“Ambilin merica di kabinet atas dong.” pinta Issei sambil menunjuk ke arah kabinet tempat penyimpanan bumbu dapur yang hanya berjarak satu kepala darinya, yang mana berarti pria itu jelas-jelas dapat menjangkaunya. Matanya yang sayu memandang Wakatoshi dengan binar memohon, rambut ikalnya yang jatuh di atas pelipisnya tampak berkilauan di bawah temaram lampu, dan sesuatu dalam diri Wakatoshi ingin sekali melahap pria itu daripada makan malamnya.
“Kamu ‘kan bisa ambil sendiri, Issei.” kata Wakatoshi diiringi suara dengusan pelan, namun, ia tetap bangkit dari posisinya lalu menghampiri Issei untuk mengambil merica di dalam kabinet. “Itu tinggi 185 gak ada gunanya, hm?”
Issei mencebikkan bibirnya, matanya mendelik dengan sebal. “Aku maunya diambilin. Lagian, ‘kan tinggian kamu daripada aku.”
Wakatoshi pun menyerahkan sebotol merica ke arah Issei yang langsung diterima pria itu dengan senyuman yang terpatri di wajah tampannya. “Makasih, Mas.”
“Sama-sama, sayang.” ucap Wakatoshi sebelum menarik pinggang Issei untuk mendekat, membuat pinggul keduanya menempel satu sama lain. Mata Issei membola, ia sedikit mendongak agar pandangannya bertemu dengan milik Wakatoshi. “Kamu tuh manja banget. Semuanya harus dilayanin. Jadi apa kamu kalau gak ada aku?” Wakatoshi berkata dengan nada meledek. Telapaknya yang besar turun menyusuri punggung hingga berakhir di bokong Issei yang masih dilapisi celana piyamanya, kemudian ia meremasnya hingga Issei memekik kecil.
“Go eat your food, pervert.” omel Issei seraya berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Wakatoshi. Namun, ia seolah tidak menaruh tenaga dalam gerakannya, seakan-akan ia tidak benar-benar ingin meloloskan diri. “FYI, itu aku masak sendiri, lho.” Ia melirik ke arah meja makan di mana dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi disajikan. Asap masih mengepul di atasnya, aromanya semerbak memenuhi ruang makan.
“No wonder it tastes like shit, baby.”
“Hei!”
Pandangan mata Issei terus mengikuti pergerakan Wakatoshi yang mondar-mandir di dalam kamar mereka. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan sweatpants warna abu-abu yang mencetak kemaluannya dengan jelas. Rambutnya setengah basah karena sehabis mandi, dan semerbak wangi sabun beraroma lemon serta aftershave mengikutinya tiap kali ia bergerak.
“Mas ngapain?” Pertanyaan Issei membuat Wakatoshi menoleh sekilas ke arah kekasihnya yang kini tengah berbaring di tengah ranjang. Pria itu hanya mengenakan atasan piyamanya yang berwarna biru dengan motif tartan, sementara kaki jenjangnya telanjang tanpa ditutupi apa pun, membuat Wakatoshi dapat melihat keseluruhan tato di pangkal pahanya.
Issei menopang dagunya di bantal sambil memandangi Wakatoshi dari balik bulu matanya yang membentuk bayangan di bawah temaram lampu kamar yang remang-remang, jatuh di atas pipinya yang tinggi dan sedikit memerah akibat wiski.
“Cari kondom.” jawabnya seraya membuka laci nakas dengan serampangan. “Perasaan aku taruh di sini.” Wakatoshi mengusak rambutnya dengan jemarinya sambil terus menggeledah isi laci nakas, mencari sekotak kondom yang ia ingat jelas letakan di sana beberapa hari lalu.
Issei merenggangkan tubuhnya—seperti kucing ketika meminta untuk dielus—diiringi suara, “mmhh.” yang seharusnya tidak keluar dari mulut pria berusia 29 tahun dengan tato yang memenuhi tubuhnya. Gelagatnya kenes dan manja, sengaja agar menarik perhatian Wakatoshi—cari muka, cari perhatian, cari afeksi. “Buat apa? Gak usah pakai aja.” celetuknya dengan enteng. Ia menyunggingkan sebuah seringaian yang membuat perut Wakatoshi bergejolak. Matanya mengerling dengan nakal, dan Wakatoshi sangat ingin menampar wajahnya yang congkak dan genit itu.
