whale 52

deera
15 min readJan 15, 2025

--

The 52-hertz Whale, also known as 52 Blue or the loneliest whale in the world, is a whale that roams the ocean alone, with no other whales answering his call.

WHEN I LAID MY EYES ON YOU AGAIN.

How do I look?”

Langkah kaki Wakatoshi terhenti ketika pendengarannya menangkap sebuah suara yang amat familiar, menyapa telinganya dengan sopan setelah setahun lebih absen dari hidupnya. Pria itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, secara otomatis sebuah senyuman kecil tersungging di bibirnya begitu pandangannya menemukan sosok Tooru yang berdiri tak jauh darinya.

Wanita itu mengenakan celana panjang berbahan denim yang dipadupadankan dengan kemeja dan jaket kulit. Rambutnya dicepol secara serampangan dan wajahnya yang sendu dihiasi sisa-sisa makeup. Ada gurat lelah yang terpancar dari wajah jelitanya, sesuatu yang mungkin dapat disembuhkan dengan secangkir kopi hangat, atau tidur panjang selama dua belas jam. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer hotel secara konstan ketika Wakatoshi berjalan menghampirinya.

“Mas, how do I look?”

You look just as good as when I had you.”

Tooru mendengus geli, seolah ingin menepis jawaban yang dilayangkan Wakatoshi, meski senyuman tipis di sudut bibirnya perlahan mengkhianati niatnya. Ia memutar bola matanya dengan setengah malas—sebuah usaha, meski sia-sia, untuk menyembunyikan kegugupan yang merajai tubuhnya. Dengan salah tingkah, ia menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan, meremas jemarinya sendiri hingga kuku-kuku tajam menusuk telapak tangannya dan meninggalkan pola bulan sabit di permukaannya.

“Gombal.” katanya, singkat dan datar. Namun, bahkan dalam kata yang begitu sederhana, suara Tooru tetap terdengar gemetar. Ia selalu begini. Selalu. Mesin di kepalanya seolah berhenti bekerja setiap kali pria itu berdiri di hadapannya. Seperti dua tahun lalu di sanggar tari, satu tahun lalu di apartemen yang mereka berdua tempati, dan hari ini di pintu masuk hotel.

“Hahaha, maaf.” Pria itu berkata, tawa beratnya mengalun dan membuat perut Tooru merasa geli. “Cuma ngomong jujur aja.”

Tooru terdiam, ia mendongak guna melihat wajah pria itu, dan tatapannya tidak pernah berubah sejak pertama kali keduanya saling kenal. Wakatoshi selalu menatapnya seolah ia adalah orang yang menggantungkan bulan di langit malam, seolah ia menyimpan kerlip bintang di matanya, seolah ia adalah sesuatu yang berharga dan tak tergantikan. Rasa gugup kembali menggulung dadanya ketika Wakatoshi berdiri tepat di hadapannya, menjulang belasan senti lebih tinggi darinya. “Ayo check in.”

Tooru hanya bisa mengangguk dan membiarkan tubuhnya dibimbing dengan lembut menuju meja resepsionis. Telapak besar milik Wakatoshi berada di punggungnya, mendorongnya dengan perlahan, dan mengantarkan panas yang menjalar hingga ke pipinya. Sesekali pria itu meremas pinggangnya, layaknya muscle memory, bahkan setelah satu tahun berpisah dan tidak berjumpa satu sama lain.

“Mas pesan kamarnya atas nama siapa?” tanya Tooru, berusaha membuka percakapan di antara keduanya sehingga atmosfer canggung yang memuakkan bisa lenyap dan berhenti membuatnya sesak.

“Namaku, Dek.”

Tooru pun membiarkan Wakatoshi mengurus verifikasi identitas untuk mendapatkan kunci kamar, sementara ia mengedarkan pandangannya melintasi lobi hotel yang dipenuhi beberapa tamu. Ada keluarga kecil yang tengah berbagi tawa di sudut ruangan, tak jauh dari sana, sepasang muda-mudi duduk berdampingan, berbicara dengan bisik-bisik, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Di luar, hujan bulan Januari perlahan turun membasahi Jakarta, suara rintiknya terdengar konstan, menetes di atas atap mobil dan trotoar basah. Sebuah harmoni tak kasat mata yang berpadu dengan suara klakson mobil yang hilir-mudik di jalan raya, menciptakan melodi urban yang akrab di telinganya, namun, kali ini tak ada yang lebih riuh dari dentuman jantungnya.

