when joker became the queen

deera
7 min readOct 13, 2024

--

Perjalanan kereta terasa panjang dan melelahkan, tapi sesak di dada Rin jauh lebih menyakitkan. Pikirannya terus memutar ulang percakapannya terakhirnya dengan Osamu, fakta bahwa hubungan keduanya telah kandas seakan menggigit setiap sudut hatinya.

Saat akhirnya ia sampai di apartemen Osamu, Rin merogoh saku untuk mengambil kartu akses. Bunyi beep dari pintu yang terbuka bergema di lorong yang sepi. Melangkah masuk, Rin tertegun. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Keiji yang duduk santai di hadapan televisi, seolah-olah dia pemilik tempat ini. Keiji mengenakan baju milik Osamu – sweater yang kebesaran, tergantung longgar di bahunya, terlalu akrab, terlalu intim. Seperti dia sudah sepenuhnya menjadi milik Osamu sekarang.

Rin menggertakkan giginya, amarah mulai mendidih di dalam dirinya saat Keiji mendongak, dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya.

“Barang-barangmu ada di dalam tas duffel,” kata Keiji dengan suara lembut nan ramah yang dibuat-buat. Ia menunjuk ke arah dapur. “Aku taruh di dapur, soalnya kayaknya kurang pantas aja gitu kalau kamu masuk ke kamar pacarku.”

Rin merasakan amarah mendidih di dadanya. Dia ingin sekali menghapus senyuman di wajah Keiji dengan kepalan tangannya. Tapi, bukannya melawan, Rin menahan lidahnya, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia pun berjalan ke arah dapur tanpa sepatah kata, langkahnya berat dengan kebencian.

Seperti yang Keiji katakan, tiga buah tas duffel diletakkan rapi di atas meja, seolah-olah semuanya hanya lah barang-barang biasa. Seakan bukan sisa-sisa kehidupan yang Rin bangun bersama Osamu. Ia meraih tas-tas tersebut, siap pergi tanpa melihat ke belakang, tapi Keiji muncul di ambang pintu, bersandar santai.

“Mau teh?” tawar Keiji, suaranya dipenuhi dengan kesopanan palsu.

Rin menggelengkan kepalanya, genggamannya pada tas semakin erat. “Gak.”

Namun Keiji tidak peduli. Ia melangkah masuk ke dapur dan mulai menuangkan secangkir teh. “Ayolah, cuma teh. Duduk sebentar.”

Rin ingin menolak lagi, ingin pergi dan tak pernah kembali. Tapi, ada sesuatu dalam tawaran Keiji yang membuatnya berhenti. Dia tak ingin memberikan Keiji kepuasan dengan melihatnya marah. Akhirnya, Rin duduk di meja makan, matanya tetap tertuju pada cangkir teh di depannya.

Keiji bergabung dengannya sambil menaruh secangkir teh di hadapan Rin dengan senyum yang tak sampai ke matanya. “Silahkan.” katanya, sambil menyesap teh dengan pelan, “Ini teh kesukaan Samu.”

Gue tahu kali, Rin berkata di dalam hati.

Rin tetap diam, teh panas tak disentuh. Dia bisa merasakan setiap kata Keiji seperti belati, masing-masing menusuk dengan perhitungan.

He’s such a good boyfriend. lanjut Keiji, suaranya penuh rasa puas. “Aku gak pernah sebahagia ini sama siapa pun sebelumnya. Rasanya beda sama kita. Kayak kita tuh cocok banget satu sama lain. Kamu tahu rasanya, ‘kan? Eh maaf, maksudnya, how it used to feel.”

Tangan Rin semakin erat menggenggam cangkirnya, kukunya hampir menggurat keramik. Kata-kata Keiji kental akan ejekan, meski diucapkan dengan nada santai. Seolah-olah dia dengan sengaja menonjolkan kemenangannya, menyiram luka Rin yang masih basah dengan air garam.

“Jujur aja,” Keiji melanjutkan, matanya terus mengawasi Rin, “Aku senang kita gak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Osamu is completely mine now. Gak ada lagi rahasia, gak ada lagi pura-pura. Cuma kita, dan semuanya sempurna.”