“Safe sex, babe.”
“We only sleep with each other! Aku udah dites, Mas juga udah dites. We’re both clean.” katanya dengan bola mata yang diputar malas, lagi-lagi membuat Wakatoshi ingin sekali menjejalkan penisnya ke dalam mulut Issei agar pria itu berhenti bertingkah menyebalkan. “Ayo, Mas.” Kali ini ia berkata dengan setengah memaksa, tangannya terulur untuk menarik Wakatoshi mendekat, meminta pria itu untuk bergabung dengannya di ranjang.
Wakatoshi mendecak sebal, namun, pada akhir ia menutup laci nakas dengan kakinya sebelum memposisikan tubuhnya di atas Issei. Salah satu telapak tangannya menarik kedua pergelangan Issei lalu menahannya di atas kepalanya di mana rambut ikalnya jatuh membentuk halo. Ia melingkarkan jemarinya di pergelangan tangan kekasihnya yang menyilang, menekan tubuh Issei, dan menahan pergerakannya. Lututnya menyusup masuk di antara kaki Issei, membuat kedua pahanya terbuka untuk memberi ruang bagi Wakatoshi.
“Semau itu kamu dientot langsung gak pakai apa-apa, hm? You want me to fuck your slutty greedy hole raw?” Ia bertanya dengan penekanan di tiap kalimatnya. Baritonnya keluar tepat di telinga Issei, membuat laki-laki yang terbaring di bawahnya sontak merinding dan kepalanya berputar. Issei menggigit bibi bawahnya begitu merasakan kejantanannya ditekan oleh lutut Wakatoshi yang masih berada di antara kakinya.
“Jawab. Belum dikasih kontol kok udah bego aja?” Lagi-lagi, Wakatoshi berkata dengan nada mencemooh.
Issei mengerjapkan matanya, kelopaknya yang setengah sayu terbuka untuk mempelajari lekuk wajah Wakatoshi dari dekat. Pria itu tampan, teramat tampan, rahangnya tegas, matanya setajam elang, dan bibirnya yang penuh hanya berjarak beberapa senti dari milik Issei. Sontak, Issei pun memajukan wajahnya, mengejar sebuah ciuman yang ia inginkan, namun, Wakatoshi justru menarik wajahnya menjauh dan mengeraskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Issei.
“Massss,” Issei merengek, bibirnya melengkung ke bawah. “Kiss, please.”
“No kiss for a brat who didn’t even answer my question.”
Wakatoshi itu kejam kalau di ranjang, terkadang perkataannya membuat Issei bingung antara ingin meminta lebih karena nafsu atau menangis karena direndahkan.
“Yes, please, fuck me raw.”
Mendengar jawaban Issei, senyuman puas pun tersungging di bibirnya. Ia menundukkan kepalanya lalu menghujani wajah Issei dengan kecupan-kecupan basah yang membuat Issei tekikik geli. Bibirnya turun dari pipi ke leher, hidung mancungnya menggelitik perpotongan leher Issei selagi menghirup aroma sabun mandi yang menguar dari kulit sensitifnya. Lidahnya pun keluar menjilat tato deretan angka yang berbaris dari belakang telinga hingga leher, memancing desahan samar yang lolos dari bibir Issei.
Tangannya di belenggu oleh cengkeraman Wakatoshi membuatnya tidak bisa melakukan apa pun selain mendesah dan pasrah di bawah kukungan pria itu. Issei tidak pernah merasa sekecil ini di hadapan siapa pun, biasanya ia selalu memegang kendali saat di ranjang, dan jemarinya terbiasa menyentuh lekukan tubuh bak gitar spanyol, bukannya deretan otot keras yang legit dan maskulin.
“Nghh, Mas,” Issei memiringkan kepalanya ke samping, memberi ruang lebih bagi Wakatoshi untuk membubuhi lehernya dengan ciuman-ciuman penuh afeksi. “Cium lagi. Yang banyak.”
