“Kemarin seharian kamu gak balas chat-ku.” Bibir Kiyoomi mencebik lucu, matanya memandang sinis ke arah Atsumu. Pacarnya itu sedang ngambek, tapi Atsumu malah merasa gemas luar biasa. “Maaf, sayang, habis antar bunda ke RS aku langsung tidur karena capek dan gak check HP.”
Bohong. Atsumu sebenarnya menghindari Kiyoomi karena perkataan Sakusa Mito membuatnya emosi bukan main, dan ia tidak ingin Kiyoomi terkena dampak dari amarahnya.
Kiyoomi melempar delikan tajam ke arah Atsumu, sebelum kembali fokus pada deretan kalimat yang tertulis di buku catatannya. Malam itu, mereka duduk di sebuah kafe di daerah Jakarta Selatan. Kiyoomi menyarankan mereka belajar bersama hingga larut malam, mengingat besok adalah hari libur. Di hadapannya, Atsumu dengan tekun menyalin semua catatan Kiyoomi ke bukunya sendiri.
“Terus, bunda gimana?”
“Sakit.”
“Yaaaa … sakit apa?”
“Paru.”
Kiyoomi seketika membanting pulpen yang dipegangnya ke atas meja. Matanya membulat kaget, dan bibirnya terbuka sedikit. “Hah!? Paru-paru?! Kok kamu bisa santai begini? Atsumu!” Suaranya yang meninggi membuat beberapa kepala menoleh ke arah meja mereka. Bagai sebuah peringatan, Atsumu menendang kaki Kiyoomi lewat bawah meja. “Gede banget itu congor.” sungutnya.
“Tapi, Atsu –”
“Bunda udah dikasih obat, terus nanti mau mulai treatment. Gak apa-apa, kok, kamu gak usah khawatir.”
Kiyoomi melempar senyuman kecil ke arah pacarnya, “Oke … semoga bunda cepat sembuh. Please, kasih tahu aku kalau ada apa-apa, ya?”
“Iya, Omi.”
“Mamiku dokter paru by the way.”
Iya, emang, ‘kan emak lu yang meriksa bunda kemarin. Kalimat tersebut tertahan di tenggorokannya yang kemudian Atsumu putuskan untuk menyimpannya sendiri. Kiyoomi tidak perlu tahu soal pertemuan Atsumu dengan ibunya, ‘kan? Lantas, perkataan Kiyoomi hanya dibalas dengan anggukan singkat.
– — – — – —
“Jangan lupa hari Kamis tryout, ya!”
Atsumu membungkukkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan jendela mobil di sisi pengemudi. Dia menopang lengannya di tepi jendela dan menjulurkan kepalanya ke dalam mobil. Kiyoomi yang berada di balik kemudi menoleh ke arah Atsumu, “Dengar aku, gak? Kamis tryout.”
Tapi lagi-lagi, dia tidak mendapatkan balasan apa pun dari pacarnya itu. Atsumu terus menatapnya lekat-lekat dengan senyuman lembut yang terukir di bibirnya, seolah-olah senyuman itu adalah satu-satunya jawaban yang perlu dia berikan.
“Atsu–” Sebelum bisa melanjutkan sepatah duakata, perkataan Kiyoomi disela begitu saja oleh Atsumu.
“Kiyo, aku sayang dan cinta banget sama kamu.”
“Omi” is a playful whisper, a gentle endearing breeze on a summer’s day. But “Kiyo” is a thunderclap, echoing through tense moments. When Atsumu needed to sit him down after his foolish mistakes. When Atsumu wanted to stake his claim over him, marked his territory, a lion’s roar before Wakatoshi. When he was caged beneath Atsumu, in a house emptied of all but their shared breaths.
“Tiba-tiba banget?” balas Kiyoomi. Ia menjulurkan tangannya untuk mengacak rambut keemasan milik Atsumu. “Gemasnya.”
Atsumu mencebikkan bibirnya sebal, “Seenggaknya bales, kek. Oh, Atsu, aku juga cinta banget sama kamu. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.” katanya sambil mengubah intonasi suaranya, menirukan cara bicara Kiyoomi dengan nada mengejek.
