I don’t believe in God
But I believe that you’re my saviour
Your mom said that she’s worried, but you’re covered in this favour
And when we’re getting dirty, you forget all that is wrong
Hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, dan prosesi wisuda tiba-tiba hadir di hadapan Kiyoomi. Ia memandangi dirinya di hadapan cermin, mengenakan setelan resmi yang dilapisi baju toga. Seharusnya hari ini adalah hari bahagianya, perjuangan empat tahunnya di bangku kuliah berhasil ia petik dengan nilai memuaskan dan gelar cumlaude, tapi rasanya Kiyoomi hanya ingin mati. Ingin dikubur di liang lahat yang menganga, di dalam peti mati bernamakan duka, karena mungkin ia bisa kembali merasakan ketenangan.
Nama Atsumu tidak pernah lagi hadir di daftar panggilannya, di kolom pesan pribadi TikTok di mana ia biasa menerima video lucu kucing yang mengingatkannya pada Kiyoomi, maupun di aplikasi pesan singkat di mana ia biasa mengirimkan ‘I love you, Omi.’ di setiap gelembung obrolannya. Atsumu hilang dari kehidupannya, pergi tanpa jejak seraya membawa keseluruhan jiwa Kiyoomi yang ia renggut tanpa izin.
Hari itu hari wisudanya dan Kiyoomi menghabiskan waktunya di toilet kampus, menangis dalam diam, mendengarkan rektor memanggil nama tiap wisudawan yang menggema lewat mikrofon. Ia menyalakan keran air, membiarkan suara air yang mengucur meredam tangisnya juga nama ‘Atsumu Miya’ yang dipanggil untuk naik ke atas podium.
Atsumu did a good job. His lover did a good job. I love you, I’m sorry. I love you, live for me, forget about me. I love you, I’m sorry.
“Kiyo, kamu kemana aja? Wisudamu sendiri, kamu malah kabur-kaburan.”
Begitu ia keluar dari toilet, Ibunya langsung menghantamnya dengan omelan. Wajahnya yang dihiasi riasan tipis merengut, matanya mendelik tajam ke arah Kiyoomi, dan Kiyoomi hanya membungkukkan tubuhnya sebagai permintaan maaf. Wanita itu menghela napasnya lelah, “Kamu ini pasti habis nangis ‘kan di toilet? Cowok kok nangis.”
“Iya, Mi, maaf.”
Kiyoomi rasanya ingin sekali menghentikan obrolan mereka, pergi dari hadapan Ibunya dan berbaur dengan kerumunan di aula. Namun, wanita itu malah menarik pelan ujung baju toga yang ia kenakan, menghentikan langkahnya. “Mami mau ngomong sama kamu.” ucapnya, suaranya terdengar lirih dan raut wajahnya yang biasanya tegas berubah lemas seakan menahan tangis.
Kiyoomi mendengus, menepis pelan lengan Ibunya. “Ngomong apa lagi, Mi? Mau diomongin kayak gimana pun juga Mami gak akan ngerti gimana perasaan aku.”
“Kiyo –”
“Aku udah nurutin kemauan Mami dan Papi. Nurut buat dijodohin, buat jadi ‘normal’ lagi.”
“Iya, Mami tahu. Tapi –”
Entah kenapa, tiba-tiba saja amarah hadir dalam dirinya begitu ia melihat raut kesedihan di wajah Ibunya, seakan wanita itu tiba-tiba merasa kasihan padanya setelah berbulan-bulan mengutuk dan mencacinya, seakan-akan Ibunya itu menyayanginya. “Mami gak akan tahu gimana rasanya jadi aku jadi gak usah lah ada omongan lagi soal ini!”
“Mami tahu persis gimana rasanya jadi kamu!” Wanita itu tiba-tiba berteriak. Suaranya yang lantang menggema di lorong kampus yang sepi, menghentak Kiyoomi dan membuatnya mematung. Ibunya jatuh bersimpuh di atas lantai, wajahnya tenggelam di kedua telapaknya yang bergetar, suara tangisan pelan lolos dari kedua belah bibirnya yang dipoles lipstik. Kiyoomi tertegun melihat Ibunya runtuh di hadapannya, seolah keberanian yang selalu ia tunjukkan hanyalah pura-pura. Seolah selama ini ia mengenakan topeng, dan kini topeng itu retak, memperlihatkan diri aslinya yang rapuh.