“What a demanding baby I have.” kata Wakatoshi dengan wajah yang masih terbenam di ceruk leher jenjang kekasihnya. Issei bisa merasakan senyuman Wakatoshi di kulitnya, dan perutnya sontak terasa geli karena afeksi yang membuncah, ditambah celananya terasa ketat karena penisnya yang mengeras. “Suck me, baby?”
Issei berkedip dengan cepat untuk mengusir nafsu yang mengaburkan pandangannya sebelum menjawab. “Hm?”
“Isep aku dulu baru aku entot kamu.” Wakatoshi menggunakan tangannya yang menganggur untuk menyibak poni ikal Issei agar menutupi dahinya. Pandangannya melembut ketika bertemu dengan milik Issei.
Anggukan diterima Wakatoshi, dan beberapa detik setelahnya Issei berakhir di kaki ranjang dengan mulut yang tersumpal penis.
Sebelum bersama Wakatoshi, Issei tidak pernah menghisap penis. Ia selalu menjadi pihak yang dihisap oleh jejeran kekasih wanitanya, mengangkang di hadapan mereka sementara penisnya dipijat di dalam mulut hangat seorang perempuan cantik jelita. Namun, kini ia berada di antara paha seorang pria dan mulutnya diisi oleh batang tegas nan keras sementara rambutnya dijambak pelan oleh jemari kekasihnya — mengarahkan kepalanya untuk maju-mundur sesuai ritme yang Wakatoshi inginkan.
Issei memejamkan matanya sambil berusaha mengatur napasnya agar tidak tersedak ketika kepala penis Wakatoshi yang menyerupai jamur berkali-kali menabrak pangkal lidahnya. Rasa khas cairan pra-ejakulasi yang pada awalnya membuat Issei mengernyit jijik kini memenuhi mulutnya, dan ia menemukan dirinya menginginkan lebih. Di atasnya, Wakatoshi memejamkan matanya dengan kepala yang mengadah ke langit-langit kamar.
“Aaahhh, sayang. Lebih dalem lagi bisa?” Wakatoshi bertanya, namun, Issei tahu hal tersebut hanyalah sebuah basa-basi belaka, karena ia akan tetap melesakkan penisnya lebih dalam walaupun Issei menggelengkan kepalanya. “Enak banget mulut kamu, sayangku. Emang harusnya kamu kayak gini, di bawah kaki orang lain, ngisep kontol orang lain, kontol laki. Bukannya diisepin sama cewek.” Wakatoshi menundukkan pandangannya, menemui milik manik gelap Issei yang tergenang air mata. “‘Cause you look prettier stuffed full of cock. My cock.”
“Mmmhh.” Issei merespons perkataan Wakatoshi dengan sebuah gumaman yang tidak koheren akibat mulutnya yang tersumpal penuh. Gumamannya mengirimkan getaran nikmat di sepanjang batang penis Wakatoshi, membuat pria itu menggeram rendah dan semakin semena-mena memaju mundurkan kepala Issei hingga empunya meremas paha Wakatoshi yang terbuka lebar.
“Fuck, baby.” Jemarinya kali ini benar-benar menjambak rambut ikal kekasihnya, mencengkeram tiap helainya di antara jemarinya. “Aaahh, sshhh, enak dientot mulutnya pakai kontol?”
Bagaikan orang dungu, Issei hanya bisa mengangguk. Bibirnya terasa kelu menutupi giginya agar tidak menggores kulit penis Wakatoshi, lidahnya memutari urat yang menjalar di batangnya, tangannya mengurut bagian yang tidak bisa ia masukkan, dan liur turun menuruni rahangnya.
“Udah pinter sekarang kamu ngisepnya, sayang.” Pujian Wakatoshi berefek langsung pada bagian bawahnya yang membentuk tenda di balik briefs yang dikenakannya. Penisnya sendiri berkedut dan kepalanya terasa lengket menempel pada kain celana dalamnya akibat caira pra-ejakulasi yang dihasilkannya. “Dulu kamu kayak tolol sampai keselek dan—nghh—gigit kontolku. Sekarang sayangku udah pinter, ya? Udah jago, udah—ahhh anjing—tahu kalau kodratnya emang buat dientot.”