“I don’t talk like that.”
“Sure, baby.”
“Aku juga sayang sama kamu, Atsu. Still, aneh aja kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu. Did something happen?” Kiyoomi mematikan mesin mobilnya. Dia menatap Atsumu, lalu sesuatu terbesit di pikirannya. “Kamu selingkuh ya?!”
“Ih, gila ya? Kenapa konklusinya kayak gitu?!” Atsumu memekik tidak terima. Dia menjepit pipi Kiyoomi di antara kedua jarinya yang sukses menyebabkan Kiyoomi merengek kesakitan. “Lepaass! Sakit! Kenapa aku dicubit?!”
“Lagian nuduh aku selingkuh. Kiyo, dapetin kamu aja susah banget ngapain terus aku selingkuh?” katanya. “I just want to let you know that I love you, no matter what happened.”
Kiyoomi berharap bumi dapat menelannya secara utuh saat ini juga. Walaupun sudah berhubungan selama lebih dari setahun, Kiyoomi masih tidak tahu bagaimana harus bersikap bila Atsumu mulai mendeklarasikan perasaannya. Pipinya terasa panas, ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berpacu lebih cepat dari biasanya, dan kupu-kupu di perutnya berterbangan ke sana ke mari.
“Gak usah dibalas, aku tahu kamu emotionally constipated.” Lagi-lagi kalimat yang diucapkan dengan intonasi meledek yang super menyebalkan itu. Kiyoomi mendengus sebal, “Udah sana pulang. Udah malam.”
Then Atsumu’s lips brushed against his, a fleeting touch before he vanished into the darkness of the night. It was a whisper of innocence, a gentle caress of sweetness. Yet, on his way home, Kiyoomi could still feel how those calloused hands cupped his cheeks, chapped lips meeting his own, and the lingering musk that invaded his entire being.
– — – — – —
Atsumu menutup pintu dengan perlahan saat ia melangkah masuk ke dalam rumah. Cahaya redup dapur menyambutnya, memancar dari lampu kecil yang tergantung di plafon. Di lantai dapur, Osamu terduduk di antara berbagai macam bahan masakan yang tersusun rapi. Bungkus-bungkus rempah, beras, selusin telur, dan sayuran segar terhampar di sekelilingnya, menciptakan lanskap yang berwarna di tengah keheningan rumah yang sepi.
“Lu ngapain, Sam?”
“Buat jualan nasi uduk besok. Bunda sakit jadi gak bisa masak dan jualan dulu. Tapi, kalau libur terus mau dapat duit dari mana?” jawabnya, tangannya dengan lihai memotong bawang merah dan putih menjadi irisan yang halus dan merata. Suara pisau yang meluncur di atas talenan kayu mengisi ruangan dapur yang tenang. “Besok juga libur sekolah, jadi bisa jualan dari pagi.”
Atsumu mengangguk pelan, paham akan kekhawatiran Osamu. “Sini gue bantuin. Tapi, gue bersih-bersih dulu.”
Malam itu, keduanya berkutat di dapur hingga fajar menyingsing. Sementara di sisi lain, bunda masih terbaring lemas di atas ranjangnya. It was always quiet in the Miya’s household, but this time, the quietness is like a painful chokehold.
– — – — – —
Atsumu mengacak rambutnya frustrasi setelah melempar ponselnya sembarangan ke atas ranjang. Hasil dari tryout yang ia kerjakan sudah keluar, dan bisa dibilang, deretan skor yang ia dapatkan jauh dari kata memuaskan. Apa yang salah? Atsumu sudah belajar mati-matian bersama Kiyoomi. Dia juga terjaga setiap malam demi mengulang kembali materi yang telah ia catat. Apa yang salah? Apa dia begitu bodoh? Atsumu merenung sejenak, matanya terpaku pada layar ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Pikirannya melayang-layang mencari jawaban atas kegagalan ini. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu dan usaha, bahkan Kiyoomi pun ikut membantunya, namun hasilnya tidak memuaskan.
“Babe, kenapa?”
