2015.
“Emang boleh kita ke sini? Kamu udah bilang Ibumu?” Hanamaki bertanya sambil melirik takut-takut ke sekelilingnya. Matahari perlahan terbenam di ufuk barat dan bulan tampak bersiap untuk duduk di atas singgahsana langit ditemani taburan bintang yang berpendar samar. Suara debur ombak yang bergulung terdengar di kejauhan, mencium bibir pantai dan membasahi pasir. Angin malam menyapu kulit Hanamaki yang hanya dibalut kaus tipis dan celana pendek, namun, genggaman tangan Issei mengalirkan kehangatan yang menggelitik perutnya.
Laki-laki dengan rambut agak ikal itu menoleh, tatapannya sama hangatnya dengan telapaknya yang menyelimuti jemari Hanamaki. “Boleh, ini properti keluargaku.” jawabnya santai seraya merogoh saku celananya untuk mencari kunci. “Tapi, aku gak bilang ke Biyang, sih.”
Bibir Hanamaki sontak mengecurut, tatapannya mendelik sebal ke arah kekasihnya. “Nanti pasti dia marah kalau ketahuan.”
“Ya, makanya jangan sampai ketahuan.” Lagi-lagi lelaki itu menjawab dengan santai dan sekenanya. Ia pun merogoh saku celananya guna mencari kunci untuk membuka gembok pagar tanpa sekali pun melepaskan genggaman tangannya pada jemari Hanamaki. Gadis itu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memanas, menatap kakinya yang beralaskan sandal jepit, dan berusaha keras mengabaikan bagaimana rona merah pasti sudah sepenuhnya hadir di wajahnya.
Bunyi klik tanda gembok terbuka pun menarik atensinya, gadis itu lalu melangkah mengikuti Issei memasuki area rumah. “Ini biasanya disewain buat turis, tapi karena lagi kosong jadi gak apa-apa kalau kita pakai.” kata Issei yang kini tengah memutar kunci pintu masuk.
“Gak apa-apa kata kamu.” Hanamaki mencibir. “Kata Ibu gimana?”
“Gak apa-apa karena dia gak tahu.” Issei melemparkan sebuah senyuman kecil yang berubah menjadi kecupan seringan kapas di pipi sebelum mendorong pelan tubuh Hanamaki ke dalam rumah.
Lagu Can’t Take My Eyes Off You milik Frankie Valli melantun di seisi rumah lewat gramaphone yang terletak di ruang keluarga. Cahaya yang berpendar lewat lampu gantung di atas langit-langit menyirami tubuh Issei dan Hanamaki dengan warna oranye. Keduanya menari sesuai dengan irama lagu yang mengalun, sesekali tawa kecil lolos dari belah bibir Hanamaki begitu melihat betapa konyolnya gerak tarian kekasihnya. Gadis itu memekik begitu tubuhnya diputar pelan oleh Issei, kakinya bergerak di atas lantai, membentuk sebuah tarian serampangan yang mengundang tawa.
“You’re just too good to be true, can’t take my eyes off you.” Keduanya menyanyikan lirik dari lagu yang diputar sambil terus menari dengan Issei yang keadaannya setengah mabuk. Hanamaki menarik pelan gelas wiski di tangan laki-laki itu sebelum mengarahkannya ke wajahnya sendiri, dan ketika bibir gelas menyentuh mulutnya, Issei sontak menahan pergerakan kekasihnya. “Hey, ngapain?”
“Mau cobain.” Hanamaki menatap Issei dari balik bulu matanya, maniknya besar dan berbinar akan sebuah permohonan. Issei meneguk air liurnya dengan susah payah sekaligus menahan keinginan besar untuk menghujani gadis itu dengan kecupan basah.
“Gak boleh, Na.”
“Mau, please. Dikit aja.”
“Dosa, Na, buat kamu.” Issei berusaha menarik kembali tangannya, namun, Hanamaki tetap bersikeras untuk menyicipi alkohol berwarna kekuningan dengan es yang sudah mulai mencair. “Na, sayang, gak boleh.”
“Just a sip, please.” Gadis itu terus memaksa, kali ini bibirnya maju beberapa senti karena merajuk. Issei mengerang pelan, mengutuk dirinya sendiri yang begitu lemah di hadapan Hanamaki, dan membiarkan kekasihnya itu menyesap alkohol dari tangannya.