Rin menatap ke depan, matanya gelap dan lelah. Setiap kata yang diucapkan Keiji terasa seperti luka baru, masing-masing dimaksudkan untuk mengingatkannya pada apa yang telah hilang. Pada siapa yang telah hilang. Tapi, Rin tetap menahan dirinya, menolak memberi Keiji kepuasan untuk melihatnya rapuh atau meledak.

“Dulu semuanya juga sempurna antara aku dan Samu. Sampai kamu tiba-tiba muncul.” ucap Rin, jemarinya melingkari bibir cangkir sementara matanya memandangi pantulan dirinya di cairan teh yang kecokelatan. “What makes you so sure that won’t happen to you?”

“Pernah kepikiran gak?” Keiji menyesap tehnya, memberi jeda pada kalimatnya. “Kalau Osamu selingkuh karena kamu gak bisa kasih apa yang dia mau?”

“Emangnya apa yang dia mau?” Rin bertanya balik. Tangannya mengepal di atas meja makan, menahan keinginan untuk melemparkan cangkir berisikan teh panas tepat ke atas wajah Keiji.

Keiji mengangkat bahunya. “Gak tahu. Tapi yang aku tahu pasti kalau Osamu sama aku, dia gak bakalan selingkuh — karena aku cukup buat dia.”

You can’t cure a cheater, Akaashi.”

“Kamu diselingkuhin karena banyak kurangnya, sementara aku lebih dari cukup. Buktinya, dia selingkuh sama aku, berarti apa yang dia cari selama ini ada di aku dan gak ada di kamu.”

Rin tertawa tertawa pelan, “Oh, you dumb fucking bitch.”

Senyuman Keiji berubah kaku, dingin menyelimuti wajahnya saat topengnya mulai retak. “Kamu panggil aku apa tadi?” tanyanya, intonasinya datar, kepura-puraannya mulai luntur. Ekspresi wajahnya yang tadinya ramah berubah kelam, dan guratan emosi muncul di dahinya.

Rin tersenyum sinis, sebuah lengkungan tajam di bibirnya. “I said you’re a bitch,” ulangnya, suaranya tajam dan penuh racun, “and a dumb one at that. Karena, Akaashi, sekali seseorang selingkuh, mereka pasti bakal selingkuh lagi. Ini bukan soal menuhin kebutuhan mereka atau cukup apa gaknya lu buat mereka —tukang selingkuh tuh selalu lapar akan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang berbeda. You know how Osamu is —he has a big appetite.” Senyuman Rin makin melebar, ia merasa puas melihat bagaimana keramahan pura-pura Keiji mulai runtuh. Emosi di wajah Keiji kini terlihat jelas, dan Rin merasa senang.

Mata Keiji menyempit, suaranya turun beberapa oktaf ketika ia berusaha mendapatkan kendalinya kembali. “’Kan aku udah bilang, Suna, aku cukup buat dia. Apa pun yang kamu pikirin kalau dia bakalan cari, aku sudah punya. Aku bisa handle Osamu, jadi kamu gak usah khawatir soal kami.” Senyumnya kembali, tetapi kali ini penuh peringatan, tipis dan tajam seperti pisau, menantang Rin untuk melawan lebih jauh.

Senyuman itu. Rin membenci senyuman itu. Rasanya mengganggu, kesombongan yang terukir jelas membuat sesuatu yang pahit muncul di tenggorokannya. Ia bisa merasakan kemarahan mendidih di bawah kulitnya. Suaranya keluar rendah, seperti geraman yang terbentuk dalam dadanya. “You talk big for a whore.”

Mata Keiji menyala, kilatan singkat kemarahan muncul sebelum wajahnya kembali tenang. “Aku bukan apa yang baru aja kamu bilang.” ucapnya. “Kamu gak bisa ngerendahin aku cuma karena sakit hati hubunganmu sama Osamu sudah selesai. Kamu gak bisa ngejatuhin karena kamu kalah.”

Rin mendengus kasar, kemarahan yang mendidih kini meluap. Ia sedikit condong ke depan, suaranya dingin dan tenang, setiap kata diucapkan dengan sengaja dan penuh tekanan. “But you are. What do you call someone who breaks up a relationship? Who slides into someone else’s life, into someone else’s bed, while pretending they’re innocent? That’s a whore, Akaashi.”