Gerakan Wakatoshi makin serampangan dan tidak beritme. Napas Issei berubah putus-putus dan air mata turun menuruni pipinya yang bersemu. Kulit kepalanya terasa nyeri akibat jambakan Wakatoshi, namun, ia tidak bisa melakukan apa pun selain menerima tiap perlakuan Wakatoshi yang kasar dan memabukkan. “Nghh, ggrk—ghok! Nghh!”
“Aku mau keluar—a-anjing! Aaarghh!” Wakatoshi menghentakkan pinggulnya dengan kencang, menabrakan penisnya di dalam tenggorokan Issei yang berkontraksi, memijat kejantannya dengan nikmat yang tiada tara. Ia pun menembakkan maninya di dalam mulut Issei, melukiskan putih dinding-dindingnya, dan Issei menelan tiap tetesnya dengan rakus layaknya wiski favoritnya.
Setelah turun dari klimaksnya, Wakatoshi pun menarik keluar penisnya dengan perlahan. Matanya dengan nafsu memandangi wajah Issei yang semerah delima matang, bibirnya mengkilap dan terbuka, pupil matanya yang membesar balas menatap Wakatoshi dari balik bulu matanya yang basah. “M-mas,” Issei memangilnya dengan suara yang serak dan parau. Jemarinya naik berusaha menggapai Wakatoshi.
“Oh, baby. My baby. Come here.” Wakatoshi menggenggam jemari Issei, kemudian menarik pria itu untuk bangkit dari posisinya. Ia berdiri dengan kakinya yang bergetar juga lutut yang memerah karena terlalu lama bertumpu di lantai marmer yang dingin. Wakatoshi merengkuh pinggang ramping Issei, menuntunnya untuk duduk di atas pangkuannya.
Issei lantas mengalungkan lengannya di leher Wakatoshi. “Gimana? Did I do a good job?”
His baby, always fishing for compliments, validations, and praises. “Yes, baby. What a good boy you are.”
“What’s my reward then, Mas?”
Sebuah kecupan mendarat di pipi Issei yang masih basah akan jejak air mata. “Lie down, baby. Let me see that ass of yours, I’m going to eat you out.” ucapnya, disertai tamparan keras di salah satu pipi bokong Issei yang membuatnya memekik karena terkejut.
Wakatoshi menjilat bibirnya begitu melihat pemandangan di hadapannya. Issei menungging dengan bokong yang mengarah kepadanya, memperlihatkan lubangnya yang berkerut dan seolah memohon untuk dijamah. Punggungnya melengkung dengan cantik bak kucing yang sedang menggeliat, tato di sepanjang tulang punggung hingga ekornya menambah kesan indah yang membuat Wakatoshi mengecupi tiap jengkal kulitnya.
“Mmhh, Mas.”
“Sabar, sayang.” Wakatoshi membubuhi punggung Issei dengan ciuman seringan kapas. Bibirnya turun menyusuri kulitnya hingga ke pangkal bokongnya. Ia membelah kedua pipi bokong Issei dengan jemarinya, sebelum membenamkan wajahnya di antaranya. Lidahnya menjilati pria itu mulai dari skotrum hingga ke analnya, ia menjentikkan lidahnya di lubang Issei yang berkerut, sementara tangannya yang menganggur memijat batang penis Issei yang mengeras.
Issei menguburkan wajahnya di antara bantal dan selimut, matanya terkatup rapat, sementara bagian bawahnya terus dicumbu oleh Wakatoshi sampai-sampai suara kecipak yang vulgar memenuhi seisi ruangan. “Aaahh, Mas! Nghh.” Issei meremas sprei di bawahnya hingga buku-buku jemarinya memutih ketika Wakatoshi melesakkan lidahnya ke dalam, selagi jemarinya sibuk meremas testisnya yang menggantung dengan berat dan penuh.
Kepalanya seolah berputar ketika jari tengah Wakatoshi yang dibaluri cairan pelumas ikut masuk menemani lidah pria itu. Ia sontak mengetatkan otot analnya secara refleks, yang mana membuat telapak besar milik Wakatoshi mendarat sebuah tamparan di salah satu pipi bokongnya. “Aw! Sshh, Mas!” Issei merengsek dengan manja. Ia menolehkan kepalanya ke balakang, mengirimkan delikan sebal ke arah Wakatoshi dari balik bahunya. “Sakit, tahu.”