Wiski mengalir membasahi tenggorokannya, yang mana langsung mengantarkan sensasi panas hingga ia terbatuk pelan. Hanamaki mengernyitkan wajahnya, aftertaste yang terkesan pahit masih membakar rongga mulutnya. “Bleh, gak enak!” katanya, kemudian dihadiahi kekehan pelan dari Issei. “Kok kamu suka banget, sih, minum ini? Gak enak. Enakan es teh manis.”
“Aku udah bilang jangan, kamu malah maksa.” Issei berkata sambil menarik pinggang Hanamaki agar lebih dekat dan jatuh semakin dalam ke rengkuhannya. Ia menuntun gadis itu dalam ritme tarian, langkah keduanya menyatu dengan denting musik yang menggema di ruangan, dan waktu seolah berhenti walaupun hanya sesaat.
Issei menunduk, matanya menangkap kilauan wajah Hanamaki yang tersapu bayang-bayang lampu. Pipinya bersemu, dilukiskan dengan merah muda yang tak pernah gagal membuatnya jantungnya bertalu dengan cepat dan riuh. Kilau matanya mengingatkan Issei pada langit sore menjelang senja—hangat, lembut, dan menenangkan. Seakan-akan kehadiran Hanamaki selalu membuat dunianya memudar, meninggalkan hanya dirinya dan presensi gadis itu yang sehangat pelukan ibu.
“Na,” Suara Issei terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk Hanamaki, “kamu cantik banget, sih.” Senyumnya melembutkan setiap kata yang terucap. Ia menggenggam tangan Hanamaki lebih erat, memastikan gadis itu tidak tergelincir dari dekapannya, baik secara batin maupun lahiriah.
“Apa, sih? Gombal.” Gadis itu mencibir, kemudian mendorong pelan bahu Issei. Tawa mengancam keluar dari bibirnya, dan afeksi membuncah hingga dadanya sesak.
Issei menaruh gelas wiski di dalam genggamannya ke atas meja kaca, lalu mengalungkan kedua lengannya di pinggang kekasihnya, kemudian menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher gadis itu. Ia menghirup dalam-dalam aroma sabun mandi dengan wangi citrus, juga parfum yang perlahan hilang karena keringat. “Na, aku sayang banget sama kamu.” ucapnya pelan, bibirnya menghantui sepanjang kulit leher Hanamaki yang sensitif dengan kecupan kecil.
“A-aku juga sayang banget sama kamu Tsun-Tsun.”
“Gimana kalau suatu saat kita gak sama-sama lagi, Na? Aku takut.”
Untuk saat itu, hanya mereka berdua yang ada di sana—di bawah sorotan cahaya, di tengah denting musik yang berganti menjadi Can’t Help Falling In Love milik Elvis Presley, dan di antara empat dinding di mana cinta mengikat dua remaja, tidak tahu menahu kalau cinta nantinya akan berubah menjadi sakit yang berkepanjangan.
“I will never leave you, Issei.”
But, in the future, you did. The worst part is, you also brought half of my soul and left me with an open wound. In the future, I’ll walk around with a jar on my heart, hoping someone will fill the missing part that you took with anything, anything, anything that keeps me alive.
Issei mendorong pelan tubuh Hanamaki yang duduk di atas pangkuannya. Gadis itu terus bergerak dengan alasan membetulkan posisi duduk, tahu pasti gerakannya menyebabkan bokongnya bergesekan dengan kejantanan Issei yang perlahan mengeras di balik celananya. “Na, diam. Jangan banyak bergerak.”
“Issei, ayo.” Hanamaki kembali merajuk. Ia mengalungkan lengannya di leher kekasihnya, kemudian menarik kepala Issei agar mendekat. “Kiss me. Kamu selalu gak mau kalau aku ajak make out.”
Issei berkedip cepat, lalu mengalihkan pandangannya dari wajah Hanamaki untuk menutupi kegugupannya. “Hey, jangan gini. Kita nonton film aja, yuk.”
Mendengarnya, sontak Hanamaki menggeram pelan. Ia mencengkeram kedua pipi Issei agar laki-laki itu bisa menatapnya tepat di mata. “Gak mau. Aku mau make out. Kenapa, sih? Am I not desirable to you?” Ia bertanya dengan nada setengah menuduh. Matanya memicing ke arah Issei yang melotot. “Gak gitu!” Lelaki itu dengan cepat menimpali.
“Terus kenapa?”
“I-I don’t think I can do that with you. You’re too precious for me.” Issei menjawab dengan suara yang pelan dan kentara akan keraguan. Ia mencicit seperti anak kecil yang permennya direbut secara paksa. Di kepala Hanamaki, ia bisa membayangkan telinga anjing imajiner yang seolah melorot layu di atas kepala Issei, dan gadis itu terkikik geli karena bayangannya sendiri.