Rahang Keiji mengencang, jari-jarinya mengepal erat pada cangkir teh yang dipegangnya. Ia mencoba mempertahankan suaranya agar tetap tenang, tetapi ada retakan yang tidak dapat disembunyikan dalam ekspresi wajahnya. “Aku gak ngehancurin hubungan kamu sama Osamu. Aku gak ngehancurin apa pun. Hubungan kalian itu sudah hancur jauh sebelum aku datang.”

Senyum Rin kini dingin, sepenuhnya tidak ada kehangatan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya berkilau dengan kebencian. “Rumah yang dibangun di atas air mata orang lain gak akan pernah bisa berdiri selamanya. You’re just a dumb, naive whore who thinks you can get anything because you’re pretty. But that’s all you are, Akaashi —pretty on the outside, rotten on the inside.”

Kata-kata itu menghantam seperti pukulan ke perut, dan dalam sekejap, mata Keiji menyala dengan sesuatu yang berbahaya. Tubuhnya tegang, dan sebelum salah satu dari mereka menyadari apa yang terjadi, Keiji meluncurkan dirinya ke arah Rin, kemarahannya meluap. Mereka berdua terjatuh di atas lantai dapur, bertabrakan dengan meja, dan kursi bergesekan keras dengan lantai.

Rin bahkan tidak punya waktu untuk bereaksi sebelum tangan Keiji ada di rambutnya, menariknya keras hingga membuat kulit kepalanya seakan terbakar. Kekuatan itu membuat mereka terhuyung, bertabrakan dengan meja dapur saat keduanya bergulat satu sama lain, napas mereka datang dalam deruan napas yang pendek dan kasar.

Rin mendorong Keiji kembali, jari-jarinya mencengkeram lengan Keiji, tetapi Keiji tak kenal menyerah, mengayunkan tinjunya ke arah wajah Rin. Rin membungkuk tepat waktu, pukulan itu hanya mengenai pipinya. Sebagai balasan, Rin meluncur ke depan, tangannya meraih sejumput rambut Keiji dan menariknya keras, membawanya mendekat ke lantai. Keiji melolong kesakitan tetapi tidak mundur. Kukunya menggaruk leher Rin, menggoresnya dalam-dalam.

Mereka menjadi kekacauan tubuh yang saling menjerat, gerakan mereka penuh amarah, keduanya terlalu buta oleh kemarahan untuk peduli pada kerusakan yang mereka timbulkan. Sikut Keiji menabrak sisi perut Rin, dan Rin membalasnya dengan menggaruk wajah Keiji, meninggalkan bekas merah marah di pipinya. Keiji berteriak frustrasi, mencoba menjatuhkan Rin, tetapi Rin juga cepat, sama kejamnya.

Dapur dipenuhi suara keributan mereka – tinju yang menyentuh tubuh satu sama lain, geraman penuh frustrasi, juga suara furnitur yang berjatuhan saat mereka bertabrakan. Tidak ada keanggunan dalam pertempuran mereka, hanya kemarahan yang mentah.

Setelah beberapa saat, mereka berhenti, keduanya bernapas berat. Darah mengalir dari hidung Keiji, dan bibir Rin terbuka, tetapi tidak ada yang berbicara. Ketegangan tebal berada di udara di antara keduanya, tetapi tidak ada yang mau mundur. Mereka terjebak dalam spiral kebencian. Akhirnya, Rin bangkit dan mendorong Keiji menjauh dari dirinya dengan satu dorongan terakhir, dan ia berdiri di sana, terengah-engah dan kusut, menatap Keiji dengan campuran penghinaan juga kelelahan.

“Gue … gue aduin lu ke Osamu!” Keiji menyalak.

“Bodo amat! Aduin aja, lu pikir gue peduli?” Rin menyeka darah dari mulutnya, suaranya serak saat ia berbicara. “Don’t come crying at me when Osamu lets another person into this house. I’ll be laughing at your face.”

Kemudian, dengan buru-buru, Rin meraih tasnya dan melangkah keluar area dapur. Dari belakangnya, suara Keiji mengikuti, serak dan menyebalkan. “That will never happen.”

Tapi Rin tidak menoleh. Dia hanya berjalan keluar, suara pintu yang tertutup di belakangnya terasa seperti bab terakhir dari sebuah cerita yang terlalu lama ia coba selesaikan.

--

--

deera
deera

Written by deera

I yap in a poetic way (I suppose)

Responses (1)