“Tooru, ayo. Aku udah dapat kuncinya.”

ELEVATOR

Wakatoshi melirik ke arah Tooru lewat ekor matanya. Wanita itu bersandar di dinding elevator sambil memejamkan matanya, napanya teratur, dan bahunya melorot ke bawah. “Tooru, kamu gak apa-apa? Capek?” Ia bertanya dengan suara pelan, takut jikalau baritonnya memecahkan gelembung ketenangan yang menyelubungi wanita itu. Ia mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan helaian kecokelatan yang menutupi setengah wajah Tooru, lalu membawanya ke belakang telinga wanita itu. Sentuhan pria itu seringan bulu kemoceng, menggelitik tengkuk Tooru dan membuat tubuhnya sedikit bergidik.

Long day at work, Mas.” jawab Tooru sekenanya. Ia menolehkan wajahnya lalu melemparkan senyuman tipis ke arah Wakatoshi. “Hari ini aku foto buat dua brand.” tambahnya sebelum bibirnya terbuka untuk menguap. Matanya mengerjap lucu karena kantuk, dan Wakatoshi harus menahan dirinya untuk tidak menghujani wajahnya dengan kecupan.

How was it? Pemotretannya?”

Elevator terus bergerak naik ke atas, berdenting di tiap lantai dan membawa masuk tamu lainnya.

It was alright. Tired but fun, the usual.” jawab Tooru, masih menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan bola mata sewarna karamel. Cahaya remang-remang yang menerangi elevator jatuh di atas wajahnya, membiaskan warna jingga dan kuning di paras jelitanya. “Mas sendiri gimana?” Tooru balik bertanya.

Great. Usual stuff.”

Elevator merangkak naik ke lantai teratas, mendaki lantai demi lantai menuju yang tertinggi. Kotak besi itu berderak pelan, mesinnya berbisik dan menyatu dengan keheningan di antara keduanya. Namun, bagi Wakatoshi, yang ia rasakan bukan lah gerakan mekanis dari elevator, melainkan sentuhan kecil bahu Tooru yang bersinggungan dengan miliknya, membawanya melambung tinggi ke angkasa. Meski elevator terus bergerak naik, membawa mereka perlahan ke lantai teratas, Wakatoshi merasa dirinya melambung jauh lebih tinggi dari itu.

SMOKE AND SMALL TALK

“Mas mau aku gimana? Missionary? Doggy? On top?” Ketika keduanya memasuki kamar hotel, tanpa tahu malu Tooru langsung melontarkan pertanyaan yang sontak membuat kedua bola mata Wakatoshi membola. Pria itu berdiri mematung tak jauh dari tempat tidur, di mana Tooru telah berbaring sambil mengerling nakal ke arahnya. Ekspresi wajahnya kenes, genit, menggoda, dan tubuhnya sengaja ia liukkan seolah mengundang Wakatoshi untuk menyentuhnya.

Pria itu terkekeh geli, lalu meletakkan dompet dan kunci mobilnya di atas meja nakas. “Buru-buru banget? Kita bisa ngobrol dulu.” katanya sambil melangkah menghampiri Tooru. Wanita itu bangkit dan duduk di tepi ranjang, lalu mencebikkan bibirnya hingga mengerucut layaknya bebek. “Mau kemana, sih, emangnya buru-buru, hm?” Ia menangkup kedua pipi Tooru di satu tangannya, kemudian menekannya dan membuat wajah wanita semakin menggemaskan.

“Ih! Aku mau tidur tahu. Capek kerja.” katanya, lalu menepis tangan Wakatoshi. “Emangnya Mas gak capek?”

I could never get tired of you.”

“Tahu ah.”

Sontak, Wakatoshi terbahak kencang hingga bahunya bergetar. Menggoda dan meledek Tooru selalu menjadi kegemarannya karena wanita itu sangat mudah disulut api amarahnya. Melihat Wakatoshi tampak puas dengan pick-up line payahnya itu membuat Tooru mendengus sebal. Ia pun bangkit dari posisinya kemudian merogoh tasnya untuk mengambil sekotak rokok dan korek api dalamnya.