Hanamaki memilih untuk tidak mengidahkan perkataan Issei. Ia menarik kepala laki-laki itu agar mendekat lalu menyatukan belah bibir keduanya. Issei tersekiap, matanya membola karena kaget, namun, berubah sayu begitu Hanamaki dengan lihai menjilati tiap sisi bibirnya, diikuti dengan gigitan kecil yang memancing erangan dari Issei. Laki-laki itu meremas bantalan sofa, tidak tahu harus meletakkan tangannya di mana.
Seperti baru saja membaca pikiran Issei, Hanamaki menuntun tangan lelaki itu ke arah dadanya, telapak Issei yang besar dan kasar pun menangkup kedua payudara Hanamaki yang masih dibalut kaus. “Touch me here.”
“Hana!” Issei memekik kaget, otomatis melepaskan tautan bibir keduanya. “Kamu belajar kayak ini dari mana?!”
“Dari film.”
“Huh? Film apa?”
Hanamaki mendengus kesal lalu mengabaikan pertanyaan Issei dan kembali menariknya dalam sebuah pagutan panas. Issei memejamkan matanya, membiarkan Hanamaki melesakkan lidahnya ke dalam mulutnya, mengabsen tiap giginya dengan sebuah jilatan, dan menukar liur keduanya hingga mengalir jatuh menuruni leher. Issei mengerang begitu merasakan sensasi nikmat di penisnya karena Hanamaki menggerakan pinggulnya hingga bagian intim mereka saling bergesekkan. Tangannya yang masih bertengger di payudara kekasihnya pun meremas dua gundukan tersebut, awalnya kikuk dan ragu-ragu, lalu berubah kurang ajar karena nafsu.
“Hhaah.” Gadis itu melepas tautan bibir keduanya ketika dirasa pasokan oksigennya mulai menipis. Ia menggigit bibir bawahnya yang memerah, matanya sayu, wajahnya semerah kepiting rebus, dan pinggulnya bergerak dengan serampangan di atas tubuh Issei, mengejar kenikmatan, memanen dosa.
Hanamaki kembali membawa Issei ke dalam sesi ciuman panas yang membuat napas keduanya berubah putus-putus. Kali ini, tangan Issei tidak tinggal diam. Ia menelusuri tubuh Hanamaki dari balik kaus yang dikenakannya, menyentuh kulit telanjangnya dengan sentuhan sepanas bara api.
Lalu ia bisa merasakan tubuh Issei bergetar di bawahny, dan desahan panjang lolos dari bibirnya. Hanamaki terdiam, ia memandang Issei lekat-lekat. “Tsun-Tsun, did you just come? In your pants?”
Issei mengerang malu, ia sontak menutup wajahnya yang memerah dengan telapaknya. Melihatnya, Hanamaki terkekeh pelan. “Aww, my baby Issei came just from a make out session.”
“Ugh, Hana, stop. I can’t help it. You’re too … too pretty, aku gak kuat.”
“Is—”
“Kalian berdua ngapain?!” Suara itu datang tanpa tanda dan permisi, diiringi uluran tangan yang menarik kasar tubuh Hanamaki dari atas pangkuan Issei. Gadis itu jatuh terhuyung ke belakang, matanya sontak melebae ketika melihat sosok Ibu dari kekasihny berdiri di antara keduanya dengan wajah yang memerah karena amarah. “Jawab!”
“B-bu.” Dengan terbata-bata Issei berusaha mengatakan sesuatu, namun, kata-katanya tersendat di tenggorokannya.
“Kamu Ibu cari kemana-mana tahunya di sini sama anak lacur ini!” Wanita paruh baya itu berkata dengan setengah teriak, nada bicaranya sinis dan menusuk. Air mata mulai menggenangi pelupuk Hanamaki, mengancan untuk jatuh, apalagi ketika wanita itu memandangnya dengan jijik.
“Ibu! Jaga omongan Ibu!” Issei balas berteriak, matanya menyalak akan amarah.
“Kurang ajar kamu?! Berani ngebales omongan Ibu?!”
Hanamaki pun bangkit dari posisinya, ia dengan tergopoh-gopoh berbalik ke arah pintu, membiarkan tungkainya membawa tubuhnya menjauh dari area rumah. Menjauh dari adu mulut antara ibu dan anak yang berisikan kata-kata menyakitkan. Menjauh dari suara tamparan yang membuat tubuhnya terkesiap. Menjauh dari sesuatu yang memang tidak seharusnya menjadi miliknya.