“Mami?”
“Kiyoomi… Mami itu kayak kamu. Dulu Mami pernah mencintai seorang perempuan. Saat Mami masih muda sepertimu,” isaknya. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya membuat jantung Kiyoomi seakan berhenti berdetak. Wanita itu mengangkat kepalanya, mata yang berlinang air mata bertemu dengan milik Kiyoomi. “Mami masih cinta sama dia sampai hari ini. Masih. Jadi, Mami tahu gimana perasaanmu, tahu bagaimana agama dipaksakan kepadamu, bagaimana agama dijadikan bagai hukuman, bagaimana orang tua Mami sendiri, kakek-nenekmu, menghukum Mami seolah mereka menyalibku.”
Semua informasi yang membanjiri pikirannya membuat kepala Kiyoomi berdenyut keras. Tubuhnya bersandar lemah ke dinding, lalu ikut merosot jatuh seperti Ibunya. “Mami jangan bercanda… nggak lucu.”
“Mami nggak bercanda!” Suara Ibunya pecah di antara isak tangis, air mata terus mengalir deras, menorehkan jejak di wajahnya, menggusur riasan yang sebelumnya rapi. “Mami nikah sama Papimu itu juga karena dijodohin! Supaya Mami bisa ‘normal’ lagi!”
“Terus kenapa Mami malah lakuin hal yang sama ke aku!?”
“I don’t know what to do!” Ia terus meracau di antara isakannya yang kian lantang. Jemarinya yang keriput menarik helain rambutnya yang disasak tinggi, bibirnya bergetar tiap kali kalimat ‘Mami gak tahu harus apa’ dan ‘Maafin Mami’ keluar berulang-ulang layaknya kaset rusak. Melihatnya, Kiyoomi bisa merasakan bagaimana matanya yang sembab kembali memanas dan bulir air mata mulai menuruni wajahnya.
“Kiyo, Mami cinta sekali sama perempuan itu, teman SMA Mami. Cinta sekali rasanya seperti mau mati tiap kali Mami harus pergi ibadah. Cinta sekali rasanya Mami mau kabur dari rumah, kabur dari agama sendiri. Cinta sekali tapi Mami pengecut, Mami takut, gak sanggup kalau harus menentang keluarga dan Tuhan.” Suaranya keluar dengan tersengal, sosok di hadapannya seperti bukan seorang ibu yang Kiyoomi kenal selama hidupnya, melainkan seorang perempuan yang mengenakan seragam SMA dan menangis karena patah hati. “Kiyo, anakku, maafin Mami. Mami gak tahu harus apa … I turned into someone I hate the most. My parents.”
“M-mi …”
Dengan tiba-tiba, wanita itu bangkit dan menyeka kasar wajahnya yang basah akan air mata. Ia memandang Kiyoomi lekat-lekat, “Kiyo, kamu lanjut studimu ke luar, ya? Pergi jauh-jauh dari sini. Cari kerja di sana, sukses di sana, ubah kewarganegaraan, apa pun itu. Run and don’t ever look back. I don’t want you to grow old like me, pathetic, a hypocrite, a coward, and full of regrets. Chase your own happiness. Run from us, don’t ever look back. Run and chase someone you truly love. I’m so sorry for what I did to you. Kiyo, I love you, I’m sorry.”
Ia bangkit di atas tungkainya yang gemetar lalu menenggelamkan tubuhnya ke dalam pelukan ibunya. “Mami … what about the sin?”
Wanita itu menangkup wajahnya di telapaknya yang dingin dan rapuh, ia memandang Kiyoomi dengan sayang dan menyatukan dahi mereka. “God is a forgiving being, isn’t he?” Senyuman terukir di wajahnya yang mulai dimakan usia. Napas Kiyoomi tercekat di tenggorokannya, “I love you.”
“Kiyo, anakku sayang, Mami juga sayang sama kamu. I love you too much and I would hate to see you end up like me. Run but don’t forget about me? Keep me in your prayers? Tell about me to your kids? To your lover … Atsumu, isn’t it? That’s his name, right?” katanya sambil terus melempar senyuman sendu yang rasanya mengiris hati Kiyoomi menjadi jutaan bagian. “Tell him that you have loving mother and a forgiving God.”