Wakatoshi memandang Tooru dengan keheranan ketika ia membuka jendela dan duduk di tepiannya. “Ngapain?”

“Ngulek sambel. Ya, ngerokok, lah. Gak lihat apa?” Tooru menjawab dengan sarkasme. Ia sekilas ke arah Wakatoshi sebelum menyalakan rokoknya. Api membakar putung, lalu asapnya menari-nari di udara sebelum hilang diterpa angin malam.

“Emang boleh ngerokok di kamar?” Wakatoshi melangkah menghampiri Tooru, ia ikut duduk di tepian jendela tepat di hadapan wanita itu. Di luar rintik hujan masih turun mengguyur kota, membawa angin yang membuat anak rambut Tooru berterbangan. “Gak tahu, Mas. Kalau gak boleh Mas yang bayar dendanya.” timpalnya dengan enteng. “Nih, mau?” Ia pun menyodorkan sebatang rokok ke arahnya.

Wakatoshi memutar matanya, namun, tetap menerima rokok yang ditawarkan oleh Tooru. Asap keduanya mengepul di udara, berdansa satu sama lain, lalu ditelan kehampaan.

I miss this, Tooru.” Wakatoshi tiba-tiba berkata. Baritonnya memecah keheningan di antara keduanya dan menarik Tooru dari lamunannya sendiri. Pria itu menunduk, memutar-mutar batang rokok di tangannya.

“Apa?” Tooru mengangkat sebelah alisnya. Ia menghisap rokoknya hingga asap menggulung di paru-parunya. “Oh my God, are you seriously going to get all melancholic on me right now?”

“Hahaha, dengerin dulu.” Ia terkekeh pelan. Tooru itu tidak terlalu bersahabat dengan afeksi maupun soal mengekspresikan diri. Ketika keduanya masih terikat dalam suatu hubungan, wanita itu akan bergidik ngeri kalau Wakatoshi menghujaninya dengan kasih sayang, atau gombalan remeh, atau ketika ia menyodorkan jiwanya di atas nampan perak. Tooru menyebutnya cringe, namun, Wakatoshi mengira itu romantis. “I miss us, just talking like this. I miss you.”

Sorot mata Tooru sontak berubah sendu. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Warna krimson mulai merambat naik dari tengkuk hingga ke pipinya yang berubah hangat. “Aku juga kangen sama Mas.” ucapnya pelan, tak lebih dari sekedar bisikan. “Kangen banget.”

“Kenapa, ya, kita bisa putus? We love each other. Deeply.

“Mas, ‘kan kamu yang putusin aku, dasar gila.”

Perkataan Tooru pun dibalas dengan tawa yang meledak keras dan memantul di dinding kamar. Wakatoshi menepuk dadanya pelan ketika tawa membuat asap rokok memasuki jalur pernapasannya dengan tiba-tiba. Ia terbatuk sebentar sebelum membalas ucapan Tooru. “Maaf, Tooru. We were unhealthy and I had to put an end to it.”

Tooru menghembuskan napasnya, membiarkan asap pergi dibawa langit malam, sebelum ia berkata, “iya, karena aku egois. Maaf, Mas.” katanya, penyesalan terdengar kental di tiap katanya dan ia seketika memiliki keinginan untuk pergi dari hadapan mantan kekasihnya itu.

Wakatoshi diam mematung dengan mata yang membola layaknya kelereng. Suaranya tercekat di tenggorokan, dan isi kepalanya seketika berubah riuh. Tooru tidak pernah sekali pun mengakui kesalahannya selama satu tahun mereka bersama, dan mendengar kata ‘maaf’ terlontar keluar dari bibirnya membuat Wakatoshi mati kutu.

We were both wrong, Tooru.”

“Bijak banget, sih. You’re such an old man.” Tooru terkikik geli, dan melihat bagaimana Wakatoshi juga menyunggingkan senyum membuat perutnya terasa geli. Mungkin lapar sebab ia melewatkan makan malam, mungkin juga karena afeksi yang membuncah di rongga dadanya.