Kiyoomi muncul di ambang pintu dengan segelas air di tangan. Hari itu Kiyoomi berkunjung ke rumahnya bersamaan dengan absennya Osamu dan bunda di rumah karena keduanya pergi ke rumah sakit untuk treatment rutin. Kondisi bunda tidak kunjung membaik, tapi Kiyoomi tidak tahu akan hal tersebut. Kiyoomi pikir, keduanya pergi ke rumah sakit untuk check-up biasa.
“Gak apa-apa.” jawab Atsumu sekenanya. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang lalu memejamkan matanya. Saat ini, dia seperti tidak punya muka untuk berhadapan dengan Kiyoomi. Mengingat dia sudah besar kepala mengatakan tidak akan mengecewakan pacarnya itu, tapi skor yang tertera di ponselnya berkata lain. Tak hanya itu, Atsumu juga sebenarnya sudah muak harus terus belajar, dibarengi dengan latihan voli agar dia bisa dilirik sponsor, dan juga bergantian menjual nasi uduk dengan Osamu.
Atsumu lelah.
Kenapa hidupnya harus sesulit ini?
“Kamu udah lihat hasil tryout?” tanya Kiyoomi seraya menaruh gelas di atas nakas samping tempat tidur. Mendengar kata tryout keluar dari mulut Kiyoomi sontak membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri. “Aku udah lihat punyaku, bagus! Semoga bisa aku pertahanin sampai ujian nanti.” tambahnya.
“Iya lah bagus, ‘kan kamu pinter.” timpal Atsumu. Tanpa ia sadari, nada suaranya berubah sinis. Dia muak dengan semua pembicaraan mengenai tryout dan belajar, belajar, belajar, belajar. Muak.
“Hasilmu gimana? Udah lihat, ‘kan?” Atsumu ingin sekali menyingkirkan jari-jemari Kiyoomi yang menyisiri rambutnya saat ini.
“Iya udah. Jelek.”
“Gak apa-apa, Atsu. Nanti gampang tinggal belajar lagi.”
Dan kemudian, sesuatu dalam dirinya seakan pecah. Atsumu merasakan gelombang emosi yang tak terbendung, mendorongnya untuk bangkit dari posisinya. Dia menatap Kiyoomi dengan tajam, tatapan yang penuh dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. Melihat perubahan mendadak itu, Kiyoomi tersentak kaget. Matanya melebar, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Kenapa, Atsu?” tanyanya, suaranya terdengar gentar dan penuh perhatian.
“Kamu gampang ngomong begitu. Tinggal belajar lagi, tai kali! Udah lah! Gak usah ngomongin ini lagi!” ucapnya dengan lantang. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, dahinya mengernyit dalam-dalam, dan sesuatu dalam dirinya menginginkan Kiyoomi untuk pergi dari rumahnya.
“Lho? Kenapa? Gagal itu kan wajar, lagian kamu juga baru sekali tryout, ‘kan?”
“Aku udah belajar mati-matian, Kiyo. Setiap malam aku begadang, mengulang-ulang materi yang kamu ajarin ke aku, kadang juga belajar bareng Samu. Tapi hasilnya… hasilnya tetap aja jelek,” ucapnya dengan nada putus asa. “Apa aku sebodoh itu? Apa usahaku gak ada artinya?”
Kiyoomi menggeleng kuat-kuat, “Atsu, kamu bukan bodoh. Jangan pernah mikir kayak gitu, please. Mungkin cara belajarmu yang perlu diubah, atau mungkin kamu butuh pendekatan yang berbeda,” jawab Kiyoomi dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan Atsumu.
“Harus sampai kapan aku begini coba? Jawab, Kiyo! Jawab!”
“Kenapa kamu jadi teriak-teriak ke aku? Aku ‘kan udah bilang, gagal itu wajar. Kamu cuma harus terus belajar dan belajar. Ditambah waktu belajarnya, gampang ‘kan?” katanya. Atsumu ingin sekali Kiyoomi berhenti bicara saat ini juga. “Aku ada jadwal belajar. Mungkin kamu bisa ikutin. Lebih intens dari rutinitas kamu biasanya, but I think it’ll help.” Tapi tentu saja dia akan terus mengoceh sampai telinga Atsumu rasanya berdarah dari dalam.
