galanya dari gue padahal lo sama aja!”
Tobio menarik napasnya, sementara di sebrang ruangan Hajime memandangnya dengan mata yang membola kaget.
“Lo sama aja kayak gue, kayak anak kecil! Malah lo yang lebih kayak kecil! Suka marah tiba-tiba, nyalahin orang, dan sama sekali gak bisa dikasih tahu!” Gadis itu terus berujar dengan lantang. Suaranya memekik, sesuatu yang tidak pernah Hajime dengar dari Tobio sebelumnya. Gadis itu selalu berbicara dengan pelan, intonasinya cenderung datar, dan malu-malu. Hajime meneguk air liurnya kuat-kuat, merasa tidak mengenali kekasihnya sendiri.
Gadis itu terus berujar dengan lantang, nada suaranya tinggi hingga memenuhi setiap sudut ruangan. Suaranya memekik, sangat kontras dengan apa yang biasa Hajime dengar. Tobio, yang selama ini selalu berbicara dengan suara pelan, ditambah intonasinya yang datar dan malu-malu, kini meledak-ledak seperti api yang baru saja disiram minyak.
Hajime menatapnya dengan mata yang melebar, jantungnya berdetak tak karuan seiring dengan serangkaian kata yang terus meluncur dari bibir gadis itu. Ia menelan air liurnya dalam-dalam, rasanya sulit untuk memproses semuanya. Gadis di hadapannya ini—wajahnya, sosoknya, semua masih sama. Namun, suaranya, cara ia berbicara, aura yang memancar darinya, seolah-olah itu adalah orang lain yang tidak ia kenal.
“Kayak kemarin gue nyuruh lo buat unfollow mantan lo, eh, lo malah lebih milih buat uninstall aplikasinya! Itu namanya apa kalau bukan childish?! Dasar bego! Lo itu ngomong tapi gak ngaca! Lo marahin gue padahal lo yang salah!”
Hajime melangkah memutari sofa untuk menghampiri Tobio yang kini tubuhnya bergetar, wajah gadis itu merah dan matanya berair. “Bi, sayang—”
“Kenapa—ugh,” Isak perlahan keluar, dan air mata luruh membasahi pipinya. “Kenapa gue selalu kena marah? Kenapa lo suka banget marahin gue? Kenapa, Kak?! I did my best, I tried everything to satisfy you! Gue selalu iya-in semua yang lo mau, yang lo suruh, yang lo pinta, tapi akhirnya—ugh, hhh—akhirnya gue tetap kena marah! Tetap dikata-katain! Gue salahnya di mana?!” Lututnya menyerah menopang tubuhnya, membuat gadis itu terduduk di atas lantai dengan kepala yang tertunduk.
“Bio, gak gitu. Fuck. Maaf.”
“What should I do more, huh?! What?! Does my body not enough?! What do you need from me that you haven’t taken?! Gue—aku … aku harus apa biar Kakak bisa hargain aku sebagai pasangan?” Suaranya pecah di akhir, parau dan menghilang dengan menyedihkan. Napasnya putus-putus dan tangis terus keluar tanpa henti.
Hajime pun berlutut di hadapan Tobio, kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya. “Bi, udah, tenang. Tarik napas, ya, sayang? Udah.” Ia mengelus punggung Tobio dengan sayang, jantungnya bertalu dengan kencang, rasa takut menyelinap di dadanya, mengusik hatinya dengan perasaan tidak nyaman. Mungkin ketakutan karena ini pertama kalinya ia melihat Tobio seperti tadi, mungkin juga ketakutan akan ditinggal pergi oleh gadis itu.
Tobio memejamkan matanya, kepalanya terkulai lemas di ceruk leher Hajime. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma parfum dan aftershave yang menguar dari tubuh kekasihnya. Dekapan pria menenangkan, bagaikan kompres dingin di atas tubuhnya yang terbakar. “Bio, sayang, aku minta maaf. Aku gak pernah … aku gak pernah maksud buat nyakitin kamu kayak gitu. Aku minta maaf kalau gaya bicaraku terkesan keras, atau marah-marah ke kamu. Aku minta maaf.”
“Aku gak suka dimarahin … rasanya kayak gak disayang.” Tobio berkata dengan lirih. Suaranya kecil dan menyedihkan. Tubuhnya semakin meringkuk di dalam dekapan Hajime.
“Sayang, maaf. Maaf. Maaf.” Pria itu menghujani puncak kepala Tobio dengan kecupan, sementara telapaknya terus mengelus raganya yang bergetar. “Bio, maaf. Aku sayang banget sama kamu, I don’t want to fight.”
Gadis itu diam, bibirnya terkatup rapat, pandangannya kosong, kepalanya pening, dan kelopaknya seketika berat digantungi kantuk. Ia memejamkan mata, menikmati elusan Hajime di pundak dan punggungnya, sementara pikirannya melayang membayangkan donat gula yang berada di meja makan, ditemani dengan segelas susu hangat.
“Kakak, aku mau makan donat gula. Pakai susu.”