RENEGADE

“Mas, aku egois banget, ya?” Tooru bertanya dengan pelan, suaranya hampir hilang diterpa angin malam yang berhembus dari jendela. Ia mengalihkan pandangannya ke arah bawah, melihat mobil lalu-lalang layaknya cahaya kecil yang berkelip di jalan raya.

Wakatoshi, yang masih duduk di hadapannya sambil memandangi kota yang tak pernah tidur, akhirnya menoleh. Tanpa ragu, ia menjawab, “iya.”

Satu kata itu, meski diucapkan dengan lembut, terasa seperti belati yang menghunus hati Tooru. Wajahnya langsung merengut, bibirnya mengerucut seolah-olah mencoba mengelak pahitnya kenyataan. “Egoisnya gimana?” tanyanya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut meski bagian dari dirinya tahu bahwa ia mungkin tidak siap mendengarnya.

“Kadang,” Wakatoshi memulai. “Kamu selalu bawa-bawa soal mental kamu yang gak stabil tiap kita ada masalah. And Tooru, it makes me feel shitty. Gak ada masalah kita yang selesai karena aku harus prioritasin keadaan kamu. Aku tahu kamu struggling, sayang, tapi kamu dibantu juga gak mau. Kamu malah gunain itu buat semacam amunisi tiap kita berantem, biar aku diam, biar aku ngertiin kamu.”

Ia berhenti sejenak, membuang napas panjang yang terdengar begitu berat. Tatapannya masih lurus, tidak lagi memandang Tooru, tetapi mengarah pada dinding di belakang wanita itu, seolah ia mencari ketenangan di tengah ketegangan yang ada. “Tapi, kapan kamu ngertiin aku?”

Kata-kata itu menggema di kepala Tooru, seperti suara yang terus berputar tanpa akhir. Ia menggigit bibir bawahnya dengan keras, begitu keras hingga ia bisa merasakan rasa besi yang samar. Matanya masih terpaku pada jalanan yang sama, tetapi pikirannya melayang, terjebak di antara rasa bersalah dan keinginannya untuk membela diri. “Aku gak tahu harus bilang apa. Maaf, Mas.” gumamnya pada akhirnya.

“Tooru,” Wakatoshi berkata lagi, kali ini nadanya lebih lembut, tapi tidak kalah tegas. “Kamu tuh apa, ya? Hmm, ibaratnya seperti kamu merusak diri sendiri tapi gak sadar kalau kamu juga merusak orang lain. You fire off missiles because you hate yourself, but you’re also demolishing me in the process. Demolishing us.”

Ia menjentikkan batang rokok yang sejak tadi dipegangnya ke tepi asbak, membiarkan abu-abu kecil jatuh dan lenyap seperti hubungan keduanya. “Tooru,” ia melanjutkan, menoleh untuk menatap wanita mantan kekasihnya tersebut. “Kadang, aku mau bilang ke kamu buat get your shit together so I can love you properly.”

Tooru mengangkat wajahnya sedikit, matanya penuh keraguan. Ada rasa malu yang ia rasakan, bercampur dengan perasaan bersalah yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. “I was anxious all the time when we were together.” Tooru akhirnya berkata, suaranya hampir pecah di akhir kalimat. “Kamu jauh di sana, di Kalimantan. Aku gak tahu apa aja yang kamu lakuin.”

Wakatoshi menatapnya lama, tatapan itu tidak tajam, tapi cukup untuk membuat Tooru merasa dihakimi. “Was it really your anxiety that stopped you from giving me—us everything or did you just not want to?”

Kata-kata itu jatuh seperti palu yang menghantam meja hakim, mutlak dan membuat napasnya tercekat. Tooru memilih untuk bungkam, ia membiarkan perkataan Wakatoshi melayang di udara tanpa ditemani sebuah jawaban apa pun.

A BLURRED LINE BETWEEN PEACE AND LONELINESS

“Setelah kita putus aku pikir aku bisa tenang, tapi, aku malah kesepian.” Senyuman sendu muncul di wajah Wakatoshi, dan Tooru menekan dorongan kuat di dalam dirinya untuk membawa pria itu ke dalam pelukannya. “Kamu kesepian gak, Tooru? Atau kamu justru senang?”

“Aku juga kesepian, Mas.” jawab Tooru, kemudian sebuah pikiran konyol tiba-tiba muncul di kepalanya. “Kayak paus biru yang pernah kamu bilang. 52 Blue, the loneliest whale in the world.”