“Aku gak bisa nambah waktu belajar.”
“Kenapa? Males aja, ‘kan, kamu?”
He shoved Kiyoomi out of his way. “Apaan, sih! Emang di mata kamu aku masih aja orang males dan ogah-ogahan? Hah?”
“Ya, terus apa? Kenapa kamu gak mau nambah waktu belajar? Gak ada alasan lain selain kamunya emang males aja! Gak mau maju!”
“Anjing. Stop ngomong gak lu?” Atsumu menyalak, matanya berkilat penuh kemarahan. Jarinya menunjuk-nunjuk ke arah Kiyoomi, menyentuh dada Kiyoomi dengan menghentak-hentak. Wajah Atsumu merah padam, bibirnya bergetar saat dia mencoba menahan luapan emosi yang memenuhi dirinya. “Gue udah capek dengerin lu ngomong terus-terusan! Lu pikir semua ini gampang buat gue?” ujarnya dengan suara yang bergetar, menambah tekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Melihatnya, Kiyoomi merasakan sesuatu terasa memantik api amarahnya. “Ya, gampang! Apa susahnya tinggal buka buku?! Lagian, kerjaan kamu ‘kan cuma main ML sama bongkar motor!”
“Sok tahu!” Kiyoomi memang tidak tahu soal dia yang menggantikan bunda untuk berjualan nasi uduk. Dia juga tidak tahu kalau Atsumu sering mengantar bunda ke rumah sakit hingga tidak ada waktu lagi baginya untuk sekedar main game. Kiyoomi juga tidak tahu kalau ketika belajar di tengah malam, Atsumu melakukannya sembari membantu Osamu mempersiapkan nasi uduk untuk dijual esok. Kiyoomi tidak tahu apa-apa.
Atsumu merasa marah dan frustrasi, matanya berkilat saat emosi menguasainya. “Lu gak tahu apa-apa, Kiyo!” teriaknya, suaranya kental akan kemarahan yang dia coba tahan. “Lu gak tahu betapa sulitnya ini buat gue! Gue harus gantiin bunda jualan nasi uduk, antar dia ke rumah sakit, dan tetap belajar pas malam sambil nyiapin buat dagang besoknya. Lu pikir gue gak capek? Lu pikir gue gak stres?”
“Kamu gak pernah cerita soal semua ini ke aku!” Kiyoomi terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Pandangannya terfokus pada Atsumu yang kini terlihat begitu rapuh di balik amarahnya.
“Lagian … kamu ini nyuruh aku belajar terus. Kenapa, sih?”
“Ya biar kamu bisa kuliah, Atsu! Kamu gak bisa cuma mengharapkan ke voli doang. Aku cuma pingin kamu maju!”
Atsumu mendengus, “Kamu ngelakuin ini semua buat aku atau diri kamu sendiri? Biar kamu gak malu punya cowok kayak aku?” Suaranya berubah pelan di akhir. Atsumu tahu dia sudah salah bicara, Kiyoomi tidak mungkin merasa malu akan dirinya. Atsumu tahu persis bagaimana perasaan laki-laki itu. Tapi perkataannya sudah kepalang ia keluarkan dan ia tidak bisa menariknya lagi.
“Apa? Malu? Kenapa juga aku malu sama kamu, hah?!”
Kiyoomi melangkah menghampirinya. Ia mencengkram kerah baju Atsumu hingga buku-buku jarinya memutih. Dengan posisi mereka saat ini, Kiyoomi berdiri lebih tinggi beberapa centi darinya. He towered over him, making Atsumu feel small. Atsumu regretted his words immediately, but his ego wouldn’t let him take them back. “Jawab! Kenapa bisa kamu pikir aku malu sama kamu!”
“Ya, kamu suruh aku belajar terus! Nyuruh kuliah! Apalah! Biar kamu gak malu ‘kan ke depannya?!”