“Sorry, baby. You’re just … so cute. So hot.” katanya, sebelum kembali melanjutkan menjilati tiap inci lubangnya Issei yang berkedut di bawah atensi pria itu. Jari Wakatoshi juga semakin gencar keluar masuk dan mengincar prostatnya, menggaruk dindingnya dengan kuku yang tumpul, dan membuat Issei terus meloloskan desahan genit dari bibirnya.
Issei tidak tahu berapa lama ia menungging hingga pahanya berubah kram, ia bahkan tidak menyadari kalau Wakatoshi kini telah membenamkan tiga jarinya di dalam lubangnya akibag nikmat yang memabukkan kepalanya. Rasa perih yang juga hadir justru semakin membuatnya bernafsu, namun, tiap kali putihnya dekat, Wakatoshi selalu menghentikan stimulusnya di prostat Issei.
“Masss, aku mau keluar, please.”
“Kamu cuma boleh keluar pakai kontolku.”
“Gak mau!” Issei menaikkan nada bicaranya, rengekannya memantul di dinding dan Wakatoshi mengernyit dibuatnya. “You said you want to give me my reward! Let me—”
PLAK!
“A-AAH! Fuck!” Ucapan Issei terpotong akibat tamparan keras di bokongnya. Lebih keras dari sebelumnya, lebih kasar, lebih kejam. Kulitnya terasa langsung terbakar, membuatnya merintih dan kembali menguburkan wajahnya di atas bantal.
“Shut it, brat.” Wakatoshi menindih tubuh Issei di bawahnya, menekan bokongnya untuk turun, sementara jarinya masih keluar-masuk di dalam lubang Issei. “Diam. Gak usah banyak omong.”
“I-I’m sorry.” Issei merintih di bawah kukungan Wakatoshi, suaranya keluar dengan takut-takit.
“I know, baby, I know.” ucap Wakatoshi menenangkan selagi mencumbui tengkuk Issei yang basah akan keringat. “Do you want my cock now?”
Issei mengangguk kelewat antusias, menyebabkan Wakatoshi terkekeh pelan. “Oke, sayang. Come face me, I want to see your pretty face.”
Issei mengernyitkan keningnya sambil menggigit bibirnya guna menahan lolongan keras ketika penis Wakatoshi perlahan melesak masuk. Perih dan nyeri menyapa tubuhnya, namun, ia berusaha untuk menahannya karena tahu sensasi nikmat akan ia dapatkan ketika tubuhnya sudah terbiasa. Di atasnya, Wakatoshi mengerang rendah akibat sensasi ketat dan hangat yang melingkupi kejantanannya. “Haahh, sayang, enak banget lubangmu.”
“Mmhh,” Issei membuka matanya, lalu menunduk guna melihat persatuan tubuhnya dan Wakatoshi. “M-mas, peluk.”
Merasa gemas, Wakatoshi pun merengkuh tubuh Issei, menarik pria itu ke dalam dekapannya. Pinggulnya dengan perlahan terus melesakkan tiap inci penisnya, penuh dengan kehati-hatian, takut kalau gerakannya membuat Issei kesakitan. Selama beberapa menit, keduanya terjebak dalam hening. Keseluruhan penis Wakatoshi telah berada di dalam lubang Issei, namun, ia berusaha keras untuk menahan instingnya untuk bergerak supaya memberikan waktu bagi Issei agar terbiasa dengan ukurannya.
Wakatoshi terus mengecupi tiap jengkal wajah Issei, mulai dari pelipisny, kelopak matanya, pipinya, ujung hidungnya, hingga bibirnya yang setengah terbuka. Sementara itu telapaknya mengelus dada Issei yang dilukisi beberapa tato, jarinya memelintir putingnya yang mencuat, membuat Issei melenguh pelan dan secara refleks mengetatkan lubangnya. “Boleh gerak gak, sayang?”
“Boleh, Mas.”