Mendengarnya, sontak wajah Wakatoshi berubah berseri. “Kamu masih ingat soal itu?”

“Mas, I remember everything.” katanya. “Aren’t we the loneliest? Like that whale?”

Wakatoshi terkekeh pelan. “Tapi, kamu tahu, gak? Ilmuwan dapat sinyal balasan yang mengindikasi ada paus lain yang respons dia. 52 Blue is not that lonely after all, he might got a friend or a lover.”

Like you and me, ya, Mas.”

YOU SHOULD’VE DONE SOMETHING

“Mas, waktu itu pas kita pacaran, udah seberapa jauh Mas mikir ke depannya?” Tooru bertanya dengan hati-hati, hampir seperti pikiran yang ia keluarkan dengan ragu. Jantungnya berdentum dengan keras, begitu keras hingga ia merasa seolah telinganya berdengung karena suaranya menggema dari dalam dirinya sendiri. Pandangan wanita itu terus bergerak menyisir ruangan, melompat dari jam dinding yang menunjukkan pukul 8 malam ke wajah Wakatoshi, yang seperti biasa, tetap datar tanpa ekspresi yang signifikan.

Di luar, hiruk-pikuk kota Jakarta masih ramai terdengar, mulai dari gesekan ban mobil dengan aspal basah, hingga klakson yang memekakkan telinga. Hujan telah reda sejak beberapa menit lalu, menyisakan aroma khas tanah dan dedaunan basah yang ditiupkan angin malam. Hawa dingin membuat Tooru sedikit menggigil, tetapi keheningan di dalam ruangan justru terasa lebih menusuk daripada udara malam itu sendiri.

“Pernikahan dan anak.” jawab Wakatoshi dengan suara yang mantap dan tanpa keraguan sedikit pun. Caranya mengucapkan jawaban tersebut seolah menggambarkan bahwa ia telah memikirkannya dengan matang, bahkan sebelum Tooru bertanya, seolah pikirannya memang selalu tertuju ke arah sana. “Aku udah gak muda lagi, Tooru. Of course I was thinking about marriage and kids when we were together.

Tooru terdiam, menahan napasnya sejenak yang tercekat di tenggorokan. Kalimatnya ia telan kembali karena kegugupan yang kembali hadir. Jawaban Wakatoshi keluar dengan tenang, namun, efeknya menghantam Tooru lebih keras dari yang ia bayangkan. “Kenapa Mas yakin banget kalau kita bisa sampai sana?” tanyanya lagi, suaranya lebih lirih, seolah-olah pertanyaan itu sendiri adalah sesuatu yang rapuh.

Wakatoshi menatapnya, tidak dengan intensitas yang menekan, tetapi dengan ketenangan yang selalu membuat Tooru merasa kecil. “Because I love you, and I think you would be a great mother and wife. Also, wouldn’t it be a blessing to have children as pretty as their mother?” Kalimat itu diucapkan dengan serius dan tanpa maksud bercanda, sukses menghadirkan semburat merah di wajah Tooru. Ia memutar bola matanya, mencoba menyembunyikan rona merah yang merayapi pipinya. “Ugh, Mas, stop gombal.”

Tawa Wakatoshi mengalun rendah, singkat tapi cukup untuk membuat ruangan terasa lebih hangat. “Hahaha, aku ngomong jujur aja, kok.”

Tooru mendengus sebal, bibirnya sedikit bergetar sebelum ia kembali mengisap rokok yang sejak tadi menggantung di bibirnya. Asap putih mengepul perlahan, seperti selubung tipis yang mencoba menutupi kegelisahannya. “You should’ve done something back then.” katanya tiba-tiba, nada suaranya berubah menjadi lebih serius.

“Maksudnya?” Wakatoshi bertanya, alisnya terangkat sebelah, tetapi ekspresinya tetap tenang.

“Mas, kamu itu selalu bilang iya ke semua yang aku mau.” Tooru mengembuskan napas kasar, kedua lengannya melingkari lututnya sendiri, seperti mencoba melindungi dirinya dari perasaan tidak nyaman yang menggulung di dadanya. “Aku bilang apa pun di-iya-in terus.”