“Ngaco! I did this for YOU. Not for ME. Lagian emang udah seharusnya kamu kuliah! Mau jadi apaan, kamu nanti, hah?!”
“Kuliah?” Atsumu merasakan giginya saling bergemerutuk. “Kuliah? Duit dari mana!”
“Ada yang namanya beasiswa!”
“Alah ribet ngurusnya!” Atsumu menepis tangan Kiyoomi, lalu melangkah menjauhinya.
Kiyoomi tersentak. Dia merasakan rasa kesalnya sudah di ubun-ubun. “Ribet apa, sih? Tinggal daftar aja! Mentalitas kayak gini yang bikin kemiskinan struktural!”
Atsumu mendorong Kiyoomi, menghimpitnya di antara tubuhnya sendiri dan lemari. “Lu bilang gue miskin? Akhirnya kata-kata itu keluar juga, ya, dari mulut lu? Dari anak orkay kayak lu?”
Kiyoomi rasanya mau menangis.
“Pulang, Kiyoomi. Before we said anything that we’ll regret. Pulang. Sekarang.”
Tanpa harus disuruh dua kali, Kiyoomi meraih tasnya dan pergi dari hadapan kekasihnya.
– — – — – —
Kiyoomi datang berkunjung tanpa membawa kendaraan dan sekarang ia mengutuk dirinya sendiri. Tanpa tahu harus kemana, Kiyoomi akhirnya singgah di sebuah halte bus yang berada tepat di depan gang rumah Atsumu. Dia duduk di bangku halte, merasakan angin malam yang dingin menyusup melalui pakaiannya. Kiyoomi merapatkan jaketnya sambil menunduk, matanya menatap kosong ke jalan yang sepi. Hatinya terasa berat, dipenuhi oleh kesedihan dan penyesalan. “Kenapa jadi begini?” pikirnya sambil menghela napas panjang. Perdebatan dengan Atsumu tadi meninggalkan luka yang dalam di hatinya. Dia tidak pernah melihat Atsumu semarah itu sebelumnya.
Kiyoomi hugged himself, trying to find warmth and comfort in the growing chill of the night. He felt like a lone star in a vast, empty sky, engulfed by a sense of loneliness and loss. Sitting at the bus stop, he wished he could turn back time, to mend the frayed threads of their tapestry.
Ia terus terdiam hingga tidak menyadari ketika sebuah mobil datang menghampirinya. Kepalanya terangkat dengan lemas dan menemukan Wakatoshi berdiri di hadapannya. Pandangan laki-laki itu mencerminkan campuran keheranan dan kekhawatiran, menyapanya dalam keheningan malam. “Kiyoomi. Kamu ngapain di sini?”
“Kamu sendiri ngapain, Toshi?”
“Aku habis pergi beli martabak. Yang viral itu, lho, dan tempatnya di sekitar sini. Jauh banget dari Menteng, tapi mamaku maksa buat beli.”
Kiyoomi terkekeh pelan. “Toshi … boleh antar aku pulang?”
Selama menjalin hubungan dengan Atsumu, Kiyoomi tidak pernah menitikkan air mata. Tapi kali ini, di dalam mobil Wakatoshi yang beraroma kopi, Kiyoomi menggigit bibirnya keras-keras agar raungannya tidak keluar. Sambil menatap ke luar jendela, air mata mengalir di pipinya seperti hujan yang membasahi tanah kering, merelakan rasa sakit meresap dalam diamnya.
Wakatoshi membesarkan volume radio di mobil hingga maksimal, membuat suara lagu yang sedang diputar meredam suara tangisan Kiyoomi. Ia melakukannya tanpa melirik Kiyoomi sedikit pun, seolah perbuatannya semata-mata hanya karena ingin mendengarkan musik. Walau sebenarnya, agar Kiyoomi bisa menangis sesukanya tanpa harus khawatir merasa malu di hadapan Wakatoshi.
And then he cried his eyes out.
– — – — – —
notice how di chapter awal kiyoomi nolak dianter pulang sama toshi dari inten, terus di sini dia minta dianter pulang awoakwoakok ;)