“Fuck, I’m going to devour you tonight.” Wakatoshi melepaskan rengkuhannya, kemudian bangkit dan duduk dengan bertumpu pada lututnya. Ia menarik pinggul Issei agar sedikit lebih naik, lalu meremas pinggul laki-laki itu hingga meninggalkan bekas berbentuk sabit di kulitnya. “Pegang tanganku, sayang. Mas mau gerak.”
Kepala ranjang menghantam dinding dan kaki-kakinya berderit di atas lantai. Wakatoshi mengernyitkan keningnya, sesekali geraman lolos dari bibirnya, napasnya memburu, dan keringat membanjiri tubuhnya. Pandangannya yang setajam elang terfokus pada persatuan tubuhnya dan Issei, bagaimana kejantanannya keluar-masuk di dalam lubang hangat pria berambut ikal itu—yang kini tengah mengangkang di hadapannya. Wakatoshi terus menggerakan pinggulnya secara serampangan, sementara telapak tangannya menelusuri pangkal paha Issei yang dihiasi tato.
“Nggh! A-aahh, fuck. Fuck!” Issei itu berisik sekali kalau di ranjang, suaranya memantul di dinding dengan vulgar. Kepalanya terlempar ke belakang dan bola matanya berbalik di tempurungnya hingga hanya menyisakan putih. Penisnya yang mengacung tegak ikut bergoyang tiap tubuhnya dihentak keras oleh Wakatoshi.
“Look at you, baby. Kamu itu harusnya dientot, bukan ngentotin orang.” Ia menghentakkan pinggulnya, menghantam prostat Issei hingga ia menjerit. “You’re a brat, and a brat is meant to be fucked stupid.” Wakatoshi pun membalikkan tubuh Issei sampai kembali ke posisi menungging, ia melakukannya tanpa kesulitan, seolah Issei sama sekali tidak berat baginya. “Dikasih kontol langsung jadi bego. Padahal biasanya kamu yang sok ngentotin orang, tapi lihat sekarang, nungging kayak lonte.”
PLAK!
Tamparan lainnya mendarat di pipi bokong Issei yang bergoyang tiap bertemu dengan pelvis milik Wakatoshi. Suara kulit yang beradu mengisi udara di ruangan temaram tersebut, membuat Issei makin mendesah dibuatnya. Kepala penis Wakatoshi dengan konstan menghantam prostatnya, mengirimkan sensasi seperti tersengat listrik yang membuat otak Issei seolah malfungsi. “Mas … aaahhh! Mas Toshi.”
“Hm? Kenapa, sayang?”
“Mau keluar, please.” Issei merengek manja, suaranya parau seolah ia berada sejengkal dari tangis.
Wakatoshi tidak menggubris perkataan Issei, namun, ia mempercepat ritme gerakannya selagi mengurut penis Issei yang semula ia abaikan. Pria di bawahnya pun memekik, kemudian ikut menggerakan pinggulnya, berusaha menyesuaikan gerakannya dengan milik Wakatoshi. “F-fuck, Mas. Toshi, Toshi, Toshi!” Suata Toshi keluar dari bibirnya bagaikan rangkaian doa sebelum putihnya datang dan bergulung tanpa henti.
“Bareng, sayangku. Sayangnya Mas.”
Wakatoshi ikut menggeram begitu merasakan lubang Issei meremas kejantannya lebih ketat dari sebelumnya, memaksanya untuk memuntahkan mani di dalam tubuh Issei yang bergetar akibag klimaks. Wakatoshi mendesah kencang sambil terus menggerakan pinggulnya untuk mengejae tiap tetes kenikmatan orgasmenya. Issei meringis begitu pinggang dan lengannya dicengkeram tanpa ampun dari belakang. “Ughh, Mas.”
“Ssshh, maaf, sayang.” Ia mengecupi pergelangan tangan Issei yang memerah sebelum mengeluarkan penisnya dan menonton bagaimana cairan maninya menetes keluar dari lubang pria itu yang menganga.
Issei menutup matanya, membiarkan kantuk merajai tubuhnya yang kelu dan lelah, karena ia tahu, Wakatoshi akan membersihkannya tanpa harus dipinta. Napasnya berubah teratur, dan hal terakhir yang ia dengar sebelum kantuk menyita tubuhnya adalah kalimat “I love you.” dari kekasihnya.