“Bukannya itu malah bagus?” Wakatoshi bertanya dengan polos, meski matanya tetap fokus kepada Tooru.

“Gak, Mas.” Tooru menatapnya tajam, meskipun suaranya mulai bergetar. “Aku jadi merasa hubungannya satu pihak. Kamu sama sekali gak ada inisiatif soal apa pun. Kadang, aku berharap kamu bantah apa yang aku mau, kasih masukan atau usul lain, bukannya cuma ngangguk. So I could get other perspectives and responses.”

Hening kembali menyelubungi keduanya. Wakatoshi menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, “aku begitu biar kamu gak marah-marah terus. It was to make everything stable.”

Namun, ketenangan dalam suaranya justru memancing respon yang lebih tajam dari Tooru. “And boring.” jawabnya singkat, tapi nada suaranya jelas menunjukkan kekesalan yang tidak ia coba sembunyikan. Akan tetapi, penyesalan langsung hadir sepersekian detik setelah ia membalas perkataan Wakatoshi dengan tajam. Wanita itu pun menunduk, bahunya merosot. “Maaf, Mas. Harusnya aku gak ngomong gitu.”

“Gak apa-apa, Tooru.” Wakatoshi menimpali, ia menepuk pelan lutut wanita itu. “Karena kamu gampang marah, aku pikir kalau aku iya-in semua kemauan kamu, kamu bakalan senang. Tahunya malah kebalikannya, ya? It would’ve been nice if you said something back then.”

“Iya, Mas. Maaf, aku gak ngomong apa-apa dan malah pendam semuanya.”

“Kamu lebih banyak ngomong maaf malam ini ketimbang dulu pas kita pacaran. Agak lucu juga kalau dipikir-pikir.”

Tooru mendecak kesal. Ia mencubit dengan main-main lengan Wakatoshi yang masih bertengger di lututnya. “Shut up, old man.”

Ruangan itu kembali hening, di luar, kota tetap hidup, tetapi di dalam empat dinding kamar hotel, hanya ada dua hati yang mencoba mengurai apa yang dulu mereka lewati, dengan semua kerumitan dan benang kusut yang menjerat.

Tooru secara tiba-tiba bangkit dari posisinya setelah mematikan rokoknya. Ia melangkah menuju ranjang, kemudian memandang Wakatoshi dalam-dalam. “Enough talking. We’re here for sex, aren’t we? Get on with it.”

LUST AND LOVE ARE FOUR LETTER WORDS

Tooru mengerang dan mendesah kencang begitu pria di belakangnya terus menghentakkan pinggulnya dengan cepat dan presisi, menekan tiap titik sensitif di dalam lubangnya, menggaruk dindingnya yang basah dan berkedut. “Aaaah, Mas!” Ia memekik begitu merasakan jemari Wakatoshi menyelinap di antara dirinya dan ranjang untuk meraba klitorisnya yang mencuat seolah memohon untuk sebuah stimulasi.

Bintang-bintang seketika meledak di balik kelopak Tooru yang terkatup rapat. Kepalanya jatuh ke atas ranjang karena tangannya tak lagi bisa menahan beban tubuhnya, wajahnya yang basah dan semerah delima terbenam di atas bantal, sementara bokongnya yang mencuat ke belakang diremas-remas oleh Wakatoshi. “Ngghh, Mas, faster please!”

Geraman rendah lolos dari dada Wakatoshi, napasnya tersengal, dan keningnya berkerut menahan nikmat yang menyelimuti kejantanannya. Ia menunduk untuk memandang tautan tubuh keduanya, sontak mendesah begitu maniknya melihat betapa mudahnya lubang vagina milik Tooru menelan penisnya yang telanjang tanpa pengaman. “Fuck, baby, I’m going to get you pregnant.”

Perkataan vulgar Wakatoshi pun dihadiahi oleh desahan kencang dari Tooru, nyari terdengar seperti lolongan serigala saat bulan purnama. “Ngghh, Mas, please. M-make me a mommy.” Otaknya seketika malfungsi, ia berubah menjadi orang dungu yang haus penis.

“Tooru, baby, my love, do you know anglerfish?”

Tooru, yang tubuhnya kini sedang ditekan di atas ranjang, sontak membuka sedikit matanya ketika mendengar pertanyaan pria itu. “H-huh?” Ia merespons dengan susah payah, otaknya menyerah merangkai perkataan koheren. Bagian atas tubuhnya hingga perut menempel di atas ranjang, sementara pinggul dan bokongnya masih mencuat di udara, dan ia sontak menjerit ketika Wakatoshi menampar salah satu pipi bokongnya.

“Hhhh, Tooru.” Pria itu melenguh. “Tahu gak kalau—aaah—anglerfish jantan itu selalu ikutin betinanya kemana pun? He lived with her for the rest of his life, he attached his body to her, until she absorbed him and they became one. Flesh and blood. I want us to be like that, my love—nghh—I want to live within you for eternity, I want you to absorb me, ‘cause I’d die if you leave me again.”

Dengan napas yang putus-putus, Tooru berusaha membuka mulutnya dan merangkai kata-kata. “I—aahh,” Ia melenguh. “I won’t leave … again. I w-wont.” katanya tanpa pikir panjang. Ia hendak mengoreksi perkataannya, namun, putihnya datang secara tiba-tiba, membuat otaknya seketika berhenti bekerja dan tubuhnya mengejang di atas ranjang. Kemudian, beberapa menit setelahnya, Wakatoshi menyusul dengan menumpahkan cairan maninya ke dalam tubuh Tooru. Melukiskan dindingnya dengan putih dan mengantarkan hangat yang merayap hingga ke dadanya.

“Tooru, please, don’t leave me again.”

Nyatanya, malam itu, ketika Wakatoshi selesai membersihkan diri, ia kembali disambut oleh kehampaan. Kamar hotel sewaannya sunyi senyap dan sosok Tooru hilang tanpa pamit, seolah ia tidak pernah benar-benar ada di sana.

BROKEN, INSIDE AND OUT

Tooru memandang bayangan pohon yang menari-nari lewat jendela mobil, pikirannya kosong dan tubuhnya lelah. Ia merapatkan jaket yang dikenakannya sambil berusaha mengabaikan ponselnya yang bergetar tanda adanya pesan masuk. Mungkin dari sopir mobil jemputannya, mungkin juga dari Wakatoshi yang keheranan mengapa ia pergi tanpa pamit.

Di sampingnya, Tetsurou duduk di belakang kemudi. Wanita dengan rambut sebatas telinga itu masih mengenakan setelah kerjanya. “Lo beneran kabur gitu aja abis ngewe? Tooru, yang bener aja!” katanya bersungut-sungut. “Udah gitu minta jemput gue lagi. Padahal lo aja sopir.”

I can’t. He keeps talking about family and kids. And getting me pregnant. I have to go, I can’t face him.”

Ia bisa mendengar Tetsurou mengerang lelah di sebelahnya. “So what? Grow up, you’re 27 not 17. It’s not a big deal—”

I can’t get pregnant! Lo lupa, hah?! Gue gak bisa hamil! Kemungkinan gue hamil itu kecil banget, bahkan gak ada! My inside is rotten and broken. Lo tahu, malah lo doang yang tahu! Menurut lo gimana perasaan gue pas dia terus ngomongin nikah dan anak?! As if I could give him that!” Suaranya patah di akhir, kemudian tangis yang meraung-raung pecah diikuti aliran air mata yang menuruni wajahnya.

“Tooru, maaf. Shit. Gue lupa—”

I love him! I really do! Gue mau jadi istrinya, gue mau nikah sama dia! Tapi gue gak bisa! Dia mau keluarga dan orangtuanya mau cucu. Gue harus apa selain mundur?” Ia berkata di sela-sela tangisnya. Dengan kasar telapaknya menyeka air matanya. “I can’t let him waste his time on me. On someone who’s broken.

“Tooru, kalau dia beneran cinta sama lo, dia gak mungkin musingin soal itu. You should tell him.”

“Oke, kalau dia fine-fine aja. Terus gimana keluarganya? Ibu dan Bapaknya kolot, gue udah pernah ketemu. Lo pikir mereka mau punya menantu yang gak bisa ngasih keturunan?” Isaknya terus terdengar, penuh pilu dan benci pada diri sendiri. “They say everybody has flaws, but why is my flaw something that society uses to define me as a woman?! Why?! Why?!”

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (7)